Tampilkan postingan dengan label Kisah Ridha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Ridha. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Maret 2016

ABU BAKRAH ATS TSAQAFI DAN KERIDHAANYA TERHADAP KETETAPAN ALLAH



Abu Bakrah ats-Tsaqafi ath-Tha'ifi adalah Maula Rasulullah saw.. Nama aslinya adalah Nafi' ibnul Harits. 

Ketika peristiwa pengepungan Tha'if, dia keluar dari benteng pertahanan orang-orang Tha'if yang berada di Bakrah, lalu melarikan diri menuju ke tempat Rasulullah saw.. Abu Bakrah masuk Islam di bawah bimbingan Rasulullah saw. sendiri. Karena dia adalah seorang budak, maka Rasulullah saw. membebaskannya terlebih dahulu, hingga dia menjadi orang merdeka.

Abu Ka'b berkata, "Abdul Aziz bin Abu Bakrah menceritakan pada kami bahwa ayahnya, Abu Bakrah, menikah dengan seorang wanita, kemudian wanita tersebut meninggal. 

Ketika dia hendak menshalati istrinya itu, saudara-saudara isterinya menghalang-halanginya. Melihat itu, dengan kesal Abu Bakrah berkata pada mereka, "Saya adalah orang yang paling berhak untuk menshalatinya". 

Lalu orang-orang berkata, "Dia benar". Setelah itu Abu Bakrah memaksa masuk ke tempat makam isterinya, maka saudara-saudara isterinya langsung mendorongnya dengan kuat, hingga dia terjatuh dan pingsan. Kemudian dalam keadaan pingsan dia dibawa ke tempat keluarganya. Ketika sampai, langsung disambut dengan jeritan tangis dua puluh putra putrinya, dan saya ( Abdul Aziz bin Abi Bakrah ) adalah anaknya yang paling kecil. 

Abu Bakrah pun tersadar dari pingsannya dan mendengar tangisan anak-anaknya, lalu dia berkata pada mereka, "Jangan kalian menangis seperti itu. Sungguh demi Allah, tidak ada yang lebih membahagiakan saya dari setiap nyawa yang dicabut melainkan jika itu nyawa saya sendiri". 

Anak-anak Abu Bakrah pun terkejut mendengar perkataan ayahnya itu, kemudian mereka berkata, "Wahai ayah mengapa engkau berkata begitu?" 

Abu Bakrah menjawab, "Sungguh saya takut akan mengalami hidup pada sebuah zaman di mana saya tidak boleh lagi menyeru kepada kebaikan dan melarang perbuatan munkar. Dan pada zaman itu tidak ada kebaikan yang dapat dijumpai".

Demikianlah keridhaan Abu Bakrah terhadap qada dan qadar Allah. Semoga Allah meridhainya.

ABU BAKAR ASH SIDDIQ DAN KERIDHAANYA KEPADA ALLAH



Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. masuk Islam setelah Khadijah bintu Khuwailid, isteri Nabi saw., Zaid bin Haritsah, anak-anak Nabi saw. dan Ali bin Abi Thalib k.w.. 

Abu Bakar, sebagaimana sahabat-sahabat lainnya, menanggung penderitaan karena kejahatan orang-orang Quraisy. Meskipun keluarga dan kerabatnya mencoba membelanya, akan tetapi kejahatan orang-orang Quraisy kepada Abu Bakar semakin menjadi-jadi, hingga dia memutuskan untuk hijrah dari Mekkah. Lalu dia minta izin kepada Nabi saw. untuk berhijrah ke Ethiopia dan beliau pun mengizinkannya.

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. pergi meninggalkan Mekkah dengan membawa bekalnya dengan niat berhijrah menuju Habasyah ( Ethiopia ). Ketika dalam perjalanan, dia bertemu dengan Ibnu Daghinah yang masih musyrik; memeluk agama orang-orang Quraisy. Ibnu Daghinah juga termasuk pembesar orang-orang Quraisy.

Ibnu Daghinah bertanya kepada Abu Bakar, “Abu Bakar, mau kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab, “Kaumku mengusirku dan menyakitiku. Mereka mempersulit kehidupanku. Maka saya ingin pergi dan menyembah Tuhanku”.

Ibnu Daghinah pun berkata, “Mengapa begitu? Sesungguhnya orang sepertimu tidak sepantasnya keluar dan diusir dari negerimu. Demi Allah, sesungguhnya engkau membuat baik nama keluargamu, membantu orang-orang yang terkena musibah, membantu orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, menyambung silaturahmi dengan kerabat, menanggung penderitaan orang lain, membela orang yang lemah dan melakukan kebaikan. Kembalilah, engkau dalam jaminanku. Lalu sembahlah Tuhanmu di negerimu”.

Maka Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. pun kembali ke Mekkah bersama Ibnu Daghinah. Ketika sampai di Mekkah, Ibnu Daghinah berkeliling menemui para pembesar Quraisy dan berkata kepada mereka, “Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya saya menjamin Ibnu Abi Qahafah. Maka hendaknya setiap orang bersikap baik kepadanya”.

Maka orang-orang Quraisy pun menerima jaminan Ibnu Daghinan bagi Abu Bakar dan mereka pun tidak menyakitinya lagi. Namun mereka memberi syarat dan berkata, “Suruhlah dia menyembah Tuhannya di dalam rumahnya. Dia harus sembahyang dan membaca apa yang dia kehendaki di dalamnya, jangan sampai dia mengganggu kami dengan semua itu. Juga jangan sampai hal itu terlihat oleh orang-orang”.

Ibnu Daghinah pun menyampaikan apa yang dikatakan para pembesar Quraisy tersebut kepada Abu Bakar r.a.. Kemudian Abu Bakar membangun masjid di halaman rumahnya. Dia melakukan shalat dan membaca Al-Qur’an di dalamnya.
Namun di luar rumahnya, para wanita dan anak-anak orang Quraisy berdesakan mendengarkan Al-Qur`an yang dia baca. Mereka terkagum-kagum. Dan Abu Bakar sendiri ketika membaca Al-Qur’an sangat lembut, membuat orang-orang yang di dekatnya ikut menangis.

Maka orang-orang musyrik pun merasa khawatir terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka karena bacaan Abu Bakar, juga tangisan dan kekhusyu’annya. Lalu mereka mengutus seseorang menemui Ibnu Daghinah untuk melaporkan kepadanya apa yang dilakukan Abu Bakar, tentang masjid yang dibangunnya dan tergodanya para isteri serta anak-anak mereka ketika mendengar bacaannya.
Dan mereka meminta kepada Ibnu Daghinah untuk menyuruh Abu Bakar melakukan shalat hanya di dalam rumahnya, sehingga bacaannya tidak didengar oleh orang lain. Jika Abu Bakar tidak mau melakukannya, maka Ibnu Daghinah diminta mencabut jaminannya terhadap Abu Bakar.

Lalu Ibnu Daghinah mendatangi Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Engkau sudah tahu apa yang telah saya sepakati dengan orang-orang Quraisy perihal dirimu. Maka terserah dirimu, apakah engkau akan melakukan kesepakatan itu atau engkau kembalikan jaminanku itu. Karena saya tidak ingin orang-orang Arab mendengar bahwa saya mengkhianati orang yang saya jamin”.

Maka Abu Bakar berkata, “Saya kembalikan jaminanmu dan saya ridha dengan jaminan Allah ‘azza wajalla”.

Abu Bakar ash-Shiddiq ridha dengan qadha dan jaminan Allah. Dia terus beribadah kepada Allah dan pada saat yang sama orang-orang Quraisy terus menyakitinya. Abu Bakar tetap menanggung semua itu demi memperoleh keridhaan Allah ‘azza wajalla.

ABU AQIL AL ANIFI RIDHA, WALAUPUN MASIH LUKA PADA PERANG YAMAMMAH



Dari Ja’far bin Abdullah bin Aslam al-Hamdani r.a., dia berkata, “Ketika peperangan Yamamah, orang yang pertama kali terluka adalah Abu Aqil al-Anifi. Dia terkena panah di antara kedua pundak dan hatinya.

Kemudian anak panah tersebut dikeluarkan dari tubuhnya, dengan terlebih dahulu merobek bagian tubuhnya yang terkena panah tersebut. Sehingga bagian tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh. Ketika itu waktu masih pagi, maka dia pun dibawa ke tempat peristirahatan orang-orang muslim.

Ketika peperangan memanas, orang-orang muslim kalah  dan mereka bersiap-siap mundur dengan tunggangan mereka.  Ketika itu Abu Aqil sedang dalam kondisi sakit karena lukanya.
Lalu dia mendengar Ma’n bin Adi berteriak memanggil orang-orang Anshar, “Allah, Allah, serang musuh kalian”. Dan Ma’n pun segera maju ke barisan depan pasukan muslim, ketika orang-orang Anshar berteriak, “Pilihlah kami, pilihlah kami”. Maka mereka memilih satu persatu dari mereka dan memisahkan diri.

Abdullah bin Umar berkata, “Kemudian Abu Aqil bangkit mendatangi kaumnya tersebut. Maka saya katakan kepadanya, “Apa yang akan engkau lakukan wahai Abu Aqil. Engkau tidak bisa berperang”.

Dia menjawab, “Seseorang telah memanggil nama saya”.

Ibnu Umar berkata, “Orang itu memanggil orang-orang Anshar yang tidak terluka”.
Abu Aqil berkata, “Saya adalah salah seorang Anshar, dan saya akan tetap memenuhi panggilan itu walaupun dengan merangkak”.

Ibnu Umar berkata, “Lalu Abu Aqil memakai ikat pinggangnya lalu mengambil pedangnya dan membawanya dengan tangan kanannya saja. Kemudian dia berseru, “Wahai orang-orang Anshar, mari kita lakukan kembali apa yang pernah kita lakukan dalam peperangan Hunain”.

Maka orang-orang Anshar pun berkumpul bersamanya dan berada di barisan depan orang-orang muslim lainnya dengan gagah berani. Lalu mereka menyerang musuh hingga menerobos kebun tempat pasukan Musailamah berlindung. Kemudian mereka pun berbaku hantam dan pedang-pedang mereka pun beradu”.

Ibnu Umar berkata, “Lalu saya melihat tangannya yang terluka telah putus hingga sampai pundak dan jatuh ke tanah. Sedangkan di tubuhnya terdapat empat belas luka, yang masing-masing dapat membuat seseorang terbunuh. Dan dia berhasil membunuh musuh Allah, Musailamah”.

Ibnu Umar berkata, “Lalu saya mendapati Abu Uqail yang terluka parah pada detik-detik menjelang kematiannya. Ketika saya bertanya kepadanya, “Engkau Abu Aqil?”
Dia menjawab, “Ya”.

Lalu dengan terbata-bata dia bertanya, “Pihak manakah yang kalah?”

Maka saya katakan, “Kitalah yang menang”. Dan dengan suara keras saya katakan kepadanya, “Musuh Allah telah terbunuh”. Lalu dia mengangkat jarinya ke langit dengan mengucap hamdalah lalu meninggal dunia”.

Ibnu Umar berkata, “Lalu saya memberitahu Umar Ibnul Khathab tentang Abu Uqail, maka Umar berkata, “Semoga Allah mengasihinya. Dia terus mencari syahid, walaupun saya tahu dia adalah salah satu sahabat Nabi saw. yang terbaik dan salah seorang yang masuk Islam lebih dahulu”.

ABDULLAH BIN UMAR IBN AL KHATTAB DAN KERIDHAANYA KEPADA ALLAH



Abdullah bin Umar bin Khathtab berkata, “Ayat berikut ini terlintas di hatiku, “

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai”. ( Ali Imran: 92 ). 

Lalu saya mengingat-ingat apa yang diberikan Allah kepadaku. Maka saya tidak ada yang lebih saya sukai dari seorang budak wanitaku yang bernama Rumaitsah.

Maka saya katakan kepadanya, “Engkau merdeka karena Allah semata”. Dan saya tidak ingin mengambil kembali apa yang saya berikan kepada Allah. Kalau bukan karena hal itu, pasti saya menikahinya”.

Lalu Ibnu Umar menikahkannya dengan maulanya, Nafi’, padahal budak wanita itu adalah ibu dari anaknya.

Saya ( penulis ) katakan, “Demikian para sahabat ketika turun firman Allah,

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai”. ( Ali Imran : 92 ).

Yang dimaksud dari kata al-Birr dalam ayat tersebut adalah syurga. Ketika ayat ini turun, masing-masing mereka pun segera mengeluarkan milik mereka yang paling mereka sukai karena Allah ‘azza wajalla, untuk mendapatkan sYurga yang Allah sediakan bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

ABDULLAH BIN UMAR RIDHA KEMATIAN ANAKNYA



Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Nafi’ maula Ibnu Umar, dia berkata, “Suatu ketika anak Ibnu Umar merintih-rintih karena sakit parah. Hal itu membuat Ibnu Umar bersedih, hingga beberapa orang yang melihatnya berkata, ”Sungguh kami khawatir akan terjadi sesuatu pada diri orang tua ini”. 

Tidak selang lama sang anak pun meninggal dunia. Lalu Ibnu Umar keluar mengiring  jenazahnya dengan wajah yang tetap berseri, tidak seorang pun yang wajahnya lebih cerah dari dia kala itu. 

Orang pun bertanya-tanya karenanya. Maka Ibnu Umar berkata, “Kesedihan saya adalah kasih sayang baginya. Maka ketika keputusan Allah berlaku padanya saya ridha dengan keputusan itu”. 

Maksud dari perkataan Ibnu Umar tersebut adalah bahwa kesedihannya tatkala anaknya sakit merupakan curahan rasa kasih sayangnya terhadap sang anak. Itu adalah perasaan yang wajar, karena setiap manusia yang mencintai anak-anaknya akan merasakan hal itu.
Kemudian ketika anaknya meninggal dunia sesuai dengan keputusan Allah maka dia pun ridha terhadap keputusan itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang mu’min terhadap keputusan Tuhannya yang Maha Agung. Dan sikap seperti itu tidak akan dimiliki oleh seorang pun kecuali dia ridha terhadap qadha dan qadar Allah.