Sabtu, 15 November 2014

MAQAM MAHABBAH ....IDAMAN PARA SUFI




Mahabbah menurut arti bahasa adalah saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Mahabbah juga dapat diertikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih iaitu Allah SWT.
Cinta sering mendatangkan kebutaan dan ketulian, cinta membutakan segala kecuali terhadap yang dicintai sehingga orang itu tidak melihat apa pun kecuali Dia.Cinta membuat telinga tuli, tidak mendengar sesuatu pun di mana dia hanya mendengar ungkapan dan ucapan-ucapan dari yang dicintaiNya.
Cinta dalam hal ini dapat dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu:
1. Mencintai Allah merupakan kesempurnaan cinta dan tuntutan cinta;
2. Mencintai kerana Allah, mengharuskan cinta untuk mencintai apa
yang dicintai oleh Kekasihnya itu dan mencintai sesuatu yang boleh
membantu cintanya untuk membawanya kepada keredhaanNya dan mendekatiNya;
3. mencintai sesuatu bersama Allah adalah cinta yang berbentuk syirik
yang memasukkan hal-hal lain ke dalam muatan cinta.
Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan
yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah
usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan
muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh
perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahawa sesuatu
yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi.
Amr bin 'Utsman Makki mengatakan dalam Kitab-i Mahabbat bahwa Allah menciptakan jiwa (dilha) tujuh ribu tahun sebelum badan, dan menjaganya dalam peringkat kedekatan (qurb), dan bahwa Dia menciptakan ruh (janha) tujuh ribu tahun sebelum jiwa dan menjaganya dalam derajat kedekatan (uns), dan bahwa Dia menciptakan kalbu (sirrha) tujuh ribu tahun sebelum ruh dan menjaganya dalam derajat persatuan (washl), dan mengungkapkan keindahan-Nya kepada kalbu sebanyak tiga ratus enam puluh kali setiap hari dan menganugerahkan kepadanya tiga ratus enam puluh penglihatan akan rahmat, dan Dia menyebabkan ruh mendengar kata cinta dan menampakkan tiga ratus enam puluh nikmat kedekatan yang mendalam kepada jiwa, sehingga semuanya memandangi alam semesta yang fenomenal dan melihat tidak ada yang lebih elok daripada diri mereka sendiri dan mereka dipenuhi dengan kesia-siaan dan kecongkakan.

Karena itu ; Tuhan pun mengujinya. Dia rnemenjarakan kalbu di dalam ruh dan ruh di dalam jiwa dan jiwa di dalam badan. Kemudian Dia mencampur akal ('aql) dengan mereka, dan mengutus nabi-nabi dan memberikan perintah-perintah. Lalu masing-masing di antara mereka mulai mencari peringkat (maqam) aslinya. Tuhan menyuruh mereka bersembahyang. Badan lalu melakukan shalat, jiwa menggapai cinta, ruh sampai pada kedekatan dengan Tuhan, dan kalbu menemukan ketenangan dalam persatuan dengan-Nya.

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.

Kaum Sufi juga menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah Swt, untuk menuju kejenjang ahwâl yang lebih tinggi.

Konsep al-hub (cinta) pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi'atul Adawiyah (96 H - 185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war raja' dari tokoh sufi Hasan Al Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih tinggi dan lebih sempurna daripada al khauf war raja' (takut dan pengharapan), karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya. Menurut Rabi'atul Adawiyah, al hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi'atul Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah SWT. Sehingga perkara yang menarik tentang diri Rabi'ah ialah dia menolak lamaran untuk menikah dengan alasan:

"Pernikahan itu memang perlu bagi siapa yang memiliki pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak memiliki apa-apa pun. "

Kecintaan Rabi'ah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga, hanya untuk Allah semata-mata. Sebagaimana dalam munajat beliau :

"Jika aku menyembah-Mu karena takut dari api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu. "

Rabi'ah seolah-olah tidak mengenali yang lain dari Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi'ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia selalu meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.

Cinta Rabi'ah kepada Allah SWT begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak seluruh tawaran untuk menikah. Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, karenanya siapa yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu kepada-Nya. Pernah ditanyakan kepada Rabi'ah, apakah engkau benci kepada syetan ? Dia menjawab, "Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku, untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi Muhammad SAW ? Dia menjawab, "Saya cinta kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi cintaku kepada khalik memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk. Banyak sekali syair dan gubahan dari Rabi'ah menggambarkan cintanya kepada Allah SWT.

Adalah Imam al Qusyairi, pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hambaNya--menurut Qusyairi--dinamakan Rahmat; kemudian jika irâdah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka(ghadlab).
Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta diidentikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka mereka menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka (baca:kaum salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang bersifat ilâhiyah.

Al Junaidi Al Baghdadi menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada- Nya tanpa usaha.

Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat : (1) Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Banyak sekali dalil naqli, Al Qur'an dan Al Hadis yang menjadi dasar adanya mahabbah antara makhluk dengan khalik-Nya.

Firman Allah SWT,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al Maidah 5 : 54).

Firman Allah SWT,
Artinya : Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Ali Imran 3 : 31).
Sabda Rasulullah SAW, Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya" (H.R. Bukhari).

Sabda Rasulullah SAW: Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW menuturkan bahwa Jibril a.s memberitahukan bahwa Tuhan Allah SWT telah berfirman, "Barangsiapa yang menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu- ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba- Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun tidak ada jalan darinya. Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati-Ku adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Ku-perintahkan kepadanya, dan senantiasa dia mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan bagi barangsiapa yang Ku-cintai, maka Aku menjadi telinganya, matanya, tangannya dan tiang penopangnya".(H.R. Ibnu Abidunya, Al Hakim, Ibnu Mardawih dan Abu Na'im).

TOKOH SUFI AHMAD BIN KHAZRUYA MENINDAS HAWA NAFSUNYA SENDIRI (BAHAGIAN 2)



Ahmad bin Khazruya berkisah sebagai berikut ini:

Telah lama sekali aku menindas hawa nafsuku. Suatu hari orang-orang berangkat ke me dan perang, hasratkupun timbul menyertai mereka. Batinku membisikkan beberapa hadits yang menjelaskan pahala-pahala akhirat bagi yang berjuang di jalan Allah. Aku ter-heran-heran dan berkata dalam hati :
"Batinku biasanya tidak gampang mematuhi kehendakku. Tak seperti sekarang ini. Mungkin hai ini karena aku senantiasa berpuasa sehingga batinku tak dapat lagi menanggung lapar lebih lama dan ingin agar aku menghentikan puasaku"
Aku lalu membulatkan tekad, "Aku akan berpuasa terus selama perjalanan".
"Aku sangat setuju" jawab batinku.
"Mungkin batinku berkata demikian karena aku bisa melaksanakan shalat di sepanjang malam dan ingin agar aku tidur dan beristirahat di malam hari".
"Aku tidak akan tidur sebelum fajar" tekadku pula.
"Aku sangat setuju" jawab batinku.
Aku semakin terheran-heran. Kemudian terpikirlah olehku bahwa mungkin batinku berkata demikian karena ingin bergaul dengan orang ramai, jemu dalam kesepian dan membutuhkan hiburan.
Maka akupun bertekad: "Kemana pun aku pergi, aku akan menyendiri dan tidak akan berkumpul bersama orang lain"
"Aku setuju sekali" batinku malah menyetujuinya pula.

Habislah sudah dayaku. Dengan segala kerendahan hati aku bermohon kepada Allah semoga Dia berkenan menunjukkan kepadaku tipu daya batinku, atau memaksa batinku untuk mengaku secara terus-terang kepadaku. Maka berkatalah batinku kepadaku,

"Setiap hari dengan menindas segala keinginanku, engkau telah membunuhku beratus kali, tapi orang lain tidak mengetahui ini. Di dalam pertempuran-pertempuran nanti, setidaknya engkau akan terbunuh, aku bebas dan seluruh dunia akan gempar dengan berita 'Ahmad bin Khazruya yang gagah perkasa telah mati terbunuh dengan mahkota syuhada di atas kepalanya' " .

"Maha Besar Allah yang menciptakan batin yang munafik, baik selagi hidup maupun sesudah mati. Engkau bukanlah seorang Muslim sejati di dunia ini maupun di akhirat nanti. Aku sangka engkau ingin menaati Allah, rupanya engkau hanya sekedar mengencangkan ikat pinggangmu" seruku.
Sejak saat itu, aku lipat-gandakan perjuanganku melawan batinku sendiri.

TOKOH SUFI AHMAD BIN KHAZRUYA DAN ISTERINYA (BAHAGIAN 1)



Ahmad bin Khazruya mempunyai seribu orang murid yang masing-masing dapat terbang di angkasa dan berjalan di atas air. Ahmad selalu mengenakan seragam tentara. Isterinya, Fathimah merupakan seorang pembimbing ke jalan kesufian; Ia adalah puteri pangeran kota Balkh, Setelah bertaubat, ia mengirim utusan kepada Ahmad disertai pesan.

"Lamarlah aku kepada ayahku".
Ahmad tidak memberi jawaban, kemudian dikirimnya utusan kedua dengan pesan,
"Ahmad, kusangka engkau lebih berjiwa satria daripada yang sebenarnya. Jadilah seorang pembimbing, janganlah menjadi seorang pembegal"

Maka Ahmad lalu mengirimkan wakilnya untuk melamar Fathimah kepada ayahnya. Karena menginginkan keridhaan Allah, ayah Fathimah menyerahkan puterinya kepada Ahmad. Fathimah meninggalkan segala urusan dunia dan memperoleh ketenangan menyertai Ahmad di dalam penyepian.
Hari demi hari mereka lalui sehingga suatu ketika Ahmad ber-maksud menemui Abu Yazid, Fathimah ikut serta. Ketika berhadapan dengan Abu Yazid, Fathimah membuka cadar mukanya dan turut berbincang-bincang. Ahmad kesal menyaksikan kelakuan isterinya itu dan api cemburu membakar dadanya.
"Fathimah, alangkah berani sikapmu ketika berhadapan dengan Abu Yazid?", tegur Ahmad kepada isterinya.
"Engkau mengenai ragaku, tetapi Abu Yazid mengenai batinku. Engkau membangkitkan hasratku, tetapi Abu Yazid mengantarkan aku kepada Allah. Buktinya, Abu Yazid dapat hidup tanpa kutemani tetapi engkau senantiasa membutuhkan kehadiranku" jawab Fathimah.

Sikap Abu Yazid terhadap Fathimah tidak canggung. Suatu hari terlihatlah olehnya jari-jari tangan Fathimah yang berinai. Abu Yazid lalu berkata;
"Fathimah, mengapakah engkau mencat jari-jari tanganmu?" "Abu Yazid, sebelumnya engkau tak pernah memperhatikan jari-jari tanganku yang berinai ini, karena inilah aku tak merasa canggung terhadapmu. Kini, setelah engkau memperhatikan tanganku, tak pantas lagi aku bergaul denganmu sela Fathimah.
Mendengar ini Abu Yazid tak mau kalah: "Aku telah meminta kepada Allah agar wanita-wanita yang terpandang olehku tidak lebih menggairahkan hatiku daripada dinding. Dan demikianlah yang diperbuat-Nya terhadap diri mereka dalam pandangan mataku".

Setelah itu Ahmad dan Fathimah berangkat ke Nishapur. Di sana mereka mendapat sambutan yang hangat. Suatu waktu, Yahya bin Mu'adz singgah di Nishapur sebelum meneruskan perjalanannya menuju Balkh, Ahmad bermaksud menyelenggarakan pesta menyambut kedatangannya, iapun meminta pendapat Fathimah,
"Apakah yang kita perlukan untuk pesta penyambutan Yahya?"
"Beberapa ekor lembu dan domba" jawab Fathimah, "'perlengkapan-perlengkapan, lilin-lilin dan minyak mawar. Di samping itu kita masih membutuhkan beberapa ekor keledai".
"Apakah gunanya kita menyembelih keledai?" tanya Ahmad terheran.

"Apabila ada seorang pejabat yang datang untuk bersantap maka anjing-anjing tetanggapun harus mendapat bagian pula'' jawab Fathimah.

Demikianlah semangat kekesatriaan sejati Fathimah, karena itulah Abu Yazid pernah berkata;
"Jika ada yang ingin menyaksikan seorang laki-laki sejati yang bersembunyi di balik pakaian perempuan, pandanglah Fathimah!"

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 5 Adab Zakat dan Shadaqah



Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj


Syekh Abu Nashr as-Sarraj r.a   berkata:

“Adab mereka dalam berzakat, maka sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kepada mereka zakat, karena Allah telah menjauhkan mereka dari harta dunia yang harus dibayar zakatnya. ”
Dikisahkan dari Mutharraf bin Abduliah bin asy-Syukhair - rahfmahuliah -yang mengatakan, “Nikmat Allah yang diberikan kepadaku, dengan menjauhkan diriku dari dunia jauh, lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan kepadaku dengan segaia pemberian-Nya.”

Demikian juga bagi kaum Sufi yang lain, dimana mereka meng¬anggap, bahwa nikmat Allah yang diberikan kepada mereka dengan menjauhkannya dari dunia merupakan nikmat yang lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan kepada mereka dengan memberinya dunia meskipun itu dalam jumiah yang sangat besar.

Sebagian dari mereka juga mengatakan, sementara ia orang yang memiliki dunia:
“Tak wajib bagiku zakat harta. Masih wajibkah zakat bagi orang yang dermawan”.
Ia dengan bangga mengatakan hal itu “Zakat harta tak wajib bagiku,” Maksudnya, tidak pernah menyisakannya, sehingga tidak ter¬kumpul harta yang mewajibkan zakat.
Saya pernah mendengar dari Ibrahim bin Syaiban al-Qirmisini - rahimahuliah - bahwa ia bertemu asy-Syibli - rahimahuliah. Sementara Ibrahim adalah orang yang melarang orang lain pergi ke asy-Syibli, diam bersamanya dan mendengarkan ucapannya. Kemudian ia berkata kepada asy-Syibli - rahimahuliah - dengan maksud mengujinya,
“Berapa zakat dari lima ekor unta?” Asy¬-Syibli menjawab, “Kewajiban dari perintahnya adalah seekor domba. Sedangkan bagi kami adalah semuanya, yakni apa yang kami klaim sebagai madzhab kami.”
Ibrahim kemudian bertanya lagi, “Apakah dalam pendapat ini Anda juga punya imam?”
Asy-¬Syibli menjawab, “Ya! Imam saya adalah Abu Bakar, dimana ia mengeluarkan seluruh hartanya. Saat itu kemudian Nabi bertanya, Apa yang engkau tingggalkan untuk keluargamu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Cukup Allah dan Rasul-Nya’.” Ibrahim kemudian bangkit, dan sejak peristiwa itu ia tidak iagi melarang orang lain untuk datang ke asy-Syibli.
Adapun adab kaum Sufi dalam hal zakat ialah mereka tidak makan dari harta zakat, tidak meminta dan tidak pula mengambil¬nya, meskipun Allah membolehkan mereka mengambil harta zakat. Dan seandainya mereka makan dari harta zakat sebenarnya mereka makan harta yang halal dan baik. Namun dengan tidak melakukannya adalah dengan maksud mendahulukan orang¬-orang fakir miskin dan tidak berebut dengan orang-orang lemah dan mereka yang lebih membutuhkan.

Disebutkan, bahwa Muhammad bin Manshur sahabat Abu Ya’qub as-Susi jika ia diberi atau dibawakan sesuatu dari harta zakat, sedekah dan harta tebusan (kafarat) sumpah, sementara ia tahu bahwa harta tersebut dari beberapa aspek di atas, maka ia tidak mau mengambilnya dan tidak pula membagikan kepada teman-temannya sesama kaum fakir (Sufi).
Ia berkata, “Sesuatu yang saya tidak rela untuk diriku dan juga sahabat-sahabatku.” Dan jika ia diberi sesuatu yang ia tidak tahu bahwa harta tersebut dari beberapa aspek di atas maka ia mau mengambil dan memakan¬nya.

Adapun sebagian kaum Sufi yang lain tidak melihat ada kelong¬garan seperti demikian. Mereka tidak pernah tamak, meminta dan berharap. Jika mereka diberi sesuatu dengan tanpa meminta ter¬lebih dahulu maka akan menjaga diri dari pemberian tersebut.
Saya pernah mendengar dari sebagian saudara-saudara kami kaum Sufi, bahwa salah seorang di antara mereka menginfakkan hartanya untuk kaum Sufi yang fakir sebanyak seribu dinar setiap tahun. Ia bersumpah, tidak akan menginfakkan untuk mereka senilai satu dirham pun yang diambilkan dari zakatnya. Dan sebagaimana yang saya lihat sendiri.
Diceritakan dari Abu Ali al-Masytuli, bahwa ia menginfakkan hartanya untuk kaum Sufi yang membuat para pedagang Mesir kagum dan mereka berkata, “Harta kita tidak cukup bila diban-dingkan dengan harta yang ia infakkan.” Dan disebutkan bahwa ia tidak pernah kena wajib zakat sama sekali.

Saya pernah mendengar sebagian syekh Sufi yang mulia ber¬kata, “Saya telah menjalin hubungan persaudaraan yang sangat erat dengan orang kaya.Ia memiliki tempat tersendiri dalam hatiku dari rasa cinta.
Ia pernah ingat kepadaku ketika mengeluarkan zakat dan membagikan sedekahnya. Akhirnya semua itu dapat menghiiangkan rasa cinta kasih dalam hatiku.”
Saya pernah melihat catatan seorang imam terkenal yang ia tulis untuk salah seorang fakir Sufi. Dalam catatan surat itu ter¬tulis, “Wahai saudaraku, saya telah mengirimkan untukmu sesuatu yang bukan dari zakat dan sedekah. Sementara itu tidak seorang pun selain Allah bisa memberi anugerah. Saya mengharap kepada Anda untuk bisa menyenangkan hatiku jika Anda mau meneri¬manya.”

Adapun harta sedekah yang diberikan kepada mereka dengan tanpa diminta dan juga tidak berharap (tamak), tidak pula karena mencari kemuliaan (harga diri), dimana sedekah tersebut dari orang-orang yang tidak mengerti perilaku kaum Sufi, tidak me¬ngerti kondisi mereka, tidak pernah bermuamalah dengan mereka dan tidak tahu asal-usulnya, maka tidak seyogyanya sedekah tersebut ditolak.
Sebab ada riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw pernah berkata kepada Umar bin Khaththab r.a.,

“Jika Allah memberimu sesuatu dari harta dengan tanpa meminta terlebih dahulu dan tidak untuk mencari kemuliaan, maka ambilah dan janganlah engkau menolaknya. Sebab jika engkau menolaknya berarti engkau mengembalikan kepada Allah Azza wa Jalia. “ (H.r. Malik dan Bukhari-Muslim dari Umar).
Jika ia tidak menolaknya dan kemudian mengambilnya, maka ia boleh memilih dua alternatif Jika ia memakannya maka ia ma¬kan dari harta yang halal dan baik, dan jika ia memberikan kepada orang lain yang ia anggap lebih berhak menerimanya maka ini adalah tindakan yang baik dan indah.

Saya mendengar Abu Bakar Muhammad bin Dawud ad-Dina¬wari ad-Duqqi - rahimahuliah - berkata, ‘Abu Bakar al-Farghani termasuk salah seorang yang namanya tercantum dalam daftar orang-orang miskin yang mendapatkan ransum di bulan Ramadhan. Setiap malam ia mengambilnya lalu ia berikan kepada seorang perempuan tua yang tinggal di sebelah rumahnya, dimana perempuan tua ini tidak tercantum dalam daftar orang-orang yang berhak mendapatkan ransum yang dibagikan di bulan Ramadhan.”

Sebagian kaum Sufi berkata, “Barangsiapa mengambil dari Allah Swt. maka ia mengambil dengan kemuliaan. Dan barangsiapa mengambil bukan karena Allah, maka ia mengambil dengan hina. Barangsiapa membiarkan (tidak mengambil) karena Allah maka ia membiarkan dengan hormat, dan sebaliknya barangsiapa mem¬biarkan bukan karena Allah Swt. maka ia membiarkan dengan hina. Maka barangsiapa mendasarkan segala urusannya dalam mengambil dan memberi bukan pada landasan ini maka ia dalam kondisi yang sangat berbahaya. Sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui orang yang salah dan yang benar. Sementara tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah Swt.”

Salah satu bukti kebenaran orang yang mengambil karena Allah, memberi karena Allah dan membiarkan (tidak mengambil) juga karena Allah ialah bahwa menurut pandangannya antara diberi atau tidak diberi, kondisi krisis dan penuh nikmat adalah sama dan tak berbeda.
Ada tingkatan lain yang lebih memilih harta zakat dan sedekah daripada hadiah, hibah, pemberian karena orang lain mengutama¬kannya atau karena bantuan untuk meringankan beban. Mereka berkata, “Allah Swt. telah memberikan hak kepada orang-orang fakir dalam harta orang-orang kaya. Sehingga apabiia kami meng¬ambil dari mereka itu berarti mengambil hak yang Allah berikan kepada kami. Maka tak ada arti untuk tidak mengambilnya.”

Sementara orang yang tidak suka mengambil harta zakat dengan alasan bahwa itu adalah kotoran manusia, hanyalah karena ada pendapat yang mengatakan bahwa zakat (sedekah) bisa mem¬bersihkan kotoran dosa orang-orang yang bersedekah. Andaikan dengan mengambil harta zakat dan sedekah itu bisa mengurangi atau menurunkan derajat orang-orang fakir, karena itu merupakan kotoran dosa orang-orang yang bersedekah tentu hal ini juga bakal terjadi pada para pengumpul zakat (amil), para mu’alaf (orangyang baru masuk islam), orang yang berperang demi membela agama Allah
(fi sabilillah) dan musafir (ibnu sabil).

Sedangkan orang yang sewaktu di dunia ini tidak memiliki sedikit pun harta yang bisa ia gunakan untuk bersedekah, sehingga ia tidak bisa mendapatkan keutamaan bersedekah, maka Allah memberikan cara lain dalam bersedekah, yaitu bersedekah dengan ucapan dan perbuatannya, dimana pahalanya tidak kalah besar dengan sedekah harta. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ra¬sulullah Saw yang bersabda:
“Bersikap ramah kepada orang lain adalah sedekah.” Anda membantu saudara Anda juga sedekah.
“Dan termasuk sedekah adalah jika Anda bertemu saudara Anda dengan wajah berseri-seri. Dan Anda tuangkan isi wadah Anda ke wadah saudara Anda juga sedekah. “’
Dikisahkan dari Bisyr bin al-Harits al-Hafi yang mengatakan, ”Wahai para ahli Hadist, tunaikanlah zakat Hadist.” Kemudian ia ditanya, ‘Apa zakat Hadist itu?” ia menjawab, ‘Amalkan lima Hadist dari setiap dua ratus Hadist.” Yakni dari setiap dua ratus Hadist yang Anda tulis dan anda hafal.Orang yang wajib membayar zakat membutuhkan empat hal, sehingga ia bisa disebut orang yang menunaikan zakat:
Pertama, hendaknya memperoleh hartanya dengan cara yang halal.
Kedua, mengumpulkannya tidak untuk berbangga-bangga dan menyombongkan diri terhadap orang-orang yang berada di bawahnya.
Ketiga, memulai dengan perilaku baik dan dermawan kepada keluarga dan kerabat dekatnya.
Keempat, menjauhkan diri dari mengungkit-ungkit dan me¬nyakiti hati orang yang diberi zakat. Sementara itu, zakat adalah hak orang-orang fakir, dimana Allah telah menetapkannya pada harta orang-orang kaya. Maka orang yang membayar zakat kepada mereka, berarti ia telah me-ngembalikan harta mereka kepada mereka yang punya hak. Dengan demikian ia telah menghimpun ridha Allah Azza wa Jalla, menyelamatkan dirinya dari pertanyaan di hari Perhitungan amal (Hisab) dan selamat dari siksa yang sangat pedih.