Selasa, 28 Agustus 2012

RAHSIA HATI KITA : HATI YANG SELAMAT..........MENYELAMATKAN KITA DI AKHIRAT

Allah ‎ta’ala telah berfirman,
“Yaitu hari yang harta dan anak-anak tidak akan memberi manfaat, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat”(Asy Syu’ara : 88-89)
Sesungguhnya kehidupan yang haqiqi adalah kehidupan yang dirasakan oleh hati seorang hamba, yaitu hati yang senantiasa memenuhi seruan Rabbul ‘Alaamin dan hati yang tunduk dan taat kepada-Nya.

Allah ta’ala berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasulullah, ketika menyeru kalian kepada apa yang dapat memberikan kehidupan bagi kalian, dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan (Al Anfaal : 24)

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang haqiqi, yang akan memberikan manfaat kepada manusia hanyalah kehidupan yang meng-‘ijabah’-i panggilan Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang hatinya tidak memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kehidupan baginya, meskipun dia hidup namun dengan kehidupan yang serupa dengan hidupnya binatang ” (Lihat Al Fawaid, Tahqiq Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilaly, cetakan Maktabah Ar Rusyd, hal 140)

Oleh karenanya Allah ta’ala tatkala mensifati orang-orang kafir, Allah misalkan mereka bagaikan binatang ternak, atau bahkan mereka lebih sesat dari binatang ternak. 

Allah ta’ala berfirman :
“Mereka (orang-orang kafir) adalah bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat (dari binatang)” (Al A’raaf : 179)

Allah ‎ta’ala telah berfirman,
 “Yaitu hari yang harta dan anak-anak tidak akan memberi manfaat, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat”(Asy Syu’ara : 88-89)
Hari kiamat adalah hari yang tidak ada akan bermanfaat harta benda  dan anak-anak. Harta manusia tidak akan bisa melindungi pemiliknya dari jilatan adzab Allah, meskipun dia mendatangkan harta berupa emas sepenuh bumi, meskipun dia berlindung kepada seluruh penduduk bumi.

Pada hari tersebut tidaklah bermanfaat seluruh materi dan perbendaharaan dunia. Sesuatu yang dapat memberikan manfaat hanyalah hati yang beriman kepada Allah, hati yang memurnikan agama kepada-Nya, dan hati yang terbebas dari kesyirikan.

Ibnu ‘Abbas rahimahullahu mengatakan,
“Hati yang selamat adalah hati yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah ta’ala semata” (Lihat Tafir Ibnu Katsir  surat Asy Syu’ara : 88-89)

Muhammad bin Sirrin rahimahullahu mengatakan, “Hati yang selamat adalah hati yang mengetahui bahwa Allah adalah haq (benar), mengetahui bahwa kiamat kelak akan datang, tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya dan hati yang meyakini bahwa Allah akan membangkitkan manusia setelah kematian” (Lihat Tafir Ibnu Katsir untuk surat Asy Syu’ara : 88-89)

Abu Utsman An Naisabury rahimahullahu mengatakan, “Hati yang selamat adalah hati yang terbebas dari kebid’ahan dan hati yang tentram di atas sunnah.”(Lihat Tafir Ibnu Katsir untuk surat Asy Syu’ara : 88-89)

RAHSIA HATI KITA : PERBAIKI HATI KITA DULU...................

‘Barang siapa yang memperbaiki apa yang tersembunyi dalam hatinya, maka Allah akan memperbaiki apa yang nampak dari dirinya, dan barang siapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan para manusia’” (dari Kitab Mukhtashor Al Iman Al Kabir, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, Maktabah Darul Minhaj halaman 31)

Sah dan tidaknya amalan dhahir seorang hamba, adalah ditentukan dengan benar atau tidaknya apa yang tersembunyi di dalam hati orang tersebut.

Allah ta’ala berfirman (ertinya) :
“Maka apakah orang-orang yang membangun bangunan (masjid) atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya adalah lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh , lalu (bangunan) tersebut roboh bersama dia ke dalam neraka jahannam.”(At Taubah :109)

Syaikh As Sa’diy rahimahullahu menjelaskan dalam tafsirnya tatkala menafsirkan ayat tersebut, “Maksud dari membangun bangunan (amal ibadah) atas dasar taqwa adalah ‘atas dasar niat yang sholeh dan keikhlasan kepada Allah’. 

Dan beliau rahimahullah juga mengatakan : “Sesungguhnya iman (yang ada di dalam hati) merupakan syarat sah dan diterimannya amal sholeh. Dan tidaklah sebuah amal dikatakan sebagai amal yang sholeh melainkan didasari dengan iman.” Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya. Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangunan dan pondasinya adalah iman
Kemudian beliau melanjutkan: “Adapun fundasi tersebut mencakup dua perkara : Pertama adalah pengenalan yang baik seorang hamba kepada Allah ‘Azza wa Jalla, seluruh perintah-Nya, nama dan kepada sifat-sifat-Nya yang mulia, dan yang kedua adalah ketundukan yang sempurna kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Oleh karena itu hendaklah seorang muslim perhatian terhadap apa yang ada di dalam hatinya, berusaha memperbaiki keimanannya dan apa yang diyakini oleh hatinya dan berusaha meninggalkan berbagai bentuk keraguan yang dapat mengurangi dan membatalkan keimannya.
Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullahu berkata, “Ulama-ulama terdahulu biasa saling mengirim nasehat satu dengan yang lainnya, ‘Barang siapa yang memperbaiki apa yang tersembunyi dalam hatinya, maka Allah akan memperbaiki apa yang nampak dari dirinya, dan barang siapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan para manusia’” Tidaklah Allah melihat kedudukan seorang hamba, melainkan apa yang tertanam dalam hati dan buah yang muncul dari hati tersebut.

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada bentuk jasad dan wajah-wajah kalian, akan tetapi Dia akan melihat pada hati kalian, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dada beliau” (Hadits riwayat Muslim)

RAHSIA HATI KITA : ORANG-ORANG YANG MENOLAK KEBENARAN HATINYA BAGAIKAN KERAS SEPERTI BATU

Allah ta’ala berfirman, mengkhabarkan tentang keadaan orang-orang kafir (ertinya) :

“Bukankah mereka berjalan di atas muka bumi, lalu (bukankah) mereka pun memiliki hati yang mereka bisa berpikir dengannya, atau memiliki telinga yang mereka bisa mendengar dengannya. Maka sesungguhnya bukanlah mata mereka yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada” (Al-Hajj : 46)

“Dan sungguh Kami telah jadikan banyak dari penghuni neraka Jahanam dari kalangan jin dan manusia, mereka memiliki hati, akan tetapi tidak digunakan untuk memahami, dan mereka memiliki mata, akan tetapi tidak digunakan untuk melihat, dan mereka pun memiliki telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar, mereka bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat, mereka lah orang-orang yang lalai” ( Al A’raaf : 179 )

“Kemudian setelah itu, hati kalian mengeras bagaikan kerasnya batu, bahkan lebih keras lagi (dari batu)”(Al Baqarah : 74)

Berkaitan dengan surat Al Baqarah ayat 74, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, Al ‘Aufi dalam kitab tafsirnya menjelaskan, tatkala ada seorang yang terbunuh di kalangan Bani Israil, para manusia berselisih tentang siapakah pembunuh orang tersebut. Kemudian Allah ta’ala perintahkan kepada Bani Isra’il untuk menyembelih seekor sapi betina. Kemudian Allah ta’ala perintahkan untuk memukulkan salah satu bagian dari tubuh sapi betina tersebut ke badan mayat. Maka tatkala mayat tersebut dipukul dengan salah satu anggota badan sapi betina, seketika itu mayat tersebut hidup kembali. Lalu ditanyakan kepadanya : “Siapakah yang membunuh dirimu?” Lantas orang tersebut menjlaskan, “yang membunuh diriku adalah anak-anak saudaraku”, kemudian orang tersebut mati kembali.

Akan tetapi orang-orang yang tertuduh tadi mengatakan, “Demi Allah, kami tidaklah membunuhnya”. Maka dengan perkataan mereka ini, mereka telah mendustakan kebenaran setelah mereka menyaksikan kebenaran tersebut.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir untuk Surat Al Baqarah ayat 74, Asy Syamilah)

Maka seiring berjalannya waktu, hati orang-orang Bani Isra’il menjadi semakin mengeras dan mereka semakin enggan menerima pelajaran dan nasehat, walaupun mereka telah menyaksikan kebenaran pada ayat-ayat Allah dan mukjizat-mukjizat-Nya. Hati mereka sebagaimana yang Allah ta’ala firmankan, mengeras sebagaimana kerasnya batu, atau bahkan lebih keras lagi dari batu, tidak dapat dilembutkan.
Sesungguhnya di antara celah bebatuan masih bisa mengalirkan mata air yang mengaliri sungai-sungai. Di antara bebatuan, ada juga yang terbelah sehingga keluar darinya air, meskipun air tersebut tidak mengalir. Ada pula bebatuan yang meluncur jatuh dari puncak gunung, dikarenakan takut kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, sebagaimana Allah ta’ala firmankan :

“Langit yang tujuh, begitu pula bumi, dan seluruh yang ada di dalamnya, seluruhnya bertasbih (mensucikan) Allah ta’ala, dan tidaklah ada sesuatu pun melainkan seluruhnya bertasbih memuji-Nya, akan tetapi kalian tidak mengerti (bagaimana) tasbih-tasbih mereka. Sesungguhnya Dia-lah Dzat yang Maha Penyantun dan Maha Pengampun (Al Israa’ : 44) (Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Al Baqarah ayat 74)

Demikianlah keadaan orang-orang Bani Isra’il, orang Yahudi, orang Nashrani serta orang-orang musyrik dan orang sesat lainnya. Hati mereka telah mati, mengeras dan membatu. Bahkan kerasnya bebatuan pun tidak sanggup menandingi kerasnya hati mereka. Bebatuan masih bisa merasa takut kepada Allah dan masih bisa mengalirkan air dari sela-sela dirinya. Adapun hati orang-orang yang menyimpang, sama sekali mereka tidak merasa takut kepada Allah subhaanahu wa ta’ala.

Penyebabnya adalah karena mereka berpaling dari kebenaran, setelah mereka mengetahui kebenaran tersebut. Sebagaimana Allah ta’ala firmankan :
“Tatkala mereka menyimpang (dari kebenaran), maka sekalian Allah akan simpangkan hati mereka, dan Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (As Shaf : 5)

Syaikh As Sa’diy rahimahullahu mengatakan, “Salah satu puncak kelancangan dan kesesatan adalah tatkala seorang manusia mengetahui kebenaran, lantas meninggalkannya. Mereka berpaling dari kebenaran dengan maksud dan keinginan mereka. Maka Allah ta’ala akan semakin memalingkan hati mereka dari kebenaran, sebagai hukuman bagi mereka, atas kesesatan yang mereka pilih. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka, karena mereka tidaklah pantas untuk menerima kebaikan, tidak pantas bagi mereka melainkan kebinasaan. (Taisir Karimirrahman, Cetakan Maktabah Ar Rusyd, halaman 758)

Maka berpaling dari kebenaran, berpaling dari Al Quran dan As Sunnah merupakan sebab yang paling utama yang membuat hati manusia mengeras dan membatu. Sebagaimana hal ini menimpa Bani Isra’il dan yang semisalnya.

Berpaling dari kebenaran, inilah ciri khas yang dimiliki oleh para ahli bid’ah. Ahli bid’ah, mereka enggan untuk menerima kebenaran, meskipun telah nampak jelas kebenaran tersebut datang dari Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah perbedaan yang sangat mencolok antara ahlus sunnah wal jama’ah dengan ahli bid’ah.

Ahli sunnah bukanlah seluruhnya orang-orang yang selalu benar dan terlindung dari kesalahan, ahlus sunnah bukanlah seluruhnya orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Akan tetapi ahlu sunnah, merekalah ahlul ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu orang-orang yang senantiasa berusaha mengikuti kebenaran dan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah.

HIKAM ATAHILLAH NO 7 SYARAH TO' FAKIR : PENGERTIAN JANJI ALLAH SWT


VERSI TOK FAKIR

Dalam Kalam Hikmah ke 7 Imam Ibnu Atai’illah Askandary  menyatakan 

JANGAN SAMPAI MERAGUKAN KAMU TERHADAP JANJI  ALLAH  KERANA TIDAK TERLAKSANA APA YANG TELAH DIJANJIKAN, MESKIPUN TELAH TERTENTU (TIBA)   MASANYA, SUPAYA KERAGUAN ITU TIDAK MEROSAKKAN MATA HATI KAMU DAN TIDAK MEMADAMKAN CAHAYA SIR (RAHSIA ATAU BATIN) KAMU.


Doa dan janji Allah s.w.t berkait rapat. Allah s.w.t menjanjikan untuk menerima semua doa. Hamba sudah sangat kuat dan kerap berdoa. Hamba mendoakan agar diselamatkan daripada sesuatu musibah. Masa musibah itu sampai sudah tiba tetapi keselamatan daripadanya tidak tiba. Timbul keraguan dalam hati hamba itu tentang janji-janji Allah s.w.t.
Sebahagian orang beriman diuji dengan penerimaan atau penolakan doa dan sebahagian yang lain diuji dengan tertunai atau tertahan janji Allah s.w.t. Janji Allah s.w.t ada dalam bentuk umum dan ada dalam bentuk khusus. Janji umum banyak terdapat di dalam al-Quran seperti janji syurga terhadap orang yang berbuat kebajikan, janji neraka terhadap orang yang derhaka, janji ketinggian darjat bagi orang yang berjihad pada jalan Allah s.w.t, janji kekuasaan di atas muka bumi terhadap orang yang beriman dan beramal salih dan lain-lain lagi. Di dalam surah an-Nisaa’ ayat 95 Allah s.w.t  menjanjikan ganjaran yang besar kepada orang yang berjihad pada jalan-Nya. Dalam surah an-Nur ayat 55 Allah s.w.t menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal salih bahawa mereka akan dijadikan khalifah di bumi, Dia akan teguhkan agama mereka dan Dia akan hilangkan ketakutan mereka.

 Banyak lagi janji Allah s.w.t yang boleh ditemui di dalam al-Quran. Janji-janji Allah s.w.t secara umumnya berkaitan dengan amal, sesuai dengan sunnatullah yang menguasai perjalanan kehidupan. Ada juga janji secara khusus kepada orang-orang tertentu, misalnya melalui mimpi atau suara ghaib. Orang yang beriman dengan Allah s.w.t percaya kepada janji-janji-Nya. Janji Allah s.w.t menjadi pendorong kepada mereka untuk bekerja kuat, beramal salih dan berjihad pada jalan-Nya. Allah s.w.t tidak sekali-kali akan memungkiri janji-janji-Nya. Di dalam golongan yang percaya kepada janji-janji Allah s.w.t itu ada sebilangan yang berpenyakit seperti yang dihidapi oleh sebilangan orang yang berdoa kepada Allah s.w.t. Orang yang berdoa membuat tuntutan dengan doanya dan orang yang percaya kepada janji Allah s.w.t membuat tuntutan dengan amalnya, kerana Allah s.w.t berjanji memberinya sesuatu menurut amalannya.

 Hikmat ketujuh mengaitkan janji Allah s.w.t  dengan mata hati dan Nur Sir (Rahsia atau batin). Persoalan mata hati telah disentuh pada Hikmat ke lima. Penyingkapan rahsia mata hati menemukan kita dengan persoalan diri zahir, diri batin dan seterusnya kepada persoalan roh. Suluhan mata hati membawa kepada pengenalan terhadap Alam Barzakh dan keabadian. Mata hati yang kuat tidak berhenti setakat Alam Barzakh, malah ia menghala kepada peringkat alam yang lebih tinggi yang dinamakan Alam Malakut Atas. Pandangan mata hati seterusnya sampai kepada kulit alam yang dinamakan Arasy Yang Meliputi. Semua makhluk Allah s.w.t menghuni ruang yang di dalam atau dibatasi oleh kulit atau kerangka alam, iaitu Arasy. Tidak ada mahluk yang wujud di luar dari kulit alam. Walaupun kulit alam merupakan kejadian Tuhan yang paling luar namun, mata hati tidak berhenti setakat itu. Mata hati terus meneroka ‘di luar’ dari kulit alam, yang dipanggil Wujud ketuhanan. Di sini timbul persoalan berat dan rumit untuk dihuraikan. Semua kejadian berada di dalam kulit alam. Kulit alam adalah yang terakhir. Apabila sampai kepada kulit alam tidak boleh lagi dikatakan wujud alam ketuhanan di luar, selepas, di sebalik dan istilah-istilah lain, kerana tidak ada apa-apa lagi. Kewujudan ketuhanan bukanlah satu jenis alam lain. Tidak boleh dikatakan wujud alam ketuhanan selepas alam kita ini. Allah s.w.t Berdiri Dengan Sendiri, tidak menempati ruang. Jika demikian persoalannya bagaimanakah yang dikatakan ketuhanan sedangkan kita sudah menjelajah ke seluruh alam maya namun, Allah s.w.t tidak juga ditemui?

 Antara alam yang sementara dengan alam abadi terdapat Alam Barzakh. Barzakh adalah sempadan. Barzakh itulah yang menghubungkan dua keadaan yang berbeza. Misalnya, barzakh bagi laut dan sungai ialah kuala. Air laut adalah masin dan air sungai adalah tawar. Air pada barzakh keduanya iaitu kuala adalah sebatian masin dengan tawar yang dinamakan payau. Payau bukan masin dan bukan lain daripada masin. Payau juga bukan tawar dan bukan lain daripada tawar. Kuala bukan laut dan bukan sungai dan bukan juga lain daripada laut dan sungai. Jika mahu lihat laut dan sungai dengan sekali pandang atau sebagai satu kewujudan maka lihatlah kepada kuala. Jika mahu merasai masin dan tawar sekaligus maka rasailah air payau.

 Jika terdapat barzakh di antara makhluk dengan makhluk, terdapat juga barzakh di antara Tuhan dengan makhluk. Barzakh inilah yang menjadi penghubung di antara Tuhan dengan hamba. Tanpa barzakh ini tidak mungkin berlaku kewujudan makhluk yang diciptakan Tuhan kerana tidak ada talian atau jambatan yang menghubung. Barzakh di antara Allah s.w.t dengan hamba itu dinamakan Sir atau Rahsia, iaitu Rahsia Allah s.w.t, yang hanya Allah s.w.t yang mengetahui hakikatnya yang sebenar. Rahsia inilah yang memungkinkan ada hubungan di antara Pencipta dengan yang di cipta. Sir atau Rahsia itu memancarkan nurnya kepada mata hati. Mata hati yang bersuluhkan  Nur Sir (rahsia ketuhanan) akan mendapat pengenalan tentang Sir dan mengalami suasana tauhid  peringkat yang tertinggi. Apabila hakikat Sir ditemui nyatalah firman Allah s.w.t:


Dan Kami adalah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, - ( Ayat 16 : Surah Qaaf )
Dan Ia tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada. ( Ayat 4 : Surah al-Hadiid )
“Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!”( Ayat 96 : Surah as-Saaffaat )
Dan kamu  tidak dapat menentukan kemahuan kamu (mengenai sesuatu pun), kecuali dengan cara yang diatur oleh Allah, Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan seluruh alam. ( Ayat 29 : Surah at-Takwiir)
Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.
Apa yang ada pada kita semuanya adalah kurniaan dari Allah s.w.t. Kemahuan kita untuk melakukan amal salih datangnya dari Iradat Allah s.w.t, tanpa Iradat Allah s.w.t kita akan menjadi dungu, tidak berkemahuan. Apabila kita melakukan amal kebaikan, kita tidak terlepas daripada menggunakan daya dan upaya yang datangnya dari Allah s.w.t. Tanpa Kudrat Allah s.w.t kita tidak mampu bergerak. Kebolehan kita untuk berdoa dan beramal adalah kurniaan daripada Allah s.w.t.

Mereka mengira dirinya berbudi kepadamu (wahai Muhammad) dengan sebab mereka telah Islam (tidak melawan dan tidak menentang). Katakanlah (kepada mereka): “Jangan kamu mengira keislaman kamu itu sebagai budi kepadaku, bahkan (kalaulah sah dakwaan kamu itu sekalipun maka) Allah jualah yang berhak membangkit-bangkitkan budi-Nya kepada kamu, kerana Dialah yang memimpin kamu  kepada iman (yang dakwakan itu), kalau betul kamu  orang-orang yang benar (pengakuan imannya). ( Ayat 17 : Surah al-Hujuraat )

 Kehendak  dan perbuatan kita adalah anugerah daripada Allah s.w.t. Jadi, apakah hak kita untuk menuntut Allah s.w.t dengan doa dan amal kita. Memang benar Allah s.w.t berjanji untuk mengabulkan semua doa dan mengurniakan sesuatu menurut amalan. Tetapi, tidak ada makhluk-Nya yang layak menagih janji tersebut. Janji Allah s.w.t kembali kepada diri-Nya Sendiri. Jangan cuba-cuba menuntut janji Allah s.w.t kerana andainya Dia menuntut kamu dengan amanah yang dipertaruhkan kepada kamu nescaya semua amalan kamu akan hancur berterbangan seperti debu, tidak ada walau sebesar zarah pun yang layak dipersembahkan kepada-Nya apabila kamu dihadapkan kepada keadilan-Nya.

 Lantaran itu berteduhlah di bawah payung rahmat dan keampunan-Nya, jangan diungkit-ungkit tentang amal kamu dan janji-Nya. Contohilah akhlak Rasulullah s.a.w yang telah menerima janji Allah s.w.t iaitu baginda s.a.w telah bermimpi memasuki kota Makkah. Kaum muslimin percaya bahawa mimpi Rasulullah s.a.w adalah mimpi yang benar dan mereka yakin bahawa itu adalah janji Allah s.w.t kepada Rasul-Nya, yang Dia mengizinkan mereka bersama-sama memasuki kota Makkah sekalipun musyrikin Quraisy masih menguasai kota tersebut. Kaum muslimin berangkat dari Madinah ke Makkah. Rombongan mereka dihadang sebelum sampai di Makkah. Kaum musyrikin enggan membenarkan kaum muslimin memasuki Makkah. Ekoran dari peristiwa itu termetrailah Perjanjian Hudaibiah. Rasulullah s.a.w bersetuju agar kaum muslimin tidak memasuki Makkah pada tahun itu. Saidina Umar al-Khattab r.a yakin akan mimpi Rasulullah s.a.w. Beliau r.a juga percaya bahawa mimpi Rasulullah s.a.w itu adalah janji Allah s.w.t mengizinkan mereka memasuki kota Makkah. Beliau r.a juga yakin bahawa lantaran janji Allah s.w.t adalah benar maka bertegas memasuki Makkah walaupun dengan cara berperang adalah tindakan yang benar. Beliau r.a menganjurkan agar berperang supaya kebenaran mimpi Rasulullah s.a.w dan kebenaran janji Allah s.w.t menjadi kenyataan. Iman Umar r.a yang sangat mendalam membuatnya mahu maju terus menurut petunjuk yang sampai kepada beliau r.a. tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Saidina Abu Bakar as-Siddik yang Nur Sirnya lebih sempurna daripada Nur Sir Umar r.a bersikap menyetujui tindakan Rasulullah s.a.w memetrai Perjanjian Hudaibiah. Melalui suluhan Nur Sirnya Abu Bakar r.a dapat menyaksikan apa yang terlindung dari pandangan mata hati Umar r.a.
 Kemudian ternyata perjanjian tersebut banyak memberi manfaat kepada kaum muslimin. Ternyata kebijaksanaan Rasulullah s.a.w memetrai Perjanjian Hudaibiah dan kebenaran pandangan mata hati Abu Bakar r.a melalui pancaran Nur Sirnya. Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiah, pada tahun berikutnya kaum muslimin dapat memasuki kota  suci Makkah secara aman. Benarlah apa yang dimimpikan oleh Rasulullah s.a.w dan benarlah janji Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w menerima janji Allah s.w.t sebagai satu kurniaan yang wajib diyakini dengan cara bertawakal kepada Allah s.w.t dalam pelaksanaannya. Bila terjadi sesuatu yang pada zahirnya menghalang pelaksanaan janji Allah s.w.t itu Rasulullah s.a.w tidak menagih Allah s.w.t dengan janji tersebut, sebaliknya baginda s.a.w mengembalikannya kepada Allah s.w.t. Sebagai balasan terhadap kerelaan menerima takdir Allah s.w.t maka Allah s.w.t kurniakan pula Perjanjian  Hudaibiah yang banyak membantu perkembangan dakwah Islam. Allah s.w.t  juga tidak sekali-kali melupakan janji-Nya mengizinkan kaum muslimin menziarahi tanah suci Makkah, dengan rahmat-Nya kaum muslimin memasuki kota Makkah pada tahun berikutnya dalam suasana aman. Jadi, apabila janji  Allah s.w.t dikembalikan kepada Allah s.w.t maka Allah s.w.t melaksanakannya.
Peristiwa di atas memberi pengajaran kepada kita tentang Sir. Saidina Abu Bakar as-Siddik r.a melebihi sahabat-sahabat yang lain lantaran Sirnya, iaitu Rahsia pada hati nuraninya yang menghubungkannya dengan Allah s.w.t. Sir yang menguasainya itulah yang menjadikannya as-Siddik. Beliau r.a dapat membenarkan kebenaran Nabi Muhammad s.a.w tanpa usul. Beliau r.a membenarkan peristiwa Israk dan Mikraj ketika kebanyakan kaum Quraisy menafikannya. Abu Bakar r.a bukanlah seorang dungu yang bertaklid secara membuta tuli. Tetapi, apa yang sampai kepadanya diakui oleh Sirnya yang memperolehi pengesahan daripada Allah s.w.t. Cahaya kebenaran yang keluar daripada Rasulullah s.a.w dan cahaya kebenaran yang keluar dari Sir Abu Bakar r.a adalah sama, sebab itulah Abu Bakar r.a membenarkannya tanpa usul dan tanpa meminta bukti. Bukti apa lagi yang diperlukan apabila Sir telah mendapat jawapan daripada Allah s.w.t. Sir atau Rahsia Allah s.w.t itulah yang tidak bercerai tanggal daripada Allah s.w.t, sentiasa menghadap kepada Allah s.w.t dan mendengar Kalam Allah s.w.t. Sir itulah yang mengenal Allah s.w.t
Kemurnian Sir Abu Bakar as-Siddik r.a ternyata lagi ketika kewafatan Rasulullah s.a.w. Umar r.a yang dikuasai oleh iman yang sangat kuat yang melahirkan cinta yang mendalam terhadap Rasulullah s.a.w, Kekasih Allah s.w.t, dikuasai kecintaan itu, beliau r.a mahu memancung kepala sesiapa sahaja yang mengatakan Rasulullah s.a.w sudah wafat. Tetapi, Abu Bakar r.a, yang kecintaannya terhadap Rasulullah s.a.w mengatasi kecintaan Umar r.a mampu mengatakan, “Sesiapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad sudah wafat. Sesiapa yang menyembah Allah s.w.t maka Allah s.w.t tidak akan wafat selama-lamanya!” Begitulah murninya cahaya atau nur  yang diterima oleh Abu Bakar r.a di dalam hatinya yang dipancarkan oleh Sir. Tidak salah jika dikatakan sekiranya mahu memahami hakikat Sir maka fahamilah diri Saidina Abu Bakar as- Siddik r.a. Mengenali beliau r.a membuat seseorang mengenali tanda-tanda Sir.
Kalam Hikmat ketujuh ini memberi panduan untuk memahami hakikat Sir. Tanda seseorang tidak mendapat sinaran Nur Sir ialah dia meragui janji-janji Allah s.w.t lantaran dia mentakrif maksud janji Allah s.w.t menurut seleranya sendiri. Bagaimana kedudukan kita terhadap janji Allah s.w.t begitulah keadaan hati kita berhubung dengan Rahsia  Allah s.w.t atau Sir.

KALAM ATHAILLAH SYARAH PONDOK NO 7 : KEBENARAN JANJI ALLAH

VERSI PONDOK PASENTREN

Dalam Kalam Hikmah ke 7 Imam Ibnu Atai’illah Askandary  menyatakan 

"Janganlah engkau ragu terhadap janji Allah disebabkan tidak adanya apa yang dijanjikan, walaupun sudah saatnya dipenuhi. Supaya hal tersebut tidak merusak bashirohmu dan memadamkan cahaya hatimu."

Dalam Al-Qur'an Allah seringkali menebar janjiNya kepada kaum muslimin tanpa membatasinya dengan keharusan berdoa dan meminta kepadaNya. Tapi Allah ‘mengharuskan' dzatNya sendiri untuk memenuhi janji tersebut jika memang kaum muslimin melaksanakan perintah-perintahNya dan tuntutan yang dibebankan ada mereka. Di antara janji Allah itu seperti firman Allah:
إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا والَّذينَ آمَنُوْا فِي الحْياةِ الدُّنيْا ويومَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ. [غافر : ٥١]
Artinya: "Sesungguhnya kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat)."
مَنْ عَمِلَ صَالحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى وهو مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّه حياةً طَيِّبَةً. [النحل : ٩٧]
Ertinya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan."
إِنْ تَنْصُرُوْا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثْبِِتْ أَقْدامَكُمْ. [محمد : ٧]
Ertinya: "Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."

Dan realitanya, pada zaman sekarang banyak kaum muslimin yang membaca ayat-ayat di atas dan janji Allah lainnya. Dia melihat bahwa janji-janji itu, atau mayoritas tidak terpenuhi pada hari ini. Orang-orang Islam tidak ditolong seperti yang dijanjikan Allah, sedangkan orang zalim bebas berkeliaran merampas hak orang lain. Mereka tidak dibinasakan oleh Allah sebagaimana yang telah dijanjikan. Apakah Allah telah mengingkari janjiNya? Tentu saja tidak karena hal itu mustahil bagiNya.

Maka dari itu, Imam Ibnu ‘Athoillah mengingatkan mereka yang ragu-ragu terhadap janji Allah dengan mutiara hikmahnya di atas. Di antara kita mungkin ada yang berkilah: "Terang saja saya ragu-ragu terhadap janji Allah karena saya melihat sendiri keadaan yang berbeda dengan apa yang dijanjikan." Untuk menanggapinya kita berkata, orang yang terjangkit penyakit ragu-ragu terhadap kebenaran janji Allah adalah orang yang selalu menuntut haknya dari Allah, tapi dia sendiri tidak pernah berintropeksi terhadap dirinya. Sudahkah dia memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah kepada dirinya? Jika dia berkata lagi, "Kami adalah orang muslim, beriman, masjid-masjid kami dipenuhi orang-orang yang solat, kami berpuasa di bulan Ramadan, dan pergi haji pada bulan haji. Jadi kami sebenarnya sudah menjalankan kewajiban kami. Lantas dimana pertolonganNya kepada kami? Kami malah dikuasai musuh dimana-mana, mereka merampas hak kami dan menjajah negara kami."

Di sela-sela gugatannya, terlihat bahwa orang ini selalu mengedepankan hak-haknya serta mengabaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Dia malah mengungkit-ungkitkpd Allah atas amal ibadahnya berupa menghidupkan syi'ar Islam, meramaikan masjid, menghidupkan Romadlon dengan berpuasa, dan berhaji di ka'bah. Tapi dia melakukan itu semua tidak untuk memperbaiki akhlaknya, dia tidak peduli untuk menolong sesamanya dan melihat ajaran Islam yang semakin terpinggirkan. Dia tidak melakukannya demi melawan ajaran yang menghina Islam dan menganggap hukum Islam sebagai barang kuno yang membosankan. Tidak juga demi membuka kedok pemikiran Barat yang mengajak kepada modernitas, sekularisme, dan liberalisme yang mempunyai misi membebaskan dunia dari semua agama. Orang-orang seperti itu, yang menggugat janji Allah, adalah orang yang tidak mendapatkan hidayahNya, melecehkan hukum-hukumNya, dan sangat dangkal akan prinsip-prinsip agamanya sendiri. Orang itu akan merasa cukup dan puas jika sudah melakukan solat lima waktu, pergi haji, dan berpuasa di bulan Romadlon bersama yang lainnya.sehingga dia merasa berhak untuk menagih janji Allah kepadanya.

Padahal ketika seseorang sudah ma'rifat kepada Allah dan tidak tenggelam dlm kesibukan duniawiah, dia akan merasa bahwa hak Allah yang harus dipenuhi sangatlah banyak dan berat. Sehingga haknya sendiri terlupakan walaupun sebenarnya dia sudah layak untuk mendapatkannya.
Rasulullah saja, manusia yang paling ma'rifat kepada Allah, paling cinta dan paling takut kepadaNya, tapi beliau masih merasa bahwa ibadahnya belumlah maksimal dan sempurna, belum bisa syukur kepada Allah dan menunaikan hak-hakNya. Beliau selalu beristighfar, layaknya seorang pendosa yang sangat mengharapkan ampunan dariNya. Beliau pernah berkata:
إنَّه لَيُغَانُ على قلبي فأستَغْفِرُ الله في اليوم والليلة مائةَ مرَّةٍ. [صحيح مسلم : ٤٨٧٠]
Etinya: "Sesungguhnya hati saya pernah tertutupi, lalu aku beristighfar kepada Allah seratus kali setiap hari."

Para ulama sholihin juga mengatakan hal yang semakna:
حَسَناتُ الْأَبرارِ سَيِّئَاتُ المقَرَّبِيْنَ.
Kebagusan orang-orang soleh itu sama dengan kejelekannya muqorrobin (orang-orang yang didekatkan kepada Allah).

Imam Asy Syathibi berkata dalam kitab Muwafaqot: "Golongan pertama adalah orang yang beramal dengan ajaran-ajaran Islam tanpa adanya tambahan. Golongan kedua beramal disertai dengan rasa ta'dhim, takut, harapan, dan cinta. Rasa takut (khouf) merupakan cambuk yang mendorongnya untuk beribadah. Harapan (roja') menjadi pengendali yang menuntunnya, dan rasa cinta menjadi penyemangatnya. Orang yang takut (kho'if) akan beribadah dengan disertai kepayahan. Hanya saja rasa takut itu akan menjadikannya merasa enteng menghadapi hal yang lebih ringan, walaupun hal itu sebenarnya berat. Adapun orang yang mempunyai rasa cinta, dia beramal dengan mengrahkan segenap kemampuannya tanpa beban karena rindu terhadap kekasihnya sehingga semuanya terasa ringan dan dekat. Dia pun tidak akan melihat dirinya sebagai orang yang telah menunjukkan rasa cintanya dan mensyukuri nikmat."

Pada dasarnya Allah tidak akan mengingkari janjiNya kepada orang yang telah melaksanakan syarat-syarat dengan benar dan ikhlas. Hanya saja orang yang mengetahui syarat itu dan mampu melaksanakannya hanyalah orang yang ma'rifat kepada Allah dan hatinya dipenuhi oleh rasa cinta dan ta'dhim kepadaNya. Mereka bukan orang yang bermu'amalah dengan Allah hanya sebatas melaksanakan rukun-rukun Islam saja dan selalu menghitung-hitung amal yang sudah dikerjakannya, seperti yang dikatakan Imam Asy Syathibi. Mereka adalah orang yang benar-benar paham akan firman Allah:
ذلك لمن خاف مَقَامِيْ وخاف وَعِيْدِ. [إبراهيم : ١٤]
Ertinya : "Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku."

Dan firmanNya yang lain:
وَأَوْفُوا بعَهْدِيْ أُوْفِ بعَهْدِكُمْ وإِيَّايَ فَارْهَبُوْن. [البقرة : ٤٠]
Ertinya : "Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan Hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk)."

Syekh Sa'id Romadlon Al Buthi menceritakan kisah menarik seputar tema di atas. Beliau diberi kabar oleh salah seorang tentara Syria yang kalah perang pada tahun 1967. Tentara itu pulang ke Damaskus bersama rombongan pasukannya. Di tengah perjalanan, waktu solat sudah masuk dan mereka pun mencari tempat yang layak guna melaksanakan solat. Pada saat mereka sedang khusyuk- khusyuknya, lewatlah di depad mereka sekelompok pasukan asing. Mereka tertarik melihat pemandangan di depan mereka. Setelah selesai solat, mereka bertanya: "Allah tidak menolong kalian dalam peperangan ini. Kenapa kalian tetap solat?"
Syekh Al Buthi berkata pada tentara itu: "Seharusnya kalian menjawab seperti ini: Kami solat sebagai bentuk syukur kami kepada Allah karena Dia tidak menyiksa kami dng kehinaan, kebinasaan, dan goncangan gempa. Tidak pula dengan hujan batu dari langit. Karena sebenarnya kami pantas mendapatkan hukuman yang lebih beratdr kekalahan ini."

Salah seorang wali yang soleh pernah ditanya seseorang: "Ya Syekh, sudilah anda untuk memperlihatkan salah satu karomahmu pada kami. Agar kami bertambah iman kepada Allah." Syekh itu berkata: "Bukankah kamu sudah melihat karomahku setiap waktu?" Orang itu berkata: "Kami tidak melihat karomah apapun, ya Syekh."

Syekh itu berkata lagi: "Bukankah kamu telah melihat diriku ini bebas berjalan di bumi ini tanpa ditenggelamkan ke dasar bumi oleh Allah? Tanpa dihujani dengan meteor dan api? Bukankah itu merupakan sebuah karomah (kemulyaan) dari Allah? Sebenarnya aku berhak untuk disiksa semacam itu sebab kelalaianku dan kelancanganku terhadap perintah-perintahNya. Akan tetapi Allah malah melindungiku dengan kasih sayangNya sehingga aku tidak dibinasakan seperti umat-umat terdahulu."
Apa yang dikatakan oleh wali ini keluar dari lubuk hatinya, bukan hasil rekayasa atau pura-pura. Perkataan semacam itu keluar dari orang yang hatinya penuh rasa ta'dhim dan takut kepada Allah. Apalagi jika orang itu merenungi ayat ini:
أَأَمِنْتُمْ مَنْ في السَّماءِ أَنْ يَخْسِفَ بكُمُ الْأَرْضَ فإذَا هِيَ تَمُوْرُ. أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ في السماء أَنْ يُرْسِلَ عليكم حاصِباً فَسَتَعْلَمُوْنَ كيفَ نَذِيْرِ. [الملك : ١٦-١٧]
Ertinya : "Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?"

Sudah merupakan sunnatullah, bahwa Allah akan membiarkan orang-orang yang durhaka, memberikan seluruh kenikmatan dunia kepada mereka, dan menundukkan dunia sesuai dengan keinginan nafsu mereka, agar mereka tambah terlena dan lalai. Kemudian setelah mati, mereka akan disiksa dengan sangat pedih dan menyakitkan. Allah akan menyiksa mereka dengan siksaannya dzat yang maha kuasa dan maha perkasa. Renungilah ayat-ayat yang menerangkan sunnatullah ini:
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا ويَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُون. [الحجر : ٣]
Ertinya : "Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), Maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)."

وَلَا تَحْسَبَنََّ الله غافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالمون. إِنَّمَا نُؤَخِّرُهُمْ ليومٍ تَشْخَصُ فيه الأَبْصَارُ. [إبراهيم : ٤٢]
Ertinya : "Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak."

والَّذين كَذَّبُوا بآياتنا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حيث لا يعلمون. وأُمْلِيْ لهم إِنَّ كَيْدِيْ مَتِيْنٌ. [الأعراف : ١٨٢-١٨٣]
Ertinya : "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, nanti kami akan menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh."

Dan sunnatullah ini, beserta ayat-ayat di atas merupakan jawaban atas kenyataan yang kalian kita, yang membuat heran orang-orang bodoh. Kenyataan bahwa umat yang sesat dan berbuat lacut bebas berkeliaran dan mendapatkan kenikmatan dan kesenangan yang tak terhitung. Kenikmatan itu pada hakikatnya sangat sedikit dan tidak kekal, seperti yang dikatakan Allah. Jika waktunya tiba, dan tak ada yang tahu kecuali Allah, kenikmatan itu berubah menjadi kesengsaraan dan kebinasaan.

فَلَمَّا نَسُوا ما ذُكِّرُوا به فَتَحْنَا عليهم أبوابَ كُلِّ شَيْءٍ حتّى إذا فَرِحُوا بما أُوْتُوا أَخَذْناهُمْ بَغْتَةً فإذا هُمْ مُبْلِسُونَ. [الأنعام : ٤٤]
Ertinya : "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang Telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang Telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka binasa."

Jika sekarang ada orang yang berkata: Kenapa Allah menghalangi kami, orang Islam, dari janjiNya. Sedangkan mereka, orang zalim dan pembangkang, dimulyakan dengan diberi kenikmatan yang tidak pernah dijanjikan kepada mereka? Maka ketahuilah, ucapannya itu hanya akan menyebabkan terhapusnya bashiroh dan berpaling dari firman Allah, yang jika dia merenunginya, dia akan menemukan sunnatullah yang berlaku terhadap makhlukNya.

YAKINI JANJI ALLAH SWT : SYARAH HIKAM ATAI’ILLAH N0 7 (SYARAH IBN AJIBAH)

VERSI IBN AJIBAH

Dalam Kalam Hikmah ke 7 Imam Ibnu Atai’illah Askandary  menyatakan 

Jika sesuatu yang dijanjikan tidak berlaku  walaupun masa untuk ia ditetapkan,  tidak meragui janji! Jika anda lakukan, yang akan malap mata hati anda dan memadamkan cahaya rahsia anda.

Meragui tentang sesuatu untuk antara kejadian dan tidak berlakunya.Mata dalaman bermakna untuk menampung pangkat. Mata dalam fakulti yang melihat makna dan rahsia adalah fakulti yang disediakan atas ketegasan ilmu dan makrifat.

Tahu bahawa nafs, akal, Ruh dan sirr semua perkara yang sama, tetapi mereka berbeza dari segi apa yang mereka anggap.

Bahawa yang merasakan selera adalah nafs.
Bahawa yang merasakan undang-undang pertimbangan akal.

Yang melihat tajalliyat dan waridat adalah Ruh.
Yang melihat terwujudnya dan negeri tetap rahsia.
Tempat yang sama.

Meletakkan cahaya sesuatu adalah untuk menyembunyikan selepas ia telah muncul. Apabila Allah menjanjikan sesuatu pada lidah Wahyu atau inspirasi oleh Nabi, wali atau tajalli yang kukuh, tidak meragui bahawa janji, jika anda adalah benar. Jika masa tidak ditentukan, perkara itu mempunyai skop yang luas dan masa yang mungkin panjang atau pendek.

Jadi jangan ragu-ragu bahawa ia akan terjadi, walaupun ia mengambil masa yang lama. Ia mengambil masa empat puluh tahun bagi merealisasikan doa Musa dan Harun terhadap Firaun apabila dia berkata, "Tuhan kami, memusnahkan kekayaan mereka." (10:88)

Jika masa yang dinyatakan dan yang tidak berlaku pada masa, tidak meragui kebenaran janji itu. Yang boleh disambungkan kepada sebab dan prasyarat ghaib yang Allah telah menyembunyikan dari itu Nabi atau wali yang nyata daya-Nya, kekuatan dan pertimbangan, Mengimbas kembali kepada kes Yunus apabila dia memberitahu kaumnya tentang hukuman yang dia telah diberitahu dan kemudian melarikan diri dari mereka. Yang berkaitan kekurangan mereka Islam. Apabila mereka menjadi Islam, hukuman itu ditangguhkan bagi mereka. Yang sama adalah benar kes Nabi Nuh, ketika dia berkata, "Anak lelaki saya adalah salah satu daripada keluarga saya dan bahawa janjiMu itu adalah sesungguhnya benar." (11:45)
Maka yang bertepatan dengan pengertian am. Kemudian Allah berkata kepadanya, "Beliau pasti tidak salah satu daripada keluarga anda. Beliau adalah seseorang yang tindakan tidak adalah benar." (11:46) "Kami telah menjanjikan kamu bahawa keluarga yang soleh anda akan disimpan, walaupun anda difahami kepada umum. Pengetahuan kami adalah luas."

Ini merupakan satu rahsia yang tersembunyi. Besar para nabi dan orang-orang yang benar tidak berhenti di janji dan sebagainya pergolakan mereka terus dan ia tidak dijelaskan dengan yang lain dari Allah. Sebaliknya mereka melihat keluasan pengetahuan dan kesan daya-Nya.

Sebahagian daripada yang terdapat dalam perkataan Rakan Ibrahim, "Saya tidak takut mana-mana pekongsi anda memperkatakan terhadap-Nya kecuali Tuhan saya akan satu perkara yang berlaku. Tuhanku merangkumi segala sesuatu dalam pengetahuan," (6:80) dan kata-kata Shu'ayb, "Kami tidak akan kembali," iaitu agama tidak percaya, "kecuali jika Allah Tuhan kami kehendaki tentulah. Tuhan kami merangkumi segala sesuatu dalam pengetahuan-Nya." (7:89)

Terdapat juga kes Nabi kita SAW, semoga Allah merahmati beliau dan memberinya damai, pada Hari Badr apabila dia berdoa sehingga jubahnya terjatuh, berkata, "Ya Allah, perjanjian dan janji anda! Ya Allah , jika kumpulan ini musnah, akan tiada yang menyembah anda selepas hari ini. " Abu Bakar As Siddiq berkata kepadanya, "Cukuplah,Ya Rasul Allah. Allah akan memenuhi janji-Nya kepada kamu."

Jadi itu yang terpilih memandang lebih jauh daripada kekurangan berlaku di sebalik janji keluar manakala Siddiq kekal dengan secara literal. Setiap adalah betul. Nabi mempunyai pandangan yang lebih luas dan pengetahuan yang lebih sempurna.

Bagi kes al-Hudaybiyya, masa yang dijanjikan itu tidak jelas  Allah mengatakan, "Dia tahu apa yang anda tidak tahu." (48:27) Apabila 'Umar berkata, "Adakah anda tidak memberitahu kita bahawa kita akan masuk Mekah?" dia menjawab, "Bukankah Aku telah katakan kepada kamu, ia akan menjadi tahun ini?" "Tidak," dia menjawab. Dia berkata, "Anda akan memasuki dan melakukan tawaf di dalamnya."

Saudara-saudara ku, tepuk tangan saya atas asas yang mengesahkan apa yang  telah Alla janjikana kepada anda dan berpendapat yang baik kepada Dia dan kawan-kawan-Nya, terutamanya syeikh kami.

Berhati-hati dengan penafian atau ragu-ragu, supaya mata dalaman anda dan sebab juga untuk memadamkan cahaya rahsia. Anda mungkin kembali semula cara anda datang dan memusnahkan semua yang anda telah membina, Cari tafsiran yang terbaik dan berpaut kepada kesimpulan yang terbaik.

Kami telah sebutkan perkataan Shaykh kami, Sidi 'Ali, "Apabila kita hendak akan sesuatu dan ia berlaku, kita mempunyai satu kegembiraan. Apabila ia tidak  berlaku, terdapat sepuluh kegembiraan." Itu hanya disebabkan oleh keluasan penyiasatan dan makrifat firma Tuhannya.

Allah boleh membiasakan rakan-rakan beliau dengan  perintah tetapi tidak membiasakan mereka dengan keturunan kebaikan. Apabila datang azab  disertai oleh kebaikan, ia adalah ringan dan mudah supaya dia berpendapat bahawa ia telah tidak berlaku. Kita telah menyaksikan kedua-dua ini dan apa yang kita katakan sebelum ini dalam diri kita dan ulama, Ia tidak mengurangkan kebenaran kami tidak memadamkan cahaya rahsia kami. Segala puji kepada Tuhan kami.

Nota. Sidi di-Tawudi ibn Sawda berkata, "kebijaksanaan ini adalah kabur. Seseorang bertanya, 'Bagaimana ia boleh dibayangkan bahawa masa yang dinyatakan? Jika ia oleh Wahyu, ia telah berhenti, dan jika ia adalah dengan jalan wahyu (dengan diberi ilham atau mimpi), kemudian merasa ragu di dalamnya tidak memaksa mata dalaman sejak kepercayaan di dalamnya tidak mutlak. Kami menjawab, 'Kata-kata kita adalah kebimbangan murid yang benar dalam perjalanan atau orang-orang yang telah tiba.

Mereka diminta untuk mengesahkan ulama dalam apa yang mereka katakan kerana mereka adalah pewaris para nabi dan supaya mereka mengikut jejak mereka. Nabi telah pertimbang turunkan kepada mereka dan 'Awliya mempunyai inspirasi kerana ketika hati dibersihkan daripada kekotoran dan lain daripada Allah dan dipenuhi dengan lampu dan rahsia, hanya kebenaran yang nyata di dalamnya.

Apabila mereka membuat janji atau ancaman, yang murid mesti percaya. Jika dia mempunyai beberapa keraguan atau teragak-agak tentang apa yang Allah telah dijanjikan oleh lidah Nabi atau syeikh, yang cahaya mata jiwanya akan memadamkan rahsia beliau.

Jika masa tidak ditentukan, menunggu untuk ia berlaku , walaupun ia mengambil masa yang lama. Jika masa yang ditetapkan dan ia tidak berlaku, mentafsir sebagaimana yang dilakukan dengan Rasul apabila ia adalah bergantung kepada sebab-sebab yang tersembunyi dan prasyarat. Itulah perbezaan antara Siddiq dan Sadiq kerana Siddiq mempunyai tidak teragak-agak atau kekaguman manakala Sadiq ragu-ragu dan kemudian membuat ketetapan. Jika dia melihat berbuka norma, dia terkejut dan mendapati bahawa aneh. Allah Maha Mengetahui. "

Pengiktirafan kekerasan adalah keagungan lahir pada permukaan dan kecantikan dari segi dalaman yang diikuti oleh sifat-sifat kesempurnaan. Murid boleh meragui apa yang Allah menjanjikan rahmat dan bukaan yang menyebabkan dari. Itulah mengapa Shaykh kata:


YAKINLAH PADA JANJI ALLAH KALAM HILAM ATAI’ILLAH KE 7 (SYARAH KH MUHIBUDDIN)

Versi KH Muhibuddin Waly

Dalam Kalam Hikmah ke 7 Imam Ibnu Athaillah Askandary  menyatakan 

 "Jangan anda diragukan pada janji Allah oleh (sebab) tidak (belum) terjadi sesuatu yang dijanjikan, meskipun zaman nya telah tertentu. Hal ini supaya jangan ada keraguan itu (menimbulkan) kerosakkan pada matahati dan memdamkan nur cahaya rahsia hati anda."

Bagi hamba-hamba Allah SWT, yang selalu patuh dan taat pada menjalankan ajaran-ajaran agamanya, di dalam hidupnya pasti akan timbul sewaktu-waktu suatu "keputusan hati" atau dengan kata lain "ketetapan hati" pada sesuatu yang tidak bertentangan dengan agama.

Contohnya,ketetapan hati untuk berkahwin dengan seorang perempuan yang menurut kita adalah baik pada pandangan agama, untuk menjaga kita jangan sampai jatuh pada sesuatu yang tidak diridhai oleh agama. Ketetapan hati yang kita buat adalah berdasarkan kepada dalil-dalil seperti petunjuk melalui mimpi yang bukan dikacau atau diganggu syaitan dan Iblis. Seseolah mimpi itu datangnya dari Malaikat.

Cuma yang terang hal keadaan itu kita terima dari hamba Allah yang soleh dan taat, ataupun keputusan hati itu datang dengan perantaraan ilham yang betul-betul dari Allah SWT.

Apabila keputusan hati atau ketetapannya datang seperti di atas, tetapi kenyataannya bahawa yang terjadi tidak seperti demikian, atau betul terjadi tetapi meleset dari waktu yang ditetapkan, maka dalam hal ini, kita mesti yakin dan tidak boleh ragu-ragu pada janji Allah. Janji Allah adalah benar, cuma belum sampai masanya.

Allah belum mahu menyampaikan janjiNya, berkemungkinan salah satu daripada 3 perkara berikut:

1) Mungkin janji itu akan ditukar oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik menurut Allah, jika merujuk contoh  yang  diberikan, kita tidak diizinkan oleh Allah untuk berkahwin dengan "A", tetapi Allah merealisasikan janjiNya bahawa kita mengkahwinkan dengan "B".

2)Adakalanya janji Allah ditepati olehNya di akhirat, dengan menjanjikan hal keadaan ini sebagai pahala buat kita.

3) Janji Allah itu dilaksanakan juga olehNya, tetapi agak lambat dari waktu yang telah ditetapkan, oleh kerana mungkin saja Allah melaksanakan janjiNya ada pertalian dengan syarat-syarat atau sebab-sebab di mana kita tidak mengetahuinya sama sekali.  Seperti contoh di atas, Allah melambatkan perkahwinan dengan "A" , kerana Allah menghendaki agar persiapan-persiapan kita telah begitu lengkap sebelum menghadapi perkahwinan.  Allah SWT tidak memperlihatkan syarat-syarat untuk terlaksana janjiNya itu, tidak lain selain hikmah yang dikehendaki olehNya.  Dan apabila kita menoleh pada hikmah tersebut, maka tentu saja dalam hati kita tidak timbul keraguan apa-apa tentang Allah melaksanakan janjiNya.

Wajib keatas kita selaku hamba Allah mengetahui dimana ukuran kita,  yang dalam hal ini kita tidak boleh mendahului Allah,  dan kita juga harus menjaga adab kita kepadaNya. Dengan demikian maka tenanglah hati kita, yakin dan tidak ragu-ragu atas keputusan hati dan ketetapanNya dimana telah kita anggap keadaan ini sebagai janji Allah.  Apabila pendirian kita seperti ini, maka bererti aqidah kita terhadap Allah telah begitu mendalam dan pasti tidak akan tergoyang oleh apa pun. Maka barang siapa yang telah diberi hikmah oleh Allah seperti aqidah ini, nescaya orang tersebut telah dapat disebutkan dengan 'Aarif-Billah (yang betul-betul mengenal Allah),  Saliimul Bashiirah (yang sejahtera katahtinya). 

Tetapi jika pada hamba Allah itu tidak ada dalam keyakinannya seperti yang telah disebutkan tadi,  maka tentu  saja orang tersebut adalah tidak mengetahui Allah, matahatinya rosak dan hatinya penuh dengan kegelapan yang bermacam-macam.

Demikian lah erti kalam hikmah di atas, dan mudah-mudahan menjadi petunjuk buat kita dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam hidup dan kehidupan ini. InsyaAllah