Tampilkan postingan dengan label Adab Kaum Sufi (Abu Nashr As Sarraj). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adab Kaum Sufi (Abu Nashr As Sarraj). Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 November 2014

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 5 Adab Zakat dan Shadaqah



Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj


Syekh Abu Nashr as-Sarraj r.a   berkata:

“Adab mereka dalam berzakat, maka sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kepada mereka zakat, karena Allah telah menjauhkan mereka dari harta dunia yang harus dibayar zakatnya. ”
Dikisahkan dari Mutharraf bin Abduliah bin asy-Syukhair - rahfmahuliah -yang mengatakan, “Nikmat Allah yang diberikan kepadaku, dengan menjauhkan diriku dari dunia jauh, lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan kepadaku dengan segaia pemberian-Nya.”

Demikian juga bagi kaum Sufi yang lain, dimana mereka meng¬anggap, bahwa nikmat Allah yang diberikan kepada mereka dengan menjauhkannya dari dunia merupakan nikmat yang lebih besar daripada nikmat-Nya yang diberikan kepada mereka dengan memberinya dunia meskipun itu dalam jumiah yang sangat besar.

Sebagian dari mereka juga mengatakan, sementara ia orang yang memiliki dunia:
“Tak wajib bagiku zakat harta. Masih wajibkah zakat bagi orang yang dermawan”.
Ia dengan bangga mengatakan hal itu “Zakat harta tak wajib bagiku,” Maksudnya, tidak pernah menyisakannya, sehingga tidak ter¬kumpul harta yang mewajibkan zakat.
Saya pernah mendengar dari Ibrahim bin Syaiban al-Qirmisini - rahimahuliah - bahwa ia bertemu asy-Syibli - rahimahuliah. Sementara Ibrahim adalah orang yang melarang orang lain pergi ke asy-Syibli, diam bersamanya dan mendengarkan ucapannya. Kemudian ia berkata kepada asy-Syibli - rahimahuliah - dengan maksud mengujinya,
“Berapa zakat dari lima ekor unta?” Asy¬-Syibli menjawab, “Kewajiban dari perintahnya adalah seekor domba. Sedangkan bagi kami adalah semuanya, yakni apa yang kami klaim sebagai madzhab kami.”
Ibrahim kemudian bertanya lagi, “Apakah dalam pendapat ini Anda juga punya imam?”
Asy-¬Syibli menjawab, “Ya! Imam saya adalah Abu Bakar, dimana ia mengeluarkan seluruh hartanya. Saat itu kemudian Nabi bertanya, Apa yang engkau tingggalkan untuk keluargamu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Cukup Allah dan Rasul-Nya’.” Ibrahim kemudian bangkit, dan sejak peristiwa itu ia tidak iagi melarang orang lain untuk datang ke asy-Syibli.
Adapun adab kaum Sufi dalam hal zakat ialah mereka tidak makan dari harta zakat, tidak meminta dan tidak pula mengambil¬nya, meskipun Allah membolehkan mereka mengambil harta zakat. Dan seandainya mereka makan dari harta zakat sebenarnya mereka makan harta yang halal dan baik. Namun dengan tidak melakukannya adalah dengan maksud mendahulukan orang¬-orang fakir miskin dan tidak berebut dengan orang-orang lemah dan mereka yang lebih membutuhkan.

Disebutkan, bahwa Muhammad bin Manshur sahabat Abu Ya’qub as-Susi jika ia diberi atau dibawakan sesuatu dari harta zakat, sedekah dan harta tebusan (kafarat) sumpah, sementara ia tahu bahwa harta tersebut dari beberapa aspek di atas, maka ia tidak mau mengambilnya dan tidak pula membagikan kepada teman-temannya sesama kaum fakir (Sufi).
Ia berkata, “Sesuatu yang saya tidak rela untuk diriku dan juga sahabat-sahabatku.” Dan jika ia diberi sesuatu yang ia tidak tahu bahwa harta tersebut dari beberapa aspek di atas maka ia mau mengambil dan memakan¬nya.

Adapun sebagian kaum Sufi yang lain tidak melihat ada kelong¬garan seperti demikian. Mereka tidak pernah tamak, meminta dan berharap. Jika mereka diberi sesuatu dengan tanpa meminta ter¬lebih dahulu maka akan menjaga diri dari pemberian tersebut.
Saya pernah mendengar dari sebagian saudara-saudara kami kaum Sufi, bahwa salah seorang di antara mereka menginfakkan hartanya untuk kaum Sufi yang fakir sebanyak seribu dinar setiap tahun. Ia bersumpah, tidak akan menginfakkan untuk mereka senilai satu dirham pun yang diambilkan dari zakatnya. Dan sebagaimana yang saya lihat sendiri.
Diceritakan dari Abu Ali al-Masytuli, bahwa ia menginfakkan hartanya untuk kaum Sufi yang membuat para pedagang Mesir kagum dan mereka berkata, “Harta kita tidak cukup bila diban-dingkan dengan harta yang ia infakkan.” Dan disebutkan bahwa ia tidak pernah kena wajib zakat sama sekali.

Saya pernah mendengar sebagian syekh Sufi yang mulia ber¬kata, “Saya telah menjalin hubungan persaudaraan yang sangat erat dengan orang kaya.Ia memiliki tempat tersendiri dalam hatiku dari rasa cinta.
Ia pernah ingat kepadaku ketika mengeluarkan zakat dan membagikan sedekahnya. Akhirnya semua itu dapat menghiiangkan rasa cinta kasih dalam hatiku.”
Saya pernah melihat catatan seorang imam terkenal yang ia tulis untuk salah seorang fakir Sufi. Dalam catatan surat itu ter¬tulis, “Wahai saudaraku, saya telah mengirimkan untukmu sesuatu yang bukan dari zakat dan sedekah. Sementara itu tidak seorang pun selain Allah bisa memberi anugerah. Saya mengharap kepada Anda untuk bisa menyenangkan hatiku jika Anda mau meneri¬manya.”

Adapun harta sedekah yang diberikan kepada mereka dengan tanpa diminta dan juga tidak berharap (tamak), tidak pula karena mencari kemuliaan (harga diri), dimana sedekah tersebut dari orang-orang yang tidak mengerti perilaku kaum Sufi, tidak me¬ngerti kondisi mereka, tidak pernah bermuamalah dengan mereka dan tidak tahu asal-usulnya, maka tidak seyogyanya sedekah tersebut ditolak.
Sebab ada riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw pernah berkata kepada Umar bin Khaththab r.a.,

“Jika Allah memberimu sesuatu dari harta dengan tanpa meminta terlebih dahulu dan tidak untuk mencari kemuliaan, maka ambilah dan janganlah engkau menolaknya. Sebab jika engkau menolaknya berarti engkau mengembalikan kepada Allah Azza wa Jalia. “ (H.r. Malik dan Bukhari-Muslim dari Umar).
Jika ia tidak menolaknya dan kemudian mengambilnya, maka ia boleh memilih dua alternatif Jika ia memakannya maka ia ma¬kan dari harta yang halal dan baik, dan jika ia memberikan kepada orang lain yang ia anggap lebih berhak menerimanya maka ini adalah tindakan yang baik dan indah.

Saya mendengar Abu Bakar Muhammad bin Dawud ad-Dina¬wari ad-Duqqi - rahimahuliah - berkata, ‘Abu Bakar al-Farghani termasuk salah seorang yang namanya tercantum dalam daftar orang-orang miskin yang mendapatkan ransum di bulan Ramadhan. Setiap malam ia mengambilnya lalu ia berikan kepada seorang perempuan tua yang tinggal di sebelah rumahnya, dimana perempuan tua ini tidak tercantum dalam daftar orang-orang yang berhak mendapatkan ransum yang dibagikan di bulan Ramadhan.”

Sebagian kaum Sufi berkata, “Barangsiapa mengambil dari Allah Swt. maka ia mengambil dengan kemuliaan. Dan barangsiapa mengambil bukan karena Allah, maka ia mengambil dengan hina. Barangsiapa membiarkan (tidak mengambil) karena Allah maka ia membiarkan dengan hormat, dan sebaliknya barangsiapa mem¬biarkan bukan karena Allah Swt. maka ia membiarkan dengan hina. Maka barangsiapa mendasarkan segala urusannya dalam mengambil dan memberi bukan pada landasan ini maka ia dalam kondisi yang sangat berbahaya. Sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui orang yang salah dan yang benar. Sementara tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah Swt.”

Salah satu bukti kebenaran orang yang mengambil karena Allah, memberi karena Allah dan membiarkan (tidak mengambil) juga karena Allah ialah bahwa menurut pandangannya antara diberi atau tidak diberi, kondisi krisis dan penuh nikmat adalah sama dan tak berbeda.
Ada tingkatan lain yang lebih memilih harta zakat dan sedekah daripada hadiah, hibah, pemberian karena orang lain mengutama¬kannya atau karena bantuan untuk meringankan beban. Mereka berkata, “Allah Swt. telah memberikan hak kepada orang-orang fakir dalam harta orang-orang kaya. Sehingga apabiia kami meng¬ambil dari mereka itu berarti mengambil hak yang Allah berikan kepada kami. Maka tak ada arti untuk tidak mengambilnya.”

Sementara orang yang tidak suka mengambil harta zakat dengan alasan bahwa itu adalah kotoran manusia, hanyalah karena ada pendapat yang mengatakan bahwa zakat (sedekah) bisa mem¬bersihkan kotoran dosa orang-orang yang bersedekah. Andaikan dengan mengambil harta zakat dan sedekah itu bisa mengurangi atau menurunkan derajat orang-orang fakir, karena itu merupakan kotoran dosa orang-orang yang bersedekah tentu hal ini juga bakal terjadi pada para pengumpul zakat (amil), para mu’alaf (orangyang baru masuk islam), orang yang berperang demi membela agama Allah
(fi sabilillah) dan musafir (ibnu sabil).

Sedangkan orang yang sewaktu di dunia ini tidak memiliki sedikit pun harta yang bisa ia gunakan untuk bersedekah, sehingga ia tidak bisa mendapatkan keutamaan bersedekah, maka Allah memberikan cara lain dalam bersedekah, yaitu bersedekah dengan ucapan dan perbuatannya, dimana pahalanya tidak kalah besar dengan sedekah harta. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ra¬sulullah Saw yang bersabda:
“Bersikap ramah kepada orang lain adalah sedekah.” Anda membantu saudara Anda juga sedekah.
“Dan termasuk sedekah adalah jika Anda bertemu saudara Anda dengan wajah berseri-seri. Dan Anda tuangkan isi wadah Anda ke wadah saudara Anda juga sedekah. “’
Dikisahkan dari Bisyr bin al-Harits al-Hafi yang mengatakan, ”Wahai para ahli Hadist, tunaikanlah zakat Hadist.” Kemudian ia ditanya, ‘Apa zakat Hadist itu?” ia menjawab, ‘Amalkan lima Hadist dari setiap dua ratus Hadist.” Yakni dari setiap dua ratus Hadist yang Anda tulis dan anda hafal.Orang yang wajib membayar zakat membutuhkan empat hal, sehingga ia bisa disebut orang yang menunaikan zakat:
Pertama, hendaknya memperoleh hartanya dengan cara yang halal.
Kedua, mengumpulkannya tidak untuk berbangga-bangga dan menyombongkan diri terhadap orang-orang yang berada di bawahnya.
Ketiga, memulai dengan perilaku baik dan dermawan kepada keluarga dan kerabat dekatnya.
Keempat, menjauhkan diri dari mengungkit-ungkit dan me¬nyakiti hati orang yang diberi zakat. Sementara itu, zakat adalah hak orang-orang fakir, dimana Allah telah menetapkannya pada harta orang-orang kaya. Maka orang yang membayar zakat kepada mereka, berarti ia telah me-ngembalikan harta mereka kepada mereka yang punya hak. Dengan demikian ia telah menghimpun ridha Allah Azza wa Jalla, menyelamatkan dirinya dari pertanyaan di hari Perhitungan amal (Hisab) dan selamat dari siksa yang sangat pedih.

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 4 Adab Makan, Kumpul Dan Bertamu



Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Syeikh ABu Nashr as-Sarraj-Rahimahullah  berkata:

Dikisahkan dari Abu al-Qasim al Junaid - rahimahullah - yang mengatakan, “Rahmat dari Allah swt. diturunkan kepada para kaum Sufi-dalam tiga tempat: Saat mereka
makan. Karena mereka tidak akan makan kecuali karena sangat membutuhkannya; 

1.         Ketika membicarakan ilmu. Sebab yang mereka bicarakan hanyalah kondisi spiritual orang-orang jujur dan para wali.
2.         Ketika sedang Sama ‘ (mendengar dengan ekstase). Sebab mereka tidak mendengar kecuali dari Yang Haq dan tidak berdiri kecuali dengan wajd-Nya.

Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Masruq ath Thusi berkata: Muhammad bin Manshur ath-Thusi berkata padaku, dan Abu al-Abbas datang ke rumahku sebagai tamu, “Tinggallah di rumahku selama tiga hari. Dan jika lebih dari tiga hari maka itu adalah sedekah dari Anda untuk kami.”
Sari as-Saqathi - rahimahullah - berkata, “Aduh! Sesuap nasi yang tidak karena Allah akan menjadi beban berat bagiku, dan sesuatu yang tidak untuk makhluk bagiku adalah suatu anugerah.”

Abu Ali an-Nauribathi berkata, “Jika ada orang sufi datang kepada kalian, maka suguhkan sesuatu yang biasa ia makan. Jika ada para ahli fiqih datang kepada kalian, maka tanyakan masalah kepada mereka. Dan jika ada orang-orang pandai membaca al-Qur’an (qurra’) datang kepada kalian maka tunjukkan ke mihrab.”

Abu Bakar al-Kattani berkata: Abu Hamzah berkata, “Aku pernah bertamu ke rumah Sari as-Saqathi. Maka la datang menemuiku dengan membawa sepotong roti, dan menjadikannya separo dimasukkan ke dalam mangkok. Lalu aku bertanya, Apa yang Anda lakukan ini? Aku bisa minum ini dalam sekali telan. Kemudian ia tertawa dan berkata, ‘Ini jauh lebih baik bagi Anda daripada haji’.”

Sementara itu, Abu Ali ar-Rudzabari ketika melihat orang-orang sufiberkumpul di satu tempat, maka la mengutip ayat ini:

“Dan Dia Mahakuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.” (Q.s. asy-Syura: 29).
Abu Ali juga berkata, “Jika para sufi berkumpul di satu tempat maka akan memberikan rasa kasih sayang kepada mereka, dan akan dibukakan banyak hal bagi mereka.” la kemudian mensinyalir sebuah ayat:
“Katakanlah, ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui’.” (Q.s. Saba’: 26).

Ja’far al-Khuldi - rahimahullah - berkata, “Makan yang sekarang ini adalah makan setelah makan yang kalian melihatnya setelah sahabat-sahabat kami sangat lapar.”
Selanjutnya la mengatakan, “Jika Anda melihat seorang sufi makan dengan porsi yang banyak, maka Anda perlu tahu, bahwa tindakan itu tidak lepas dari tiga hal: Pertama, mungkin karena waktu yang telah ia lalui, atau waktu yang akan datang, atau karena waktu di mana ia sekarang alami.”

Sementara itu asy-Syibli - rahimahullah - berkata, “Andaikan dunia ini adalah sesuap makanan yang ada di mulut seorang bayi maka akan aku sayangi anak itu.”

la juga  mengatakan, “Andaikan dunia dan apa yang ada di dalamnya adalah sesuap makanan, tentu akan kumakan, dan akan kubiarkan seluruh makhluk berhubungan dengan Allah tanpa perantara.”

Sebagian kaum Sufi berkata, “Etika makan itu dibedakan menjadi tiga: (1) Makan bersama teman dengan cara memberikan kesenangan; (2) Bersama para pemilik dunia, maka dengan adab; dan (3) Bersama orang-orang Sufi dengan cara mengutamakan mereka daripada diri sendiri.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Ini bukanlah termasuk adab kaum fakir. Sebab di antara adab kaum Sufi ketika mereka makan, mereka tidak sedih dan gelisah, serta tidak merasa memiliki beban. Mereka tidak memilih makanan yang banyak tapi jelek dari pada makanan yang sedikit tapi bersih dan bagus. Mereka juga tidak memiliki jadwal tertentu untuk makan. Jika ada makanan yang datang mereka tidak saling menyuapi antara satu dengan yang lain. Namun jika disuapi mereka juga tidak menolak. Mereka tidak suka makanan banyak yang kering. Ketika sangat lapar, maka adab mereka ketika makan adalah dengan sangat baik.

Aku pernah mendengar seorang Syekh yang mulia berkata, “Aku kelaparan selama sepuluh hari dan selama itu aku tidak makan apa-apa. Kemudian setelah itu aku diberi makanan, akhirnya aku makan dengan menggunakan dua ujung jari. Kemudian orang yang memberiku makanan berkata, ‘Makanlah dengan tiga jari sesuai dengan Sunnah Rasulullah saw’.”
Dikisahkan dari Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah -yang berkata, “Sejak delapan puluh tahun aku tidak makan sesuatu sesuai dengan seleraku.”

Abu Bakar al-Kattani ad-Dinawari di Baghdad tidak makan apa pun. la menampakkannya karena ada pertanyaan dan pertentangan.
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Merupakan tindakan yang sangat hina seseorang yang makan dengan alat agamanya.”

Abu Turab berkata, “Aku diberi makanan, namun aku menolak untuk makan. Setelah itu aku dihukum dengan kelaparan selama sepuluh hari. Kemudian aku sadar, bahwa aku sedang diuji. Akhirnya aku memohon pertolongan pada Allah dan segera bertobat.”
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Dengan bersihnya - makanan, pakaian, dan tempat tinggal maka seluruh perkara akan menjadi baik.”

Di ceritakan dari Sari as-Saqathi - rahimahullah - yang berkata, “Makan mereka ( kaum Sufi ) seperti makannya orang sakit, tidurnya seperti tidurnya orang yang tenggelam.”
Abu Abdillah al-Hushri - rahimahullah -berkata, ‘Aku diam selama bertahun-tahun, dimana aku tidak pantas mengatakan, Aku tidak berselera.’ dan tidak pantas aku makan.”

Di kisahkan, bahwa Abu Muhammad al-Fath bin Said al-Maushili - rahimahullah - pernah datang dari Mousul berkunjung ke rumah Bisyr al-Hafi. Kemudian al-Hafi mengeluarkan uang satu dirham dan diberikan kepada Ahmad bin Yahya bin al Jalla’, yang saat itu la menjadi pembantunya.

“Berangkatlah ke pasar dan belilah makanan dan lauk-pauk yang baik,” perintah al-Hafi kepada al Jalla’.
Ahmad al Jalla’ berkata: Kemudian aku berangkat ke pasar, dan membeli roti. Sementara itu aku berkata pada diriku sendiri, “Nabi saw tidak pernah mendoakan pada suatu makanan dengan doa, ‘Ya Allah berkahilah kami pada makanan ini dan tambahkanlah kami darinya.’ kecuali pada susu.” Akhirnya aku membeli susu dan kurma yang baik. Aku datang dan aku suguhkan kepadanya. Kemudian la makan apa yang perlu la makan, dan mengambil sisanya kemudian la keluar.

Ketika tamunya sudah keluar, maka Bisyr al-Hafi berkata kepada orang yang ada di sisinya, “Ia adalah al-Fath al-Maushili yang datang kepadaku untuk berziarah. Tahukah’ kalian, mengapa ia tidak berkata kepadaku, ‘Makanlah!?’ Sebab seorang tamu tidak boleh mengatakan kepada tuan rumah, ‘Makanlah!’ Dan tahukah kalian mengapa aku memerintahkan kepada al Jalla’, ‘Belilah makanan yang baik?’ Sebab makanan yang baik berusaha mengeluarkan syukur yang murni. Lalu tahukah kalian, mengapa ia membawa sisa makanan tersebut? Sebab jika tawakalnya sudah benar maka apa yang dibawanya tidak akan membahayakannya.”

Dikatakan kepada Ma’ruf al-Karkhi - rahimahullah, “Mengapa Anda selalu berangkat kepada orang yang mengundangmu?” la menjawab, ‘Aku hanyalah seorang tamu, aku akan mampir di mana mereka mempersilakan aku mampir.”

Dikisahkan dari Abu Bakar al-Kattani -rahimahullah -yang berkata, “Selama setahun kira-kira tiga ratus orang dari kaum sufidan guru Sufi (syekh) berkumpul di sini, yakni di Mekkah. Mereka berkumpul di satu tempat. Selama itu di kalangan mereka tidak pernah berlangsung suatu rizudzakarah (belajar ilmu). Sementara itu yang ada di kalangan mereka hanyalah akhlak, kemuliaan dan antara yang satu dengan yang lain saling memberikan prioritas daripada diri mereka sendiri.”

Abu Sulaiman ad-Darani - rahimahullah - berkata, “Jika Anda menginginkan suatu hajat (kebutuhan) dunia maupun akhirat, maka janganlah Anda makan sehingga Anda berhasil meraihnya. Sebab makan itu akan mematikan hati.”

Dikisahkan dari Ruwaim - rahimahullah - yang berkata, “Sejak dua puluh tahun benakku tidak pernah terlintas masalah makanan sampai ia datang sendiri.”

Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Atha’ ar-Rudzabari berkata, ‘Abu All ar-Rudzabari pernah membeli beberapa kantong gula putih. Kemudian la memanggil sekelompok orang yang ahli membuat manisan. Mereka menjadikan gula tersebut suatu dinding yang memiliki teras dan mihrab yang memiliki beberapa tiang yang berukir. Seluruhnya dari bahan gula. Kemudian ia mengundang kaum Sufi sehingga mereka menghancurkan seluruhnya dan merampasnya.

Saya mendengar Abu Abdillah ar-Rudzabari berkata, “Ada seseorang mengadakan jamuan. la menyalakan lampu sebanyak seribu. Kemudian ada seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Anda telah melakukan pemborosan.’

Seseorang yang mengadakan jamuan balik berkata, ‘Silakan Anda memasuki ruangan, dan silakan Anda memadamkan lampu yang saya nyalakan karena Allah.’

Laki-laki tersebut kemudian masuk ruangan dan berusaha memadamkan lampu-lampu itu. Namun ia tidak mampu memadamkan satu lampu pun, dan akhirnya berhenti.”

Dikisahkan dari Abu Abdillah al-Hushri - rahfmahullah - yang berkata: Aku mendengar Ahmad bin Muhammad as-Sulami berkata, “Aku pernah di Mekkah, dan selama tiga hari aku tidak pernah makan apa pun. Kemudian terlintas dalam benakku untuk mengumpulkan para ahli ibadah, para sufi dan orang-orang yang memiliki keutamaan yang tinggal di tanah Haram. kemudian aku menyewa sebelas pasang tenda, dan berharap rezeki yang datang dari berbagai penjuru. Aku terus melakukannya selama sebelas hari. Dan selama sebelas hari itu pula aku tidak pernah makan apa pun.”

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 3 Adab Bepergian



Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Allah swt-berfirman: Dia-iah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di Lautan.”(Qs. Yunus: 22).

Riwayat dari Ibnu Umar r.a, bahwa Rasululiah saw. apabila, menaiki unta untuk bepergian, selalu bertakbir tiga kali, kemudian membaca: “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Q.s. Az-Zukhruf- 13-4)

Kernudian dilanjutkan dengan doa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bermohon kepada-Mu, agar dalam. bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan takwa, melakukan perbuatan yang Engkau ridhoi, dan mudahkanlah kami dalam perjalanan kami. Ya Allah, Engkau-lah yang menjadi Pendamping dalam bepergian, sebagai Khaiifah bagi keluarga dan harta. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan dan dari kebinasaan yang cepat, dan dari keburukan pandang pada harta dan keluarga. “ Apabila Nabi pulang, selalu mengucapkan pada istri-istrinya, dan ditambah dengan doa, “(kami) orang yang kembali, tergolong orang yang bertobat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji.

(H.r. Muslim).


Karena soal berpergian sering disebut oleh kaum Sufi, maka kami secara khusus membuat bab dalam Risalah ini, mengingat masalah bepergian termasuk masalah besar bagi mereka tampaknya di antara kaum Sufi sendiri terjadi perbedaan. Ada di antara mereka yang memprioritaskan berdiam diri di rumah daripada berpergian, kecuali dengan suatu tujuan, seperti naik haji. Namun pada umumnya mereka lebih banyak diam di rumah, seperti al-junayd, Sahl bin Abdullah, Abu Yazid al-Busthamy, Abu Hafs dan yang lain. Tetapi juga ada yang lebih senang bepergian. Hai demikian dilakukan sampai akhir hayatnya, seperti Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin Adham dan yang lainnya. Rata-rata mereka berpergian pada awal masa mudanya, ketika menjalani perilaku ruhani, kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi pergi pada akhir perjalanan ruhaninya, seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail al-Hiry, Duiaf asy-Syibly dan yang lain. Masing-masing memiliki prinsip, dimana tharikatnya mereka bangun. Perlu diketahui, bahwa berpergian itu ada dua macamPertama, pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu: mendaki dari satu tangga sifat ke sifat lain.Banyak orang yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan sedikit sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata: “Ada seorang syeikh dari kalangan Sufi di sebuah desa di luar Naisabur. ia memiliki beberapa karya tulis. Suatu ketika beberapa orang bertanya padanya, ‘Apakah engkau berpergian, wahai syeikh?’ Syeikh itu menjawab, ‘Bepergian di bumi atau bepergian ke langit?’ Kalau bepergian di muka bumi, tidak. Tapi kalau berpergian ke langit, memang benar.”Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah, “Suatu hari, sebagian fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir itu berkata padaku,Aku telah menempuh perjalanan jauh yang meletihkan,” hanya untuk menemuimu.Aku menjawab, ’Sebenamya Anda cukup selangkah saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu sendiri’.”Kisah-kisah berpergian mereka bermacam-macam, baik dalam ragam maupun tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani berkata, Aku berada di tengah padang pasir dalam keadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan, sembari berdoa: Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang letih, padahal aku datang untuk. menjadi tamu-Mu.’ Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku, Siapa yang mengundang kamu.’ Aku berkata, Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana Thufaily. Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap, Hai orang ajam, mau kemana kamu! Kukatakan, Menuju ke Mekkah al-Mukarramah, semogaAllah swt menjaganya. Si Badui itu berujar, Apakah Allah mengundangmu? Aku menjawab, Aku tidak tahu. Selanjutnya orang itu berkata, bukankah Allah swt. berfirman: Bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baituliah? (Q.s. Ali Imran: 97).