Sabtu, 15 November 2014

ASBABUN NUZUL : Surah Al-Faatihah (Surat 1)



Dinukilkan  dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul

Tidak ada riwayat atau pendapat ulama yang menyebutkan tentang sebab turun surah al-Faatihah. Imam as-Suyuthi sendiri tidak menyinggung sama sekali tentang surah al-Faatihah di dalam buku ini. Namun agar seluruh surah Al-Qur’an masuk dalam pembahasan buku ini, kami (penerjemah) melihat perlu untuk membubuhkan sedikit tentang surah al-Faatihah.

Ayat 1-7, yaitu firman Allah ta’ala,

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Faatihah: 1-7)


Nama Lain dari Surah al-Faatihah

Di antara nama lain dari surah al-Faatihah adalah sebagai berikut.

1. Ummul Kitaab. Penamaan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi -dan dia menshahihkannya- dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
“Alhamdulillah adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, dan as-Sab’ul Matsaani.”(1)
2. Ash-Shalat. Penamaan ini berdasarkan firman Allah ta’ala dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. Yang di antara isinya adalah,
“Allah ta’ala berfirman, `Aku membagi shalat menjadi dua; untuk-Ku dan untuk hamba-Ku dan Aku berikan kepada hamba-Ku apa yang dia minta.”
Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan shalat di sini adalah surah al-Faatihah, karena shalat tidak sempurna tanpa membaca surah al-Faatihah.
3. Asy-Syifaa’. Penamaan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan ad-Darimi dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi saw. bersabda,
“Pembuka (Faatihah) Al-Kitab adalah obat bagi semua penyakit.” (2)
4. Ar-Ruqyah. Penamaan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda kepada seorang sahabat yang mengobati seseorang yang disengat binatang berbisa dengan membacakan surah al-Faatihah terhadapnya,
“Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Faatihah adalah ruqyah (obat)?” (3)


Keutamaan Surah al-Faatihah

Surah al-Faatihah mempunyai beberapa keutamaan. Di antara keutamaannya adalah sebagai berikut.
1. Surah yang Paling Agung di Dalam Al-Qur’an
Al-Bukhari, Abu Dawud, dan an-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id ibnul-Mu’alla, dia berkata, “Pada suatu hari saya sedang shalat di masjid, lalu Rasulullah memanggil saya dan sayat tidak menjawab panggilan beliau. Setelah selesai shalat, saya berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, tadi saya shalat. `Rasulullah bersabda, ‘Bukankah Allah berfirman, ‘Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,…” (al-Anfaal: 24)

Kemudia beliau bersabda,

‘Saya akan mengajarkan kepadamu sebuah rumah yang teragung di dalam Al-Qur’an sebelum engkau keluar dari masjid’.
Kemudian beliau menggandeng tangan saya. Ketika beliau ingin keluar dari masjid, saya katakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, bukankan engkau katakan bahwa engkau akan mengajarkan kepadaku surah teragung di dalam Al-Qur’an?’
Maka beliau menjawab,

‘(Ia adalah surah), ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.’ Ia adalah tujuh ayat yan diulang-ulang (dalam setiap rakaat) dan Al-Qur’an yang agung yang diberikan kepada saya.” (4)

2. Surah yang Paling Utama di Dalam Al-Qur’an
An-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah dalam perjalanan. Kemudian beliau berhenti dan turun dari tunggangan beliau. Lalu seseorang turun dari tunggangannya juga untuk mendampingi beliau.

 Kemudian beliau bersabda,
‘Maukah engkau saya beritahu surah apa yang paling utama di dalam Al-Qur’an?’

Lalu beliau membaca,

“Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” (5)

3. Surah al-Faatihah adalah munajat antara hamba dan Rabbnya
Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda,
“Barangsiapa melakukan shalat tanpa membaca al-Faatihah, maka shalatnya tidak sempurna.
Beliau mengulangi sabda tersebut sebanyak tiga kali.
Lalu Abu Hurairah ditanya, “Ketika itu kita ikut imam?” Abu Hurairah menjawab, “Jika begitu, bacalah al-Faatihah dengan tidak terdengar oleh orang lain. Karena saya mendengar Rasulullah bersabda,

‘Allah ta’ala berfirman, ‘Aku membagi shalat menjadi dua; untuk-Ku dan untuk hamba-Ku, dan Aku berikan kepada hamba-Ku apa yang dia minta.’ Jika sang hamba membaca, ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam’. Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku…’ (6) Jika sang hamba membaca, ‘Yang Maha pemurah, Maha Penyayang’, Allah berfirman, ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’ Jika sang hamba membaca, ‘Pemilik hari pembalasan,’ Allah berfirman, ‘Hamba-Ku mengagungkan-Ku.’ Jika sang hamba membaca, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,’ Allah berfirman, ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta.’ Jika sang hamba membaca,” Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat,’ Allah berfirman, ‘Ini Aku berikan kepada hamba-Ku, dan untuknya apa yang dia minta.” (7)

1. HR at-Tirmidzi dalam Kitabu Tafsiri Qur’an, No. 3049.
2. HR at-Tirmidzi dalam Bab Fadhli Faatihatil Kitab, No. 3433.
3. HR Bukhari dalam Kitabul Ijarah, No. 2276 dan Muslim dalam Kitabus Salaam, No. 2201.
4. HR Bukhari dalam Kitabut Tafsir, No. 4474, Abu Dawud dalam Kitabush Shalat, No. 1458 dan an-Nasa’i dalam Kitabul Iftitaah.
5. HR an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, dalam Kitabu Fadhaa’ilil Qur’an, No. 8011, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dalam Kitabur Raqaaq, No. 774, al-Hakim dalam al-Mustadrak, dalam Kitabu Fadhaa’ilil Qur’andan al-Baihaqi dalam as-Sunanush Shaghiir.
6. Pujian di sini mengandung arti terima kasih.
7. HR Muslim dalam Kitabush Shalah, No. 395, Abu Dawud dalam Kitabus Shalat, No. 821, at-Tirmidzi dalam Kitabut Tafsir, No. 2953, an-Nasa’i dalam Kitabul Iftitaah, No. 2953 dan Ibnu Majah dalam Kitabul Adab, No. 3784.
Sumber: Diadaptasi dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, atau Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj. Tim Abdul Hayyie (Gema Insani), hlm. 19 – 24.

MAQAM MAHABBAH ....IDAMAN PARA SUFI




Mahabbah menurut arti bahasa adalah saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Mahabbah juga dapat diertikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih iaitu Allah SWT.
Cinta sering mendatangkan kebutaan dan ketulian, cinta membutakan segala kecuali terhadap yang dicintai sehingga orang itu tidak melihat apa pun kecuali Dia.Cinta membuat telinga tuli, tidak mendengar sesuatu pun di mana dia hanya mendengar ungkapan dan ucapan-ucapan dari yang dicintaiNya.
Cinta dalam hal ini dapat dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu:
1. Mencintai Allah merupakan kesempurnaan cinta dan tuntutan cinta;
2. Mencintai kerana Allah, mengharuskan cinta untuk mencintai apa
yang dicintai oleh Kekasihnya itu dan mencintai sesuatu yang boleh
membantu cintanya untuk membawanya kepada keredhaanNya dan mendekatiNya;
3. mencintai sesuatu bersama Allah adalah cinta yang berbentuk syirik
yang memasukkan hal-hal lain ke dalam muatan cinta.
Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan
yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah
usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan
muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh
perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahawa sesuatu
yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi.
Amr bin 'Utsman Makki mengatakan dalam Kitab-i Mahabbat bahwa Allah menciptakan jiwa (dilha) tujuh ribu tahun sebelum badan, dan menjaganya dalam peringkat kedekatan (qurb), dan bahwa Dia menciptakan ruh (janha) tujuh ribu tahun sebelum jiwa dan menjaganya dalam derajat kedekatan (uns), dan bahwa Dia menciptakan kalbu (sirrha) tujuh ribu tahun sebelum ruh dan menjaganya dalam derajat persatuan (washl), dan mengungkapkan keindahan-Nya kepada kalbu sebanyak tiga ratus enam puluh kali setiap hari dan menganugerahkan kepadanya tiga ratus enam puluh penglihatan akan rahmat, dan Dia menyebabkan ruh mendengar kata cinta dan menampakkan tiga ratus enam puluh nikmat kedekatan yang mendalam kepada jiwa, sehingga semuanya memandangi alam semesta yang fenomenal dan melihat tidak ada yang lebih elok daripada diri mereka sendiri dan mereka dipenuhi dengan kesia-siaan dan kecongkakan.

Karena itu ; Tuhan pun mengujinya. Dia rnemenjarakan kalbu di dalam ruh dan ruh di dalam jiwa dan jiwa di dalam badan. Kemudian Dia mencampur akal ('aql) dengan mereka, dan mengutus nabi-nabi dan memberikan perintah-perintah. Lalu masing-masing di antara mereka mulai mencari peringkat (maqam) aslinya. Tuhan menyuruh mereka bersembahyang. Badan lalu melakukan shalat, jiwa menggapai cinta, ruh sampai pada kedekatan dengan Tuhan, dan kalbu menemukan ketenangan dalam persatuan dengan-Nya.

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.

Kaum Sufi juga menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah Swt, untuk menuju kejenjang ahwâl yang lebih tinggi.

Konsep al-hub (cinta) pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi'atul Adawiyah (96 H - 185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war raja' dari tokoh sufi Hasan Al Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih tinggi dan lebih sempurna daripada al khauf war raja' (takut dan pengharapan), karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya. Menurut Rabi'atul Adawiyah, al hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi'atul Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah SWT. Sehingga perkara yang menarik tentang diri Rabi'ah ialah dia menolak lamaran untuk menikah dengan alasan:

"Pernikahan itu memang perlu bagi siapa yang memiliki pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak memiliki apa-apa pun. "

Kecintaan Rabi'ah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga, hanya untuk Allah semata-mata. Sebagaimana dalam munajat beliau :

"Jika aku menyembah-Mu karena takut dari api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu. "

Rabi'ah seolah-olah tidak mengenali yang lain dari Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi'ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia selalu meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.

Cinta Rabi'ah kepada Allah SWT begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak seluruh tawaran untuk menikah. Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, karenanya siapa yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu kepada-Nya. Pernah ditanyakan kepada Rabi'ah, apakah engkau benci kepada syetan ? Dia menjawab, "Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku, untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi Muhammad SAW ? Dia menjawab, "Saya cinta kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi cintaku kepada khalik memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk. Banyak sekali syair dan gubahan dari Rabi'ah menggambarkan cintanya kepada Allah SWT.

Adalah Imam al Qusyairi, pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hambaNya--menurut Qusyairi--dinamakan Rahmat; kemudian jika irâdah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka(ghadlab).
Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta diidentikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka mereka menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka (baca:kaum salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang bersifat ilâhiyah.

Al Junaidi Al Baghdadi menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada- Nya tanpa usaha.

Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat : (1) Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Banyak sekali dalil naqli, Al Qur'an dan Al Hadis yang menjadi dasar adanya mahabbah antara makhluk dengan khalik-Nya.

Firman Allah SWT,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al Maidah 5 : 54).

Firman Allah SWT,
Artinya : Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Ali Imran 3 : 31).
Sabda Rasulullah SAW, Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya" (H.R. Bukhari).

Sabda Rasulullah SAW: Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW menuturkan bahwa Jibril a.s memberitahukan bahwa Tuhan Allah SWT telah berfirman, "Barangsiapa yang menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu- ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba- Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun tidak ada jalan darinya. Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati-Ku adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Ku-perintahkan kepadanya, dan senantiasa dia mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan bagi barangsiapa yang Ku-cintai, maka Aku menjadi telinganya, matanya, tangannya dan tiang penopangnya".(H.R. Ibnu Abidunya, Al Hakim, Ibnu Mardawih dan Abu Na'im).

TOKOH SUFI AHMAD BIN KHAZRUYA MENINDAS HAWA NAFSUNYA SENDIRI (BAHAGIAN 2)



Ahmad bin Khazruya berkisah sebagai berikut ini:

Telah lama sekali aku menindas hawa nafsuku. Suatu hari orang-orang berangkat ke me dan perang, hasratkupun timbul menyertai mereka. Batinku membisikkan beberapa hadits yang menjelaskan pahala-pahala akhirat bagi yang berjuang di jalan Allah. Aku ter-heran-heran dan berkata dalam hati :
"Batinku biasanya tidak gampang mematuhi kehendakku. Tak seperti sekarang ini. Mungkin hai ini karena aku senantiasa berpuasa sehingga batinku tak dapat lagi menanggung lapar lebih lama dan ingin agar aku menghentikan puasaku"
Aku lalu membulatkan tekad, "Aku akan berpuasa terus selama perjalanan".
"Aku sangat setuju" jawab batinku.
"Mungkin batinku berkata demikian karena aku bisa melaksanakan shalat di sepanjang malam dan ingin agar aku tidur dan beristirahat di malam hari".
"Aku tidak akan tidur sebelum fajar" tekadku pula.
"Aku sangat setuju" jawab batinku.
Aku semakin terheran-heran. Kemudian terpikirlah olehku bahwa mungkin batinku berkata demikian karena ingin bergaul dengan orang ramai, jemu dalam kesepian dan membutuhkan hiburan.
Maka akupun bertekad: "Kemana pun aku pergi, aku akan menyendiri dan tidak akan berkumpul bersama orang lain"
"Aku setuju sekali" batinku malah menyetujuinya pula.

Habislah sudah dayaku. Dengan segala kerendahan hati aku bermohon kepada Allah semoga Dia berkenan menunjukkan kepadaku tipu daya batinku, atau memaksa batinku untuk mengaku secara terus-terang kepadaku. Maka berkatalah batinku kepadaku,

"Setiap hari dengan menindas segala keinginanku, engkau telah membunuhku beratus kali, tapi orang lain tidak mengetahui ini. Di dalam pertempuran-pertempuran nanti, setidaknya engkau akan terbunuh, aku bebas dan seluruh dunia akan gempar dengan berita 'Ahmad bin Khazruya yang gagah perkasa telah mati terbunuh dengan mahkota syuhada di atas kepalanya' " .

"Maha Besar Allah yang menciptakan batin yang munafik, baik selagi hidup maupun sesudah mati. Engkau bukanlah seorang Muslim sejati di dunia ini maupun di akhirat nanti. Aku sangka engkau ingin menaati Allah, rupanya engkau hanya sekedar mengencangkan ikat pinggangmu" seruku.
Sejak saat itu, aku lipat-gandakan perjuanganku melawan batinku sendiri.

TOKOH SUFI AHMAD BIN KHAZRUYA DAN ISTERINYA (BAHAGIAN 1)



Ahmad bin Khazruya mempunyai seribu orang murid yang masing-masing dapat terbang di angkasa dan berjalan di atas air. Ahmad selalu mengenakan seragam tentara. Isterinya, Fathimah merupakan seorang pembimbing ke jalan kesufian; Ia adalah puteri pangeran kota Balkh, Setelah bertaubat, ia mengirim utusan kepada Ahmad disertai pesan.

"Lamarlah aku kepada ayahku".
Ahmad tidak memberi jawaban, kemudian dikirimnya utusan kedua dengan pesan,
"Ahmad, kusangka engkau lebih berjiwa satria daripada yang sebenarnya. Jadilah seorang pembimbing, janganlah menjadi seorang pembegal"

Maka Ahmad lalu mengirimkan wakilnya untuk melamar Fathimah kepada ayahnya. Karena menginginkan keridhaan Allah, ayah Fathimah menyerahkan puterinya kepada Ahmad. Fathimah meninggalkan segala urusan dunia dan memperoleh ketenangan menyertai Ahmad di dalam penyepian.
Hari demi hari mereka lalui sehingga suatu ketika Ahmad ber-maksud menemui Abu Yazid, Fathimah ikut serta. Ketika berhadapan dengan Abu Yazid, Fathimah membuka cadar mukanya dan turut berbincang-bincang. Ahmad kesal menyaksikan kelakuan isterinya itu dan api cemburu membakar dadanya.
"Fathimah, alangkah berani sikapmu ketika berhadapan dengan Abu Yazid?", tegur Ahmad kepada isterinya.
"Engkau mengenai ragaku, tetapi Abu Yazid mengenai batinku. Engkau membangkitkan hasratku, tetapi Abu Yazid mengantarkan aku kepada Allah. Buktinya, Abu Yazid dapat hidup tanpa kutemani tetapi engkau senantiasa membutuhkan kehadiranku" jawab Fathimah.

Sikap Abu Yazid terhadap Fathimah tidak canggung. Suatu hari terlihatlah olehnya jari-jari tangan Fathimah yang berinai. Abu Yazid lalu berkata;
"Fathimah, mengapakah engkau mencat jari-jari tanganmu?" "Abu Yazid, sebelumnya engkau tak pernah memperhatikan jari-jari tanganku yang berinai ini, karena inilah aku tak merasa canggung terhadapmu. Kini, setelah engkau memperhatikan tanganku, tak pantas lagi aku bergaul denganmu sela Fathimah.
Mendengar ini Abu Yazid tak mau kalah: "Aku telah meminta kepada Allah agar wanita-wanita yang terpandang olehku tidak lebih menggairahkan hatiku daripada dinding. Dan demikianlah yang diperbuat-Nya terhadap diri mereka dalam pandangan mataku".

Setelah itu Ahmad dan Fathimah berangkat ke Nishapur. Di sana mereka mendapat sambutan yang hangat. Suatu waktu, Yahya bin Mu'adz singgah di Nishapur sebelum meneruskan perjalanannya menuju Balkh, Ahmad bermaksud menyelenggarakan pesta menyambut kedatangannya, iapun meminta pendapat Fathimah,
"Apakah yang kita perlukan untuk pesta penyambutan Yahya?"
"Beberapa ekor lembu dan domba" jawab Fathimah, "'perlengkapan-perlengkapan, lilin-lilin dan minyak mawar. Di samping itu kita masih membutuhkan beberapa ekor keledai".
"Apakah gunanya kita menyembelih keledai?" tanya Ahmad terheran.

"Apabila ada seorang pejabat yang datang untuk bersantap maka anjing-anjing tetanggapun harus mendapat bagian pula'' jawab Fathimah.

Demikianlah semangat kekesatriaan sejati Fathimah, karena itulah Abu Yazid pernah berkata;
"Jika ada yang ingin menyaksikan seorang laki-laki sejati yang bersembunyi di balik pakaian perempuan, pandanglah Fathimah!"