Minggu, 26 Agustus 2012

ADAB BERDOA (VERSI PONDOK PASENTERAN ) HIKAM ATAI’ILLAH NO 6

VERSI PONDOK PASENTREN

Janganlah do'a yang lama tidak di kabulkan padahal engkau telah meminta dengan sungguh-sungguh menjadikan engkau putus asa, karena Allah SWT pasti akan mengabulkan do'amu sesuai dengan kehendak-Nya bukan sesuai dengan keinginanmu dan pada waktu yang Dia kehendaki bukan pada waktu yang engkau inginkan .

Penjelasan dan dalilnya

Setelah seorang hamba melakukan asbab-asbab dan meninggalkan pengaturan serta bertawakkal kepada Alloh SWT atas hasil-hasil asbab yang dia lakukan, maka dia dituntut untuk berdo'a kepada Alloh SWT. Ini adalah merupakan bukti bahwa dia adalah makhluk yang butuh kepada kholiqnya.
Allah SWT telah berfirman di dalam surat Al-Mu'min ayat : 60 :
Ertinya :Dan tuhanmu berfirman "Berdo'alah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu".
Terkadang ada orang yang sudah berdo'a dengan sungguh-sungguh namun dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan di dalam do'anya. Sehingga dia menyangka bahwa Alloh tidak menepatinya janjinya.
Perasangka ini adalah sebuah kesalahan yang sangat vital dan tidak bisa di tolelir lagi hal ini dikarenakan kebanyakan orang hanya meminta dengan mulutnya tersebut, dia tidak memahami makna dari do'a dan syarat-syaratnya.
Meminta (tholab) itu, belum bisa di katakan do'a, karena diantara do'a dan tholab terdapat perbedaan yang sangat besar.
Tholab adalah sifat dari suatu lafadz (kata-kata) yang di ucapkan oleh orang yang meminta. Sedangkan do'aadalah suatu ibarat tentang keadaan dan perasaan hati orang yang meminta.
Keadaan hati yang bisa menjadikan tholab disebut do'a hanya bisa terwujud dengan adanya dua persyaratan sebagai berikut :
  • sadarnya hati dan perasaan dengan penuh rasa rendah diri dan tawadlu' di hadapan Alloh SWT.

    Apabila hati belum sadar dan belum ada perasaan rendah diri dan tawadlu' kepada Alloh SWT, tetapi mulut hanya mengucapkan do'a dengan kalimat-kalimat yang telah di hafalkan padahal hatinya lupa dan pikirannya melayang, maka permintaan ini belum bisa dikatakan do'a melainkan hanyalah sebuah tholab. Atau bisa disebut do'a secara lughowi yakni do'a yang dikehendaki oleh ahli lughot arab ketika berbicara tentang kalam khobar dan kalam insya'.

    Jadi ketika seseorang dengan hati yang tertutup dan tidak ada rasa tawadlu' maka bagaimana mungkin permintaan itu dikabulkan?.

    Demikian pula banyak sekali di jumpai orang yang sedang memiliki impian-impian dan harapan-harapan dunia dan dia yakin bahwa impian-impian tersebut akan terwujud ketika dia berdo'a dengan do'a-do'a khusus yang bila seseorang meminta kepada Alloh dengan do'a-do'a khusus tersebut, pasti akan dikabulkan. Maka diapun berusaha mencari do'a-do'a tersebut dari kitab-kitab para ulama, para santri dan sebagainya. Setelah dia menemukannya maka dia akan menghafalkannya. Do'a tersebut dia ucapkan berkali-kali, berhari-hari bahkan sampai berminggu-minggu padahal hatinya masih kosong dan dia berpaling dari perintah-perintah dan wasiat-wasiat Allah SWT.
    Akhirnya setelah menuggu sekian lama, ternyata permintaannya tidak ada satupun yang dikabulkan oleh Alloh SWT. Akibatnya, diapun mengklaim bahwa Allsh SWT tidak menepati janjinya. Ini adalah salah satu kebodohan, karena dia tidak mengetahui ma'na do'a yang sebenarnya.
  • Orang yang berdo'a harus bertaubat dengan taubat nasuha dari semua yang pernah ia lakukan dan menjadikan taubat ini sebagai penolong do'anya.

    Adapun orang yang meminta kepada Alloh SWT, padahal dia belum bertaubat dan masih melakukan maksiat, berarti dia adalah orang yang tidak bisa menggunakan akalnya dan pasti do'anya tidak akan dikabulkan.

    Hal ini bisa kita analogikan dengan keadaan yang kita jumpai di masyarakat. Contoh kecilnya adalah sebagai berikut: Ada seseorang yang mengajukan proposal dan meminta bantuan kepada salah satu pejabat yang ada di kotanya, padahal orang tersebut masih memiliki permusuhan dengan sang pejabat. Bila dia langsung mengajukan proposal dan meminta bantuan tanpa meminta maaf terlebih dahulu, pastilah sang pejabat tidak akan menyetujui proposal dan permintaaanya.

    Ini adalah contoh kecil hubungan yang terjadi di antara sesama manusia yang mana status mereka adalah makhluk Alloh SWT. Maka bagaimana bila hal ini terjadi antara hamba Alloh yang hina dengan Dzat yang menguasai dan mengaturnya ?

    Alloh SWT telah memerintahkan kepada Hamba-Nya untuk tidak mendustakan-Nya tetapi dia tidak memenuhi perintah tersebut. Lalu Alloh SWT menyuruhnya untuk bertaubat, namun dia tidak mau bertaubat. Dan disaat kondisi seperti ini dia meminta kepada Alloh SWT sehingga Alloh SWT tidak mengabulkannya, ujung-ujungnya dia mengklaim bahwa Alloh SWT tidak memenuhi janji-Nya. Manusia seperti ini adalah manusia yang tidak berakal dan tidak memiliki adab terhadap sang kholiq, sebab permintaan yang dia ajukan hanyalah tholab dan tidak bisa dikatakan do'a yang disebut dalam firman Alloh SWT : (
    وقال ربكم ادعوني أستجب لكم)
Doa untuk sendiri dan orang lain
Seseorang yang sudah melakukan 2 (dua) syarat taubat ini, maka ketika dia berdo'a untuk dirinya sendiri pasti do'anya akan di kabulkan. Namun ketika dia berdo'a untuk masyarakat banyak, maka seringkali do'anya tidak dikabulkan. Hal ini dikarenakan ketika dia berdo'a untuk dirinya sendiri maka sangat mudah bagi dirinya untuk bertaubat dan berhenti melakukan ma'siat. Namun ketika dia berdo'a untuk masyarakat banyak maka syarat ini sulit untuk diwujudkan, karena di dalam masyarakat masih terdapat orang-orang yang berdo'a dan belum bertaubat. Sedangkan terkabulnya do'a untuk masyarakat itu digantungkan pada taubatnya orang yang berdo'a dan taubatnya masyarakat yang di do'akan.
Maka dari itulah engkau berdo'a untuk masyarakat agar Alloh menghilangkan kesusahan dan kemiskinan yang menimpa mereka hendaknya engkau mengingatkan mereka untuk bertaubat dari dosa-dosanya, bila mereka bisa bertaubat dengan taubat nasuha, maka do'amu pasti akan terkabulkan. Dan sebaliknya bila mereka belum bisa bertaubat dengan nasuha, maka janganlah engkau berharap do'amu akan dikabulkan.
Erti di istijabahi (dikabulkan )
Ketika syarat-syarat do'a ini sudah di penuhi maka Alloh SWT pasti akan mengabulkan do'a tersebut. Tetapi jangan engkau menyangka bahwa terkabulnya do'a (istijabah) itu sama persis dengan apa yang kamu harapkan. Karena istijabah yang dijanjikan oleh Alloh SWT kepada hambanya itu memiliki ma'na yang lebih luas dari apa yang engkau harapkan.
Istijabah ma'nanya adalah Alloh SWT mewujudkan tujuan dari permintaanmu dan bukan berarti tujuan tersebut bentuknya sama persis dengan apa yang engkau harapkan. Contohnya ada seseorang yang meminta suatu pekerjaan kepada Alloh SWT karena dia menyangka bahwa pekerjaan tersebut bisa menyampaikan tujuannya dan merupakan hal yang terbaik baginya. Akan tetapi Alloh SWT mengetahui bahwa pekerjaan yang dia inginkan itu tidak akan mendatangkan kebaikan bahkan bisa menyebabkan kejelekan. Lalu Alloh SWT mengganti pekerjaan tersebut dengan hal lain yang lebih baik dan bisa menyampaikan pada tujuan yang dia harapkan.
Alloh SWT berfirman dalam Surat Al-Baqoroh ayat : 216
Ertinya :
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Alloh mengganti sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqoroh ayat : 216)
Dan makna ini sudah di isyaratkan oleh Ibnu Atho'illah di dalam hikmahnya:
Karena Allah pasti akan mengabulkan do'amu sesuai dengan kehendak-Nya, bukan sesuai dengan keinginanmu.
Bila kita amati, hal-hal seperti ini banyak terjadi di kehidupan kita. Banyak orang yang mengharapkan suatu pekerjaan dan menyangka bahwa pekerjaan tersebut bisa mewujudkan impian-impian dan cita-citanya. Sehingga diapun berdo'a kepada Alloh agar memberikan pekerjaan tersebut. Namun setelah meminta dengan waktu yang lama ternyata yang dia harapkan tidak kunjung tiba, sampai-sampai dia menyangka bahwa Alloh SWT tidak mengabulkan do'anya. Tetapi pada akhirnya Alloh SWT menciptakan asbab-asbab lain yang bisa menghantarkan dia kepada cita-citanya. Dan ketika dia berfikir dan mengamati asbab-asbab tersebut maka dia tahu bahwa asbab-asbab itu lebih baik dari pada pekerjaan yang dia inginkan sehingga akhirnya dia memuji pada Alloh SWT atas nikmat tersebut,nikmat ini adalah anugerah yang besar dari Alloh SWT dan sebuah keajaiban, karena sebelumnya seseorang memandang bahwa perkara yang dia harapkan itu adalah yang terbaik. Namun pada hakikatnya perkara tersebut berakibat buruk dan akhirnya diganti oleh Alloh SWT dengan hal yang lebih baik dan berguna baginya.
Sebuah kesalahan lagi yang terjadi pada sebagian orang adalah putus asa di saat berdo'a. ketika seseorang sudah dan memenuhi syarat-syaratnya, namun setelah menunggu beberapa minggu yang menurut dia seharusnya do'anya telah dikabulkan, maka hal ini menyebabkan diriya berputus asa untuk berdo'a. sehingga hati kecilnya berkata : "Aku sudah berdo'a dengan sungguh-sungguh namun belum juga dikabulkan".
Ini adalah sebuah kebodohan yang menyelimuti kebanyakan orang-orang yang ditimbulkan oleh rasa sangat menyukai impian-impian dan harapan-harapan yang mereka cita-citakan.
Bentuk kesalahan ini, karena mererka menyangka bahwa do'a yang telah di perintahkan oleh Alloh SWT adalah sebagai wasilah (alat) untuk sampai pada ghoyah (tujuan). Makanya do'a hanya dia gunakan ketika membutuhkan sesuatu atau tertimpa musibah. Dan bila hajatnya telah di penuhi dan musibahnya telah hilang, maka dia tidak butuh untuk berdo'a.
Persangkaan yang keliru ini akan membawa seseorang dalam kesedihan yang mendalam ketika dia telah berdo'a, namun dalam waktu yang dia harapkan ternyata do'anya belum dikabulkan. Sehingga dia yakin bahwa do'a yang telah dia ucapkan berkali-kali tidak ada faedahnya sama sekali. Dan hal ini bisa menyebabkan dia putus asa dalam berdo'a. ini semua karena dia memandang bahwa do'a hanyalah sebatas wasilah. Padahal sebenarnya dzatiyanya dari do'a adalah sebuah ghoyah tersendiri.
Manusia adalah seorang hamba yang dimiliki oleh Allah SWT. Oleh karena itu di dalam setiap detiknya pasti dia membutuhkan Tuhannya di dalam menghadapi semua problem yang bermacam-macam. Diantara tugas hamba yang terpenting adalah memperlihatkan ubudiyyahnya kepada Allah SWT. Hal ini bias dilakukan dengan cara membuktikan bahwa dia sangat butuh kepada-Nya, dan dengan memperlihatkan bahwa kehidupannya, kebahagiaannya itu tergantung pada penjagaan Allah SWT. Perwujudan ubudiyyah ini bias dilakukan dengan berdo’a baik dia menyangka bahwa do’anya ini akan berpengaruh ataupun tidak.
Allah SWT berfirman :
 
Ayat tersebut mengandung perintah kepada manusia agar memiliki sifat ubudiyyah kepada Allah SWT, yaitu pada kalimat أدعوني . dan perintah ini adalh perintah yang mutlak tanpa ada qoyyid tertentu dan tidak di hubungkan dengan syarat. Selain itu ayat tadi juga mengandung janji yang menunjukkan sifat rahmat Allah SWT kepada hambanya dengan memberi anugerah yang tidak terhitung yaitu pada kalimat
Antara dua hal yang di kandung ayat tersebut tidak ada hubungan yang slaing mengikat. Maknanya, janji tersebut timbulnya bukanlah dari doa tetapi dari rahmat Allah SWT. Namun banyak orang yang mengira bahwa ketika dia berdo’a, maka dia telah membeli istijabah.
Rosululloh SAW, bersabda :
Ertinya :
Salah satu diantara kalian pasti dikabulkan do’anya selama tidak tergesa-gesa. Dia berkata: saya telah berdo’a tapi belum juga dikabulkan.
Maksudnya dari hadist di atas adalah seseorang akan di kabulkan do’anya selama dia tidak menyangka bahwa dia memiliki hak yang harus di penuhi oleh Allah SWT yaitu sitijabah dan selama hatinya tidak berkata : “saya sudah berdo’a, tetapi kenapa saya belum memperoleh hak saya yang berupa istijabah”.
Jadi ubudiyyah (do’a) dan istijabah adalah dua perkara yang berbeda dan tidak ada keterkaitan. Do’a adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh seorang hamba sebagai perwujudan ubudiyyah di hadapan Allah SWT, tanpa memandang dari hasil yang di dapatkan dari do’a tersebut.
Rosululloh SAW, bersabda :Do’a adalah ibadah”.
Sedangkan istijabah adalah anugerah dan karunia dari Allah SWT, bukan hasil dari do’a.
Kesimpulannya, jalan yang wajib di tempuh oleh seorang muslim adalah menunjukkan bahwa dia butuh kepada Allah SWT di dalam setiap keadaan. Dan memperlihatkan hal itu dengan tawadlu’ dan rendah hati tanpa memandang hasil-hasil yang akan di peroleh, tetapi dia harus yakin bhwa dengan sifat rahmat dan ihsan-Nya akan mengabulkan do’a-do’anya.
Adapun hikmah diakhirkannya istijabah itu adalah melatih seseorang hamba untuk memahami makna yang terkandung di dalam ayat ادعوني استجب لكم , dan supaya mengerti bahwa isijabah itu bukanlah hal yang wajib ada ketika seseorang berdo’a, melainkan istijabah adalah murni anugerah Allah SWT. Sehingga do’a dan penantian istijabah dengan kesabaran dan tenang menjadi bagian dari ibadah. Bahkan bisa menjadi kunci dan ruh ibadah. Rasulullah SAW, bersabda :
Ertinya :Menanti kelapangan adalah ibadah.
Penjelasan di atas adalah makna dari juz akhir yang terdapat di dalam hikmah ini yaitu :
Allah akan mengbulkan do’a pada waktu yang dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau inginkan.

Minggu, 19 Agustus 2012

SYARAH AL HIKAM NO 6 IBN ATA’ILLAH: PENGERTIAN DOA

VERSI TOK FAKIR AN NASIRIN

PENGERTIAN DOA

JANGANLAH KERANA KELAMBATAN MASA PEMBERIAN TUHAN KEPADA KAMU, PADAHAL KAMU TELAH BERSUNGGUH-SUNGGUH BERDOA, MEMBUAT KAMU BERPUTUS ASA, SEBAB ALLAH MENJAMIN UNTUK MENERIMA SEMUA DOA, MENURUT APA YANG DIPILIH-NYA UNTUK KAMU, TIDAK MENURUT KEHENDAK KAMU, DAN PADA WAKTU YANG DITENTUKAN-NYA, TIDAK PADA WAKTU YANG KAMU TENTUKAN. 

Apabila kita berkehendak mendapatkan sesuatu sama ada duniawi mahupun ukhrawi maka kita akan berusaha bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Jika usaha kita tidak mampu memperolehinya kita akan meminta pertolongan daripada orang yang mempunyai kuasa. Jika mereka juga tidak mampu membantu kita untuk mencapai hajat kita maka kita akan memohon pertolongan daripada Allah s.w.t, menadah tangan ke langit sambil air mata bercucuran dan suara yang merayu-rayu menyatakan hajat kepada-Nya. Selagi hajat kita belum tercapai selagi itulah kita bermohon dengan sepenuh hati. Tidak ada kesukaran bagi Allah s.w.t untuk memenuhi hajat kita. Sekiranya Dia mengurniakan kepada kita semua khazanah yang ada di dalam bumi dan langit maka pemberian-Nya itu tidak sedikit pun mengurangi kekayaan-Nya. Andainya Allah s.w.t menahan dari memberi maka tindakan demikian tidak sedikit pun menambahkan kekayaan dan kemuliaan-Nya. Jadi, dalam soal memberi atau menahan tidak sedikit pun memberi kesan kepada ketuhanan Allah s.w.t. Ketuhanan-Nya adalah mutlak tidak sedikit pun terikat dengan kehendak, doa dan amalan hamba-hamba-Nya. 

Dan Allah berkuasa melakukan apa yang di kehendaki-Nya. ( Ayat 27 : Surah Ibrahim )

Semuanya itu tunduk di bawah kekuasaan-Nya. ( Ayat 116 : Surah al-Baqarah ) 

Ia tidak boleh ditanya tentang apa yang Ia lakukan, sedang merekalah yang akan ditanya kelak. ( Ayat 23 : Surah al-Anbiyaa’ )

Sebahagian besar daripada kita tidak sedar bahawa kita mensyirikkan Allah s.w.t dengan doa dan amalan kita. Kita jadikan doa dan amalan sebagai kuasa penentu atau setidak-tidaknya kita menganggapnya sebagai mempunyai kuasa tawar menawar dengan Tuhan, seolah-olah kita berkata, “Wahai Tuhan! Aku sudah membuat tuntutan maka Engkau wajib memenuhinya. Aku sudah beramal maka Engkau wajib membayar upahnya!” Siapakah yang berkedudukan sebagai Tuhan, kita atau Allah s.w.t? Sekiranya kita tahu bahawa diri kita ini adalah hamba maka berlagaklah sebagai hamba dan jagalah sopan santun terhadap Tuan kepada sekalian hamba-hamba. Hak hamba ialah rela dengan apa juga keputusan dan pemberian Tuannya.

Doa adalah penyerahan bukan tuntutan. Kita telah berusaha tetapi gagal. Kita telah meminta pertolongan makhluk tetapi itu juga gagal. Apa lagi pilihan yang masih ada kecuali menyerahkan segala urusan kepada Tuhan yang di Tangan-Nya terletak segala perkara. Serahkan kepada Allah s.w.t dan tanyalah kepada diri sendiri mengapa Tuhan menahan kita dari memperolehi apa yang kita hajatkan? Apakah tidak mungkin apa yang kita inginkan itu boleh mendatangkan mudarat kepada diri kita sendiri, hingga lantaran itu Allah s.w.t Yang Maha Penyayang menahannya daripada sampai kepada kita? Bukankah Dia Tuhan Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang lagi Maha Mengetahui. 

Tidakkah Allah yang menciptakan sekalian makhluk itu mengetahui (segala-galanya)? Sedang Ia Maha Halus urusan Tadbiran-Nya, lagi Maha Mendalam Pengetahuan-Nya.
( Ayat 14 : Surah al-Mulk ) 

Dialah yang mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata, (dan Dialah jua) yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. ( Ayat 18 : Surah at-Taghaabun )


Apa sahaja ayat keterangan yang Kami mansuhkan (batalkan), atau yang Kami tinggalkan (atau tangguhkan), Kami datangkan ganti yang lebih baik daripadanya, atau yang sebanding dengannya. Tidakkah engkau mengetahui bahawasanya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu?
( Ayat 106 : Surah al-Baqarah ) 

Allah s.w.t Maha Halus (Maha Terperinci/Detail), Maha Mengerti dan Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Allah s.w.t yang bersifat demikian menentukan buat diri-Nya yang apa sahaja yang Dia mansuhkan digantikannya dengan yang lebih baik atau yang sama baik. Dia boleh berbuat demikian kerana Dia tidak bersekutu dengan sesiapa pun dan Dia Maha Berkuasa.

Seseorang hamba sentiasa berhajat kepada pertolongan Tuhan. Apa yang dihajatinya disampaikannya kepada Tuhan. Semakin banyak hajatnya semakin banyak pula doa yang disampaikannya kepada Tuhan. Kadang-kadang berlaku satu permintaan berlawanan dengan permintaan yang lain atau satu permintaan itu menghalang permintaan yang lain. Manusia hanya melihat kepada satu doa tetapi Allah s.w.t menerima kedatangan semua doa dari satu orang manusia itu. Manusia yang dikuasai oleh kalbu jiwanya berbalik-balik dan keinginan serta hajatnya tidak menetap. Tuhan yang menguasai segala perkara tidak berubah-ubah. Manusia yang telah meminta satu kebaikan boleh meminta pula sesuatu yang tidak baik atau kurang baik. Tuhan yang menentukan yang terbaik untuk hamba-Nya tidak berubah kehendak-Nya. Dia telah menetapkan buat Diri-Nya:

Bertanyalah (wahai Muhammad): “Hak milik siapakah segala yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “(Semuanya itu) adalah milik Allah! Ia telah menetapkan atas diri-Nya memberi rahmat.” (Ayat 12 : Surah al-An’aam )

Orang beriman selalu berdoa:

“Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari azab neraka”. ( Ayat 201 : Surah al-Baqarah )
 
Hamba yang mendapat rahmat dari Allah s.w.t diterima doa di atas dan doa tersebut menjadi induk kepada segala doa-doanya. Doa yang telah diterima oleh Allah s.w.t menapis doa-doa yang lain. Jika kemudiannya si hamba meminta sesuatu yang mendatangkan kebaikan hanya kepada penghidupan dunia sahaja, tidak untuk akhirat dan tidak menyelamatkannya dari api neraka, maka doa induk itu menahan doa yang datang kemudian. Hamba itu dipelihara daripada didatangi oleh sesuatu yang menggerakkannya ke arah yang ditunjukkan oleh doa induk itu. Jika permintaannya sesuai dengan doa induk itu dia dipermudahkan mendapat apa yang dimintanya itu.

Oleh sebab itu doa adalah penyerahan kepada Yang Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Menghadaplah kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya serta ucapkan, “Wahai Tuhanku Yang Maha Lemah-lembut, Maha Mengasihani, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana! Daku adalah hamba yang bersifat tergopoh gapah, lemah dan jahil. Daku mempunyai hajat tetapi daku tidak mengetahui kesannya bagiku, sedangkan Engkau Maha Mengetahui. Sekiranya hajatku ini baik kesannya bagi dunia dan akhiratku dan melindungiku dari api neraka maka kurniakan ia kepadaku pada saat yang baik bagiku menerimanya. Jika kesudahannya buruk bagi dunia dan akhiratku dan mendorongku ke neraka, maka jauhkan ia daripadaku dan cabutkanlah keinginanku terhadapnya. Sesungguhnya Engkaulah Tuhanku Yang Maha Mengerti dan Maha Berdiri Dengan Sendiri”.

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dirancangkan berlakunya, dan Dialah juga yang memilih (satu-satu dari makhluk-Nya untuk sesuatu tugas atau keutamaan dan kemuliaan); tidaklah layak dan tidaklah berhak bagi sesiapapun memilih (selain dari pilihan Allah). Maha Suci Allah dan Maha Tinggilah keadaan-Nya dari apa yang mereka sekutukan dengan-Nya.
{ Ayat 68 : Surah al-Qasas }

 




 

 

 

Selasa, 14 Agustus 2012

HIKAM ATA’ILLAH N0 6 : JANGAN BOSAN BERDOA KEPADA ALLAH SWT (SYARAH KH MUHIBUDDIN)

VERSI DR KH MUHIBUDDIN WALY

“Janganlah ada kiranya lambat waktu kurnia (Allah SWT) di samping bersungguh-sungguh dalam berdoa, menyebabkan putus harapanmu (kepada Allah). Kerana itu Allah SWT telah menjamin kepadamu pada memperkenankan doamu, pada apa yang dipilih oleh Tuhan untukmu, tidak pada apa yang kamu pilih sendiri untukmu.”
 
Kita selaku hamba Allah hendaklah berdoa dan memoho kepadaNya, sebab ini adalah petanda bahawa kita adalah makhlukNya yang tidak dapat melepaskan diri daripadaNya. Dan barangsiapa yang tidak merasa perlu memohon kepada Allah, maka dia adalah hamba-hambaNya yang sombong.

Dan Tuhan kamu berfirman: "Berdoalah kamu kepadaKu nescaya Aku perkenankan doa permohonan kamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong takbur daripada beribadat dan berdoa kepadaKu, akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.
[Al-Mukmin:60]

Kita harus berdoa kepada Allah SWT dan Allah akan memperkenankan doa kita . Kita boleh memohon sesuatu kepadaNya, tetapi Tuhanlah yang berhak menentukan pada apa yang kita pilih. Sebab kita tidak mengetahui apakah sesuatu yang kita mohon itu baikkah di sisi Allah atau sebaliknya.
Kita tidak boleh dalam berdoa memohon kepadaNya supaya diperkenankanNya harapan kita dalam waktu yang kita tentukan. Tetapi Allah berhak dan berkuasa memperkenankan doa kita pada waktu yang dikehendaki olehNya,dan bukan pada waktu yang kita kehendaki. Sebagaimana yang kita telah sebutkan tadi, bahawa kita tidak mengetahui apakah yang kita mohonkan itu, apakah baik buat kita atau sebaliknya.
Dan perlu diingat kita tidak boleh mengharap apa yang kita minta dari Allah SWT sedangkan kehendak Allah SWT mahukan untuk kita itu yang sepatutnya diminta. Sebagaimana sikap Imam Syahid Hasan Al-Banna sendiri berkait dengan prinsipnya walaupun berhadapan dengan alim Ulama’.
Beliau sendiri mengesahkan tentang perbincangan dengan Syaikh Yusuf Ad-Dajwi:
Saya selalu membaca tulisan Syeikh Yusuf ad-Dajwi Beliau adalah seorang lelaki yang berperibadi baik. Lantaran minat saya kepada sufi, maka wujudlah hubungan rohani dan ilmu antara kami berdua. Kerap kali saya menziarahinya.
Saya juga mengetahui banyak ulamak yang ada hubungan rapat dengan Syeikh Dajwi. Beliau sangat disegani oleh mereka. Saya pun mengambil keputusan hendak berjumpa beliau dan menyuarakan pendapat saya. Saya berharap beliau dapat membantu saya menyekat arus perubahan yang sedang mengancam Islam.
Satu hari, selepas saja berbuka puasa, saya pun menziarahi Syeikh Dajwi yang terkemuka itu. Ketika itu dia sedang dikerumuni oleh sejumlah orang-orang alim yang terkemuka. Salah seorang dari mereka ialah Ahmad Bik Kamil. Itulah kali terakhir saya bertemu dengan Ahmad Bik Kamil.
Saya pun menceritakan keadaan dan perubahan yang sedang melanda Negara kepada Syeikh Dajwi dan para hadirin yang lain. Beliau pun menampakkan kesedihannya dan memberi pandangannya mengenai perkara tersebut.
Dia juga menyebut akibat yang bakal berlaku. Dia menyentuh mengenai kelemahan golongan Islam untuk menghadapi gejala buruk itu. Dia juga menceritakan kelemahan Al-Azhar untuk menentang ancaman baru itu.
Dia juga menyentuh mengenai Persatuan Nahdatul Islam, iaitu satu pertubuhan yang diasaskan oleh beliau sendiri dengan bantuan beberapa ulamak terkenal. Usaha-usaha pertubuhan, itupun terbukti tidak berhasil.
Beliau juga menceritakan usaha Al-Azhar dalam menentang para pendakyah agama Kristian dan Atheis (Mulhid). Disentuhnya juga mengenai Persidangan Agama-agama yang diadakan di Jepun. Beliau telah menghantar majalah-majalah Islam ke persidangan tersebut.
Kesimpulan perbincangannya itu ialah untuk menunjukkan bahawa setiap usaha telah menemui kegagalan. Menurutnya, dalam keadaan begini, sudah memadai seseorang itu memelihara dirinya dengan menyelamatkan dirinya dari zaman kebendaan yang tidak bertuhan itu.
Saya masih ingat lagi pepatah yang disebutnya untuk memperkuatkan hujahnya. Kerap kali dia menyebut pepatah tersebut di dalam perbincangan. Pernah satu ketika dia menulis pepatah itu diatas kad yang dihantarkannya kepada saya.
Pepatah itu berbunyi seperti berikut:
“Jika roh didalam diriku sudah sedia untuk mencapai kebahagiaan, ku tak peduli siapa yang mati dan siapa yang terbunuh.”
Syeikh Dajwi menasihati saya supaya meneruskan usaha saya dengan cara yang sebaik mungkin dan serahlah hasil dan keputusannya kepada Allah. Allah tidak akan membebankan seseorang dengan bebanan yang di luar kemampuannya.
Saya tidak suka dengan penjelasan Syeikh Dajwi itu. Saya rasa menyesal. Terbayanglah
oleh saya kegagalan yang bakal berlaku. Jika setiap ulama’ memberi jawapan yang begitu, maka hasilnya nanti ialah kekecewaan dan kegagalan.
Saya berkata kepada Syeikh Dajwi:
‘Tuan, saya membangkang pendapat tuan itu. Pendapat itu melambangkan azam yang lemah. Pendapat itu ialah satu alasan untuk mengelakkan diri dari tanggungjawab.
Tuan takutkan siapa? Adakah tuan takutkan Al-Azhar atau kerajaan? Pencen tuan sudah mencukupi.

Tuan boleh dudukdi rumah dan bekerja untuk Islam. Sesungguhnya, rakyat bersama tuan. Hadapilah mereka. Mereka itu merupakan rakyat Islam.
Saya melihat mereka di kedai-kedai kopi, di masjid-masjid, di jalan-jalan dan di lorong-lorong. Saya dapati hati mereka ini penuh dengan kecintaan Iman dan Islam.
Sebenarnya tenaga hebat yang ada pada rakyat ini tidak dipedulikan. Para pengikut fahaman lucah dan Mulhid (Atheis) tidak akan mampu berhadapan dengan seorang Muslim sejati.
Mereka berjaya menerbitkan majalah dan akhbar kerana kita telah lalai dan cuai. Mereka ini akan lenyap jika kita semua ada kesedaran politik………’

‘……Tuan yang saya segani, jika tuan tidak mahu melakukan sesuatu untuk Allah,
maka sekurang-kurangnya lakukan sesuatu untuk dunia tuan. Berusahalah untuk mendapatkan roti harian tuan.
Andainya Islam lenyap dari rakyat, maka Al-Azhar juga turut lenyap dan para ulama’nya akan terkapai-kapai, tidak tahu hendak ke mana. Lantaran itu, tuan pun turut tidak mendapat makanan dan pakaian.
Jika tuan tidak dapat mempertahankan Islam, sekurang-kurangnya berusahalah untuk mempertahankan diri tuan. Berusahalah mendapat keuntungan duniawi jika tuan tidak ingin berusaha mendapatkan keuntungan di Akhirat. Jika tidak, tuan akan rugi kedua-duanya sekali. Yakni rugi dunia dan juga Akhirat.’
Kata-kata saya itu saya lahirkan dengan penuh rasa kesal dan bersungguh-sungguh.
Kata-kata saya itu keluar dari hati yang luka.
Salah seorang ulama’ yang hadir telah hilang kesabarannya. Dia bangun dan membangkang kata-kata saya. Dia menuduh saya menghina Syeikh Dajwi dan kurang sopan. Dia juga menuduh saya mengecam para ulama’ dan Al-Azhar.
Baginya, tindak-tanduk saya itu samalah dengan menghina Islam. Menurutnya, Islam tidak akan lemah kerana Allah sendiri memeliharanya.
Sebelum sempat saya menjawab tuduhan itu, Ahmad Bin Kamil pun bangun
dan berkata, ‘Ya Ustaz, pemuda ini berkata benar. Adalah menjadi kewajipan awak sekarang untuk maju ke depan.
Lama manakah lagi awak hendak membeku diri? Pemuda ini ingin awak semua bersatu untuk memperjuangkan islam. Jika awak perlu tempat untuk bermesyuarat, maka rumah saya sentiasa terbuka untuk dimiliki dan tengah buat artikel sedikit diguna oleh pihak tuan.
Jika awak perlu wang, maka orang-orang Islam yang pemurah tidak pernah berkurangan. Awak semua adalah para pemimpin negara. Keluarlah dan kami akan menurut kamu. Perbahasan yang kosong ini tidak mendatangkan apa-apa.’
Saya bertanya kepada orang sebelah saya, ‘Siapakah orang itu?’ Dia memberitahu nama orang itu ialah Ahmad Bin Kamil. Itu kali pertama dan terakhir saya melihatnya.
Para hadirin di dalam majlis itu telah terbahagi kepada dua kumpulan. Satu kumpulan memihak ulama’ yang membangkang pendapat saya dan satu kumpulan lagi memihak Ahmad Bin Kamil. Syeikh Dajwi hanya berdiam diri. Kemudian barulah terfikir olehnya hendak menyelesaikan pertikaian itu.
Katanya: ‘Saya berdo’a kepada Allah agar memberi kita kekuatan untuk melaksanakan kehendak-Nya. Sesungguhnya kita semua memang ingin berbuat demikian. Hal ini terserahlah kepada Allah. Saya rasa masanya sudah tiba untuk kita bertemu Syeikh Muhammad Saad. Marilah kita pergi menemuinya.’
Kami semua pun pergi ke rumah Syeikh Muhammad Saad. Rumahnya berdekatan dengan rumah Syeikh Dajwi. Saya mengambil tempat berhadapan Syeikh Dajwi agar saya dapat berbincang perkara perkara penting dengannya.
Syeikh Muhammad Saad menghidangkan gula-gula (halwa) kepada para hadirin. Hidangan begini memang adat ketika bulan Ramadhan. Syeikh Muhammad Saad mendekati hidangan dan saya pula mendekatinya. Sebaik saja dia sedar saya berada di sisinya, dia pun bertanya, ‘Awak ni siapa?’ Saya menjawab, ‘Nama saya Hassan Al-Banna.’
Dia bertanya lagi, ‘Awak juga bersama kami?’ Saya menjawab, ‘Ya tuan. Saya tidak akan pergi selagi kita tidak mencapai satu kesimpulan.’
Dia mengambil segenggam gula-gula dan memberi kepada saya sambil berkata, ‘Ambillah gula-gula ini. Insya Allah kita akan mencapai satu penyelesaian.’ Saya menjawab, ‘Puji-pujian bagi Allah.
Tuan, kita tidak mahu membuang masa lagi berfikir mengenai perkara ini. Perkara ini memerlukan tindakan. Jika saya gemarkan gula-gula ini, sudah tentu saya akan  membelinya sendiri dan berehat di rumah. Saya tidak akan bersusah payah datang ke sini untuk menemui tuan.
Tuan, Islam sedang diserang hebat oleh musuh-musuhnya tetapi para penganut dan pemimpinnya membuang masa memakan gula-gula. Adakah tuan fikir Allah tidak akan mempersoalkan sesiapa pun?
Jika ada para pemimpin lain selain tuan untuk bekerja demi agama Islam, tunjukkanlah mereka kepada saya. Saya akan pergi kepada mereka. Mungkin saya akan mendapat sesuatu di dalam diri mereka yang tidak dimiliki oleh tuan.’
Suasana di rumah Syeikh Muhammad Saad menjadi sunyi senyap. Syeikh Dajwi menangis teresak-esak sehingga airmatanya membasahi janggutnya. Beberapa
orang yang lain turut menangis.
Syeikh Muhammad Saad memecah kesunyian dengan kata-katanya yang bernada sedih, ‘Saudara, apa yang patut saya lakukan?’ Saya menjawab, ‘Tuan, senang saja,’ Allah berfirman yang maksudnya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengankesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.
(Al-Baqarah: 286)
‘Saya inginkan tuan cadangkan nama-nama ulama’ yang cintakan Islam. Mereka ini akan bertemu dan sama-sama mencari jalan untuk menghadapi keadaan seperti ini. Satu akhbar mingguan boleh diterbitkan untuk menentang unsur-unsur Barat dan Atheis (Mulhid).
Kita juga boleh menerbitkan bahan-bahan kesusasteraan Islam untuk mengubati penyakit-penyakit yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam.
Kita juga boleh menubuhkan berbagai persatuan dan menggalakkan para pemuda
Islam memasukinya. Kita sepatutnya mempercepatkan usaha kebangkitan Islam. Kita
boleh melancarkan banyak rancangan serentak.’
Syeikh Muhammad Saad berkata, ‘Sungguh baik sekali cadangan itu.’ Kemudian dia mengarahkan supaya dibawa keluar segala pinggan mangkuk yang berisi gula-gula. Kertas dan pena pun dibawa masuk.
Dia berkata, ‘Sekarang kita akan mencatitkan sebarang keputusan yang diambil.’ Banyak nama-nama telah kami bincangkan. Satu senarai panjang yang berisi nama-nama ulama’ terkemuka pun disediakan.
 Di antara nama-nama yang termasuk di dalam senarai itu ialah Syeikh Dajwi, Syeikh Muhammad Al-Khizr Hussain, Syeikh Abdul Aziz Jawish, Syeikh Abdul Wahab Najjar, Syeikh Muhammad Ahmad Ibrahim dan Syeikh Abdul Aziz al-Khauli. Semoga Allah limpahkan rahmat ke atas mereka. Nama Syeikh Muhammad Rasyid Ridha telah dicadangkan dan Syeikh Dajwi menyokong.
 Syeikh Dajwi berkata, ‘Tiada perselisihan di dalam perkara ini. Perkara ini melibatkan Islam menentang gejala bukan Islam.’
Syeikh Dajwi pernah berselisih pendapat dengan Syeikh Syed Rashid di dalam beberapa perkara. Namun begitu, apabila nama Syeikh Rashid Ridha dicadangkan, sokongan telah diberi oleh Syeikh Dajwi.
Di antara nama orang-orang yang dihormati dan berpengaruh yang telah dicadangkan ialah Ahmad Taimoor Pasya, Naseem Pasya, Abu Bakar Yahya Pasya, Mutawalli Bek Ghaneem, Abdul Aziz Bek Muhammad (kini dipanggil Abdul Aziz Pasya Muhammad), Abdul Hameed Bek Sa’id dan lain-lain lagi.
Kemudian Syeikh Muhammad Saad berkata, ‘Sekarang awak berkewajipan menghubungi orang-orang yang awak kenal rapat dan saya pula akan menghubungi orang-orang yang saya kenal rapat. Insya Allah, kita akan bertemu lagi selepas seminggu.’
 Kami terus mengadakan perjumpaan demi perjumpaan sehingga akhirnya kami berjaya menubuhkan satu gerakan Islam dengan bantuan para ulama’ yang terkemuka.
Para ulamak ini mengadakan berbagai perjumpaan selepas Hari Raya Aidil Fitri. Sebuah majalah bergelar ‘Al- Fatah’ telah diterbitkan. Syeikh Abdul Baqi Sawwar Na’im menjadi ketua pengarang dan Syed Muhibuddin Al-Khatib bertugas sebagai pengurus majalah tersebut.
Tidak lama kemudian, tugas ketua pengarang dan pengurus majalah itu dijalankan oleh Syed Muhibuddin al-Khatib. Majalah itu menjadi terkenal lantaran usahanya. Majalah ‘Al- Fatah’ berperanan sebagai panduan untuk para belia terpelajar.
Kumpulan para ulamak terkemuka ini terus memberi sumbangan mereka untuk perjuangan Islam selepas saya meninggalkan Darul Ulum kerana tamat pengajian. Usaha-usaha ini telah membawa kepada penubuhan ‘Jami’atu-sy-Syubbanul-Muslimin’.
[Rujukan Muzakirat ad-Da’ie Wad Du’at bagi Imam Syahid Hasan Al-Banna]
Para pembaca sekalian.
Perlu diingat Nabi SAW sendiri diturunkan sebagai Da’ie dan seumpama pelita yang terang-benderang. Jadi kepentingan Risalah Islam ini wajib disebarkan. Dan tanggungjawab pendokong-pendokong agama Allah SWT. Dan kesedaran umat Islam demi Islam tersebar luas.
Sebagaimana Ibnu Al-Qaiyim menyebut:
‘Maka Makam Dakwah (mengajak) kepada Allah sebaik-baik daripada makam-makam lain bagi seorang hamba’.
[Rujukan Miftah darus Sa’adah jilid satu muka surat 153]
Sebab itulah doa sebagai senjata umat Islam, namun mestilah disusuli dengan kehendak Allah untuk kita lakukan.
Maka dari ini semua, dapat kita ambil kesimpulan, bahawa doa kita baru dikatakan mustajab apabila Tuhan memperkenankan doa kita itu dengan redhaNya dan pilihanNya, bukan pilihan kita, dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang kita kehendaki.
Sebab amal ibadah apa pun sahaja, kebagusannya melihat kepada penghabisannya (khatimahnya). Apakah husnul khatimah (diakhiri dengan baik menurut Allah) ataukah su ul khatimah (buruk menurut Allah).
Dan kita berlindung kepada Allah dari doa yang mengakibatkan kepada kita tidak baik pada penghabisannya.
Mudah-mudahan Allah SWT memperkenankan segala doa-doa kita, demi kebaikan kita sekalian, dunia dan akhirat.

RAHSIA SHALAT 2 : LIMA (5) TANDA ORANG YANG DITERIMA SHALATNYA

5  Tanda-tanda Orang yang diterima shalatnya

Sudah sering kita mendengar bahwa shalat adalah tiang agama. Shalat adalah amal yang paling pertama ditanya oleh Allah di hari kiamat. Jika shalat kita baik, baiklah seluruh amal perbuatan lainnya.
Namun jika shalat kita jelek atau bahkan sia-sia besar, maka buruklah semua perbuatan yang kita jalani, demikian petuah Nabi SAW kepada kita sekalian.
Sesekali kita perlu merenung, baikkah shalat yang kita kerjakan? Suatu waktu kita perlu berpikir, apakah shalat kita diterima di sisi-Nya? Bukankah Allah pernah berfirman celakalah orang-orang yang shalat? Siapakah di antara kita yang diterima shalatnya? Dan seperti apa Tanda-tanda orang yang diterima shalatnya? Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan ada 5tanda orang yang shalatnya diterima.

Pertama, dia yang merendahkan diri dengan shalatnya karena kebesaran Allah. Shalat yang diterima. adalah shalat yang penuh kerendahan diri di hadapan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Orang yang rendah diri akan mampu merasakan khusyu` dalam hatinya. Jiwanya sadar dan mengerti dengan siapa ia saat ini menghadap.
Karena itu, sebelum shalat, yang harus ditata terlebih dahulu adalah hati. Hati itu seperti pohon. Bila dahannya rindang, burung-burung pun senang hinggap di atasnya. Bila hati bercabang pikiran-pikiran dan nafsu pun senang bermain di dalamnya. Shalatlah shalat yang memutuskan perpisahan dari dunia. Allah tidak akan terasa bila urusan dunia menggelayut dalam hati.

Kedua, orang yang tidak menyombongkan diri kepada makhluk Allah. Rasa tawadhu` dengan sendirinya menghilangkan sikap angkuh dan sombong kepada sesama makhluk. Kekuasaan yang ada di genggamannya tidak menyebabkan dirinya lupa daratan lalu berbuat sewenang-wenang karena ia sadar bahwa kekuasan adalah amanat Allah.
Orang yang diterima. shalatnya adalah orang yang tidak menyombongkan dirinya kepada siapa pun. Meski ia kuasa, pandai, dan kaya. Tidak termasuk orang yang diterima.shalatnya kalau bertingkah sombong kepada sesamanya.

Ketiga, orang yang tidak mengulangi maksiat kepada Allah. Dalam hidup, sekali waktu kita pernah terjerembab dalam kubangan dosa. Mungkin di antara kita ada yang pernah memalsukan kwitansi jual-beli. Mungkin ada dari kita yang pernah menjadi tukang copet, koruptor, atau penjual kehormatan.
Mungkin ada dari kita yang pernah berdusta, menggunjing, berbohong, menebar janji-janji `surga’ kepada rakyat saat Pilkada yang tak ditepati. Kenanglah perbuatan masa lalu itu sebelum shalat, lalu lakukan shalat dengan hati taubat dan siap menghadap kepada-Nya.
Menangis dan mengemislah kepada Allah, memohon ampunan atas gulungan ombak dosa seraya berucap, “Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah.” Usai shalat, jangan ulangi maksiat yang pernah kita lakukan.

Keempat, orang mengisi sebagian siangnya dengan berzikir kepada Allah. Waktu bagi orang mukmin, amatlah berharga. Manajemen waktu dilaksanakan dengan penuh kedisplinan. Sebagian detik-detiknya ia lalui dengan meladeni Allah, bersimpuh sujud, ingat dan tawakkal kepada-Nya.
Nabi yang merupakan sosok dengan keterjagaan dari segala dosa, baik yang telah lewat maupun akan datang, toh beliau tidak jumawah. Beliau beristighfar memohon ampunan kepada Allah tidak kurang 100 kali dalam sehari. Bagaimana dengan kita?

Kelima, orang yang menyayangi orang miskin, orang dalam perjalanan, wanita yang ditinggal suaminya, dan yang mengasihi orang yang ditimpa musibah. Shalat yang dilakukan membekas dalam kehidupan sebagai khalifah Allah yang saling cinta-mencintai, sayang-menyanyangi antara satu dengan lainnya.Ibadah sosial menjadi warna-warni bunga hidupnya yang senantiasa ia berikan kepada siapa saja untuk membahagiakan diri orang lain yang membutuhkan.
Bila kelima ciri orang yang  diterima.shalatnya ini telah terpenuhi, maka kata Allah:
“Cahayanya bagaikan cahaya matahari. Aku lindungi dia dengan kekuasaan-Ku. Aku perintahkan malaikat menjaganya. Aku jadikan cahaya dalam kegelapannya. Aku berikan ilmu dalam ketidaktahuannya. Perumpamannya dibandingkan dengan makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan firdaus di surga.”

RAHSIA SHALAT 1 : EMPAT (4) TANDA SHALAT DITERIMA

Dalam Hadis Qudsi disebutkan mengenai orang-orang yang diterima solatnya oleh Allah Swt,

 "Sesungguhnya Aku (Allah Swt.) hanya akan menerima solat dari orang yang dengan solatnya itu dia merendahkan diri di hadapan-Ku. Dia tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain. Dia tidak mengulangi maksiat kepada-Ku. Dia menyayangi orang-orang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan tutup solat orang itu dengan kebesaran-Ku. Aku akan menyuruh malaikat untuk menjaganya. Dan kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan memperkenankannya. Perumpamaan dia dengan makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan Firdaus di syurga."

Dalam hadis qudsi tersebut disebutkan bahwa tanda-tanda orang yang diterima solatnya oleh Allah Swt. adalah:

Pertama

Dia datang untuk melaksanakan solat dengan merendahkan diri kepada-Nya. Dalam Al-Quran, keadaan seperti itu disebut dengan khusyu'. Dan solat yang khusyu' adalah salah satu tanda orang yang mukmin. Yang disebut dengan solat yang khusyu' itu bukan yang tidak ingat apa pun. Kerana orang yang tidak ingat apa pun itu disebut pengsan.

Diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib, apabila hendak melakukan solat, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat besi. Sehingga ketika ada orang yang bertanya kepadanya,

 "Mengapa dengan anda ya Amirul Mukiminin?"

Sayyidina Ali menjawab,

 "Engkau tidak tahu bahawa sebentar lagi aku akan menghadapi waktu amanah."

Kemudian, Sayyidina Ali membacakan sebuah ayat Al-Quran,

"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh"
(QS 33: 72).

Kemudian Sayyidina Ali melanjutkan ucapannya,

"Solat adalah suatu amanat Allah yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan bukit untuk memikulnya. Tetapi, mereka menolaknya dan hanya manusia yang sanggup memikulnya. Memikul amanat berarti mengabdi kepadaNya."


Kedua

Dia tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain. Jadi, tanda orang yang diterima solatnya ialah tidak takabur. Takabur, menurut Imam Al-Ghazali, ialah sifat orang yang merasa dirinya lebih besar daripada orang lain. Kemudian ia memandang enteng orang lain itu. Boleh jadi ia bersikap demikian dikarenakan ilmu, amal, keturunan, kekayaan, anak buah, atau kecantikannya.

Kalau Anda merasa besar karena memiliki hal-hal itu dan memandang enteng orang lain, maka Anda sudah takabur. Dan solat Anda tidak diterima. Bahkan dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

"Takkan masuk syurga seseorang yang dalam hatinya ada rasa takabur walaupun sebesar debu saja."

Biasanya masyarakat akan menjadi rosak kalau di tengah-tengah masyarakat itu ada orang yang takabur. Kemudian takabur itu ditampakkan untuk memperoleh perlakuan yang istimewa. Dan anehnya, seringkali sifat takabur ini menghinggapi para aktivis masjid atau aktivis kegiatan keagamaan. Mereka biasanya takabur dengai ilmunya dan menganggap dirinya paling benar.


Ketiga

Tanda orang yang diterima solatnya ialah orang yang tidak mengulangi maksiatnya kepada Allah Swt. Nabi yang mulia bersabda,

"Barangsiapa yang solatnya tidak rnencegahnya dari kejelekan dan kemungkaran, maka solatnya hanya akan menjauhkan dirinya dari Allah Swt."

Dalam hadis yang lain, Rasulullah Saw. bersabda,

"Nanti, pada Hari Kiamat, ada orang yang membawa solatnya di hadapan Allal Swt. Kemudian solatnya diterima dan dilipat-lipat seperti dilipat-lipatnya pakaian yang kotor dan usang. Lalu solat itu dibantingkan ke wajahnya."

Allah tidak menerima solat itu karena solatnya tidal dapat mencegah perbuatan maksiatnya setelah ia melakukan maksiat tersebut. Bukankah Al-Quran telah mengatakan,

"...Sesungguhnya solat mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar..."
 (QS 29:45).

Keempat

Orang yang diterima solatnya ialah orang yang menyayangi orang-orang miskin. Kalau diterjemahkan dengan ayat moden, hal ini bererti orang yang mempunyai solidariti sosial. Dia bukan hanya melakukan rukuk dan sujud saja, tetapi dia juga memikirkan penderitaan sesamanya. Dia menyisihkan sebagian waktu dan rezekinya untuk membahagiakan orang lain.

Kalau dalam solat Anda, Anda sudah merasakan kebesaran Allah dan tidak takabur dan kalau Anda sudah tidak mengulangi perbuatan maksiat sesudah solat dan kalau Anda sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap kesejahteraan orang lain, maka Allah akan melindungi Anda dengan jubah kebesaran-Nya. Allah akan memberi kepada Anda kemuliaan dengan kemuliaan-Nya, dan membungkus Anda dengan busana kebesaran-Nya. samping itu, Allah akan menyuruh para malaikat untuk menjaga Anda dan para malaikat itu akan berkata sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran,

 "Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Didalamnya kamu akan memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu" (QS 41: 31)


KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 5 : TINGKATAN -TINGKATAN HIDAYAH UMUM DAN KHUSUS (IBN AL JAUZIYYAH)

SIRI 5

IBNU QAYYIM AL JAUZIYYAH

Tingkatan Pertama:

Tingkatan pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara sadar dan
langsung tanpa perantara. Ini merupakan tingkatan hidayah yang paling
tinggi, sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin Imran. Allah
befirman,
"Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung." (An-Nisa':
164).
Sebelum ayat ini disebutkan wahyu Allah yang diberikan kepada
Nuh dan para nabi sesudahnya, kemudian mengkhususkan Musa, bahwa
Allah berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan bahwa pembicaraan ini
lebih khusus dari sekedar memberikan wahyu seperti yang disebutkan
dalam ayat sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan lagi dengan adanya mashdar
dari kallama. Hujjah ini untuk menyanggah pendapat jahmiyah, Mu'-
tazilah dan golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa itu artinya
wahyu atau isyarat atau pengenalan terhadap suatu makna, yang artinya
bukan bicara secara langsung. Al-Fara' berkata, "Orang-orang Arab menye-but
kontak dengan orang lain adalah bicara, dengan cara apa pun dan
bagaimana pun. Tetapi makna ini tidak disertai dengan mashdar dari fi'il
yang sama. Jika dikuatkan dengan mashdar, berarti hakikatnya memang
bicara. Maka apabila dikatakan, "Fulan araada iraadatan", artinya Fulan
benar-benar menghendaki.
Ada firman Allah yang lain tentang hal ini,
"Dan, tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu
yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berbicara (langsung)
kepadanya, Musa berkata, 'Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku
agar aku dapat melihat kepada Engkau'." (Al-A'raf: 143).
Pembicaraan ini berbeda dengan yang pertama saat Dia mengutusnya
kepada Fir'aun. Dalam pembicaraan kali ini Musa meminta untuk
dapat melihat Allah. Pembicaraan kali ini berasal dari janji Allah kepadanya.
Sementara pada pembicaraan yang pertama tidak didahului dengan
janji.

Tingkatan Kedua:

Tingkatan wahyu yang secara khusus diberikan kepada para nabi.
Allah befirman,
"Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya."
(An-Nisa': 163).
"Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir." (Asy-
Syura: 51).
Allah menjadikan wahyu dalam ayat kedua ini termasuk bagian dari
bicara, sedangkan dalam ayat pertama menjadi lawan bicara. La wan bica-ra
secara khusus artinya tanpa ada perantara, sedangkan bagian dari bicara
yang bersifat umum, berarti penyampaian makna dengan berbagai macam
cara.

Tingkatan Ketiga:

Mengirim utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia,
lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang
diperintahkan-Nya.
Tiga jenis tingkatan ini dikhususkan hanya bagi para rasul dan nabi,
tidak berlaku untuk selain mereka. Utusan malaikat itu bisa berwujud
manusia berjenis laki-laki, yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan
juga berbicara empat mata, dan adakalanya dia menampakkan diri dalam
wujud aslinya. Adakalanya malaikat ini masuk ke dalam diri rasul dan
menyampaikan wahyu seperti yang diperintahkan, lalu dia melepaskan diri
darinya. Tiga cara ini pernah dialami nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi
wa Sallam.

Tingkatan Keempat:

Dengan cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang sifatnya
khusus dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin, seperti
yang dialami Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Hal ini pernah
ditegaskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Sesungguhnya di tengah umat-umat sebelum kalian ada orang-orang
yang mendapat bisikan. Sedangkan dalam umat ini adalah Umar bin
Al-Khaththab."
Orang yang mendapat bisikan ialah orang yang mendapat bisikan
(firasat) itu secara rahasia di dalam hatinya tentang sesuatu, kemudian dia
menyatakannya. Lalu bagaimana dengan sekian banyak orang yang
dikuasai imajinasi dan hayalan, yang mengatakan, "Hatiku mendapat
bisikan dari Allah?" Memang tidak bisa disangkal bahwa hatinya mendapat
bisikan itu. Tapi dari mana dan dari siapa? Dari syetan ataukah dari Allah?
Jika dia mengaku berasal dari Allah, berarti dia menyandarkan bisikan itu
dari seseorang yang sebenarnya dia pun tidak mengetahuinya secara pasti,
bahwa yang membisikkan kepadanya itu benar-benar mem-bisikkan. Ini
sama saja bohong. Sementara Umar bin Al-Khaththab, salah seorang dari
umat ini yang telah dilejitimasi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam sebagai orang yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat
pengakuan seperti itu dan berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah
melindungi dirinya agar tidak berkata seperti itu. Bahkan suatu hari saat
sekretarisnya menulis, "Inilah yang diperlihatkan Allah kepada Amirul-
Mukminin, Umar bin Al-Khaththab", dia berkata, "Tidak, hapus itu. Tapi
tulislah: Inilah yang dilihat Umar bin Al-Khaththab. Jika benar, maka ini
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka ini dari Umar, sedangkan Allah
dan Rasul-Nya terbebas darinya." Dia juga pernah berkata ketika
memutuskan perkara tentang seorang anak yang tidak jelas bapak ibunya,
"Aku memutuskannya berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka itu dariku dan dari syetan."
Dengan begitu engkau bisa membedakan antara sosok Umar bin Al-
Khaththab dengan sekian banyak orang yang dikuasai hayalan, pem-bual
dan permisivis yang mengatakan, "Hatiku mendapat bisikan (wang-sit) dari
Allah." Perhatikan dan bandingkan antara keduanya, kemudian berikan
hak kepada masing-masing secara proporsional, jangan samakan pembual
dengan orang yang tulus.

Tingkatan Kelima:
 
Dengan cara pemahaman. Allah befirman,
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan ilmu."
(Al-Anbiya': 78-79).
Allah menyebutkan dua nabi yang mulia ini, memuji keduanya dengan
ilmu dan hukum, mengkhususkan Sulaiman dengan pemahaman
dalam peristiwa ini.
Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengkhususkan kalian para shahabat
dengan sesuatu tanpa yang lain?" Ali menjawab, "Tidak pernah, kecuali
hanya pemahaman tentang Kitab-Nya seperti yang diberikan Allah kepada
seorang hamba."
Pemahaman ini datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan
inti kebenaran. Ada perbedaan di antara orang-orang yang berilmu
sehubungan dengan pemahaman ini, sampai-sampai ada satu orang yang
disamakan dengan seribu orang. Perhatikan pemahaman yang dimiliki
Ibnu Abbas, saat dia ditanya Umar dalam pertemuan yang dihadiri para
shahabat yang pernah ikut perang Badr dan juga lain-lainnya tentang
makna surat An-Nashr. Menurut Ibnu Abbas, surat ini merupakan
pengabaran tentang kedekatan ajal beliau. Ternyata jalan pikiran Ibnu
Abbas ini cocok dengan jalan pikiran Umar sendiri. Hanya mereka ber-dua
yang memahami seperti ini, sekalipun Ibnu Abbas adalah orang yang paling
muda di antara para shahabat yang ada pada waktu itu. Dari sisi mana
surat ini bisa dipahami sebagai pengabaran tentang ajal beliau yang sudah
dekat kalau bukan karena pemahaman yang sifatnya khusus?

Tingkatan Keenam:
 
Penjelasan secara umum. Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan
kemampuan untuk membedakannya dari yang batil, berdasarkan dalil,
bukti dan saksi-saksi penguat, sehingga lalu berubah seperti sebuah
kenyataan di dalam hati, seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas di
depan mata kepala. Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya.
Dia tidak mengadzab dan tidak menyesatkan seseorang kecuali sete-lah orang
tersebut mendapatkan kejelasan ini. Firman-Nya,
"Dan, Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah
Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada
mereka apa yang harus dijauhi." (At-Taubah: 115).
Kesesatan ini merupakan hukuman bagi mereka yang datangnya
dari Allah, karena Dia telah menjelaskan kepada mereka, namun mereka
tidak mau menerima dan tidak mengamalkannya. Maka Allah menghukum
mereka dengan cara menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, Allah sama
sekali tidak menyesatkan seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini.
Jika engkau sudah memahami hal ini, tentu engkau bisa memahami rahasia
takdir, sehingga engkau tidak terasuki sekian banyak keragu-raguan dan
syubhat tentang masalah ini.
Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan dengan ayat-ayat yang bisa
didengar, dan penjelasan dengan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) yang
bisa dilihat mata. Keduanya merupakan bukti dan penjelasan tentang
keesaan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena itu Allah menyeru
hamba-hamba-Nya lewat ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca agar memikirkan
tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bisa dilihat mata. Karena penjelasan
inilah para rasul diutus dan pengemban sesudah para nabi adalah para
ulama. Setelah ada penjelasan itu, maka Allah menyesatkan siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Allah menjelaskan, dan Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya berdasarkan hikmah-Nya.

Tingkatan Ketujuh:
 
Penjelasan bersifat khusus. Maksudnya penjelasan yang mendatang-kan
petunjuk khusus, atau penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik
dan pengenyahan sebab-sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak
kehilangan hidayah. Allah befirman,
"Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka
sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang
disesatkan-Nya." (An-Nahl: 36).
"Sesungguhnya kami tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya." (Al-Qashash: 56).


Tingkatan Kedelapan:

Lewat pendengaran. Allah befirman,
 Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah
Allah menjadikan mereka dapat mendengar." (Al-Anfal: 23)
Memperdengarkan di sini lebih khusus daripada memperdengarkan
hujjah dan tabligh, sebab yang demikian itu berangkat dari diri mereka sendiri
dan karenanya Allah menegakkan hujjah atas mereka. Yang demikian itu
berarti memperdengarkan telinga, sedangkan yang ini memperdengarkan
hati. Perkataan mempunyai lafazh dan makna, yang berkaitan dengan
telinga dan hati. Mendengarkan lafazh merupakan bagian telinga,
sedangkan mendengarkan hakikat makna dan tujuannya merupakan
bagian hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan yang
merupakan bagian hati dari orang-orang kafir, dan hanya menetapkan
pendengaran lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga.
Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa
tingkatan ini diperoleh lewat sarana telinga, sedangkan tingkatan
pemahaman sifatnya lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada
tingkatan pemahaman, jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman
juga bisa lebih khusus jika dilihat dari sisi yang lain lagi, yaitu karena ia
berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, kaitan dan isyarat-nya. Inti
tingkatan mendengar ialah penyampaian maksud ke hati, yang berarti
harus ada penerimaan pendengaran. Berarti dalam tingkatan ini ada tiga
tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar dan
penerimaan atau pemenuhan.\

Tingkatan Kesembilan:

Ilham. Allah befirman,
"Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
(Asy-Syams: 7-8).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Hushain bin Al-
Mundzir saat dia masuk Islam,
"Katakanlah, 'Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan
lindungilah aku dari kejahatan diriku."
Pengarang Manazilus-Sa'irin (Abu Ismail) menganggap ilham ini sama
kedudukannya dengan bisikan di dalam hati. Jadi ilham lebih tinggi daripada
firasat. Sebab boleh jadi firasat itu jarang-jarang terjadi atau bersifat
insidental dan pelakunya tidak bisa menentukan kapan waktunya atau
bahkan ia bisa mengecohnya. Sementara kedudukan ilham sudah jelas.
Saya katakan, bisikan di dalam hati lebih khusus daripada ilham. Ilham
bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung pada iman mereka.
Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk dari Allah, yang
menghasilkan keimanan kepada-Nya. Sedangkan bisikan dalam hati ha-nya
dikhususkan bagi orang-orang yang memang mendapatkannya, se-perti
Umar bin Al-Khaththab. Jadi bisikan hati ini merupakan ilham khusus, atau
bisa dikatakan wahyu yang diberikan kepada selain para nabi, baik mukallaf
atau bukan mukallaf. Wahyu yang diberikan kepada mukallaf seperti firman
Allah,
"Dan, Kami ilhamkan kepada ibu Musa, 'Susuilah dia'." (Al-Qashash:7).
Wahyu yang diberikan kepada yang bukan mukallaf,
"Dan, Rabbmu mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia'."(An-Nahl: 68).
Jika ilham ini dianggap lebih tinggi daripada kedudukan firasat,
maka justru bisa melemahkan anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang
sudah dikatakan di atas, firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara
sesuatu yang jarang-jarang terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya
tentang masalah ini, masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi
umum dan khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang
umum pada selainnya. Tapi perbedaan yang jelas di antara kedua-nya,
firasat lebih berkaitan dengan satu jenis tindakan atau perbuatan,
sedangkan ilham murni pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan
tindakan atau usaha tertentu.


Tingkatan Kesepuluh:
 
Mimpi yang benar, yang merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti
yang dikabarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
"Mimpi yang benar itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam
bagian dari nubuwah."
Tapi dalam riwayat lain yang shahih disebutkan merupakan satu
bagian dari tujuh puluh bagian dari nubuwah. Yang pasti, mimpi merupakan
permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada orang yang
bermimpi, dan mimpi yang paling benar ialah mimpinya orang yang perkataannya
paling benar dan jujur. Jika kiamat sudah dekat, maka hampir
tidak ada mimpi yang meleset, karena jaraknya yang jauh dari masa nubuwah.
Sementara pada masa nubuwah tidak membutuhkan mimpi-mimpi
yang benar ini, karena sudah ada kekuatan cahaya nubuwah.
Kebalikan dari mimpi yang benar ini adalah karamah yang muncul
setelah masa shahabat, namun tidak muncul pada masa dekatnya hari
kiamat. Hal ini disebabkan kuat dan lemahnya iman. Begitulah yang ditegaskan
Al-Imam Ahmad.
Ubadah bin Ash-Shamit berkata, "Mimpi orang Mukmin merupakan
perkataan yang disampaikan Allah kepada hamba-Nya ketika dia tidur."
Mimpi itu layaknya suatu pengungkapan, di antaranya ada yang
berasal dari Allah, ada yang berasal dari kejiwaan dan ada yang berasal
dari syetan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Mimpi itu ada tiga macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari syetan
dan mimpi yang terbawa bisikan seseorang ke dalam hatinya saat
terjaga, lalu dia memimpikannya saat tidur."
Mimpi yang menjadi sebab hidayah adalah mimpi yang secara khusus
datangnya dari Allah. Sementara mimpi para nabi sama dengan wahyu,
karena mimpi mereka terlindung dari syetan. Begitulah kesepakatan umat.
Karena itu Al-Khalil Ibrahim hendak menyembelih putranya, sekalipun
itu bermula dari perintah dalam mimpi yang beliau alami. Sedangkan
mimpi selain para nabi, bisa dilaksanakan seperti halnya wahyu yang jelas,
jika memang tepat. Jika tidak, maka tidak perlu diamalkan. Lalu apa komentar
kalian tentang mimpi yang benar? Jika mimpi itu mimpi yang
benar, maka ia tidak akan bertentangan dengan wahyu. Siapa yang ingin
agar mimpinya benar, maka hendaklah dia terus-menerus menjaga kejujurannya,
memakan yang halal, menjaga perintah dan larangan, tidur
dalam keadaan suci, menghadap ke arah kiblat, menyebut asma Allah
hingga matanya terlelap. Jika dia berbuat seperti ini, hampir pasti mimpinya
bukan mimpi yang dusta.
Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena
itulah waktu turunnya wahyu, rahmat, ampunan dan saat syetan menyingkir
jauh. Sebaliknya, mimpi pada permulaan malam adalah mimpi
yang banyak ditebari syetan dan ruh-ruh syetan.