Sabtu, 19 Maret 2016

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 37.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI KESABARAN



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Sahl berkata : “Kesabaran adalah pengharapan akan lipuran dari Tuhan; kesabaran merupakan kebaktian yang paling mulia dan paling tinggi.” Yang lain berkata : “Kesabaran berarti bersikap sabar terhadap kesabaran.” Hal ini menandakan bahwa orang tidak boleh mencari pelipur di situ. 

Yang lain menggubah syair di bawah ini :
Dengan kesabaran, dia bersabar menanggung,
Hingga kesabaran, berseru “Kan memberikan pertolongannya.”
Dan, karena terdidik dalam kesabaran..
“Wahai kesabaran, bersabarlah!” dia menyahut...

Sahl berkata : “Firman Tuhan yang berbunyi : “Minta tolonglah kamu dengan kesabaran dan shalat (Qs.2:42), mengandung arti : “Mintalah pertolongan Tuhan, dan bersabarlah dengan perintah dan takdir Tuhan”

Sahl juga berkata : “Kesabaran itu rahmat, dan dengan itu segala sesuatu diberi rahmat.”

Abu Amar al-Damisyqi menjalskan firman Tuhan : “Bencana (penyakit) telah menimpaku,” Artinya : Bencana telah menimpaku, dan mengajarkan kesabaran kepadaku, sebab Engkaulah yang paling Pengasih, di antara yang pengasih.”

Yang lain berkata : “Dia (yaitu Ayyub) bersikap tidak sabar hanya demi Tuhannya, bukan untk dirinya sendiri, karena, penyakit itu telah begitu menguasai badannya, sehingga dia takut kalau-kalau akalnya tidak bekerja lagi.”

Mereka mengutip puisi berikut, yang digubah Abul Qasim Summun, daam hubungannya dengan masalah ini :
Ah, telah ku minum dari kantung waktu,
Dan telah kuteguk segala ceria dan kepedihannya,
Yah, telah ku tempelkan mulut kantung itu pada bibirku,
Dan... ku hisap habis setiap tetesnya...
Dan takdir telah menungkan ke dalam pialanya...
Kesedihan yang terminum, dari lautan kesabaran ..
Yang telah kuisikan penuh-penuh..
Dan ku sodorkan kembali kepada takdir itu..
Dengan kesabaran aku diladami, dan menggelinding..
Waktu bergelantungan, aku pun berseru :
“Bersabarlah engkau Wahai Jiwaku!
Atau Engkau kan binasa karena kesedihan.”
Begitu besar penderitaanku, sehingga...
Gunung-gunung pun bergetar pada ketinggiannya,
Akan lenyap, bagai bintang yang jatuh...
Akhirnya hilang dari pandangan...........

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 36.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI ZUHUD



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Al-Junaid berkata : “Zuhud adalah keadaan pada saat tangan kosong dari pemilikan, dan hati dari ambisi.”

Ali ibn Abi Thalib, ketika ditanya mengenai sifat zuhud, menjawab : “Itu berarti bahwa orang tidak peduli siapa yang memanfaatkan (benda-benda) dunia ini, entah dia seorang beriman atau kafir.”

Yahya berkata : “zuhud berarti meninggalkan apa yang bisa ditinggalkan.” Ibn Maruq berkata : “Tak ada satu sebab sekuder pun, kecuali Tuhan, yang bisa menguasai orang yang zuhud.”

Al-Syibli, ketika ditanya mengenai zuhud, berkata : “Malang bagimmu! Berapa nilai yang ada di dalam sesuatu yang tidak lebih daripada selembar sayap seekor nyamuk, sehingga zuhud harus dilaksanakan berkaan dengannya?,”

Abu Bakr al-Wasithi berkata : “Mengapa engkau begitu tak sabar untuk meninggalkan suatu tempat yang hina. Atau seberapa lamakah engkau akan tetap bersemangat untuk berpaling dari sesuatu yang ditimbang oleh Tuhansebagai tidak lebih berat daripada selembar sayap seekor nyamuk.?”

Al-Syibli, ketika ditanya lagi mengenai zuhud, berkata : “Dalam kenyataannya, zuhud itu tak ada; Jika seseorang berzuhud dari sesuatu yang tidak menjadi miliknya, maka itu bukan zuhud; dan jika seseorang berzuhud dari sesuatu yang menjadi miliknya, bagaimana bisa dikatan bahwa itu zuhud, sedangkan sesuatu itu masih ada padanya dan dia masih memilikinya? Zuhud berarti menahan nafsu, bermurah hati dan berbuat kebaikan. Hal itu seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia menafsirkan zuhud sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi miliknya; dan jika sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang, maka tidak dapat dikatakan bahwa orang itu meninggalkannya, sebab sesuatu itu memang telah tertinggalkan; sedangkan jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka tidak mungkin orang itu meninggalkannya.

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN 35.AJARAN KAUM SUFI MENGENAI TOBAT



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Al-Junaid ditanya : “Apakah tobat itu?” Dia menjawab : “Tobat adalah pelupaan dosa seseorang.”

Sahl, ketika diajukan pertanayan yang sama, menjawab : “Tobat berarti tidak melupakan dosa seseorang.”

Perkataan Al-Junaid mengandung arti bahwa kemanisan tindakan semacam itu sepenuhnya mejauh dari hati, sehingga di dalam kesadaran tidak ada lagi jejaknya, sampai orang itu merasa seakan-akan dia tidak pernah mengetahuinya.

Ruwain berkata : “Arti tobat adalah bahwa engkau harus bertobat atas tobat itu.”

Arti ini mirip dengan yang dikatakan oleh Rabi,ah : “Aku memohon ampun kepada Tuhan karena ketidaktulusan dalam berbicara; Aku mohon ampun kepada Tuhan.”

Al-Husain am Maghazili, ketika ditanya mengenai tobat, berkata : “Apakah yang engkau tanyakan mengenai tobat peralihan, atau tobat tanggapan?

Yang lain berkata : “Apakah arti tobat peralihan itu? Ruwain menjawab : “Bahwa engkau harus takut kepada Tuhan karena kekuasaan-Nya atas dirimu.”

Yang lain bertanya : “Dan apakah tobat tanggapan itu?  Ruwain menyahut : “Bahwa engkau harus malu kepada Tuhan karena Dia ada di dekatmu.”

Dzu’l Nun berkata : “Tobat orang awam adalah tobat dari dosanya; Tobat orang terpilih adalah tobat dari kekhilafannya; Tobat para Nabi adalah tobat dari kesadaran mereka akan ketidaksempurnaan mencapai apa yang telah dicapai orang lain.”

Al-Nuri bekata : “tobat berarti bahwa engkau harus berpaling dari segala sesuatu kecuali Tuhan.” Ibrahim al-Daqqak berkata : “Tobat berarti bahwa engkau harus menghadap Tuhan tanpa berbalik lagi, bahkan jika sebelumnya engkau telah berbalik dari Tuhan tanpa menghadap kembali.

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN KE 34 MENGENAI TASAWUF DAN KETENTERAMAN BERSAMA TUHAN



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Al-Junaid berkata : “Tasawuf merupakan pelestarian saat-saat, yaitu bahwa seseorang tidak mengindahkan apa yang ada di luar batas-batasnya. Tidak mengakui segala sesuatu kecuali Tuhan, dan hanya berurusan dengan saatnya yang tepat.” 

Ibn Atha berkata : “Tasawuf berarti merasa tenteram bersama Tuhan.” 

Abu Ya’qub al-Susi berkata : “Sufi adalah orang yang tidak pernah merasa tidan tenteram kalau ada sesuatu yang di ambil dari padanya, dan tidak pernah repot-repot mencari (apa yang tidak dimilikinya).” 

Al-Junaid ditanya : “Apakah Tassawuf itu?” Jawabnya : “Itu adalah menggantungkan kesadaran pda Tuhan; dan hal ini tidak dapat dicapai kecuali kalau jiwa menjauh dari sebab-sebab (asbab) sekunder, lewat kekuatan ruh, dan tinggal bersama Tuhan. 

Al-Syibli ditanya : “Mengapa orang-orang itu dipanggil Sufi? Dia menjawab : “Karena mereka telah di cap dengan kamaujudan citra dan penegasan gelar (Tuhan). Jika mereka telah dicap dengan ketiadaan citra itu, maka hanya Dia saja yang tetap ada, yang mengadakan citra dan menegaskan gelar itu, dan menuangkan citra-citra itu kepada mereka, Tapi tidak membenarkan bahwa semua orang yang benar-benar tahu mesti memiliki citra atau gelr.” 

Abu Yazid berkata : “Paar Sufi adalah anak-anak yag duduk di pangkuan Tuhan.” 

Abu Abdillah al-Nijabi berkata : “Tasawuf adalah seperti penyakit birsam, (Tumor di perut), pada tahap pertama si sakit meracau; tapi, ketika penyakit itu menguasainya, dia menjadi bisu.” Yang dimaksudkannya adalah bahwa Sufi pada mulanya melukiskan keadaannya dan berbicara seperti yang diperintahkan oleh keadaannya itu; tapi setelah wahyu diberikan kepadanya, dia menjadi bingung dan menahan lidahnya. 

Saya mendengar Faris berkata : “Selama gagasan-gagasan muncul dalam pemikiran seseorang , menurut suara jiwa, dia pun menemukan dalam hatinya nilai yang lebih tinggi daripada keadaan yang terdahulu, maka jadilah dia membuka rahasia; tapi mengenai pencapaian, itu menyelubungi cara-cara pemenuhan kepuasan, sehingga pada akhirnya dia bisu saja, tak berselera.”  

Ketika Al-Nuri ditanya mengenai Tasawuf, dia menjawab : “Itu merupakan pengungkapan rahasia keadaan, dan suatu pencapaian ketinggain (maqam).” Ketika diminta untuk melukiskan sifat-sifat mereka (yaitu para Sufi), dia berkata : “Mereka membawa kegembiraan ke dalam (hati) orang-orang lain, dan menjauh dari keinginan untuk membahayakan mereka. Tuhan berfirman : “Bersikaplah pemaaf, anjurkanlah berbuat amal kebajikan dan berpalinglah dari orang jahil.” Dengan pengungkapan rahasia keadaan” yang dimaksudkannya addalah bahwa oang Sufi, jka dia mengungkapkan mengenai dirinya sendiri, adalah dalam hubungannya dengan keadaan kejiwaannya sendiri, dan tidak menyinggung keadaan kejiwaan orang lain, secara teoritis; dan yang dimaksud engan “pencapaian ketinggian (maqam),” dia memberitahukan bahwa orang semacam itu terbawa oleh keadaannya sendiri lewat keadaannya sendiri, menjauh dari keadaan orang-orang lain. 



Puisi dari Al-Nuri berikut ini, dengan tepat sekali melukiskan apa yang diucapkannya
“Jangan bicarakan ini” Engkau berkata,
Lalu ke dalam rahasia tanpa kata, Engkau membawa Jiwa kembaraku;
Bisakah ucapan memerikan yang tak terucap?
Tidak semua orang yang berseru,
“Nah, begiliha kau!” Engkau anggap demikian;
Kalau perbuatan-perbuatan telah menampakkan
Bahwa begitulah dia, maka Engkau akui milikmu.

Tujuan kami adalah untuk melukiskan beberapa di antara keadaan-keadaan itu dalam bahasa orang-orang Sufi sendiri, tapi tidak dengan cara berpanjang-panjang, sebab kami tidak menyukai pembicaraan yang panjang. Kami akan menuturkan wacana-wacana para Syekh, hanya yang cukup mudah dimengerti saja, untuk menghindari teka-teki yang gelap dan isyarat-isyarat terselubung. Kami akan memulai dengan Tobat.