Tampilkan postingan dengan label Hikam Athaillah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hikam Athaillah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Oktober 2014

SYARAH KITAB AL-HIKAM ATHAILLAH USTAZ QUTUB KE 29 : Perbedaan pandang orang sudah wushul dengan orang salik

SYARAH USTAZ QUTUB

Menurut Kalam Hikmah ke 29 Imam Ibnu Athaillah Askandary:

"Jauh berbeda orang yang berpendapat (membuat dalil); adanya Allah menunjukkan adanya alam, dengan orang yang berpendapat (membuat dalil);  bahwa adanya alam inilah yang menunjukkan adanya Allah. Orang yang berpendapat adanya Allah menunjukkan adanya alam, yaitu orang yang mengenal hak dan meletakkan pada tempatnya, sehingga menetapkan adanya sesuatu dari asal mulanya. Sedang orang yang berpendapat adanya alam menunjukkan adanya Allah, karena ia tidak sampai kepada Allah. Maka kapnkah Allah itu ghaib sehingga memerlukan dalil untuk mengetahuinya. Dan kapankah Allah itu jauh sehingga adanya alam ini dapat menyampaikan kepadanya."
 


Orang yang wushul ila-llah itu ada dua cara :

1.    Muriiduun / Salikuun yaitu: orang yang mengharapkan bisa wushul kepada Allah.

2.    Muraaduun / Majdzubuun yaitu: orang dikehendaki oleh Allah atau ditarik oleh Allah sehingga dapat wushul kepada Allah.

Golongan pertama (Muriiduun / Salikuun) dalam suluknya masih terhalang dari Allah, karena mata hatinya masih masih melihat selain Allah, Allah masih ghoib dalam mata hatinya, sehingga dia menggunakan makhluk (selain Allah) untuk dalil adanya (wujudnya) Allah. Lisannya berdzikir, diya yaqin kalau yangmenggerakkan lisannya berdzikir itu Allah, tapi dia masih memperhatikan lisan dan dzikirnya, belum memperhatikan Allah yang menggerakkan lisannya.

Golongan kedua (Muraaduun / Majdzubuun) dia langsung ditarik oleh Allah dan dihadapi Allah, sehingga hilanglah semua makhlk selain Allah dalam mata hatinya, semua tidak ada wujudnya, yang wujud hanya Allah. Tapi ketika dia turun kebawah lagi(sadar dengan kehidupan dunia) dia tahu semua makhluk itu wujud karena wujudnya Allah.

SYARAH KITAB AL-HIKAM ATHAILLAH KE 29 : WUSHULNYA ORANG MENJADIKAN ALLAH SEBAGAI PETUNJUK



SYARAH OLEH USTAZ  HJ WAFI

Menurut Kalam Hikmah ke 29 Imam Ibnu Athaillah Askandary

" Jauh berbeda antara orang yang menjadikan dia (Allah) sebagai petunjuk dengan orang yang menjadikannya sebagai yang ditunjukan. Orang yang menjadikannya sebagai petunjuk adalah orang yang mengetahui haq orang yang berhaq dan menetapkan perkara dari pokoknya sedangkan yang menjadikannya sebagai yang ditunjukan itu karena ia belum sampai (wushul) kepadaNya".

Jika tidak demikian maka kapan dia (Allah) ghoib sehingga membutuhkan petunjuk untuk menunjukannya ?. Kapan dia jauh sehingga yang dapat menyampaikan kepadaNya adalah bekas-bekas jejak-jejak sentuhannya?. Mana yang menjadi tanda (petunjuk) akan menjadi tanda adanya cabang ataukah cabang menjadi petunjuk adanya akar ?. Mata air adalah tanda adanya anak sungai ataukah anak sungai sebagai tanda adanya mata air ?

Diantara manusia ada yang mengetahui akar dahulu kemudian akar tersebut menunjukan kepada cabang-cabang dan buah-buah dan ada pula yang mengetahui buah dan cabangnya dahulu kemudian melacak akar yang merupakan pokoknya. Yang menjadi tolak ukur dalam pembagian ini adalah " jelas dan samar ". Yang jelas selalu menunjukan yang tidak tampak atau " samar".

Boleh jadi sebuaah pohon tidak tampak olehmu yang tampak didiepanmu hanya buahnya saja. Dengan demikian buah tersebut yang notabennya sebagai cabang (far'i) dapat menunjukan adanya pohon yang merupakan pokok (asal) dan bisa jadi buahnya tidak tampak dan pohonnya tampak dimata, dengan demikian pohonlah yang menunjukan adanya buah (pokok menunjukan adanya cabang) . Dua kemungkina tersebut berlaku pada seluruh makhluq dan yang tercipta, tetapi apakah berlaku pula pada yang diciptakan dengan menciptakan, pencipta semesta dengan semesta ?

Perhatikan ! ketika kamu berucap : "sang pencipta" maka yang kamu kehendak adalah pencipta segala sesuatu, mencakup aqal yang dapat digunakan untuk mengetahui dan cahaya yang dapat menampakkan sesuatu yang lain. Sang pencipta ini adalah Allah Subhanahu Wata'ala.

Jadi apakah disini ada yang kemungkinan sama ? sebagaimana yang berlaku pada makhluq ?. jika anda renungkan, anda kan tahu bahwa dan kemungkinan tersebut disini tidaklah sama. Kok bisa demikian ?

Ya ! karena bila mana anda sapukan pandangan anda pada alam sekitar, anda akan melihat dan mengetahuinya, dan yang dapat membuat anda melihat dan mengetahui adalah cahaya hidayah dari Allah. Dengannya anda dapat mengatahui melihat dan mengenal alam sekitar.

Dengan demikian yang dapat menunjukanmu akan adanya alam semesta adalah Allah Subhanahu Wata'ala, bagaimana dalil (yang menunjukan) yakni Allah bisa terbalik menjadi yang ditunjukan ? dan bagaimana pula yang ditunjukan, yakni alam semsta, terbalik menjadi yang menunujukan?

Beri kami kesempatan untuk mencontohkan : "ada seorang lelaki dalam gelap gulita membawa lentera dan memasuki rumah yang gelap gulita, dibawah temanmu sinar lentera tersebut ia melihat berbagai parabot , makanan, uang dan lain-lain.

Dari contoh tersebut menurut anda, mana yang menunjukan? Dan mana yang ditunjukan?. Apakah ada yang saking bodohnya tidak tahu bahwa lentera yang menerangi adalah petunjuk dan semua yang tersingkap oleh cahaya lentera adalah yang ditunjukan?.

Dengan (cahaya) Allah anda dapat melihat sekelilingmu dan dengannya pula anda mengantongi dunia dan mengetahui sebagian-sebagian rahasia-rahasiamu (dunia) yang demikian itu adalah sebagian kandungan ma'na firman Allah,

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (النور-35)

Artinya: "Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus , yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) , yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (Q.S : An-Nur : 35)
Jadi Allah adalah dalil (yang menunjukan) kamu pada segala sesuatu selain dia. Telah lewat penjelasan hikmah Ibnu Athoillah yang berbunyi : "seluruh semesta gelap, dan yang meneranginya hanyalah Allah Al-haq".

Adapun Al-Muqorrobin (orang-orang dekat Allah) adalah orang-orang yang menyaksikan langsung cahaya Allah. Mula-mula mereka melihat Allah (cahaya langit dan bumi) kemudian (dengan melihatNya) meraka melihat jejak-jejakNya, mereka melihat ciptaan-ciptaanNya mereka melihat bekas-bekasNya mereka yaqin bahwa seandainya tanpa adaNya yang membuat bekas niscaya tidak ada bekas, seandainya tiada yang membuat tentu tidak ada buatan, seandaiananya tidak ada cahaya yang menunjukan pastinya tidak ada sesuatu yang tersingkap dari gelapnya alam semesta.

Kami kira penjelasan bahwa "Allah tidak terhalangi apapun" sudah cukup sehingga tidak perlu kamu ulangi lagi, jika kurang jelas mohon dibaca ulang keterangan tersebut. Semoga ketidak jelasan dalam masalah ini segera sirna.

Sedangkan orang-orang yang tenggelam dalam awan "jejak" dan terhalangi dari dzat yang membentuk oleh tabir gambaran-gambaran. Itu berarti mereka mulai mencari lentera melalui sesuatu yang tersingkap oleh cahaya lentera itu sendiri. Yang demikian itu sebagaimana anda ketahui adalah konyol, tetapi itulah kenyataannya, ini adalah keadaan orang-orang yang melupakan Allah sang pemilik wujud mutlaq.

Kami katakan : "mereka melupakan Allah", tidak kami katakana : "Allah terhalangi dari mereka" karena dalam jagat raya ini, tiada sesuatupun yang dapat menghalanginya dari menusia. Betapa ini merupakan kelambutan dan kedetailan stateman Al-Qur'an.


وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (الحشر : 19)

Artinya : " Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik". (Q.S : Al-Hasr : 19)

Namun, bagaimanapun mencari lentera adalah tindakan yang bagus. Karena yang demikian adalah lebih baik dari pada tidak mau mencarinya dan melupakannya, dari sini akan menjadi pengingkaran adanya lentera tersebut.

Ini adalah kondisi orang-orang yang bingung, dari mengenal Allah disebabkan selalu akan gemerlap kesenangan dunia yang membuat lupa diri tergiur kesenangan hawa nafsu dan syahwat, dan tampaklah bahwa kita masuk dalam ketegori golongan yang kedua ini. Setiap kali kita ingat akan adanya Allah dan menampakan dalil-dalil yang mengatakan akan adanya Allah, kita jadikan sesuatu yang kita ketahui dengan cahay dan hidayah Allah, yakni alam semesta sebagian tanda akan adanya Allah dengan berkata : "alam semesta ini diatur sedemikian rupa dengan hukum sebab-akibat, maka pasti ada yang mengatur semua itu dan yang mengatur semua itu adalah Allah". Kita lupa ketika kita bahwa kita dapat mengetahui hukum sebab-akibat itu dengan cahaya hidayah Allah, artinya : dengan Allah kita bisa mengetahui sesuatu yang kita anggap sebagai dalil adanya Allah.

Betapa bingungnya kita dari mengenal Allah dan melacak tanda-tanda keberadaannya dan dalam memformulasikan metode untuk melacak keberadaannya, karena nafsu manusiawi menjadikan perdebatan-perdebatan dan pembahasan-pembahasan tersebut sebagai aktivitas rutinan yang menyenangkan.

Anda lihat orang yang mata hatinya tersinari pancaran wujud Allah yaitu orang-orang yang terbesbaskan dari belenggu kesibukan-kasibukan hawa nafsu dan syahwat orang-orang yang berpaling dari berbagai hal yang membuat lupa diri.

Anda tentu akan melihat betapa hatinya senantiasa merasa akan kehadiran Allah, serta mengingatnya tanpa memerlukan dalil-dalil dan tanda-tanda ia melupakan dalil-dalil dan tanda-tanda tersebut karena hatinya merasa hadir dalam hadirat Allah. Hatinya menyaksikan Allah Subhanahu Wata'ala.

Diantara orang-orang yang sholeh dan para wali Allah terdahulu terdapat orang-orang yang ma'rifat kepada Allah dan menyaksikannya tanpa melalui metode-metode istidlal (mencari bukti akan adanya tuhan) dengan makhluq-makhluq benda-benda dan jejak-jejak.

Tetapi mereka mengenal Allah dan larut dalam menyaksikannya dan peng-enjawantahannya tanpa memerlukan satu istidlalpun, mereka memandang alam semesta, maka mereka tidak menjumpai kecuali tampilan keesaan Allah dan keagungan sifat-sifatNya mereka dalam ta'amul (kontemplasi), tidak berpindah dari dalil menuju madlul tetapi lenyap semua dalil dan tampak jelas begi mereka madlul (Allah) perantara dan jalan lenyap dari pandangan mereka dan tujuan akhir tampak jelas didepan mata, karena yang kita anggap sebagai perantara/jalan itu tidak lebih dekat, bagi mereka dari pada tujuan akhir yaitu Allah Azza Wajalla.

Kadang, mamang sulit bagi kita untuk memahaminya. Karena kita sudah terbiasa melihat wujud yang bersifat maya kemudian baru berpindah menuju wujud Allah yang haqiqi pula kita tumbuh dengan penglihatan dan pikiran yang terpenjara dalam wujud maya tersebut.

Tetapi itulah kenyataannya, orang-orang yang terbebas dari penjara ini tidak mempertimbangkan alam fana' ini sama sekali, alam yang hanya bayang-bayang belaka, kapankah ada bayangan yang lebih berbobot dari asal banyang itu sendiri ? (tidak akan ada !). Dengan begitu, mereka melihat wujud yang haqiqi wujud yang benar-benar wujud dzat, bukan bayang-bayang belaka kemudian (dengan melihat wujud dzat haqiqi) mereka melihat adanya wujud bayang-bayang dari dzat tersebut. Mereka adalah sebagaimana Ibnu Athoillah berkata : "(orang-orang yang) mengetahui haq bagi yang berhaq, dan menetapkan sesuatu dari wujud pokoknya.

SYARAH KITAB AL-HIKAM ATHAILLAH KE 29 TO’ FAKIR AN NASIRIN : PANDANGAN HATI DAN AKAL



SYARAH OLEH TO’FAKIR AN NASIRIN

Menurut Kalam Hikmah ke 29, Imam Ibnu Athaillah Askandary 

BERBEZA ANTARA ORANG YANG MENGAMBIL DALIL DENGAN ALLAH S.W.T DENGAN ORANG YANG MENGAMBIL DALIL ATAS-NYA. ORANG YANG MENGAMBIL DALIL DENGAN ALLAH S.W.T ITULAH YANG MENGENAL HAQ DAN MELETAKKANNYA PADA TEMPATNYA DAN MENETAPKAN TERJADINYA SESUATU DARI ASAL MULANYA. MENGAMBIL DALIL ATAS ALLAH S.W.T ADALAH KERANA TIDAK SAMPAI KEPADA-NYA. MAKA BILAKAH ALLAH S.W.T ITU GHAIB SEHINGGA MEMERLUKAN DALIL UNTUK MENYATAKAN-NYA DAN BILAKAN ALLAH S.W.T ITU JAUH SEHINGGA MEMERLUKAN ALAM UNTUK SAMPAI KEPADA-NYA.

Nur Ilahi yang menyinari hati memperlihatkan Allah s.w.t terlebih dahulu sebelum yang selain-Nya kelihatan. Akal pula melihat anasir alam dan kejadian-kejadian yang berlaku terlebih dahulu sebelum sampai kepada Tuhan yang mengatur segala urusan. Orang-orang hati melihat Wujud Allah s.w.t mengwujudkan alam dan apa yang berlaku di dalamnya dan orang-orang akal pula melihat wujud alam menjadi dalil kepada Wujud Allah s.w.t.
Orang yang sampai kepada Allah s.w.t melihat bahawa Wujud Allah s.w.t adalah Wujud Hakiki dan Wujud Allah s.w.t menerangi wujud makhluk sehingga makhluk menjadi nyata. Orang yang pada peringkat mencari pula melihat Allah s.w.t itu ghaib dan jauh, dan jalan untuk mengenal Allah s.w.t adalah dengan cara mengenal ciptaan-Nya. Wujud makhluk menjadi bukti kepadanya tentang Wujud Allah s.w.t, kerana makhluk tidak terjadi dengan sendirinya.

 Perbincangan Hikmat 8 menyentuh golongan mencari dan golongan yang dicari. Orang yang mencari menempuh jalan yang sukar-sukar sebelum bertemu dengan yang dicarinya. Contoh terbaik orang yang mencari ialah Salman al-Farisi yang mendapat jolokan Pencari Kebenaran. Beliau r.a berasal dari Isfahan. Bapanya seorang kenamaan yang kaya-raya dan kuat berpegang kuat pada agama Majusi. Salman bertugas menjaga api dan bertanggungjawab mempastikan api itu tidak padam. Satu hari beliau lalu berhampiran gereja Nasrani. Beliau tertarik melihat cara orang Nasrani bersembahyang. Setelah bertukar-tukar fikiran dengan mereka dan mempelajari tentang agama Nasrani beliau berpendapat agama Nasrani lebih benar daripada agama Majusi, lalu beliau memeluk agama Nasrani Beliau kemudiannya pergi ke Syria untuk mendalami pengajiannya tentang agama Nasrani. Beliau tinggal dengan seorang pendeta dan beliau menjadi pelayan kepada pendeta tersebut sambil beliau belajar Setelah pendeta itu meninggal dunia Salman pergi ke Mosul, untuk memenuhi kehendak wasiat pendeta tersebut. Di sana beliau tinggal dan berkhidmat kepada seorang pendeta juga. Apabila hampir ajalnya pendeta kedua ini mewasiatkan kepada Salman supaya pergi ke Nasibin dan berkhidmat kepada seorang salih yang tinggal di sana.  Salman kemudiannya berpindah ke Nasibin. Pendeta di Nasibin kemudiannya mewasiatkan kepada Salman agar beliau pergi ke Amuria dan berkhidmat kepada seorang salih di sana. Salman berpindah pula ke Amuria. Ketika pendeta di Amuria itu hampir menemui ajalnya beliau memberi amanat kepada Salman bahawa sudah hampir masanya kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s secara murni. Nabi yang baharu muncul itu nanti akan berhijrah ke satu tempat yang banyak ditumbuhi pokok kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Tanda-tanda yang jelas tentang kenabiannya ialah dia tidak mahu makan sedekah tetapi menerima hadiah. Di bahunya ada cap kenabian yang bila dilihatnya segera dikenali akan kenabiannya. Setelah pendeta yang memberi amanat itu meninggal dunia berangkatlah Salman mengikuti rombongan Arab dengan menyerahkan kepada mereka lembu-lembu dan kambing-kambingnya. Sampai di Wadi Qura, Salman dianiayai dan dijual kepada orang Yahudi. Kemudian, Salman dijual kepada orang Yahudi yang lain. Tuannya yang baharu itu membawanya ke Yasrib. Sebaik sahaja Salman melihat negeri itu yakinlah dia bahawa itulah negeri yang diceritakan oleh pendeta yang menjaganya dahulu. Apabila Rasulullah s.a.w berhijrah ke Yasrib, Salman datang menemui baginda s.a.w di Quba dan memberikan makanan sebagai sedekah kepada baginda s.a.w dan sahabat baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w menyuruh mereka makan tetapi baginda s.a.w tidak menjamah makanan tersebut. Keesokan harinya Salman datang lagi membawa makanan sebagai hadiah. Rasulullah s.a.w makan bersama-sama sahabat baginda s.a.w. Semasa Rasulullah s.a.w berada di Baqi’, Salman pergi lagi menemui baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w ketika itu memakai dua helai kain lebar, satu sebagai sarung dan satu lagi sebagai baju. Salman menjenguk dan mengintai untuk melihat belakang baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w mengerti akan maksud Salman lalu baginda s.a.w menyingkap kain burdah dari leher baginda s.a.w hingga kelihatanlah cap kenabian yang dicari oleh Salman. Melihatnya Salman terus menangis dan menciumnya. Akhirnya beliau temui kebenaran yang beliau telah cari di merata-rata tempat.

 Kisah Salman memberi gambaran betapa sukarnya jalan yang ditempuhi oleh orang yang mencari Allah s.w.t. Di samping mengharungi kehidupan yang sukar mereka juga menuntut ilmu, berguru ke sana ke mari, mencari dalil-dalil dan pembuktian bagi menambahkan pengetahuan tentang Tuhan. Mereka melihat alam dan kejadian di dalam alam sebagai bukti yang menunjukkan Wujud Allah s.w.t, dan mereka mengkaji alam untuk memahami tentang keesaan Allah s.w.t. Setelah mereka sampai kepada Allah s.w.t mereka melepaskan dalil-dalil lalu berpegang kepada makrifat yang diperolehi.

 Golongan yang dicari menempuh jalan yang berbeza. Contoh orang yang dicari ialah Saidina Umar al-Khattab r.a. Pada awal perkembangan Islam di Makkah umat Islam menghadapi tentangan yang hebat dari puak Quraisy.  Rasulullah s.a.w telah berdoa agar Islam diperkuatkan dengan salah satu Umar, iaitu Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar al-Khattab. Umar al-Khattab ketika itu sangat keras menentang dan menyeksa golongan Islam, terutamanya yang lemah. Rasa bencinya terhadap agama baharu yang merombak adat dan kepercayaan datuk neneknya itu meluap-luap di hatinya. Apabila rasa kebencian itu memuncak beliau mengambil keputusan mahu membunuh Rasulullah s.a.w. Umar mencabut pedangnya sambil menuju ke tempat di mana Rasulullah s.a.w berada. Di tengah jalan Umar diberitahu bahawa adiknya sendiri telah pun memeluk Islam. Dia memikirkan bahawa lebih baik jika dia menguruskan masalah dalamannya dahulu sebelum membunuh Rasulullah s.a.w. Mendengar berita itu dia pun membelok ke rumah adiknya. Keadaannya seperti singa bengis. Ditendangnya pintu rumah adiknya. Pada ketika itu adiknya sedang memegang lembaran yang ditulis dengan ayat al-Quran. Umar memukul adiknya dan merampas lembaran tersebut. Umar adalah seorang cendekiawan yang tahu membaca, dan arif tentang sastera puisi. Sebaik sahaja Umar membaca wahyu Allah s.w.t, tubuhnya menggeletar dan keluarlah ucapan dari mulutnya,” Ini bukan syair yang ditulis oleh penyair yang handal. Ini bukan karya manusia. Tidak ada yang dapat menciptakannya kecuali Tuhan sendiri”. Lalu Umar al-Khattab pergi menghadap Rasulullah s.a.w dan menyatakan keislamannya.

 Umar al-Khattab membaca ayat al-Quran, Kalam Allah s.w.t dan serta-merta dia melihat kebenarannya. Umar tidak memerlukan kepada alam dan makhluk sekaliannya sebagai dalil dan bukti. Kebenaran itu sendiri menjadi dalil baginya. Kalam Allah s.w.t sendiri yang menyampaikan Umar kepada-Nya. Allah s.w.t yang menerangi hati Umar dengan makrifat-Nya. Makrifatullah yang menerangi makrifat alam sehingga alam itu dikenali melalui sumber iaitu Allah s.w.t sendiri. Orang yang mencari menyusur dari ranting ke dahan, turun ke batang lalu pergi kepada umbi sebelum menemui benih yang melahirkan pokoknya. Orang yang telah dibawa kepada Tuhan melihat dari asal mulanya, melihat benih yang darinya muncul pokok yang cukup lengkap.

 Perbezaan arah memandang menyebabkan terjadi perbezaan daya nilai dan daya rasa. Orang akal lebih cenderung kepada fahaman falsafah yang berdiri di atas kemanusiaan sejagat iaitu fitrah manusia. Keberkesanan hukum sebab-akibat membentuk formula-formula yang seterusnya melahirkan hukum logik yang dipegang oleh akal. Sukar bagi akal untuk melihat bahawa Allah s.w.t yang meletakkan dan menetapkan keberkesanan hukum sebab-akibat itu. Orang akal memerlukan masa untuk berfikir dan menimbang sehingga mereka melihat dan mengakui kerapian serta kesempurnaan hukum yang mereka pegang itu. Setelah sampai kepada pengakuan yang demikian baharulah mereka beralih memerhatikan apa yang datang dari Tuhan.

 Orang hati pula terus menyaksikan ketuhanan pada apa yang disaksikan. Mereka melihat perjalanan sebab dan akibat sebagai tadbir Allah s.w.t. Mereka juga mengambil sebab dalam melakukan sesuatu tetapi ketika mengambil sebab itu hati memandang kepada Allah s.w.t, meletakkan pergantungan kepada-Nya yang mentadbir sebab musabab itu, bukan bersandar kepada sebab semata-mata. Jika sebab gagal menghasilkan akibat menurut hukum logik, orang hati melihat kekuasaan Allah s.w.t mengatasi segala sebab. Orang akal yang berhadapan dengan keadaan yang demikian sering diganggu oleh kekeliruan dan mereka mencari formula baharu untuk mengembangkan logik.

 Walaupun terdapat perbezaan cara memandang tetapi tidak seharusnya berlaku berselisihan di antara dua golongan tersebut. Satu golongan harus menghormati daya nilai dan daya rasa golongan yang satu lagi. Walau bagaimana pun orang akal harus sedar bahawa mereka sedang bergerak ke arah daerah orang hati kerana iman, ikhlas, berserah diri, takwa dan lain-lain nilai baik dalam agama adalah nilai hati yang mengeluarkan niat.

KITAB AL-HIKAM ATHAILLAH KE 29 : KELEBIHAN ORANG MENJADIKAN ALLAH SEBAGAI PENUNJUK



SYARAH USTAZ BARI

Menurut Kalam Hikmah ke 29 : Imam Ibnu Athaillah Askandary :

"JAUH BERBEZA ANTARA ORANG YANG MENJADIKAN ALLAH SEBAGAI PENUNJUK DENGAN ORANG YANG SELALU MENCARI BUKTI KEBENARAN-NYA. ORANG YANG MENJADIKAN ALLAH SEBAGAI PENUNJUK MENGETAHUI KEBENARAN ADALAH MILIK-NYA DAN MENETAPKANNYA SESUAI DENGAN ASALNYA.
MENCARI BUKTI KEBENARAN-NYA ADALAH PETANDA BELUM SAMPAI KEPADA-NYA, KERANA BILAKAH ALLAH TIADA SEHINGGA KITA MENCARI BUKTI KEBENARAN-NYA ? BILAKAH DIA JAUH SEHINGGA BUKTI-BUKTI SAHAJA YANG BISA MEMBAWA KITA KEPADA-NYA
"



Pelajaran yang boleh diambil dari hikmah ini :

Orang yang beriman meyakini bahawa wujud Allah adalah wujud yang hakiki, kebenaran yang diberikan oleh Allah adalah kebenaran yang hakiki, dia meyakini bahawa Allah swt sentiasa bersamanya, mendengar, melihat dan mengawasi.

Orang yang beriman meyakini bahawa semua yang disampaikan oleh utusan Allah swt dalam al-Quran dan sunnah adalah ajaran kebenaran, penuntun hidup, dan penerang untuk semua kegelapan, hatinya akan mengajaknya untuk menerima semua yang diajarkan oleh baginda RasulAllah s.a.w. , meskipun terkadang berat, tidak sesuai dengan jalan fikiran kebanyakan orang.

Orang yang dekat dengan Allah swt tidak memerlukan bukti adanya Allah, tidak memerlukan bukti kebenaran ayat-ayat Allah, tidak memerlukan bukti kebenaran ajaran RasulAllah s.a.w , kerana mereka meyakini bahawa bukan bukti yang membawa mereka kepada Allah, tetapi Allah yang membawa kita kepada Nya.

Sabtu, 18 Mei 2013

HIKAM ATAI’ILLAH KE 24 (SYARAH TO’GURU) : TIDAK PERLU HAIRAN ATAS KEKERUHAN DALAM KEHIDUPAN

Menurut Kalam Hikmah ke 24 , Imam Ibnu Athaillah Askandary

 "Jangan heran atas terjadinya kesulitan-kesulitan selama engkau masih di dunia ini, sebab ia tidak melahirkan kecuali yang layak dan murni sifatnya."

 Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: "Dunia ini adalah penderitaan dan duka cita, maka apabila terdapat kesenangan di dalamnya, berarti itu hanyalah sebuah keberuntungan." Jafar Asshaddiq radhiyallahu 'anhu berkata: "Barangsiapa meminta sesuatu yang tidak dijadikan oleh Allah, berarti ia melelahkan dirinya dan tidak akan diberi. Ketika ditanya: Apakah itu? Jawabnya: Kesenangan di dunia." Junaid al-Baghdadi radhiyallahu anhu berkata: "Aku tidak merasa terhina apa yang menimpa diriku, sebab aku telah berpendirian, bahwa dunia ini tempat penderitaan dan ujian dan alam ini dikelilingi oleh bencana, maka sudah selayaknya ia menyambutku dengan segala kesulitan dan penderitaan, maka apabila ia menyambut aku dengan kesenangan, maka itu adalah suatu karunia dan kelebihan." Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam berkata kepada Abdullah bin Abbas: Jika engkau dapat beramal karena Allah dengan ikhlas dan keyakinan, maka laksanakanlah dan jika tidak dapat, maka sabarlah. Maka sesungguhnya sabar menghadapi kesulitan itu suatu keuntungan yang besar." Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu berkata kepada orang yang dinasehatinya: "Jika engkau sabar, maka hukum [ketentuan - takdir] Allah tetap berjalan dan engkau mendapat pahala, dan apabila engkau tidak sabar tetap berlaku ketentuan Allah sedang engkau berdosa." Maka apapun yang menimpa dirimu tetaplah berserah diri kepada Allah dengan penuh kesabaran, sebab ketentuan Allah pasti akan terjadi padamu.

SYARAH AL HIKAM 24 (VERSI TO’ FAKIR) : SIFAT KEHIDUPAN DUNIAWI

Menurut Kalam Hikmah ke 24 , Imam Ibnu Athaillah Askandary

JANGAN MENGHAIRANKAN KAMU LANTARAN TERJADI KEKERUHAN KETIKA KAMU BERADA DI DALAM DUNIA KERANA SESUNGGUHNYA KEKERUHAN ITU TIDAK TERJADI MELAINKAN KERANA BEGITULAH YANG PATUT TERJADI DAN ITULAH SIFATNYA (DUNIA) YANG ASLI.

Hikmat yang lalu menyingkap halangan secara umum dan  Hikmat 32 ini pula mengkhususkan kepada dunia sebagai hijab yang menutupi pandangan hati terhadap Allah s.w.t. Halangan inilah yang banyak dihadapi oleh manusia. Manusia menghadapi peristiwa yang berlaku di dalam dunia dengan salah satu dari dua sikap iaitu sama ada mereka melihat apa yang terjadi adalah akibat perbuatan makhluk ataupun mereka memandangnya sebagai perbuatan Tuhan. Hikmat 32 ini menjuruskan kepada golongan yang melihat peristiwa yang berlaku dalam dunia sebagai perbuatan Tuhan tetapi mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan Tuhan dalam perbuatan-Nya.

 Manusia yang telah memperolehi keinsafan dan hatinya sudah beransur bersih, dia akan cenderung untuk mencari kesempurnaan. Dia sangat ingin untuk melihat syariat Allah s.w.t menjadi yang termulia di atas muka bumi ini. Dia sangat ingin melihat umat Nabi Muhammad s.a.w menjadi pemimpin kepada sekalian umat manusia. Dia ingin melihat semua umat manusia hidup rukun damai Dia inginkan segala yang baik-baik dan sanggup berkorban untuk mendatangkan kebaikan kepada dunia. Begitulah sebahagian daripada keinginan yang lahir di dalam hati orang yang hatinya sudah beransur bersih. Tetapi, apa yang terjadi adalah kebalikan daripada apa yang menjadi hasrat murni si hamba Allah s.w.t yang insaf itu. Huru hara berlaku dimana-mana. Pembunuhan berlaku di sana sini. Umat Islam ditindas di merata tempat. Kezaliman dan ketidak-adilan berlaku dengan berleluasa. Seruan kepada kebaikan tidak diendahkan. Ajakan kepada perdamaian tidak dipedulikan. Perbuatan maksiat terus juga dilakukan tanpa segan-silu.

Si hamba tadi melihat kekeruhan yang terjadi di dalam dunia dan merasakan seperti mata tombak menikam ke dalam hatinya. Hatinya merintih, “Agama-Mu dipermainkan, di manakah pembelaan dari-Mu wahai Tuhan! Umat Islam ditindas, di manakah pertolongan-Mu Wahai Tuhan! Seruan kepada jalanMu tidak disambut, apakah Engkau hanya berdiam diri wahai Tuhan! Manusia melakukan kezaliman, kemaksiatan dan kemunkaran, apakah Engkau hanya membiarkan wahai Tuhan?” Beginilah keadaan hati orang yang berasa hairan melihat kekeruhan kehidupan dunia ini dan dia tidak berkuasa menjernihkannya. Allah s.w.t menjawab keluhan hamba-Nya dengan firmanNya:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”. Mereka bertanya (tentang hikmat ketetapan Tuhan itu dengan berkata): “Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah (berbunuh-bunuhan), padahal kami sentiasa bertasbih memuji-Mu dan mensucikan-Mu?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak mengetahuinya”. ( Ayat 30 : Surah al-Baqarah )

Para malaikat sudah dapat membayangkan tentang kehidupan dunia yang akan dijalani oleh makhluk berbangsa manusia sebelum lagi manusia pertama diciptakan. Sifat dunia yang dinyatakan oleh malaikat ialah huru-hara dan pertumpahan darah. Dunia adalah ibu sementara huru-hara dan pertumpahan darah adalah anaknya. Ibu tidak melahirkan kecuali anak dari jenisnya juga. Kelahiran huru-hara, peperangan, pembunuhan dan sebagainya di dalam dunia adalah sesuatu yang seharusnya terjadi di dalam dunia, maka tidak perlu dihairankan. Jika terdapat kedamaian dan keharmonian di sana sini di dalam dunia, itu adalah sagu-hati  atau kelahiran yang tidak mengikut sifat ibunya. Seterusnya Allah s.w.t menceritakan tentang dunia:

Allah berfirman, “Turunlah kamu semuanya, dengan keadaan setengah  kamu menjadi musuh bagi setengahnya yang lain, dan bagi kamu disediakan tempat kediaman di bumi, dan juga diberi kesenangan hingga ke suatu ketika (mati)”. ( Ayat 24 : Surah al-A’raaf )

Allah berfirman lagi : “Di bumi itu kamu hidup dan di situ juga kamu mati, dan daripadanya pula kamu akan dikeluarkan (dibangkitkan hidup semula pada hari kiamat)”. ( Ayat 25 : Surah al-A’raaf)

Tiap-tiap yang bernyawa akan merasai mati, dan bahawasanya pada hari kiamat sahajalah akan disempurnakan balasan kamu. Ketika itu sesiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke  syurga maka sesungguhnya ia telah berjaya. Dan (ingatlah bahawa) kehidupan di dunia ini (meliputi segala kemewahannya dan pangkat kebesarannya) tidak lain hanyalah kesenangan bagi orang-orang  yang terpedaya. ( Ayat 185 : Surah a-li ‘Imraan )

 Allah s.w.t menerangkan dengan jelas tentang sifat-sifat dunia yang dihuni oleh manusia. Manusia bermusuhan sesama sendiri, saling rosak merosakkan dan kesenangannya adalah tipu daya. Segala perkiraan dan pembalasan yang berlaku di dalam dunia ini tidak sempurna.

 Manusia dibahagikan kepada dua golongan iaitu yang beriman dan yang tidak beriman. Golongan yang tidak beriman menerima upah terhadap kebaikan yang mereka lakukan semasa di dunia ini lagi dan di akhirat kelak mereka tidak boleh  menuntut apa-apa lagi dari Tuhan. Janganlah menghairankan dan mendukacitakan sekiranya Tuhan membalas kebaikan mereka ketika mereka masih hidup di dalam dunia dengan memberikan kepada mereka berbagai-bagai kelebihan dan kemewahan. Mereka tidak berhak lagi menuntut nikmat akhirat dan tempat kembali mereka di sana kelak ialah neraka jahanam. Begitu juga janganlah menghairankan dan mendukacitakan sekiranya orang-orang yang beriman dan beramal salih terpaksa menghadapi penderitaan dan penghinaan semasa hidup di dunia. Dunia ini tidak layak menjadi tempat buat Allah s.w.t membalas kebaikan mereka. Balasan kebaikan dari Allah s.w.t sangat tinggi nilainya, sangat mulia dan sangat agung, tidak layak dimuatkan di dalam dunia yang hina dan rendah ini. Dunia hanyalah tempat hidup, beramal dan mati. Bila berlaku kiamat kita akan dibangkitkan dan menunggu kita adalah negeri yang abadi.

KITAB AL-HIKAM HIKMAH KE 24 (SYARAH UST BARI) : KENALI SIFAT DUNIA

Menurut Kalam Hikmah ke 24 , Imam Ibnu Athaillah Askandary       

"JANGAN HAIRAN DENGAN TERJADINYA PERKARA-PERKARA YANG TIDAK BAIK SELAGI ENGKAU MASIH DI ALAM INI, KERANA DUNIA HANYA MEMBERIKAN APA YANG TELAH MENJADI SIFATNYA "


Pelajaran yang boleh kita ambil dari hikmah ini :

Dunia dijadikan oleh Allah swt sebagai tempat beramal untuk kehidupan yang abadi di akhirat kelak, dia dipenuhi dengan ujian, kesulitan,kesedehan dan bebagai macam cobaan, dan hanya menggantungkan kepada sumber kebahagiaan yang hakiki, hanya menggantungkan dan menyerahkannya kepada Allah.

Keredhaan dengan apa yang telah dipilih oleh Allah untuk kita adalah tingkatan kesabaran yang paling tinggi, seorang mukmin tidak lagi merasakan kesulitan yang dia hadapi sebagai penghalang untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, dia tidak menganggap perintah dan larangan Allah sebagai suatu yang mempersempit kehidupannya, dan jika di dalam hatinya muncul rasa berat untuk melaksanakan perintah-Nya, dia akan tetap melaksanakannya dan menghiasi hatinya dengan indahnya kesabaran, rasulullah bersabda :

                 "Jika engkau mampu beramal untuk Allah dengan penuh keredhoan dan keyakinan maka lakukanlah, dan jika tidak mampu ( maka bersabarlah ) sesungguhnya didalam kesabaran menjalankan apa yang tidak engkau sukai terdapat kebaikan yang banyak "                                       
HR : al-Bahaqi dalam kitab syuabul iman