Senin, 17 November 2014

ASBABUN NUZUL Surah Al-Baqarah (Surat 2) Ayat 44, 62, 76, 79 dan 80



Dinukilkan  dari Jalaluddin As-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul

Ayat 44, yaitu firman Allah ta’ala,

“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu mengerti?” (al-Baqarah: 44)

Sebab Turunnya Ayat

Al-Wahidi dan ats-Tsa’labi meriwayatkan dari jalur al-Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas dia berkata, “Ayat ini turun pada orang-orang Yahudi Madinah. Ketika itu salah seorang dari mereka berkata kepada keluarga menantu, para kerabat, dan orang-orang yang mempunyai hubungan sesusuan dengannya yang semuanya adalah muslim, ‘Tetaplah pada agama kalian dan pada apa yang diperintahkan oleh orang itu (Muhammad) karena apa yang diperintahkannya adalah benar.” Ketika itu orang-orang Yahudi memang terbiasa menganjurkan hal itu kepada orang-orang, namun mereka sendiri tidak melakukannya.

Ayat 62, yaitu firman Allah ta’ala,

“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin , siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah , hari kemudian dan beramal saleh , mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 62)

Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Abi Hatim dan al-Adni meriwayatkan di dalam musnadnya dari jalur Ibnu Abi Najih dari Mujahid dia berkata, “Salman berkata, ‘Saya bertanya kepada Nabi saw. tentang para penganut agama yang dulu satu agama dengan saya. Saya katakan kepada beliau juga tentang sembahyang dan ibadah mereka. Maka turunlah firman Allah,
‘Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi…’”

Al-Wahidi menafsirkan dari jalur Abdullah bin Katsir dari Mujahid, dia berkata, “Ketika Salman menceritakan kepada Rasulullah tentang kisah rekan-rekannya dulu, Rasulullah bersabda, “‘Mereka di dalam neraka.’ Salman berkata, “Maka bumi pun terasa gelap bagiku. Lalu turun firman Allah,
‘Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi…’, hingga firmannya, ‘…dan mereka tidak bersedih hati.’

Maka saya pun merasa lega, seakan-akan sebuah gunung telah disingkirkan dari atas tubuh saya.’”
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari as-Suddi, dia berkata, “Ayat ini turun pada rekan-rekan Salman al-Farisi (sebelum dia masuk Islam).”

Ayat 76, Yaitu firman Allah ta’ala,

“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata:” Kamipun telah beriman,” tetapi apabila mereka berada sesama mereka saja, lalu mereka berkata: “Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang mu’min) apa yang telah diterangkan Allah kepadamu, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkan hujjahmu di hadapan Tuhanmu. tidakkah kamu mengerti?”(al-Baqarah: 76)

Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata, “Ketika peperangan dengan Bani Quraizhah, Nabi saw. berdiri di bawah benteng mereka. Lalu beliau bersabda, ‘Wahai para saudara kera! Wahai para saudara babi! Wahai hamba-hamba taghut!’ Mereka pun berkata, “Siapakah yang memberi tahu hal itu kepada Muhammad? Hal itu pasti berasal dari kalian. Apakah kalian menceritakan kepada mereka tentang apa yang telah diterangkan Allah kepada kalian supaya mereka dapat mengalahkan hujah kalian di hadapan Tuhan?’” Maka turunlah ayat di atas.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Dulu orang-orang Yahudi, jika bertemu dengan orang-orang yang beriman mereka berkata, ‘Kami beriman bahwa teman kalian (Muhammad) adalah utusan Allah. Akan tetapi beliau diutus untuk kalian saja.’ Apabila hanya antar mereka bertemu, mereka pun berkata, “Apakah dia memberitahu orang-orang Arab dengan hal ini? Karena sesungguhnya kalian dulu minta bantuan kepadanya untuk mengalahkan mereka dan beliau dulu adalah bagian dari mereka.”

Lalu Allah menurunkan firman-Nya,
“Dan apabila mereka berjumpa…”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari As-Suddi, dia berkata, “Ayat di atas turun kepada beberapa orang Yahudi yang beriman, kemudian mereka menjadi munafik. Lalu mereka mendatangi orang-orang mukmin yang berasal dari kalangan Arab dan memberitahu mereka dengan hukuman yang pernah menimpa golongan mereka. Maka dengan kesal sebagian mereka (orang-orang Yahudi itu) berkata kepada sebagian yang lain, ‘Apakah kalian menceritakan kepada orang-orang mukmin tentang hukuman yang telah diterangkan Allah kepada kalian agar mereka berkata, ‘Kami lebih dicintai dan lebih mulia di sisi Allah daripada kalian?!’”

Ayat 79, yaitu firman Allah ta’ala

“Maka kecelakaan yAng besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 79)

Sebab Turunnya Ayat
An-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ayat ini turun kepada Ahli Kitab.”
Ibnu Abi Hatim dari jalur Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ayat ini turun kepada para pendeta Yahudi. Mereka menemukan ciri-ciri Nabi saw. termaktub di dalam Taurat, yaitu pelupuk di sekeliling matanya berwarna hitam, bertubuh sedang, berambut ikal, dan berwajah tampan. Lalu mereka menghapuskan keterangan tersebut karena kedengkian dan kezaliman mereka. Atau dengan berdusta mereka berkata, ‘Kami menemukan ciri-cirinya bertubuh tinggi, berkulit hijau, dan berambut lurus.’”

Ayat 80, yaitu firman Allah ta’ala,

“Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (al-Baqarah: 80)

Sebab Turunnya Ayat
Ath-Thabrani di dalam al-Mu’jamul Kabiir, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari jalur Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Abu Muhammad dari Ikrimah atau Sa’id ibnuz-Zubair dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ketika Rasulullah saw. datang ke Madinah, orang-orang Yahudi mempunyai pendapat bahwa usia dunia adalah tujuh ribu tahun. Juga pendapat bahwa sesungguhnya orang-orang disiksa di dalam neraka satu hari dalam setiap seribu tahun menurut hitungan hari di akhirat. Dan siksa itu hanya selama tujuh kali, kemudian akan berhenti. Maka Allah menurunkan firman-Nya,

‘Dan mereka berkata, “Neraka tidak akan menyentuh kami,…’ hingga firman-Nya, ‘…Mereka kekal di dalamnya.’”
(al-Baqarah: 80-81)

Ibnu Jarir meriwayatkan dari jalur adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang Yahudi berkata, “Kami tidak akan masuk neraka kecuali hanya memenuhi sumpah Allah. Kita hanya akan disiksa selama jumlah hari ketika kita menyembah patung lembu, yaitu selama empat puluh hari. Setelah itu siksa pun akan berhenti.” Maka turunlah ayat di atas.

Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari Ikrimah hadits yang berbeda.

TASAWWUF MODEN FASAL 4 : GOLONGAN KEDUA (DARI BAB 1 BERBAGAI PENDAPAT TENTANG BAHAGIA)



TULISAN PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

1. Leo Tolstoy.

Pujangga Russia yang masyhur itu (1828 - 1910), berpendapat bahawa yang menjadi sebab manusia putus asa di dalam mencari bahagia, ialah kerana bahagia itu diambilnya untuk dirinya sendiri, bukan untuk berrsama. Padahal segala bahagia yang diborong untuk sendiri itu tidak dapat tidak mesti mengganggu bahagia orang lain. Orang lain yang terganggu itu tidak pula mahu berpangku tangan jika ia tersinggung, dia akan mempertahankan diri. Oleh sebab itu bukan lagi "menuntut bahagia" memberi keuntungan, tetapi memberi kerugian bersama. Sebab itu pula nyatalah bahawa bahagia yang dituntut mestinya bukan buat diri sendiri, tetapi buat bersama, buat masyarakat, kerana "Tangan Allah adalah atas Jamaah". Dari sebab bahagia dicari untuk bersama, dan segala manusia rindu mencapainya, di sini timbullah persatuan keperluan dan persatuan keinginan, timbullah kecintaan di antara bersama dan kehendak bertolong-tolongan.

Maka bahagia raya itu tidaklah akan didapat di dalam hidup yang gelap, melainkan pada kehidupan yang penuh nur, penuh cahaya gemiang. Hidup bercahaya dan berseri ialah hidup yang sudi mengorbankan kesenangan dan kebahagian diri sendiri untuk kesenangan dan kebahagiaan bersama, untuk menghilangkan segala permusuhan dan kebencian yang melekat di dalam jantung anak Adam yang terbit lantaran hawa nafsu dan syahwat, yang semuanya itu penuh dengan lakon kesedihan dan sandiwara yang menyeramkan.

Hidup yang gilang gemilang itu ialah berkorban.

2. Bertrand Russel.

Filosof Inggeris pun sependirian dengan Tolstoy dalam hal ini.

3. George Bernard Sahw.

Bintang falsafah dari Irlandia itu, dalam karangannya sandiwaanya "Manusia Yang Maju", menghilangkan keraguan yang bersarang di hati manusia lantaran pengaruh pendapat Ibsen di atas tadi.

Kata beliau:

Jadi manusia tidak kuat mencari jalan menuju bahagia, atau tak kuat menyingkir dari jalan sengsara dan celaka, sekali-kali jangan ia putus asa. Ia mesti berpegang teguh dengan keberanian, ia mesti kuat. Tak boleh menyerahkan diri kepada sengasaranya dan tidak beruntungnya. Ia mesti tahu bahawa dahulu dari kita sudah berpuluh-puluh keturunan anak manusia yang menjadi korban. Ada yang sesat dan telah jatuh. Kita yang datang di belakang mendapat pengajaran baru daripada kejatuhan mereka. Kita mesti memilih jalan lain, jangan jalan yang telah ditempuh orang-orang yang telah tersasar.

Yang menyebabkan manusia tidak mendapat bahagia - kata Shaw pula - kerana banyaknya salah manusia, keriaannya, bersungguh-sungguh untuk keuntungan seorang, tidak memperdulikan seruan kehidupan sejati, iaitu kehidupan di dalam budi mulia, tidak mengakui kerugian yang didapatnya lataran kesalahan perbuatannya.

Ada orang yang menyatakan bahawa kesalahan manusia kerana tidak mempergunakan akalnya, tetapi dipergunakannya bukan untuk kesejahteraan isi dunia, tetapi untuk kerosakan dan untuk menghabiskan nyawa. Jadi kemajuan manusia pada masa ini bukan dalam budi pekerti tapi daam dunia amuk dan merosak-binasakan. Tidak seorang pun yang ingat hendak mencari ubat, bahkan semuanya lupa kesanggupan nenek moyangnya sejak beribu-ribu tahun yang lampau. Apa yang diminum dan apa yang dimakan nenek moyangnya dahulu, itu juga yang diminum dan dimakannya sekarang ini. Kalau dia maju ke medan perang untuk melawan musuhnya, tidak ada orang lain yang boleh mencontoh bagaimana kejempolannya (kebolehannya) membinasakan jiwa temannya dan merosakkan tempat tinggal sesama manusia.

Inilah penyakit masyarakat yang menyebabkan manusia terhindar dari bahagia menurut Shaw. Meskipun sedemikian rosak, Shaw tidak berputus asa untuk memperbaiki perikemanusiaan dan untuk mencapai bahagia, ia suruh manusia berani dan teguh hati. Segala merosakan dan keonaran (huru hara) yang terjadi dahulu, sekarang dan nanti, akan menjadi pengajaran bagi perikemanusiaan seluruhnya. Itulah agaknya yang menjadi sebab maka Shaw berkata bahawa dalam abad XX ini juga seluruh dunia akan menaruh perhatian besar kepada agama Islam!

TASAWWUF MODEN FASAL 3 : PENDAPAT AHLI-AHLI FIKIR ZAMAN SEKARANG (DARI BAB1 BERBAGAI PENDAPAT TENTANG BAHAGIA)



TULISAN PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Ahli-ahli fikir zaman kini ada yang putus asa, yang kecewa dan ada yang merasa sukar sekali mencari bahagia itu.

Hendrik Ibsen, ahli fikir bangsa Norwegia (1828 -1906) berpendapat bahawa mencari bahagia itu hanya menghabiskan umur saja, kerana jalan untuk menempuhnya sangat tertutup, setiap ikhtiar untuk melangkah ke sana sentiasa tertarung. Kerana mula-mula orang yang menujunya menyangka bahawa perjalanan telah dekat, padahal dekat kepada jurang tempat jatuh.

Beliau berkata: "Kita belum mencapai bahagia, sebab tiap-tiap jalan yang ditempuh menjauhkan kita daripadanya".

Cuba pembaca fikir, kenapa filosof ini berpendapat demiian? Berapa banyaknya kita lihat di dalam hidup ini manusia berikhtiar mencari bahagia dengan bermacam-macam jalan, tetapi boleh dikatakan tiap-tiap menempuh itu terjatuh di tengah jalan? Ada pahlawan, yang mula-mula menyangka bahawa bahagia akan tercapai olehnya dengan jalan membela tanah airnya. Tiba-tiba setelah tercapai olehnya kebahagiaan tanah air itu, setelah ia beroleh kemenangan, lupalah ia kepada bahagia yang ditujunya, ia mencuba pula hendak merosakkan tanah air orang lain.

Ketika miskin orang bercita-cita menjadi kaya, kerana bila harta telah cukup bahagia akan tercapai, sebab dapat membantu sesama hamba Alah. Tetapi setelah kaya dia menjadi sombong harta bendanya dinikmati sendiri dan dia menjadi kikir.

Sebelum menjadi presiden atau menteri, atau anggota parlimen, ia berjanji di hadapan rakyat akan menentang segala sifat yang zalim dan aniaya. Tetapi setelah kerusi diperolehinya, berkisarlah kezaliman menteri yang hilang kepada menteri yang baru. Demikianlah antara lain contoh-contohnya.

Itulah sebab filosof Hendrik Ibsen berkata bahawa mencari bahagia itu membuang-buang masa saja. Tetapi sikap yang beliau ambil itu adalah sikap putus asa.

Thomas Hardy pun segolongan dengan Hendrik Ibsen sama-sama putus asa di dalam mendaki, memanjat dengan bermacam-macam ikhtiar untuk mencapai bahagia, bahagia itu tidak dapat juga.

TASAWWUF MODEN FASAL 3: PENDAPAT ARISTOTLES (DARI BAB 1 BERBAGAI PENDAPAT TENTANG BAHAGIA)



TULISAN PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Aristotles berpendapat bahawa: "Bahagia bukanlah suatu perolehan untuk manusia, tetapi corak bahagia itu berbeza-beza dan beragam menurut corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak oleh orang lain. Sebab itu menurut undang-undang Aristotles - Bahagia itu ialah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing.

Beliau berpendapat bahawa bahagia itu bukan mempunyai erti dan satu kejadian, melainkan berlainan coraknya menurut tujuan masing-masing manusia. Adapun yang berdiri dengan sendirinya, dan tujuan setiap manusia yang hidup ialah: Kebaikan umum. Bahagia itu ialah tujuan tiap-tiap diri. Kelak setelah tiap-tiap diri beroleh bahagia yang dicarinya, barulah kemanusiaan umum itu melangkah menuju kebaikan untuk bersama.

Kata Aristotles lagi:"Kebaikan umum itu ialah suatu perkara, yang bila tercapai, kita tidak berkehendak lagi kepada yang lain. Tetapi bahagia ialah anugerah Allah kepada tiap-tiap diri yang dipilihNya, yang boleh jadi orang lain tidak merasainya, meskipun yang beroleh bahagia dengan yang tidak beroleh itu berkumpul setiap hari".

TASAWWUF MODEN FASAL 2: PENDAPAT ORANG BUDIMAN TENTANG BAHAGIA (DARI BAB1 BERBAGAI PENDAPAT TENTANG BAHAGIA)



TULISAN PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA)

Ditanyakan orang kepada Yahya bin Khalid Al Barmaky, seorang Wazir yang masyhur di dalam Daulat Bani Abbas. "Apakah bahagia itu, Tuanku?"

Jawabnya:

"Sentosa perangai, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud".

Kebahagiaan itu pernah dinyanyikan oleh seorang ahli syair bernama Hutai'ah, demikian:

Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpul harta benda.

Tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia.

Taqwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan.

Pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang taqwa.

Ahli syair yang lain, yang amat masyhur dalam perkembangan agama Islam, iaitu Zaid bin Tsabit, ahli syair Rasulullah s.s.w. berkata:

"Jika petang dan pagi seorang manusia telah beroleh aman sentosa dari gangguan masusia, itulah dia orang yang bahagia".

Orang yang berpegang teguh dengan agama, kebahagiaannya ialah pada meninggalkan barang yang terlarang, mengikut yang tersuruh, menjauhi yang jahat, mendekati yang baik. Bahagianya ialah pada mengerjakan agama.

Ibnu Khaldun berpendapat:

"Bahagia itu ialah tunduk dan patuh mengikut garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan".

Abu Bakar Ar Razi tabib Arab yang masyhur itu menerangkan bahawa"

"Bahagia yang dirasa oleh seorang tabib, ialah jika ia dapat menyembuhkan orang yang sakit dengan tidak mempergunakan ubat, cukup dengan mempergunakan aturan makanan saja".

Imam Al Ghazali, orang tua dan kiblat segala tabib jiwa berpendapat bahawa:

"Bahagia dan kelazatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah".

Kata beliau seterusnya:

"Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah kita rasai nikmat kesenangan dan kelazatan, dan kelazatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing, maka kelazatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain di tubuh manusia. Adapun kelazatan hati ialah teguh makrifat kepada Allah, kerana hati itu dijadikan buat mengingat Tuhan. Tiap-tiap barang yang dahulunya tiada dikenal oleh manusia, bukan buatan gembiranya jika telah dikenalnya. Tak ubahnya dengan orang yang baru pandai bermain catur, dia tidak berhenti-henti bermain, meskipun telah dilarang berkali-kali, tidak sabar hatinya kalau tidak bertemu dengan buah dam papan catur. Demikian pulalah hati yang dihulunya belum ada makrifatnya, kepada Tuhan, kemudian mendapat nikmat mengenalNya, sangatlah gembira dan tidak sabar dia menunggu masa akan bertemu dengan Tuhan itu, kerana kelazatan mata memandang yang indah tadi. Tiap bertambah besar makrifat, bertambah besar pula kelazatan".

Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir, kegembiraan itu naik berlipat ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat diperkirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah. Bukankah segala kemuliaan alam itu hanya sebahagian dari anugerah Allah? Bukankah segala macam keganjilan dalam alam itu hanya sebahagian yang sangat kecil dari keganjilan Maha Kuasa Allah?

Oleh sebab itu tidaklah ada satu makrifat yang lebih lazat daripada makrifatullah. Tidak ada pula suatu pandangan yang lebih indah dari pandangan Allah. Sebab segala kelazatan dan kegembiraan, kesenangan dan sukacita yang ada di atas dunia ini, semuanya hanya bertakluk kepada sebab pertimbangan nafsu, dan semuanya akan berhenti perjalanannya apabila telah sampai ke batas, iaitu kematian. Tetapi kelaatan makrifatullah bukan bertakluk dengan nafsu, dia bertakluk dengan hati. Maka perasaan hati tidak berhenti sehingga mati. Hati nurani itu tidak rosak lantaran perpindahan hidup dari fana kepada baka. Bahkan bila tubuh kasar ini mati, bertambah bersihlah makrifat itu, kerana tidak ada pengganggunya lagi, sebab kekuasaan iblis, hawa dan nafsu tidak sampai ke sana. Hati nurani itu telah keluar dari alam yang sempit, masuk ke daerah alam yang luas, keluar dari gelap gelita menuju terang benderang.

Kata Imam Al ghazali di bahagian yang lain:

"Kesempurnaan bahagia itu bergantung kepada tiga kekuatan:

a. Kekuatan marah.

b. Kekuatan syahwat.

c. Kekuatan ilmu."

Maka sangatlah perlunya manusia berjalan di tengah-tengah di antara tiga kekuatan itu. Jangan berlebih-lebihan menurutkan kekuatan marah, yang menyebabkan mempermudahkan yang sukar dan membawanya kepada binasa. Jangan pula berlebih-lebihan pada kekuatan syahwat sehingga menjadi seorang yang humuq (pandir), yang membawa kerosakkan pula. Maka jika kekuatan syahwat dan marah itu ditimbang baik-baikdan diletakkan di tengah-tengah, luruslah perjalanannya menuju petunjuk Tuhan. demikianlah pula hal marah. Kalau kemarahan itu berlebihan dari yang mesti, kejadian memukul dan mebunuh. Tetapi kalau dia kurang pula daripada yang mestinya, hilanglah diri dari perasaan cemburu (ghairah) dan hilang pula perasaan bertanggungjawab atas agama dan keperluan hidup atas dunia. Tapi kalau marah terletak di tengah-tengah, timbullah kesaaran, keberanian dalam perkara yang memerlukan keberanian, dan segala pekerjaan dapatlah dikerjakan menurut nikmat.

Demikian pula halnya dengan syahwat. Kalau syahwat itu bertambah-tambah, terjadilah fasiq (melanggar perintah Tuhan), onar (huru hara). Kalau syahwat kurang teguh, trejadilah kelemahan hati dan pemalas. Kalau syahwat berjalan di tengah-tengah, timbullah 'Iffah ertinya dapat memerintah diri sendiri dan Qanaah, yakni cukup dengan apa yang ada serta tidak berhenti berusaha.

Kata belau pula:

Di dalam batin engkau ada terkumpul beberapa sifat yang ganjil, sifat kebinatangan, sifat keganasan dan sifat malaikat. Tetapi dirimu yang sejati ialah nyawamu, rohmu. Hendaklah engkau tahu bahawa sifat-sifat yang tersebut tadi bukan kejadian yang asli dari jiwamu, ida hanya sifat-sifat yang mendatang kemudian. Sebab itu hendaklah engkau perhatikan baik-baik dan ketahui pula makanan apakah yang setuju dengan sifat-sifat tadi, untuk pencapai bahagia.

Kebahagiaan sifat kebinatangan ialah makan, minum, tidur dan sebagainya. Kalau engkau dimasuki oleh kebinatangan itu lebih daripada ukuran yang mesti, tentu engkau hanya bersungguh-sungguh memikirkan makan dan minum saja.

Kesenangan dan kebahagiaan sifat ganas ialah memukul dan merosak. Kesenangan dan kebahagiaan syaitan ialah mempedayakan kamu dan menjerumuskan serta menghela. Kalau sifat syaitan itu ada pada engkau, engkau akan memperdayakan orang, menjerumuskan orang kepada kesesatan, menghelah-helah, memutar-mutar duduk perkara, sebab dengan demikianlah tercapai kebahagiaan dan kesenangan syaitan.

Adapun kesenangan dan kebahagiaan sifat malaikat ialah menyaksikan keindahan Hadrat Rubbiyah, keindahan Hikmat Ilahiyah. Marah dan syahwat tidak terpengaruh atas orang yang bersifat begini. Kalau engkau mempunyai sifat dari jauhar asal kejadianmu, sehingga akhirnya engkau tahu, jalan manakah yang harus ditempuh untuk mencari Hadrat Rubbiyah itu, sampai akhirnya engkau beroleh bahagia yang mulia dan tinggi, iaitu musyahadah, menyaksikan keindahan dan ketinggian Maha Tuhan, terlepas dirimu dari ikatan syahwat dan marah. Di sanalah engkau akan mengetahui bahawa syahwat dan kemarahan itu dijadikan Allah atas dirimu, bukan supaya engkau terperosok dan tertawan, tetapi supaya engkau dapat menawannya. Dapatlah keduanya engkau pergunakan jadi perkakas untuk mencapai maksudmu menuju jalan makrifat tadi, yang satu engkau jadikan kenderaan yang lain engkau jadikan senjata, sehingga mudahlah engkau mencapai keberuntungan, bahagia dan kesenangan.

Kalau engkau lihat salah satu anggota kerajaan hati itu melanggar undang-undang hidup, iatu salah satu dari syahwat dan marah, hendalah engkau lawan sepenuh tenaga. Jika dia kalah sekali-kali jangan dibunuh, kerana kerajaan hati tidak akan sentosa kalau keduanya tidak ada lagi. Kalau engkau jalankan resep demikian, tentu akan memperolehi bahagia. Dapat engkau memegang dan mempergunakan nikmat Allah menurut yang semestinya. Tentu pada suatu peringatan kehormatan yang tinggi daripadaNya. Kalau engkau langgar petaruh ini, tentu engau celaka, engkau dapat seksa yang bukan seperti, yang membuat engkau menyesal.

Sekianlah keterangan Imam Al Ghazali.

Dari keterangan beliau itu, maklumlah kita pendirian Imam Al Ghazali, bahawa kebahagiaan itu ialah pada kemenangan memerangi nafsu dan menahan kehendaknya yang berlebih-lebihan. Itulah yang bernama peperangan besar, lebih besar dari peperangan Badar yang paling besar. Tidak ragu lagi, bahawa orng yang menang dalam peperangan yang demikian, lebih daripada segala kemenangan. Tetapi Nabi kita bersabda, bahawa kembalinya dari perang Badar itu ialah kembali dari perang yang skecil-kecilnya, menempuh perang yang sebesar-besarnya, iaitu perang dengan nafsu.

Maka kemenangan di dalam peperangan dengan nafsu ini ialah induk dari segala kemenangan. Kerana orang yang berperang ke medan perang itu sendiri, ada juga yang mencari nama dan kemegahan. Pada lahir trenama, pada batin amalnya belum tentu diterima Tuhan. Sedang orang yang berperang dengan nafsu itu, kerapkali tidak dilihat manusia kemenangan itu lahirnya, tetapi tertulis dengan jelas di sisi Tuhan