Senin, 19 Maret 2012

TAUHID RUBUBIYAH TAUHID ULUHIYAH

Dari kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali

Hal ini bererti siapa yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani tak ada pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam kecuali Allah, maka ia harus mengakui bahwa tak ada yang berrhak menerima ibadah dgn segala macamnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala . Dan itulah tauhid uluhiyah.
Tauhid uluhiyah, iaitu tauhid ibadah, karena ilah maknanya adalah ma'bud (yang disembah). Maka tak ada yang diseru dalam kecuali Allah, tak ada yang dimintai pertolongan kecuali Dia, tak ada yang boleh dijadikan tempat bergantung kecuali Dia, tak boleh menyembelih kurban atau bernadzar kecuali untukNya, dan tak boleh mengarahkan seluruh ibadah kecuali untukNya dan karenaNya semata.

Jadi, tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah . Karena itu seringkali Allah membantah orang nan mengingkari tauhid uluhiyah dgn tauhid rububiyah yang mereka akui dan yakini.

Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
” Hai manusia, sembahlah Tuhanmu nan telah menciptakanmu & orang-orang nan sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah nan menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu & langit sebagai atap, & Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dgn hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. ” [Al-Baqarah: 21-22]

Allah memerintahkan mereka bertauhid uluhiyah, yaitu menyem-bahNya & beribadah kepadaNya. Dia menunjukkan dalil kepada mereka dgn tauhid rububiyah, yaitu penciptaanNya terhadap manusia dari nan pertama hingga nan terakhir, penciptaan langit & bumi serta seisinya, penurunan hujan, penumbuhan tumbuh-tumbuhan, pengeluaran buah-buahan nan menjadi rizki bagi para hamba. Maka sangat tak pantas bagi mereka jika menyekutukan Allah dgn nan lainNya; dari benda-benda atau pun orang-orang nan mereka sendiri mengetahui bahwa ia tak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya.

Maka jalan fitri utk menetapkan tauhid uluhiyah adalah berdasarkan tauhid rububiyah. Karena manusia pertama kalinya sangat bergantung kepada asal kejadiannya, sumber kemanfaatan dan kemadharatannya. Setelah itu berpindah kepada cara-cara ber-taqarrub kepadaNya, cara-cara nan bisa membuat ridhaNya dan yang menguatkan hubungan antara dirinya dgn Tuhannya. Maka tauhid rububiyah adalah pintu gerbang dari tauhid uluhiyah. Karena itu Allah ber-hujjah atas orang-orang musyrik dgn cara ini. Dia juga memerintahkan RasulNya utk ber-hujjah atas mereka seperti itu.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
 ” Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua nan ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah. ” Katakanlah: “Maka apakah kamu tak ingat?” Katakanlah: “Siapakah nan Empunya langit nan 7 dan yang Empunya `Arsy nan besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah. ” Katakanlah: “Maka apakah kamu tak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah nan di tanganNya berada keku-asaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tak ada nan dapat dilindungi dari (azab)Nya, jika kamu mengeta-hui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah. ” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [Al-Mu'minun: 84-89]

 ” (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; . . . ” [Al-An'am: 102]

Dia berdalil dgn tauhid rububiyah-Nya atas hakNya utk disembah. Tauhid uluhiyah inilah nan menjadi tujuan dari pencipta-an manusia. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
” Dan Aku tak menciptakan jin & manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. ” [Adz-Dzariyat: 56]

 ” Ya'buduun ” adalah mentauhidkanKu dlm ibadah. Seorang hamba tidaklah menjadi muwahhid hanya dgn mengakui tauhid rububiyah semata, tetapi ia harus mengakui tauhid uluhiyah serta mengamalkannya. Kalau tidak, maka sesungguhnya orang musyrik pun mengakui tauhid rububiyah, tetapi hal ini tak membuat mereka masuk dlm Islam, bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi mereka.

Padahal mereka mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta, Pemberi rizki, yang menghidupkan dan yang mematikan. 
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
 ” Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: 'Siapakah nan menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: 'Allah', . . . ” [Az-Zukhruf: 87]

 ” Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: 'Siapakah nan menciptakan langit & bumi?', niscaya mereka akan menjawab: 'Semuanya diciptakan oleh nan Maha Perkasa lagi Ma-ha Mengetahui'. ” [Az-Zukhruf: 9]

 ” Katakanlah, 'Siapakah nan memberi rezki kepadamu dari langit & bumi, atau siapakah nan kuasa (menciptakan) pendengaran & penglihatan, & siapakah nan mengeluarkan nan hidup dari nan mati & mengeluarkan nan mati dari nan hidup & siapakah nan mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab: “Allah”. [Yunus: 31]

Hal semacam ini banyak sekali dikemukakan dlm Al-Qur'an. Maka barangsiapa mengira bahwa tauhid itu hanya meyakini wujud Allah, atau meyakini bahwa Allah adalah Al-Khaliq nan mengatur alam, maka sesungguhnya orang tersebut belumlah mengetahui hakikat tauhid nan dibawa oleh para rasul. Karena sesungguhnya ia hanya mengakui sesuatu nan diharuskan, dan meninggalkan sesuatu nan mengharuskan; atau berhenti hanya sampai pada dalil tetapi ia meninggalkan isi dan inti dari dalil tersebut.

Di antara kekhususan ilahiyah adalah kesempurnaanNya nan mutlak dlm segala segi, tak ada cela atau kekurangan sedikit pun. Ini mengharuskan semua ibadah mesti tertuju kepadaNya; pengagungan, penghormatan, rasa takut, do'a, pengharapan, taubat, tawakkal, minta pertolongan dan penghambaan dgn rasa cinta nan paling dalam, semua itu wajib secara akal, syara' & fitrah agar ditujukan khusus kepada Allah semata. Juga secara akal, syara' dan fitrah, tak mungkin hal itu boleh ditujukan kepada selainNya. 

Jumat, 09 Maret 2012

JENG JENG…..LAGI-LAGI KISAH MENGENAI DIRI AL FUDHAIL BIN IYADZ

  Suatu hari Fudhail memangku anak yang berumur empat tahun. Tanpa disengaja bibir Fuzail menyentuh pipi anak itu sebagimana yang sering dilakukan seorang ayah kepada anaknya.
“Apakah ayah cinta kepadaku?”, si anak bertanya kepada Fudhail.
“Ya”, jawab Fudhail.
”Apakah ayah cinta kepada Allah?”
“Ya”.
”Berapa banyakkah hati yang ayah miliki?”
“Satu”, jawab Fudhail.
“Dapatkah ayah mencintai dua hal dengan satu hati?”, si anak meneruskan pertanyaannya.
Fudhail segera sadar bahwa yang berkata-kata itu bukanlah anaknya sendiri. Sesungguhnya kata-kata itu adalah sebuah petunjuk Ilahi. Karena takut dimurkai Allah, Fudhail memukul-mukulkan
kepalanya sendiri dan memohon ampun kepada-Nya. Ia renggut kasih sayangnya kepada si anak kemudian dicurahkannya kepada Allah semata-mata,.


Pada suatu hari Fudhail sedang berada di Padang Arafah. Semua, jama’ah yang berada di sana menangis, meratap, memasrahkan diri dan memohonkan ampun dengan segala kerendahan hati,
“Maha Besar Allah!”, seru Fuzail. “Jika manusia sebanyak ini secara serentak menghadap kepada seseorang dan mereka semua meminta sekeping uang perak kepadanya, apakah yang dilakukannya?
Apakah orang itu akan mengecewakan manusia-manusia yang banyak ini?”
“Tidak!”, orang ramai menjawab.
“Jadi”, Fudhail melanjutkan, “sudah tentu bagi Allah Yang Maha Besar untuk mengampunkan kita semua adalah lebih mudah daripada bagi orang tadi untuk memberikan sekeping uang perak. Dia adalah Yang Maha Kaya di antara yang kaya, dan karena itu sangat besar harapan kita bahwa Dia akan mengampunkan kita semua”.

Putera Fudhail menderita penyakit susah buang air kecil. Fudhail berlutut di dekat anaknya dan mengangkat kedua tangannya sambil berdoa: “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu sembuhkanlah ia dari penyakit ini”.
Belum sempat Fudhail bangkit dari duduknya, si anak telah segar bugar kembali.

Di dalam doanya Fudhail sering mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku karena Engkau Maha Tahu bahwa aku telah bertaubat, dan janganlah Engkau menghukumku karena Engkau Maha Berkuasa
atas diriku”. Kemudian ia melanjutkan: “Ya Allah, Engkau telah membuatku lapar dan telah membuat anak-anakku lapar. Engkau telah membuatku telanjang dan telah membuat anak-anaku telanjang. Dan Engkau tidak memberikan pelita kepadaku apabila hari telah gelap. Semua itu telah Engkau lakukan terhadap sahabat-sahabat-Mu, Karena keluhuran spiritual, apakah Fuzail telah menerima kehormatan-Mu ini?”

Selama tiga puluh tahun tidak seorang pun pernah melihat Fdhzail tersenyum kecuali ketika puteranya meninggal dunia, Pada waktu itulah orang-orang melihat Fuzail tersenyum. Seseorang
menegurnya.
“Guru, mengapakah engkau justru tersenyum disaat-saat yang seperti ini?”
”Aku menyadari bahwa Allah menghendaki agar anakku mati. Aku tersenyum karena kehendak-Nya telah terlaksana”, jawab Fuzail.

Fudhail mempunyai dua orang anak perempuan. Menjelang akhir hayatnya Fudhail menyampaikan wasiat terakhir kepada isterinya:
“Apabila aku mati bawalah anak-anak kita ke gunung Abu Qubais. Di sana tengadahkan wajahmu dan berdoalah kepada Allah;
`Ya Allah, Fudhail menyuruhku untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada-Mu; ketika aku hidup kedua anak-anak yang tak berdaya ini telah kulindungi dengan sebaik-baiknya. Tetapi setelah Engkau mengurungku di dalam kubur, mereka kuserahkan kepada-Mu kembali”.
Setelah Fudhail dikebumikan, isterinya melakukan seperti yang dipesankan kepadanya. Ia pergi ke puncak gunung Abu Qubais membawa kedua anak perempuannya.


Kemudian ia berdoa kepada Allah sambll menangis dan meratap. Kebetulan pada saat itu, pangeran dari negeri Yaman beserta kedua puteranya melalui tempat itu. Menyaksikan mereka yang menangis dan meratap itu, sangpangeran bertanya:
“Apakah kemalangan yang telah menimpa diri kalian?”
Isteri Fudhail menerangkan keadaan mereka. Kemudian si pangeran berkata:
“Jika kedua puterimu kuambil untuk kedua puteraku ini dan untuk masing-masing di antara mereka kuberikan sepuluh ribu dinar sebagai mas kawinnya, apakah engkau merasa cukup puas?”
“Ya”, jawab si ibu.
Segeralah sang pangeran mempersiapkan tandu-tandu, permadani permadani dan brokat-brokat kemudlan membawa si ibu beserta kedua puterinya ke negeri Yaman