Tampilkan postingan dengan label Maqam Cinta (Sufi). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maqam Cinta (Sufi). Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 November 2014

MAQAM MAHABBAH ....IDAMAN PARA SUFI




Mahabbah menurut arti bahasa adalah saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Mahabbah juga dapat diertikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih iaitu Allah SWT.
Cinta sering mendatangkan kebutaan dan ketulian, cinta membutakan segala kecuali terhadap yang dicintai sehingga orang itu tidak melihat apa pun kecuali Dia.Cinta membuat telinga tuli, tidak mendengar sesuatu pun di mana dia hanya mendengar ungkapan dan ucapan-ucapan dari yang dicintaiNya.
Cinta dalam hal ini dapat dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu:
1. Mencintai Allah merupakan kesempurnaan cinta dan tuntutan cinta;
2. Mencintai kerana Allah, mengharuskan cinta untuk mencintai apa
yang dicintai oleh Kekasihnya itu dan mencintai sesuatu yang boleh
membantu cintanya untuk membawanya kepada keredhaanNya dan mendekatiNya;
3. mencintai sesuatu bersama Allah adalah cinta yang berbentuk syirik
yang memasukkan hal-hal lain ke dalam muatan cinta.
Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan
yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah
usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan
muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh
perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahawa sesuatu
yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi.
Amr bin 'Utsman Makki mengatakan dalam Kitab-i Mahabbat bahwa Allah menciptakan jiwa (dilha) tujuh ribu tahun sebelum badan, dan menjaganya dalam peringkat kedekatan (qurb), dan bahwa Dia menciptakan ruh (janha) tujuh ribu tahun sebelum jiwa dan menjaganya dalam derajat kedekatan (uns), dan bahwa Dia menciptakan kalbu (sirrha) tujuh ribu tahun sebelum ruh dan menjaganya dalam derajat persatuan (washl), dan mengungkapkan keindahan-Nya kepada kalbu sebanyak tiga ratus enam puluh kali setiap hari dan menganugerahkan kepadanya tiga ratus enam puluh penglihatan akan rahmat, dan Dia menyebabkan ruh mendengar kata cinta dan menampakkan tiga ratus enam puluh nikmat kedekatan yang mendalam kepada jiwa, sehingga semuanya memandangi alam semesta yang fenomenal dan melihat tidak ada yang lebih elok daripada diri mereka sendiri dan mereka dipenuhi dengan kesia-siaan dan kecongkakan.

Karena itu ; Tuhan pun mengujinya. Dia rnemenjarakan kalbu di dalam ruh dan ruh di dalam jiwa dan jiwa di dalam badan. Kemudian Dia mencampur akal ('aql) dengan mereka, dan mengutus nabi-nabi dan memberikan perintah-perintah. Lalu masing-masing di antara mereka mulai mencari peringkat (maqam) aslinya. Tuhan menyuruh mereka bersembahyang. Badan lalu melakukan shalat, jiwa menggapai cinta, ruh sampai pada kedekatan dengan Tuhan, dan kalbu menemukan ketenangan dalam persatuan dengan-Nya.

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.

Kaum Sufi juga menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah Swt, untuk menuju kejenjang ahwâl yang lebih tinggi.

Konsep al-hub (cinta) pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi'atul Adawiyah (96 H - 185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war raja' dari tokoh sufi Hasan Al Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih tinggi dan lebih sempurna daripada al khauf war raja' (takut dan pengharapan), karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya. Menurut Rabi'atul Adawiyah, al hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi'atul Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah SWT. Sehingga perkara yang menarik tentang diri Rabi'ah ialah dia menolak lamaran untuk menikah dengan alasan:

"Pernikahan itu memang perlu bagi siapa yang memiliki pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak memiliki apa-apa pun. "

Kecintaan Rabi'ah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga, hanya untuk Allah semata-mata. Sebagaimana dalam munajat beliau :

"Jika aku menyembah-Mu karena takut dari api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu. "

Rabi'ah seolah-olah tidak mengenali yang lain dari Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi'ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia selalu meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.

Cinta Rabi'ah kepada Allah SWT begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak seluruh tawaran untuk menikah. Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, karenanya siapa yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu kepada-Nya. Pernah ditanyakan kepada Rabi'ah, apakah engkau benci kepada syetan ? Dia menjawab, "Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku, untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi Muhammad SAW ? Dia menjawab, "Saya cinta kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi cintaku kepada khalik memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk. Banyak sekali syair dan gubahan dari Rabi'ah menggambarkan cintanya kepada Allah SWT.

Adalah Imam al Qusyairi, pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hambaNya--menurut Qusyairi--dinamakan Rahmat; kemudian jika irâdah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka(ghadlab).
Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta diidentikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka mereka menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka (baca:kaum salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang bersifat ilâhiyah.

Al Junaidi Al Baghdadi menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada- Nya tanpa usaha.

Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat : (1) Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Banyak sekali dalil naqli, Al Qur'an dan Al Hadis yang menjadi dasar adanya mahabbah antara makhluk dengan khalik-Nya.

Firman Allah SWT,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al Maidah 5 : 54).

Firman Allah SWT,
Artinya : Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Ali Imran 3 : 31).
Sabda Rasulullah SAW, Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya" (H.R. Bukhari).

Sabda Rasulullah SAW: Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW menuturkan bahwa Jibril a.s memberitahukan bahwa Tuhan Allah SWT telah berfirman, "Barangsiapa yang menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu- ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba- Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun tidak ada jalan darinya. Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati-Ku adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Ku-perintahkan kepadanya, dan senantiasa dia mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan bagi barangsiapa yang Ku-cintai, maka Aku menjadi telinganya, matanya, tangannya dan tiang penopangnya".(H.R. Ibnu Abidunya, Al Hakim, Ibnu Mardawih dan Abu Na'im).

Selasa, 07 Oktober 2014

FAHAMAN MAHABBAH ORANG SUFI (SIRI 2)


1.      Makna Cinta di Kalangan Sufi

Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini dapat dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Al quran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya .

Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.

Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.



2.      Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah

Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.

Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta  terhadap Allah.


3.      Mahabbah: antara Maqam dan Hal

Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.

Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.

Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.

4.      Tingkatan Cinta

Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.

Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).

Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.

ISTILAH SUFI : MAHABBAH, ISYQ DAN ASYIQ ((SIRI 1)

Mahabbah  (Cinta)

Mahabbah  ertinya perasaan  kesukaan  dan kecenderungan, dan kasih sayang. Cinta yang memberi kesan dan melanda perasaan seseorang dipanggil semangat; cinta yang begitu dalam dan tidak dapat ditolak bahawa ia membakar untuk penyatuan  dipanggil semangat .

Sufi telah mendefinisikan cinta sebagai hubungan hati dengan yang  Sang Kekasih, keinginan sangat kuat  untuk merasakan-Nya, perjuangan untuk mematuhi kehendak atau perintah-perintah-Nya dalam semua tindakan dan pemikiran, dan keadaan menjadi terpesona dan mabuk tanpa "ketenangan" sehingga masa penyatuan atau perjumpaan.

Definisi ini dapat disimpulkan sebagai "berdiri" di sisi Allah, seperti yang dibebaskan dari semua hubungan fana dan kebimbangan.

Cinta sejati bermakna kasih ditetapkan penuh pada Kekasih, sentiasa  dari segi dalaman dengan-Nya, dan sentiasa tidak mempunyai keinginan  dan hasrat yang lain .

Setengah-tengah orang yang mempunyai tingkatan  cinta  ng ysentiasa berdegup dengan pertimbangan baru untuk Kekasih setiap masa.

Imaginasi beliau sentiasa bergerak dalam keadaan misteri-Nya, perasaan beliau menerima mesej baru daripada-Nya pada setiap masa, atau kehendaknya mengambil sayap dengan mesej ini, dan dia bersemangat  untuk menemui-Nya.

Walaupun kekasih yang melampaui nya sendiri dengan sayap cinta dan mencapai Tuhan di titik keghairahan dan semangat, dan dalam apa-apa keadaan yang menjalankan tanggungjawab mereka ke arah Raja atau hatinya, hati yang sama ditetapkan pada penglihatan-Nya.

Seperti sifat seorang mukmin adalah "terbakar" dengan cahaya  Ilahi, dan hilang dalam keajaiban dan kekaguman. Dengan cawan cinta di bibir seseorang, kesamaran yang ghaib terangkat satu demi satu, mereka menjadi mabuk dengan  mengkaji makna dalam sinar dari belakang mereka terhijab, dan terpesona dengan keseronokan menonton tabir belakang mereka.

Seseorang  yang berjalan dan berhenti berlaku dengan perintah Allah, ucapan tidak lebih daripada inspirasi yang datang daripada-Nya, dan diam, apabila diperhatikan, dilakukan dalam nama-Nya. Pada pelbagai masa ia mengembara ke arah-Nya dalam  gengamannya  atau diduduki dengan menyampaikan mesej-Nya kepada orang lain.

Ada yang menakrifkan  cinta, dalam konteks kasih Allah di antara hambaNya, seperti berbuat baik, ketaatan, pengabdian, dan penyerahan tanpa syarat dalam konteks cinta hamba Allah.

Ini syair wanita Sufi  terkenala Rabi'a al-'Adawiya sangat penting dalam menyatakan makna ini:

Anda bercakap tentang Tuhan yang mengasihi semasa anda menderhaka kepadaNya;
Saya bersumpah dengan hidup saya bahawa ini adalah sesuatu yang sangat pelik.
Jika anda benar cinta , anda akan taat kepada-Nya,
Kerana seorang pecinta taat kepada yang dicintainya.

Cinta adalah berdasarkan dua tiang penting: apa yang ditunjukkan oleh tindakan yang kekasih (kekasih cuba mematuhi kehendak Kekasih), dan dunia dalaman yang kekasih (kekasih yang perlu dari segi dalaman ditutup untuk apa-apa yang tidak berkaitan dengan-Nya).

Lelaki dan wanita Allah yang benar bermakna apabila mereka bercakap tentang cinta. Menurut mereka, kebimbangan emosi atau cinta kepada apa-apa jenis keseronokan, termasuk orang-orang rohani atau kepentingan, tidak boleh dipanggil "cinta" dalam erti kata sebenar. Ia hanya boleh menjadi cinta kiasan.

Setiap kekasih tidak boleh berasa tahap yang sama cintakan pada Kekasih, cinta berbeza-beza mengikut rohani dan emosi mendalam kekasih, tahap kesedaran dan penjagaan dalam ketaatan kepada Kekasih.

Sebagai contoh, cinta yang dirasai oleh mereka yang bermula dengan cara yang tidak ditubuhkan dan berterusan. Mereka bermimpi memperoleh pangkat kebaikan sempurna dan, pada masa-masa, menerima tanda-tanda yang mengetahui tentang Tuhan, keseronokan yang sekejap daripada "cahaya" yang terdapat di kaki langit, dan merasa kehairanan dan tertanya-tanya.

Sebaliknya, mereka yang telah membuat banyak kemajuan terbang di langit cinta ke arah titik tertinggi.

Mereka hidup dalam iklim yang terang dari Al-Quran sebagai penjelmaan dan contoh akhlak  terpuji Nabi Muhammad SAW, apabila dia menjadi keamanan dan rahmat. Ketika cuba untuk mewakili akhlak yang baik, mereka tidak mengharapkan sebarang balasan kebendaan atau spiritual dan tidak menuntut kesenangan.

Malah di puncak suci ini, seperti pokok buah-buahan yang bengkok kerana dengan berat buah-buahan mereka, mereka merendahkan sayap mereka merendah diri dan sentiasa menyebut Kekasih. Jika mereka digoncang dengan suatu kesalahan atau kesilapan, mereka mengkritik teruk dan berjuang dengan diri mereka.

Dan akhirnya, mereka yang paling maju dalam menajdi kekasih Tuhan  seperti awan hujan di dalam "syurga" Islam. Mereka merasakan kewujudan-Nya, hidup dengan Dia, dan melihat dan menarik nafas oleh-Nya.

Dalam kitaran yang tidak berkesudahan, mereka penuh dengan kesedihan perpisahan (dari kebenaran) dan keinginan untuk menemui-Nya; apabila lega atau dikosongkan, mereka naik pada pancaran cahaya dan turun ke bumi untuk memeluk seluruh kewujudan.

Orang yang berpaling kepada-Nya dengan sepenuh hati keinginan dan semangat yang ikhlas, tanpa mengira tahap cinta, menerima ganjaran mengikut kedalaman perasaan dan kebimbangan bagi-Nya.

Kumpulan pertama orang yang disebutkan di atas menerima kurniaan istimewa dan belas kasihan. Kumpulan kedua orang mencapai ufuk  Keperibadian Rahmat  dan dibebaskan daripada kecacatan watak.

Dengan kumpulan ketiga diserikan oleh cahaya Wujud-Nya, dikejutkan dengan realiti , dan berhubung dengan dimensi kewujudan belakang tabir  iaitu, Yang Maha Kuasa menjelma cahaya untuk membakar sifat-sifat jasmani dari orang-orang yang Ia kasihi dan mengangkat mereka ke alam sifat-sifat Ilahi, seperti Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar.

Dia menyedarkan mereka sepenuhnya kepada fakta bahawa mereka adalah miskin dan tidak berdaya di hadapan-Nya, dan memenuhi hati mereka dengan cahaya kewujudan-Nya.

Seseorang yang kasih sayang telah mencapai tahap ini, dan diberi ganjaran dengan nikmat Ilahi begitu banyak, mencapai kehidupan yang kekal di luar ada wujud atau tidak. Seperti bar besi dimasukkan ke dalam api dan dengan itu muncul sebagai bar kebakaran, seperti kekasih yang tidak dapat membezakan Menjadi Ilahi dan manifestasi-Nya, dan oleh itu meluahkan perasaan dan pengalaman dari segi yang berkaitan dengan kepercayaan itu palsu , sebagai penjelmaan dan kesatuan (dengan Tuhan). Dalam keadaan sedemikian, seseorang itu perlu mengambil kira kriteria yang ditetapkan Sunnah ini.

Ungkapan yang diucapkan oleh individu yang rohani hilang dan tenggelam dalam kasih Tuhan dan mabuk dengan cinta Allah, tidak boleh digunakan sebagai kriteria yang digunakan untuk menilai mereka.

Jika tidak, kita mungkin merasa bermusuhan ke arah rakan-rakan seperti Tuhan, yang digemari dengan  berterusan beliau menurut Tradisi Nabi: Seorang lelaki adalah dengan dia yang dia suka,  dan, seperti yang diisytiharkan dalam hadis Qudsi: Sesiapa yang menjadi musuh  terhadap kawan-kawan ku, telah melancarkan perang ke atas-Ku.