Sabtu, 19 Maret 2016

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN KE 33 MENGENAI PENGUNGKAPAN FIKIRAN



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Salah seorang dari Syekh itu berkata : 

Fikiran itu ada empat : Dari Tuhan; dari malaikat; dari diri sendiri dan dari setan.
Fikiran yang berasal dari Tuhan merupakan suatu teguran yang baik;
yang dari Malaikat, suatu dorongan agar patuh;
yang dari diri sendiri, pemenuhan nafsu;
yang dari setan, ajakan kepada keingkaran. 

Dengan tuntunan pengesaan, fikiran dari Tuhan itu diterima, dam dengan tuntunan ma’rifat, fikiran dari malaikat itu diterima; dengan tuntunan iman, (pikiran mengenai) diri sendiri itu disangkal, dan dengan tuntunan Islam, (pikiran mengenai) setan itu di tolak.

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN KE 32 MENGENAI SIFAT DAN MAKNA TASAWUF



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Saya mendengar bahwa Abul-Hasan Muhammad ibn Ahmad al-Farisi berkata : “ Unsur-unsur Tasawuf itu ada sepuluh jumlahnya. Yang pertama adalam pemecilan pengesaan; yang kedua adalah pengertian audisi (sama’); yang ketiga adalah persahabatan yang baik; yang keempat adalah kelebih sukaan kepada yang lebih disukai; yang ke lima adalah pemasrahan pilihan pribadi; yang keenam adalah pergerakan ekstase; yang ketujuh adalah pengungkapan pikiran; yang kedelapan adalah perjalanan yang banyak;  yang kesembilan adalah pemasrahan rizki; yang kesepuluh adalah penolakan untuk menimbun (harta).

Pemecilan pengesaan berarti bahwa pemikiran mengenai penyembahan kepada banyak tuhan atau ketidakpercayaan akan adanya Tuhan tidak akan dapat merusak kesucian akan kepercayaan kepada Tuhan Yang Esa. Audisi mengandung arti bahwa orang harus mendengarkan dalam tuntunan pengalaman gaib, bukan hanya melalui proses belajar. Kelebihsukaan kepada yang lebih disukai berarti bahwa orang itu harus lebih menyukai orang lain lebih menyukai, sehingga dia akan mendapatkan kebaikan dari kelebihsukaan itu. 

Pergerakan ekstase terwujud kalau kesadaran tidak hampa dari sesuatu yang menimbulkan ekstase dan tidak dipenuhi pemikiran-pemikiran yang mencegah orang mendengarkan anjuran-anjuran Tuhan. Pengungkapan pikiran berarti bahwa orang itu harus menguji setiap pemikiran yang masuk ke dalam kesadarannya, dan mengikuti apa yang berasal dari Tuhan, tapi meninggalkan apa yang tidak berasal dari Tuhan. 

Perjalanan yang banyak, ditujukan untuk melihat peringatan-peringatan yang dapat dicari di langit dan di bumi; sebab Tuhan berfirman : “Tidakkah mereka menjelajahi bumi ini untuk menyelidiki bagaimana nasib bangsa-bangsa yang sebelum mereka? Dan lagi. “Katakanlah: “Mengembaralah di muka bumi ini, lalu perhatikan bagaimana Allah memulia penciptaan segala-galanya.” Dan kata-kata : “Mengembaralah di muka bumi ini”,  dijelaskan sebagai mengandung arti, dengan tuntunan ma’rifat, bukannya dengan kegelapan kejahilan, demi memotong ikatan (kebenaran) dan melatih jiwa. Pemasrahan rizki diartikan sebagai tuntutan agar jiwa bertawakal kepada Tuhan. 

Penolakan untuk menimbun hanya diartikan sehubungan dengan kondisi pengalaman gaib, dan bukan sehubungan dengan peraturan-peraturan ilmu kalam. Karena itu, ketika salah seorang dari mereka yang duduk dalam mahkamah itu wafat dengan meninggalkan satu dinar, nabi berkata mengenai orang itu : “Sebuah cap pembakaran (di neraka).

Rabu, 09 Maret 2016

ABU BAKRAH ATS TSAQAFI DAN KERIDHAANYA TERHADAP KETETAPAN ALLAH



Abu Bakrah ats-Tsaqafi ath-Tha'ifi adalah Maula Rasulullah saw.. Nama aslinya adalah Nafi' ibnul Harits. 

Ketika peristiwa pengepungan Tha'if, dia keluar dari benteng pertahanan orang-orang Tha'if yang berada di Bakrah, lalu melarikan diri menuju ke tempat Rasulullah saw.. Abu Bakrah masuk Islam di bawah bimbingan Rasulullah saw. sendiri. Karena dia adalah seorang budak, maka Rasulullah saw. membebaskannya terlebih dahulu, hingga dia menjadi orang merdeka.

Abu Ka'b berkata, "Abdul Aziz bin Abu Bakrah menceritakan pada kami bahwa ayahnya, Abu Bakrah, menikah dengan seorang wanita, kemudian wanita tersebut meninggal. 

Ketika dia hendak menshalati istrinya itu, saudara-saudara isterinya menghalang-halanginya. Melihat itu, dengan kesal Abu Bakrah berkata pada mereka, "Saya adalah orang yang paling berhak untuk menshalatinya". 

Lalu orang-orang berkata, "Dia benar". Setelah itu Abu Bakrah memaksa masuk ke tempat makam isterinya, maka saudara-saudara isterinya langsung mendorongnya dengan kuat, hingga dia terjatuh dan pingsan. Kemudian dalam keadaan pingsan dia dibawa ke tempat keluarganya. Ketika sampai, langsung disambut dengan jeritan tangis dua puluh putra putrinya, dan saya ( Abdul Aziz bin Abi Bakrah ) adalah anaknya yang paling kecil. 

Abu Bakrah pun tersadar dari pingsannya dan mendengar tangisan anak-anaknya, lalu dia berkata pada mereka, "Jangan kalian menangis seperti itu. Sungguh demi Allah, tidak ada yang lebih membahagiakan saya dari setiap nyawa yang dicabut melainkan jika itu nyawa saya sendiri". 

Anak-anak Abu Bakrah pun terkejut mendengar perkataan ayahnya itu, kemudian mereka berkata, "Wahai ayah mengapa engkau berkata begitu?" 

Abu Bakrah menjawab, "Sungguh saya takut akan mengalami hidup pada sebuah zaman di mana saya tidak boleh lagi menyeru kepada kebaikan dan melarang perbuatan munkar. Dan pada zaman itu tidak ada kebaikan yang dapat dijumpai".

Demikianlah keridhaan Abu Bakrah terhadap qada dan qadar Allah. Semoga Allah meridhainya.

ABU BAKAR ASH SIDDIQ DAN KERIDHAANYA KEPADA ALLAH



Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. masuk Islam setelah Khadijah bintu Khuwailid, isteri Nabi saw., Zaid bin Haritsah, anak-anak Nabi saw. dan Ali bin Abi Thalib k.w.. 

Abu Bakar, sebagaimana sahabat-sahabat lainnya, menanggung penderitaan karena kejahatan orang-orang Quraisy. Meskipun keluarga dan kerabatnya mencoba membelanya, akan tetapi kejahatan orang-orang Quraisy kepada Abu Bakar semakin menjadi-jadi, hingga dia memutuskan untuk hijrah dari Mekkah. Lalu dia minta izin kepada Nabi saw. untuk berhijrah ke Ethiopia dan beliau pun mengizinkannya.

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. pergi meninggalkan Mekkah dengan membawa bekalnya dengan niat berhijrah menuju Habasyah ( Ethiopia ). Ketika dalam perjalanan, dia bertemu dengan Ibnu Daghinah yang masih musyrik; memeluk agama orang-orang Quraisy. Ibnu Daghinah juga termasuk pembesar orang-orang Quraisy.

Ibnu Daghinah bertanya kepada Abu Bakar, “Abu Bakar, mau kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab, “Kaumku mengusirku dan menyakitiku. Mereka mempersulit kehidupanku. Maka saya ingin pergi dan menyembah Tuhanku”.

Ibnu Daghinah pun berkata, “Mengapa begitu? Sesungguhnya orang sepertimu tidak sepantasnya keluar dan diusir dari negerimu. Demi Allah, sesungguhnya engkau membuat baik nama keluargamu, membantu orang-orang yang terkena musibah, membantu orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, menyambung silaturahmi dengan kerabat, menanggung penderitaan orang lain, membela orang yang lemah dan melakukan kebaikan. Kembalilah, engkau dalam jaminanku. Lalu sembahlah Tuhanmu di negerimu”.

Maka Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. pun kembali ke Mekkah bersama Ibnu Daghinah. Ketika sampai di Mekkah, Ibnu Daghinah berkeliling menemui para pembesar Quraisy dan berkata kepada mereka, “Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya saya menjamin Ibnu Abi Qahafah. Maka hendaknya setiap orang bersikap baik kepadanya”.

Maka orang-orang Quraisy pun menerima jaminan Ibnu Daghinan bagi Abu Bakar dan mereka pun tidak menyakitinya lagi. Namun mereka memberi syarat dan berkata, “Suruhlah dia menyembah Tuhannya di dalam rumahnya. Dia harus sembahyang dan membaca apa yang dia kehendaki di dalamnya, jangan sampai dia mengganggu kami dengan semua itu. Juga jangan sampai hal itu terlihat oleh orang-orang”.

Ibnu Daghinah pun menyampaikan apa yang dikatakan para pembesar Quraisy tersebut kepada Abu Bakar r.a.. Kemudian Abu Bakar membangun masjid di halaman rumahnya. Dia melakukan shalat dan membaca Al-Qur’an di dalamnya.
Namun di luar rumahnya, para wanita dan anak-anak orang Quraisy berdesakan mendengarkan Al-Qur`an yang dia baca. Mereka terkagum-kagum. Dan Abu Bakar sendiri ketika membaca Al-Qur’an sangat lembut, membuat orang-orang yang di dekatnya ikut menangis.

Maka orang-orang musyrik pun merasa khawatir terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka karena bacaan Abu Bakar, juga tangisan dan kekhusyu’annya. Lalu mereka mengutus seseorang menemui Ibnu Daghinah untuk melaporkan kepadanya apa yang dilakukan Abu Bakar, tentang masjid yang dibangunnya dan tergodanya para isteri serta anak-anak mereka ketika mendengar bacaannya.
Dan mereka meminta kepada Ibnu Daghinah untuk menyuruh Abu Bakar melakukan shalat hanya di dalam rumahnya, sehingga bacaannya tidak didengar oleh orang lain. Jika Abu Bakar tidak mau melakukannya, maka Ibnu Daghinah diminta mencabut jaminannya terhadap Abu Bakar.

Lalu Ibnu Daghinah mendatangi Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Engkau sudah tahu apa yang telah saya sepakati dengan orang-orang Quraisy perihal dirimu. Maka terserah dirimu, apakah engkau akan melakukan kesepakatan itu atau engkau kembalikan jaminanku itu. Karena saya tidak ingin orang-orang Arab mendengar bahwa saya mengkhianati orang yang saya jamin”.

Maka Abu Bakar berkata, “Saya kembalikan jaminanmu dan saya ridha dengan jaminan Allah ‘azza wajalla”.

Abu Bakar ash-Shiddiq ridha dengan qadha dan jaminan Allah. Dia terus beribadah kepada Allah dan pada saat yang sama orang-orang Quraisy terus menyakitinya. Abu Bakar tetap menanggung semua itu demi memperoleh keridhaan Allah ‘azza wajalla.

ABU AQIL AL ANIFI RIDHA, WALAUPUN MASIH LUKA PADA PERANG YAMAMMAH



Dari Ja’far bin Abdullah bin Aslam al-Hamdani r.a., dia berkata, “Ketika peperangan Yamamah, orang yang pertama kali terluka adalah Abu Aqil al-Anifi. Dia terkena panah di antara kedua pundak dan hatinya.

Kemudian anak panah tersebut dikeluarkan dari tubuhnya, dengan terlebih dahulu merobek bagian tubuhnya yang terkena panah tersebut. Sehingga bagian tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh. Ketika itu waktu masih pagi, maka dia pun dibawa ke tempat peristirahatan orang-orang muslim.

Ketika peperangan memanas, orang-orang muslim kalah  dan mereka bersiap-siap mundur dengan tunggangan mereka.  Ketika itu Abu Aqil sedang dalam kondisi sakit karena lukanya.
Lalu dia mendengar Ma’n bin Adi berteriak memanggil orang-orang Anshar, “Allah, Allah, serang musuh kalian”. Dan Ma’n pun segera maju ke barisan depan pasukan muslim, ketika orang-orang Anshar berteriak, “Pilihlah kami, pilihlah kami”. Maka mereka memilih satu persatu dari mereka dan memisahkan diri.

Abdullah bin Umar berkata, “Kemudian Abu Aqil bangkit mendatangi kaumnya tersebut. Maka saya katakan kepadanya, “Apa yang akan engkau lakukan wahai Abu Aqil. Engkau tidak bisa berperang”.

Dia menjawab, “Seseorang telah memanggil nama saya”.

Ibnu Umar berkata, “Orang itu memanggil orang-orang Anshar yang tidak terluka”.
Abu Aqil berkata, “Saya adalah salah seorang Anshar, dan saya akan tetap memenuhi panggilan itu walaupun dengan merangkak”.

Ibnu Umar berkata, “Lalu Abu Aqil memakai ikat pinggangnya lalu mengambil pedangnya dan membawanya dengan tangan kanannya saja. Kemudian dia berseru, “Wahai orang-orang Anshar, mari kita lakukan kembali apa yang pernah kita lakukan dalam peperangan Hunain”.

Maka orang-orang Anshar pun berkumpul bersamanya dan berada di barisan depan orang-orang muslim lainnya dengan gagah berani. Lalu mereka menyerang musuh hingga menerobos kebun tempat pasukan Musailamah berlindung. Kemudian mereka pun berbaku hantam dan pedang-pedang mereka pun beradu”.

Ibnu Umar berkata, “Lalu saya melihat tangannya yang terluka telah putus hingga sampai pundak dan jatuh ke tanah. Sedangkan di tubuhnya terdapat empat belas luka, yang masing-masing dapat membuat seseorang terbunuh. Dan dia berhasil membunuh musuh Allah, Musailamah”.

Ibnu Umar berkata, “Lalu saya mendapati Abu Uqail yang terluka parah pada detik-detik menjelang kematiannya. Ketika saya bertanya kepadanya, “Engkau Abu Aqil?”
Dia menjawab, “Ya”.

Lalu dengan terbata-bata dia bertanya, “Pihak manakah yang kalah?”

Maka saya katakan, “Kitalah yang menang”. Dan dengan suara keras saya katakan kepadanya, “Musuh Allah telah terbunuh”. Lalu dia mengangkat jarinya ke langit dengan mengucap hamdalah lalu meninggal dunia”.

Ibnu Umar berkata, “Lalu saya memberitahu Umar Ibnul Khathab tentang Abu Uqail, maka Umar berkata, “Semoga Allah mengasihinya. Dia terus mencari syahid, walaupun saya tahu dia adalah salah satu sahabat Nabi saw. yang terbaik dan salah seorang yang masuk Islam lebih dahulu”.