Sabtu, 18 Juni 2016

PERISAI MUKMIN FASAL 22 : KETENANGAN



BUAH TULISAN ABDURAHMAN AL MUKAFFI

Perisai ini hanya milik Mukmin yang mempunyai perhitungan yang matang dan pandangan yang jauh, berhati hati, tidak gegabah atau sembarangan . Dan hal ini terlihat dari tindak-tanduk seseorang yang menginginkan segala kebaikan. Sebagaimana tersurat dalam hadits berikut.

 Jarir bin Abdillah ra. berkata: "Saya telah mendengar Rasululah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: `Siapa yang diharamkan dari sifat tenang dan lunak berarti telah diharamkan daripada semua kebaikan” (HR. Muslim).
Bahkan dalam riwayat lain dinyatakan akan keharaman masuk neraka bagi orang-orang yang memiliki perisai ini:

Ibnu Mas'ud ra. berkata: "Bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:'Sukakah saya beritahukan padamu orang yang diharamkan masuk neraka?' Beliau melanjutkan: `Neraka itu haram atas siapa yang lunak, ringan, tenang dan baik budi'." (HR. Tirmidzi).

Sabtu, 11 Juni 2016

RIYADHUS SHALIHIN Bab 17 Kewajiban Mengikuti Hukum Allah Dan Apa-apa Yang Diucapkan Oleh Orang Yang Diajak



KITAB RIYADHUS SHALIHIN (TAMAN ORANG-ORANG SHALIH)

OLEH IMAM NAWAWI

Allah Ta'ala berfirman:

"Tetapi tidak, demi Tuhanmu. Mereka belum sebenarnya beriman sebelum mereka memintakeputusan kepadamu perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menaruh keberatan dalam hatinya terhadap putusan yang engkau berikan itu dan mereka menyerah dengan penyerahan yang bulat-bulat." (an-Nisa': 65)


Allah Ta'ala berfirman pula:

"Hanyasanya ucapan kaum mu'minin, apabila mereka diseru kepada jalan Allah dan RasulNya untuk memberikan hukum di antara mereka itu iaiah mereka itu mengucapkan: "Kita semua mendengarkan dan mentaati." Mereka itu adalah orang-orang yang berbahagia." (an-Nur: 51)


Keterangan:

Setiap orang sudah pasti mengerti bahwa Islam adalah suatu agama yang sudah
cukup lengkap hukum-hukumnya serta peraturan-peraturannya. Dalam segala macam
persoalan Islam sudah menyediakan hukum yang wajib diterapkan untuknya itu, mulai dari
hal yang sekecil-kecilnya seperti berkawan, adab pergaulan,berumah tanggadan lain-lain,
juga sampai yang sebesarnya, misalnya menegakkan tertib hukum, mengatur keamanan
dalam negara dan sebagainya. Dalam hal perselisihan antara orang seorang, antara golongan
satu dengan lainnya, bahkan antara bangsa dengan lain bangsapun tercantum pula
hukumnya.

Jadi kita sebagar penganut agama Islam berkewajiban mengamalkan hukum-hukum
itu tanpa membantah samasekali, jika memang benar-benar nyata hukum itu dari Tuhan dan
RasulNya dan bukan semata-mata dibuat-buat sendiri oleh manusia yang gemar pada
kebid'ahan, jelasnya orang-orang yang mengada-adakan hukum dari kehendaknya sendiri
dan dikatakan bahwa itulah hukum agama dari Tuhan.

Sementara itu segala persoalan yang terjadi, maka untuk menerapkan hukumnya
jangan menggunakan hukum yang selain dari Tuhan dan RasulNya. Jadi persoalan itu kita
cocokkan sesuai dengan hukum yang ada dalam agama Islam. Manakala kita mengerjakan
kebalikannya, tentulah salah, yaitu persoalan yang ada itu kita carikan hukumnya dalam
agama yang kiranya dapat sesuai dengan kehendak atau kemauan hawa nafsu kita sendiri,
atau disesuaikan dengan kemauan orang lain yang kita anggap terhormat agar mendapatkan
pujian atau sekedar harta daripadanya. Oleh sebab itu jikalau hukum agama itu diibaratkan
sebagai kepala atau kaki, sekiranya kita ingin membeli kopyah atau sepatu, hendaknya
kopyah dan sepatu itu yang kita cocokkan dengan kepala atau kaki kita dan tidak sebaliknya,
yakni kepala atau kaki yang kita cocokkan dengan kopyah atau sepatu tersebut. Kalau
kekecilan, kepala dan kaki diperkecilkan dan kalau kebesaran, lalu kepala atau kaki dipukuli
agar bengkak sehingga cocok dengan kopyah atau sepatu yang berukuran besar tadi.
Ringkasnya dalam segala hal, jangan sampai hukum agama yang dikalahkan,
sebaliknya itulah yang justeru wajib dimuliakan dan dijunjung setinggi-tingginya, sebab
memang datangnya dari Tuhan Rabbul 'Alamin. Semogalah kita dapat melaksanakan
yang sedemikian ini, sehingga berbahagialah hidup kita sejak di dunia sampai di akhirat
nanti.

Dalam bab ini ada beberapa Hadis, di antaranya ialah Hadis Abu Hurairah yang
tercantum dalam permulaan bab sebelum ini – lihat Hadis no. 156 - dan ada pula Hadis-hadis
yang lainnya.


168. Dari Abu Hurairah r.a.katanya: "Ketika ayat ini turun pada Rasulullah s.a.w.
yaitu-yang artinya: Bagi Allah adalah apa-apa yang ada di dalam langit dan apa yang ada di
bumi. Jikalau engkau semua terangkan apa-apa yang dalam hatimu alau jikalau engkau
semua sembunyikan itu, niscayalah Allah akan memperhitungkan semuanya," sampai akhir
ayat.


Dikala itu, maka hal yang sedemikian tadi dirasa amat beratoleh para sahabat
Rasulullah s.a.w. Mereka lalu mendatangi Rasulullah s.a.w. kemudian mereka berjongkok di
atas lutut mereka lalu berkata: "Ya Rasulullah, kita telah dipaksakan untuk melakukan
amalan-amalan yang kita semua juga kuat melaksanakannya, yaitu shalat, puasa, jihad dan
sedekah. Tetapi kini telah diturunkan kepada Tuan sebuah ayat dan kita rasanya tidak kuat
melaksanakannya.


Rasulullah s.a.w. lalu bersabda: "Adakah engkau semua hendak mengatakan
sebagaimana yang dikatakan oleh dua golongan ahlul kitab-kaum Nasrani dan Yahudi -yang
hidup sebelummu semua ini, yaitu ucapan: "Kita mendengar tetapi kita menyalahi." Tidak
boleh sedemikian itu, tetapi ucapkanlah: "Kita mendengar dan kita mentaati. Kita
memohonkan pengampunan padaMu,ya Tuhan kita, dan kepadaMulah tempat kembali."
Setelah kaum - sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. - membaca itu, lagi pula lidah-lidah
mereka telah tunduk - tidak bisa bercakap sesuatu, lalu Allah Ta'ala menurunkan lagi
sesudah itu ayat - yang artinya:


"Rasul itu mempercayai apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, begitu pula
orang-orang yang beriman. Semuanya percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitabkitabNya,dan rasul-rasulNya. Mereka berkata: "Kita tidak membeda-bedakan seorangpun di antara rasul-rasul Allah itu." Mereka berkata lagi: "Kita mendengar dan kita mentaati. Kita memohonkan pengampunan daripadaMu, ya Tuhan kita dan kepadaMulah tempatkembali."


Selanjutnya setelah mereka telah melaksanakan sebagaimana isi ayat di atas itu, lalu
Allah 'Azzawajalla menurunkan lagi ayat - yang artinya:
"Allah tidak melaksanakan kewajiban kepada seseorang, hanyalah sekedar
kekuatannya belaka, bermanfaat untuknya apa-apa yang ia lakukan dan berbahaya pula
atasnya apa-apa yang ia lakukan. Ya Tuhan kita, janganlah Engkau menghukum kita atas
sesuatu yang kita lakukan karena kelupaan atau kekhilafan - yang tidak disengaja."
Beliau s.a.w. bersabda: "Benar - kita telah melaksanakan."
"Ya Tuhan kita, janganlah Engkau pikulkan kepada kita beban yang berat,
sebagaimana yang telah Engkau pikulkan kepada orang-orang yang terdahulu sebelum kita."
Beliau bersabda: "Benar."


"Ya Tuhan kita, janganlah Engkau pikulkan kepada kita sesuatu yang kita tidak kuat
melaksanakannya."

Beliau bersabda: "Benar."
"Dan berilah maaf dan pengampunan, belas kasihanlah kita. Engkau pelindung kita,
maka tolonglah kita terhadap kaum kafirin itu."
Beliau bersabda: "Benar." (Ayat di atas dari surat al-Baqarah 286). (Riwayat Muslim)
"Dan berilah maaf dan pengampunan, belas kasihanlah kita. Engkau pelindung kita,
maka tolonglah kita terhadap kaum kafirin itu."

Beliau bersabda: "Benar." (Ayat di atas dari surat al-Baqarah 286). (Riwayat Muslim)

KITAB TANBIH AL MASYI (2) Allah SWT. itu tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, namun Ia meliputi segala sesuatu



TULISAN SYEIKH ABDUL RAUF SINGKEL

Pemimpin Tariqat Syattariyah  dan digelar "Tengku Syiyaah Kuala".


BAHGIAN DUA : Allah  SWT. itu tidak  ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, namun Ia meliputi segala sesuatu

Ketahuilah  wahai  murid,  bahwa  Allah  SWT.  itu  tidak  ada  sesuatu pun  yang  menyerupai-Nya, namun Ia meliputi segala sesuatu, Dia nyata  dari segi  pengetahuan, namun  tidak  nyata  dari segi bentuk. Barang siapa  mengetahui  bahwa  Dia  itu  terlalu  Agung   untuk   benar - benar diketahui,  sungguh   ia   telah mengenal-Nya. Oleh karena itu, ada satu keterangan  mengatakan   bahwa   yang   mampu   mengenal  Allah itu hanya Allah sendiri. Maka,  peganglah   prinsip   ini.  Dalam  agama   itu   ada  dua   Unsur,   yaitu: (14) iman  dan  syirik, dan akal itu memiliki keterbatasan serta ketidakmampuan  untuk  mengetahui  hakikat  Allah,  dan   puncak tertinggi dalam  mengenal Allah SWT  adalah  rasa   bingung,  tapi   bingung   yang  terpuji, yaitu bingungnya orang berilmu yang mengetahui proses tajalli (penyingkapan diri) nya Tuhan serta pemancaran cahaya-Nya.

Rasulullah  SAW  pun  pernah memita  agar ditambah rasa bingung dari Tuhannya dengan berdoa, “Ya Tuhanku, tambahlah kepadaku kebingungan atas-Mu, yakni bingung dari tajalli-Mu yang tidak ada henti-hentinya, dan  dari banyaknya perubahan dzat-Mu dalam segala tindakan dan sifat-Mu”. Pengarang kitab ‘Awārif al-Ma ārif’  berkata,  “Imam  Junaid  pernah ditanya tentang akhir kehidupan, lalu dia menjawab: akhir kehidupan adalah kembali  ke  permulaan”. Ulama  lain  menjelaskan  ucapan   Imam Junaid tersebut  dengan mengatakan, bahwa maksudnya manusia itu pada mulanya berada dalam kebodohan, lalu menjadli makrifat (mengetahui), lalu kembali kepada  kebingungan  dan  kebodohan. Dia  itu  bagaikan anak-anak, yang awalnya tidak tahu apa - apa, lalu menjadi pandai, dan kembali lagi pada ketidaktahuannya.  Allah  ta’ala   berfirman,  “Supaya  dia  tidak  mengetahui  lagi sesuatu  pun yang dahulu pemah diketahuinya”. Sebagian ulama mengatakan bahwa  makhluk  Allah  yang  paling  makrifat adalah mereka yang paling bingung memikirkan-Nya, sekian.

Sebagian dari para ulama, berkaitan dengan kata “bingung” yang terdapat dalam doa Nabi tesebut berarti pengetahuan (ilmu). Mereka mengatakan, “Rasa bingung adalah pengetahuan, walaupun sebenarnya tidak demikian, karena  Nabi  Muhammad SAW. sendiri memohon tambahan rasa bingung tersebut, padahal Nabi pernah menyuruh untuk selalu memohon tambahan  pengetahuan,  sebagaimana  disebutkan  dalam firman Allah ta’ala, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. Nabi tidak berdoa untuk  meminta  ditambah  atau  diperbaiki keadaannya, tidak pula minta ditambah  tingkatannya  untuk  mempelajani  kadar  ilmu  tersebut. Pengetahuan itu berakhir pada kebingungan, dan biasanya ia tidak akan diperoleh kecuali dengan  bersungguh-sungguh dalam berzikir dan tindakan-tindakan lain yang nanti  akan  dibicarakan,  dengan  izin  Allah  ta’ala serta petunjuk-Nya, dan hanya kepada Allahlah kita mohon petunjuk.

Apabla engkau telah memahami  hal  ini,  maka   hendaklah  engkau kembali  kepada penjelasan tentang keabsahan kesatuan (‘ainiyyah’) segala sesuatu dan ketiadaannya. Ketahuilah  wahai  murid, bahwa  kesatuan  segala  sesuatu  itu tidak  benar  kecuali  sebelum  munculnya segala sesuatu tersebut dalam kenyataan  (masih pada zaman dahulu). Oleh karenanya, kita tidak dapat mengatakan  bahwa  al-kull  itu  adalah  al-Haq,  kecuali  dari  segi   peleburan dan  tidak  adanya  perbedaan  dalam   keesaan, seperti   yang  telah  dikemukakan. Adapun  jika  segala  sesuatu   itu  telah  tampak  dalam  kenyataan, maka  kesatuan  segala  sesuatu  itu   tidak  absah lagi, karena alam lahir memiliki hukum tersendiri, demikian  juga  dengan  alam batin. Adapun hukum batin adalah  hukum yang samar, tegasnya   ketiadaan (‘adam),  sedangkan   hukum lahir  adalah    hukum  yang   tampak  (wujud).  Ketahui  itu dan jangan keliru,     karena  orang  yang keliru dalam hal ini, berbahaya, dia juga akan sesat dan  menyesatkan, kami  memohon  ampunan  dan  kesehatan  kepada Allah dalam urusan agama, dunia dan akhirat.