TULISAN SYEIKH ABDUL RAUF SINGKEL
Pemimpin Tariqat Syattariyah dan digelar "Tengku Syiyaah Kuala".
Bahagian satu : Mengesakan Allah
Wahal murid-muridkuketahuilah!, Semoga Allah memberi petunjuk kepada kami dan kepadamu untuk taat kepada-Nya, dan semoga Allah menghendaki kita melakukan apa yang diridhai-Nya bahwa kewajiban pertama atasmu adalah mengesakan Allah SWT, dan menyucikan-Nya dan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya dengan kalimat la ilahailallah, yang menghimpun empat tingkatan tauhid. Adapun makna tauhid itu adalah tindakan untuk mengaitkan, seperti kata membenarkan atau mendustakan bukan menciptakan. Oleh karenanya, arti kalimat “aku mengesakan Allah” adalah, “Aku mengaitkan Allah dengan keesaan-Nya”, bukan “Aku menjadikan-Nya, Esa”, karena keesaan Allah itu telah melekat pada dzat bukan karena ada yang menciptakan, pahamilah itu!
Adanya dari bukti keesaan Allah ta’ala adalah tidak rusaknya alam. Allah ta’ala berfirman,
“Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan lain selain Allah, tentulah keduanya (langit dan bumi) itu telah rusak binasa”.
Jadi, tidak rusaknya langit dan bumi ini merupakan bukti atas keesaan Allah ta’ala, karena langit dan bumi adalah bagian tidak terpisahkan dari alam. Adapun kata “alam” seperti pendapat sebagian orang adalah nama untuk segala sesuatu selain Allah SWT ‘azza wa jalla’. Dibentuknya kata “alam” seperti ini, karena ia merupakan nama ‘sesuatu’ yang dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui keberadaan Allah. Seperti halnya kata “khatam” (stempel), adalah nama sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui adanya benda yang dicap, demikian juga alam adalah nama sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui adanya Allah; karena keberadaán alam itu merupakan bukti yang menunjukkan adanya Allah ta’ala.
Hakikat alam adalah wujud yang terikat dengan sifat-sifat. mumkinat (sifat-sifat yang mungkin). Oleh karena itulah, alam disebut sebagai sesuatu selain Allah SWT. Jika dihubungkan dengan Allah SWT, alam itu bagaikan bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat Allah yang telah diketahul sejak zaman dahulu, dan kemudian memiliki wujud, sekian.
Menurut konsep ini manusia adalah bayangan Allah SWT, atau bayangan dan bayangan-Nya. Syekh Muhyiddin, semoga Allah menyucikan ruhnya mengatakan dalam kitab al-Fu yang bunyinya, “Potensi kita pada hakikatnya adalah bayangan Allah, bukan selain Dia”. Lebih lanjut, Maulana Abdurrahman bin Ahmad al. Jami r.a. menjelaskan, “baik potensi tersebut pola dasar luar (al-a’ yan al kharijiyyah), maupun pola dasar tetap (al-a’ yan a s -sabitah). Karena, pola dasar tetap kita merupakan bayangan dan dzat Tuhan yang menyatu dengan keadaan-Nya, sedangkan pola dasar luar kita merupakan bayangan dan pola dasar tetap kita itu, dan bayangan serta suatu bayangan adalah bayangan melalui perantara, sekian.
Andai engkau telah mengetahui hal itu, maka kami katakan, “bayangan itu tidak memiliki wujud selain wujud pemilik bayangannya. Oleh karenanya, wujud bayangan .itu sangat tergantung pada wujud pemilik bayangan. Jadi, karena wujud bayangan itu ditentukan oleh wujud yang lain, maka wujud yang lain itulah hakikat yang sebenarnya, demikian pula unsur-unsur lain yang terkait dengan wujud tersebut”. Dengan keyakinan itu, Engkau mengetahui bahwa alam ini milik Allah SWT., dan karena wujud-Nya pun alam ini ada, seperti sabda Nabi SAW “Keberadaan kita ini semata-mata karena Dia, dan milik-Nya”. Engkau juga mengetahui bahwa alam ini bukan benar-benar dzat Allah SWT, karena jika demikian, maka gugurlah firman Allah ta’ala, “Yang menciptakan segala sesuatu”, karena pencipta itu tidak mungkin menciptakan dzatnya Sendiri, dan Allah telah berfirman dalam al-Quran yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW., “Katakanlah (wahai Muhammad)! Allah adalah pencipta segala sesuatu”, Dia tidak mengatakan, “Katakanlah (wahai Muhammad) Allah adalah pencipta dzat-Nya sendiri”. Dia juga berfirman, “ Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat”, Dia tidak mengatakan, “Allah adalah pencipta dzat-Nya sendiri”. Demikian pula Allah berfirman, “Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam”, Tuhan tidak mengatakan, “Segala puji bagi Allah, Tuhan yang menciptakan dzat-Nya sendiri”. Bukti lain adalah jika alam ini benar-benar dzat Allah, tentu Dia tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban syariat yang berat, seperti puasa dan lain-lainnya.
Di antara bukti-bukti yang menunjukkan bahwa alam ini bukan benar-benar dzat Allah adalah bahwa manusia apabila ia ingin mencipta sesuatu yang tidak dimilikinya, lalu ia mengatakan, “jadilah dan ternyata sesuatu itu tidak tercipta, tentu ia akan benar-benar sadar bahwa Ia bukanlah dzat Allah yang sebenarnya, sebab jika ia memang dzat Allah, tentu apa yang ia katakan itu akan tercipta dalam sekejap mata, karena Allah ta’ala telah bèrfirman, “Apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya: jadilah! maka terjadilah ia”. Jadi, tidak terciptanya sesuatu yang diperintahkan oleh manusia itu, merupakan bukti bahwa alam ini bukan benar-benar dzat Allah. Dan, sebab tidak terciptanya segala sesuatu itu adalah karena tidak adanya persesuaian antara kehendak manusia dengan kehendak Allah ta’ala dalam hal tersebut.
Sebagian keterangan menyebutkan, “Wahai anak Adam! engkau mempunyai keinginan, Aku pun demikian, tapi yang akan terwujud hanyalah yang Aku inginkan. Jika engkau rela atas apa yang Aku inginkan, maka Aku akan memberikan apa yang engkau inginkan, namun jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, Aku akan mempersulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak akan terwujud kecuali apa yang Aku inginkan.”. Keterangan tersebut juga menunjukkan bahwa alam .ini berbeda dengan Allah, walaupun tidak benar-benar terpisah dari-Nya, karena pemisahan itu menghendaki adanya dua wujud yang masing-masing berdiri sendiri, padahal yang berdiri sendiri itu hanya Allah yang Maha Esa dan Mahaperkasa.
Guru kami mengatakan dalam kitab Bulgah al-Masir, yang lafaznya, “Alhasil, wujud alam ini tidak benar-benar berdiri sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Dan yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar dzat Allah SWT, — karena ia merupakan wujud baru , alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah. Sebab, sebagaimana pada zaman dahulu, tidak ada yang menyertai Allah, karena Dia adalah yang pertama ada sebelum segala sesuatu tercipta, demikian halnya hingga sekarang. Alam itu baru, karena. ia tercipta dari pancaran wüjud-Nya, ia bukan wujud yang menyertai Allah, melainkan wujud yang diciptakan oleh-Nya. Jadi, alam itu tidak memiliki tingkat yang sejajar dengan Allah, melainkan berada pada tingkat di bawah-Nya”.
Inilah yang dimaksud dengan wahdatul wujud. Yakni, alam bukanlah wujud kedua yang berdiri sendiri sélain Allah; dan bahwa Allah SWT. itu Maha Esa tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya, namun Dia selalu menyertai segala sesuatu, balk pada permulaan maupun di akhirnya. Sebagaimana firman-Nya, “Dan: Dia bersama kamu di mana saja kamu berada”. Lalu sabda Nabi, “Tidak ada sesuatu pun yang dari Allah”. Para ulama menambahkan, ‘ Allah sekarang, sama dengan keadaan-Nya saat semula”. Pahami dan berpegang teguhlah kepada al-Quran dan sunnah Rasul yang mulia, niscaya engkau mendapat petunjuk dan tetap berada pada jalan yang lurus. Nabi SAW yang tidak pemah berkata berdasarkan hawa nafsunya bersabda, “Aku tinggalkan dua perkara bagimu, yaitu kitab Allah dan sunnahku, maka jelaskanlah al-Quran dengan sunnahmu, karena matamu tidak akan buta, kakimu tidak akan terpeleset, dan tanganmu tidak akan putus selama kamu berpegang teguh pada keduanya”.
Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, dan jangan pula teperdaya oleh ungkapan lahir dari sufi. Syekh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi semoga Allah menyucikan kuburnya mengatakan, “Kami adalah kaum yang melarang hal tersebut dalam kitab - kitab kami”. al-Hafiz as-Suyuti, dalam kitabnya Tanbih al - Gabiyy, mengemukakan bahwa sebab pelarangan tersebut adalah karena dari sufi itu sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang memiliki pengertian khusus. Maka, barang siapa yang memaharni ungkapan-ungkapan para sufi tersebut atas dasar pengertian yang lazim dipakai di kalangan ahli ilmu lahir, niscaya ia akan terjerumus ke dalam kekafiran. Al-Ghazali, dalam sebagian kitabnya menyebutkan bahwa ungkapan sufi tersebut .serupa dengan.ayát atau ungkapan mutasyābihāt dalam al-Quran dan sunnah. Barang siapa yang berpegang pada arti lahirnya, kafirlah ia, karena ungkapan-ungkapan tersebut memiliki arti khusus, seperti kata al-wajh (wajah Allah), al-yad (tangan Allah), al-’ain(mata Allah), dan al-istiwa’ (Allah duduk). Jika ada orang yang memahami kata-kata tersebut menurut arti lahirnya, niscaya kafirlah ia, sekian.
Apabila engkau menjumpai seseorang yang berpendapat bahwa alam dan segala sesuatu adalah dzat Allah SWT, maka ketahuilah bahwa hal itu tidak benar, kecuali dalam konteks zaman dahulu. Seseorang boleh mengatakan bahwa, di zaman azali, segala sesuatu itu merupakan zat berdasarkan wujud Allah, bukan berdasarkan hakikatnya, karena di zaman azali tidak ada wujud selain Allah, dan tidak ada yang mungkin selain kemungkinan wujud tersebut. Kita juga tidak boleh mengatakan bahwa al-ku/I adalah Allah, dan hanya ada pada-Nya, yakni pada keesaan-Nya dan segi peleburan dan tidak adanya perbedaan dengan selain Allah SWT. Jadi, jangan mengatakan bahwa segala sesuatu itu mulanya adalah dzat Allah SWT, lalu berubah menjadi sesuatu yang lain dan sesuatu yang mungkin, itu adalah pemahaman yang keliru.
Burhanuddin Mulla Ibrahim bin Hasan al Kurani, Guru kami, -- semoga Allah memberinya pahala — berkata, “Pada zaman dahulu, tidak ada sesuatu pun selain Allah, segala sesuatu berada dalam pengetahuan-Nya, tidak berbeda dengan aI-Haq, Ia hadir karena kehadiran-Nya, dan wujud karena wujud-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ‘ainiyyah’ (satu wujud) pada zaman dahulu, karena saat itu, segala ciptaan wajib adanya, kemudian berubah menjadi mungkin ada. Sesungguhnya hakikat itu tidak akan berubah dan tercampur dengan yang lain, Allah lebih mengetahui kebenaran, sekian.
Fahamilah ketentuan ini, dan janganlah mencampuradukkan sesuatu, karena hal itu termasuk kebiasaan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Katakan dan yakinkan bahwa hamba tetap hamba, meskipun ia naik pada tingkat yang tinggi (taraqqi ), dan Allah tetap Allah meskipun Tidak turun (tanazzul). Hakikat itu tidak akan berubah, artinya hakikat hamba tidak akan berubah menjadi hakikat Allah, demikian pula sebaliknya, walau pada zaman azali sekalipun. Dan jangan engkau terpedaya oleh orang yang berdalih atas penyatuan wujud hamba secara total dengan hadis, “Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhannya”, lalu, dalam ketidaktahuannya kepada Allah ia menafsirkan hadis tersebut dengan mengatakan bahwa diri manusia itu adalah benar-benar dzat Tuhannya, tidak lain dari itu kami berlindung kepada Allah dan keyakinan demikian. Adapun arti hadis itu sebenannya adalah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hasan Syazilli r.a “Barang siapa mengenal dirinya fakir, niscaya ia mengenal Tuhannya Maha Kaya, barang siapa mengenal dirinya lemah, niscaya ía mengenal Tuhannya Maha Kuat, barang siapa mengenal dirinya tak kuasa, niscaya ia mengenal Tuhannya Maha Kuasa, dan barang siapa mengenal dirinya hina, niscaya ia mengenal Tuhannya Maha Mulia”, sekian.
Sebagian ulama memberikan penafsiran lain, walaupun intinya sama. Bagi saya sendiri, hadis tersebut merupakan ungkapan yang berkaitan dengan hal yang tidak ada, yakni karena jiwa manusia tidak akan mencapai hakikatnya sendiri secara keseluruhan ( ihatah ). Hal ini didukung oleh firman Allah Swt., “Katakanlah (hai Muhammad)! roh itu termasuk urusan Tuhanku”. Dengan ayat tersebut Allah mengingatkan, bahwa manusia tidak akan mampu mengenal dirinya secara utuh. Maka, jika manusia itu tidak mampu mengenal dirinya yang merupakan pada seluruh makhluk, padahal ia berada di dekatnya, tentu saja ia apalagi tidak mampu mengenal pencipta-Nya yang tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dengan sebenar-benarnya, bahkan ia tidak akan mampu mengenal hakikat ucapan-Nya, berikut seluruh sifat dan gerak-gerik-Nya. Seorang penyair mengatakan, “Engkau tidak mengenal dirimu dan tidak tahu siapa dirimu sebenarnya, tidak tahu bagaimana proses kehadiranmu dan sifat-sifat yang ada padamu, sebab akal tak akan sanggup- menjangkaunya”. Atas dasar ini, tidak ada jalan lain untuk mengenal Allah SWT kecuali dengan pengakuan dia lemah dan bingung. Karena, seperti nanti dijelaskan dari hal tersebut merupakan puncak makrifat. Pahamilah, dan hanya kepada Allahlah kita mohon petunjuk.
Andaikan ada seseorang yang mengatakan bahwa al-kull adalah al-Haq.Hal itu keliru, yang benar adalah segala sesuatu itu ada pada-Nya, yakni pada keesaan-Nya seperti telah disebutkan di sini dan dalam konteks zaman dahulu. Syekh Muhyiddin, — semoga Allah menyucikan arwahnya berkata, “Kami huruf-huruf yang mulia, (namun) tak terucapkan, tersembunyi di puncak tertinggi dari bukit - bukit. Aku adalah engkau dalam Dia, dan kami adalah engkau, dan engkau ada Dia, dan al-kull adalah Dia, tanyalah mereka yang telah sampai”.
Guru kami telah berkata sebagaimana terungkap dalam kitab Sūrah as - Sa’ādah, yang lafadznya menunjukkan pada rahmat Allah atas huruf - huruf tersebut, yakni setelah mencapai tingkat akhir yang merupakan puncak ilmu hakiki dan perbedaannya dengan huruf – huruf dan nama-nama yang berada padanya, yakni setelah mencapai-Nya, karena pengetahuan tidak membenarkan adanya sesuatu yang lain selain Allah dari segi ke-Diaan, bukan berdasarkan ta’ayyun(kedirian), tegasnya setelah mencapai hal tersebut.
Itulah keadaan, di mana Allah tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya, baik pada permulaan maupun pada akhirnya, dan tidak ada sesuatu selain Allah yang menjelaskan, tegasnya tidak ada sesuatu yang lain, dalam hal dzat-Nya dan segi berdiri sendiri-Nya. Konteks ucapan itu, hingga ia mengatakan, “al-kull” itu berada dalam keadaan tersebut, yakni keadaan di mana tidak ada sesuatu pun yang menyertai Allah”. Jadi, segala sesuatu itu muncul dari keadaan tersebut bagaikan munculnya huruf - huruf dari suara atau dari pena dan tinta, atau dari gerakan orang yang bergerak. Huruf-huruf yang muncul dari pena sebelum membentangkannya ke alam Lauh adalah huruf itu sendiri, tidak lain dari itu, sedangkan setelah membentangkannya di alam Lauh, huruf huruf itu bukan lagi pena dan bukan pula Lauh. Demikian pula huruf-huruf tersebut, ada di dalam tinta sebelum di dalam pena. Maka, ketika huruf-huruf tersebut telah berada di dalam pena, ia bukan tinta lagi dan bukan pula pena, sebagaimana engkau melihatnya setelah dituliskan. Dalam contoh tersebut, terdapat konsep keberlainan (al - gairiyyah) dan kesatuan (al’ainiyyah). Demikian pula gerakan dan orang yang bergerak, semua berada di dalamnya, jika orang tersebut bergerak, gerakan tersebut berubah menjadi sesuatu selain dirinya dan selain objek gerakannya, sekian.
Keterangan Syekh r. a. tentang perumpamaan huruf-huruf tersebut, dari satu sisi, menurut kami bisa membantu mendekatkan pemahaman, namun di sisi lain tidak demikian. Sebagian ulama mengatakan, “(Yang demikian itu adalah) hubungan yang pertama dengan yang kedua, yakni hubungan sebab akibatnya, atau hubungan sebab dengan akibatnya, atau semua hubungan yang benar-benar tidak ada padanannya, dan benar-benar tidak dapat dijelaskan. Semua hubungan itu adalah untuk membantu mendekatkan pemahaman di satu sisi, namun makin menjauhkan pemahaman di sisi lain. Tegasnya, jika hal itu jauh dari inti masalah, ia malah menjauhkan pemahaman, namun jika dipandang dari sisi kesesuaiannya, memang bisa mendekatkan pemahaman”,