Sabtu, 15 November 2014

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 4 Adab Makan, Kumpul Dan Bertamu



Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Syeikh ABu Nashr as-Sarraj-Rahimahullah  berkata:

Dikisahkan dari Abu al-Qasim al Junaid - rahimahullah - yang mengatakan, “Rahmat dari Allah swt. diturunkan kepada para kaum Sufi-dalam tiga tempat: Saat mereka
makan. Karena mereka tidak akan makan kecuali karena sangat membutuhkannya; 

1.         Ketika membicarakan ilmu. Sebab yang mereka bicarakan hanyalah kondisi spiritual orang-orang jujur dan para wali.
2.         Ketika sedang Sama ‘ (mendengar dengan ekstase). Sebab mereka tidak mendengar kecuali dari Yang Haq dan tidak berdiri kecuali dengan wajd-Nya.

Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Masruq ath Thusi berkata: Muhammad bin Manshur ath-Thusi berkata padaku, dan Abu al-Abbas datang ke rumahku sebagai tamu, “Tinggallah di rumahku selama tiga hari. Dan jika lebih dari tiga hari maka itu adalah sedekah dari Anda untuk kami.”
Sari as-Saqathi - rahimahullah - berkata, “Aduh! Sesuap nasi yang tidak karena Allah akan menjadi beban berat bagiku, dan sesuatu yang tidak untuk makhluk bagiku adalah suatu anugerah.”

Abu Ali an-Nauribathi berkata, “Jika ada orang sufi datang kepada kalian, maka suguhkan sesuatu yang biasa ia makan. Jika ada para ahli fiqih datang kepada kalian, maka tanyakan masalah kepada mereka. Dan jika ada orang-orang pandai membaca al-Qur’an (qurra’) datang kepada kalian maka tunjukkan ke mihrab.”

Abu Bakar al-Kattani berkata: Abu Hamzah berkata, “Aku pernah bertamu ke rumah Sari as-Saqathi. Maka la datang menemuiku dengan membawa sepotong roti, dan menjadikannya separo dimasukkan ke dalam mangkok. Lalu aku bertanya, Apa yang Anda lakukan ini? Aku bisa minum ini dalam sekali telan. Kemudian ia tertawa dan berkata, ‘Ini jauh lebih baik bagi Anda daripada haji’.”

Sementara itu, Abu Ali ar-Rudzabari ketika melihat orang-orang sufiberkumpul di satu tempat, maka la mengutip ayat ini:

“Dan Dia Mahakuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.” (Q.s. asy-Syura: 29).
Abu Ali juga berkata, “Jika para sufi berkumpul di satu tempat maka akan memberikan rasa kasih sayang kepada mereka, dan akan dibukakan banyak hal bagi mereka.” la kemudian mensinyalir sebuah ayat:
“Katakanlah, ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui’.” (Q.s. Saba’: 26).

Ja’far al-Khuldi - rahimahullah - berkata, “Makan yang sekarang ini adalah makan setelah makan yang kalian melihatnya setelah sahabat-sahabat kami sangat lapar.”
Selanjutnya la mengatakan, “Jika Anda melihat seorang sufi makan dengan porsi yang banyak, maka Anda perlu tahu, bahwa tindakan itu tidak lepas dari tiga hal: Pertama, mungkin karena waktu yang telah ia lalui, atau waktu yang akan datang, atau karena waktu di mana ia sekarang alami.”

Sementara itu asy-Syibli - rahimahullah - berkata, “Andaikan dunia ini adalah sesuap makanan yang ada di mulut seorang bayi maka akan aku sayangi anak itu.”

la juga  mengatakan, “Andaikan dunia dan apa yang ada di dalamnya adalah sesuap makanan, tentu akan kumakan, dan akan kubiarkan seluruh makhluk berhubungan dengan Allah tanpa perantara.”

Sebagian kaum Sufi berkata, “Etika makan itu dibedakan menjadi tiga: (1) Makan bersama teman dengan cara memberikan kesenangan; (2) Bersama para pemilik dunia, maka dengan adab; dan (3) Bersama orang-orang Sufi dengan cara mengutamakan mereka daripada diri sendiri.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Ini bukanlah termasuk adab kaum fakir. Sebab di antara adab kaum Sufi ketika mereka makan, mereka tidak sedih dan gelisah, serta tidak merasa memiliki beban. Mereka tidak memilih makanan yang banyak tapi jelek dari pada makanan yang sedikit tapi bersih dan bagus. Mereka juga tidak memiliki jadwal tertentu untuk makan. Jika ada makanan yang datang mereka tidak saling menyuapi antara satu dengan yang lain. Namun jika disuapi mereka juga tidak menolak. Mereka tidak suka makanan banyak yang kering. Ketika sangat lapar, maka adab mereka ketika makan adalah dengan sangat baik.

Aku pernah mendengar seorang Syekh yang mulia berkata, “Aku kelaparan selama sepuluh hari dan selama itu aku tidak makan apa-apa. Kemudian setelah itu aku diberi makanan, akhirnya aku makan dengan menggunakan dua ujung jari. Kemudian orang yang memberiku makanan berkata, ‘Makanlah dengan tiga jari sesuai dengan Sunnah Rasulullah saw’.”
Dikisahkan dari Ibrahim bin Syaiban - rahimahullah -yang berkata, “Sejak delapan puluh tahun aku tidak makan sesuatu sesuai dengan seleraku.”

Abu Bakar al-Kattani ad-Dinawari di Baghdad tidak makan apa pun. la menampakkannya karena ada pertanyaan dan pertentangan.
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Merupakan tindakan yang sangat hina seseorang yang makan dengan alat agamanya.”

Abu Turab berkata, “Aku diberi makanan, namun aku menolak untuk makan. Setelah itu aku dihukum dengan kelaparan selama sepuluh hari. Kemudian aku sadar, bahwa aku sedang diuji. Akhirnya aku memohon pertolongan pada Allah dan segera bertobat.”
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Dengan bersihnya - makanan, pakaian, dan tempat tinggal maka seluruh perkara akan menjadi baik.”

Di ceritakan dari Sari as-Saqathi - rahimahullah - yang berkata, “Makan mereka ( kaum Sufi ) seperti makannya orang sakit, tidurnya seperti tidurnya orang yang tenggelam.”
Abu Abdillah al-Hushri - rahimahullah -berkata, ‘Aku diam selama bertahun-tahun, dimana aku tidak pantas mengatakan, Aku tidak berselera.’ dan tidak pantas aku makan.”

Di kisahkan, bahwa Abu Muhammad al-Fath bin Said al-Maushili - rahimahullah - pernah datang dari Mousul berkunjung ke rumah Bisyr al-Hafi. Kemudian al-Hafi mengeluarkan uang satu dirham dan diberikan kepada Ahmad bin Yahya bin al Jalla’, yang saat itu la menjadi pembantunya.

“Berangkatlah ke pasar dan belilah makanan dan lauk-pauk yang baik,” perintah al-Hafi kepada al Jalla’.
Ahmad al Jalla’ berkata: Kemudian aku berangkat ke pasar, dan membeli roti. Sementara itu aku berkata pada diriku sendiri, “Nabi saw tidak pernah mendoakan pada suatu makanan dengan doa, ‘Ya Allah berkahilah kami pada makanan ini dan tambahkanlah kami darinya.’ kecuali pada susu.” Akhirnya aku membeli susu dan kurma yang baik. Aku datang dan aku suguhkan kepadanya. Kemudian la makan apa yang perlu la makan, dan mengambil sisanya kemudian la keluar.

Ketika tamunya sudah keluar, maka Bisyr al-Hafi berkata kepada orang yang ada di sisinya, “Ia adalah al-Fath al-Maushili yang datang kepadaku untuk berziarah. Tahukah’ kalian, mengapa ia tidak berkata kepadaku, ‘Makanlah!?’ Sebab seorang tamu tidak boleh mengatakan kepada tuan rumah, ‘Makanlah!’ Dan tahukah kalian mengapa aku memerintahkan kepada al Jalla’, ‘Belilah makanan yang baik?’ Sebab makanan yang baik berusaha mengeluarkan syukur yang murni. Lalu tahukah kalian, mengapa ia membawa sisa makanan tersebut? Sebab jika tawakalnya sudah benar maka apa yang dibawanya tidak akan membahayakannya.”

Dikatakan kepada Ma’ruf al-Karkhi - rahimahullah, “Mengapa Anda selalu berangkat kepada orang yang mengundangmu?” la menjawab, ‘Aku hanyalah seorang tamu, aku akan mampir di mana mereka mempersilakan aku mampir.”

Dikisahkan dari Abu Bakar al-Kattani -rahimahullah -yang berkata, “Selama setahun kira-kira tiga ratus orang dari kaum sufidan guru Sufi (syekh) berkumpul di sini, yakni di Mekkah. Mereka berkumpul di satu tempat. Selama itu di kalangan mereka tidak pernah berlangsung suatu rizudzakarah (belajar ilmu). Sementara itu yang ada di kalangan mereka hanyalah akhlak, kemuliaan dan antara yang satu dengan yang lain saling memberikan prioritas daripada diri mereka sendiri.”

Abu Sulaiman ad-Darani - rahimahullah - berkata, “Jika Anda menginginkan suatu hajat (kebutuhan) dunia maupun akhirat, maka janganlah Anda makan sehingga Anda berhasil meraihnya. Sebab makan itu akan mematikan hati.”

Dikisahkan dari Ruwaim - rahimahullah - yang berkata, “Sejak dua puluh tahun benakku tidak pernah terlintas masalah makanan sampai ia datang sendiri.”

Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Atha’ ar-Rudzabari berkata, ‘Abu All ar-Rudzabari pernah membeli beberapa kantong gula putih. Kemudian la memanggil sekelompok orang yang ahli membuat manisan. Mereka menjadikan gula tersebut suatu dinding yang memiliki teras dan mihrab yang memiliki beberapa tiang yang berukir. Seluruhnya dari bahan gula. Kemudian ia mengundang kaum Sufi sehingga mereka menghancurkan seluruhnya dan merampasnya.

Saya mendengar Abu Abdillah ar-Rudzabari berkata, “Ada seseorang mengadakan jamuan. la menyalakan lampu sebanyak seribu. Kemudian ada seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Anda telah melakukan pemborosan.’

Seseorang yang mengadakan jamuan balik berkata, ‘Silakan Anda memasuki ruangan, dan silakan Anda memadamkan lampu yang saya nyalakan karena Allah.’

Laki-laki tersebut kemudian masuk ruangan dan berusaha memadamkan lampu-lampu itu. Namun ia tidak mampu memadamkan satu lampu pun, dan akhirnya berhenti.”

Dikisahkan dari Abu Abdillah al-Hushri - rahfmahullah - yang berkata: Aku mendengar Ahmad bin Muhammad as-Sulami berkata, “Aku pernah di Mekkah, dan selama tiga hari aku tidak pernah makan apa pun. Kemudian terlintas dalam benakku untuk mengumpulkan para ahli ibadah, para sufi dan orang-orang yang memiliki keutamaan yang tinggal di tanah Haram. kemudian aku menyewa sebelas pasang tenda, dan berharap rezeki yang datang dari berbagai penjuru. Aku terus melakukannya selama sebelas hari. Dan selama sebelas hari itu pula aku tidak pernah makan apa pun.”

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 3 Adab Bepergian



Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Allah swt-berfirman: Dia-iah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di Lautan.”(Qs. Yunus: 22).

Riwayat dari Ibnu Umar r.a, bahwa Rasululiah saw. apabila, menaiki unta untuk bepergian, selalu bertakbir tiga kali, kemudian membaca: “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Q.s. Az-Zukhruf- 13-4)

Kernudian dilanjutkan dengan doa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bermohon kepada-Mu, agar dalam. bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan takwa, melakukan perbuatan yang Engkau ridhoi, dan mudahkanlah kami dalam perjalanan kami. Ya Allah, Engkau-lah yang menjadi Pendamping dalam bepergian, sebagai Khaiifah bagi keluarga dan harta. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan dan dari kebinasaan yang cepat, dan dari keburukan pandang pada harta dan keluarga. “ Apabila Nabi pulang, selalu mengucapkan pada istri-istrinya, dan ditambah dengan doa, “(kami) orang yang kembali, tergolong orang yang bertobat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji.

(H.r. Muslim).


Karena soal berpergian sering disebut oleh kaum Sufi, maka kami secara khusus membuat bab dalam Risalah ini, mengingat masalah bepergian termasuk masalah besar bagi mereka tampaknya di antara kaum Sufi sendiri terjadi perbedaan. Ada di antara mereka yang memprioritaskan berdiam diri di rumah daripada berpergian, kecuali dengan suatu tujuan, seperti naik haji. Namun pada umumnya mereka lebih banyak diam di rumah, seperti al-junayd, Sahl bin Abdullah, Abu Yazid al-Busthamy, Abu Hafs dan yang lain. Tetapi juga ada yang lebih senang bepergian. Hai demikian dilakukan sampai akhir hayatnya, seperti Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin Adham dan yang lainnya. Rata-rata mereka berpergian pada awal masa mudanya, ketika menjalani perilaku ruhani, kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi pergi pada akhir perjalanan ruhaninya, seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail al-Hiry, Duiaf asy-Syibly dan yang lain. Masing-masing memiliki prinsip, dimana tharikatnya mereka bangun. Perlu diketahui, bahwa berpergian itu ada dua macamPertama, pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu: mendaki dari satu tangga sifat ke sifat lain.Banyak orang yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan sedikit sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata: “Ada seorang syeikh dari kalangan Sufi di sebuah desa di luar Naisabur. ia memiliki beberapa karya tulis. Suatu ketika beberapa orang bertanya padanya, ‘Apakah engkau berpergian, wahai syeikh?’ Syeikh itu menjawab, ‘Bepergian di bumi atau bepergian ke langit?’ Kalau bepergian di muka bumi, tidak. Tapi kalau berpergian ke langit, memang benar.”Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah, “Suatu hari, sebagian fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir itu berkata padaku,Aku telah menempuh perjalanan jauh yang meletihkan,” hanya untuk menemuimu.Aku menjawab, ’Sebenamya Anda cukup selangkah saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu sendiri’.”Kisah-kisah berpergian mereka bermacam-macam, baik dalam ragam maupun tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani berkata, Aku berada di tengah padang pasir dalam keadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan, sembari berdoa: Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang letih, padahal aku datang untuk. menjadi tamu-Mu.’ Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku, Siapa yang mengundang kamu.’ Aku berkata, Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana Thufaily. Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap, Hai orang ajam, mau kemana kamu! Kukatakan, Menuju ke Mekkah al-Mukarramah, semogaAllah swt menjaganya. Si Badui itu berujar, Apakah Allah mengundangmu? Aku menjawab, Aku tidak tahu. Selanjutnya orang itu berkata, bukankah Allah swt. berfirman: Bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baituliah? (Q.s. Ali Imran: 97).

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 2 Adab Dalam Shalat



 Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

 “Se­orang hamba yang memiliki adab dalam shalatnya sebelum masuk waktu shalat maka ia seakan-akan sedang shalat, ketika mau melakukan shalat, berangkat dari suatu kondisi ruhani yang tidak bisa ditinggalkan ketika ia sedang shalat.”Sebab di antara etika sebelum shalat ialah seialu muraqabah dan menjaga hati dari berbagai bentuk bisikan, bersitan pikiran dari luar, lalu menepiskan ingatan segala sesuatu selain Allah Swt. Maka ketika ia hendak melakukan shalat dengan hati yang khusyu` dan hadirnya jiwa, maka seakan-akan ia berangkat dari suatu shalat untuk melakukan shalat yang lain. Dengan demikian ia tetap dengan niat dan perjanjian yang telah ia lakukan ketika awal memasuki shalat. Ketika ia keluar dari shalat, ia kembali pada ‘ kondisi ruhani semula yakni dengan hati yang khusyu`, hadir, menjaga bersitan-bersitan pikiran dari luar dan muraqabah, sehingga seakan-akan ia tetap dalam shalat sekalipun ia sudah keluar dari shalat. Inilah adab (etika) dalam shalat.

Diriwayatkan dari Rasulullah saw yang bersabda: “Seorang hamba dianggap berada dalam shalat sepanjang ia menunggu shalat (yang lain).“ (H.r. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah dan Anas). Inilah adab yang dibutuhkan oleh seseorang yang menunggu dan hendak menjalankan shalat serta yang sedang shalat, sebagaimana yang telah saya jelaskan jika Anda bisa memahaminya. Insya Allah.Saya pernah melihat orang ketika menjalankan shalat, wajahnya ‘ terlihat merah dan pucat ketika ia sedang bertakbir yang pertama, karena ia sangat takut akan Keagungan Allah Swt. Saya juga melihat orang yang tak mampu menghitung rakaat shalatnya. Sehingga ia meminta kepada salah seorang temannya yang duduk di sampingnya untuk menghitungkan berapa rakaat ia shalat. Sebab ia berusaha menjaga hatinya agar tetap berada dalam perjanjian yang ia lakukan di awal kali memasuki shalat. Ia khawatir terjadi kesalahan dalam dirinya sebab ia tidak tahu lagi berapa rakaat ia melakukan shalat. Oleh karenanya ia minta ban­tuan orang lain untuk menghitungkan rakaat-rakaat yang telah ia lakukan, sehingga ia yakin.

Dikisahkan, bahwa Sahl bin Abduliah setiap kali usai shalat merasa lemah lunglai, sehingga hampir tidak mampu berdiri dari tempatnya. Namun tatkala waktu shalat yang lain tiba, kekuat­annya pulih kembali. Kemudian ia berdiri di mihrab laksana pasak. Begitu selesai shalat ia kembali lemah seperti sediakala dan tak mampu berdiri dari tempat duduknya.Saya juga melihat seseorang yang bepergian jauh melalui gurun pasir sendirian, sementara ia tidak pernah meninggalkan wirid­-wirid sunnahnya, shalat malam, keutamaan-keutamaan dan adab­-adab lain yang ia lakukan pada saat ia tidak dalam bepergian. Ia berkata, “Kondisi-kondisi ruhani kelompok (kaum Sufi) ini se­yogyanya sama antara sedang dalam perjalanan dengan ketika sedang berada di rumah.”Salah seorang saudara saya menemani dalam satu tempat, adat kebiasaannya, ketika habis makan ia langsung berdiri dan shalat dua rakaat, sehabis minum ia juga berdiri dan shalat dua rakaat, sehabis memakai pakaian ia shalat dua rakaat, ketika masuk dan keluar masjid ia shalat dua rakaat. Demikian juga tatkala ia marah atau senang ia shalat dua rakaat.

Sekelompok sahabat-sahabat kami kaum Sufi pernah beper­gian bersama Abu Abdillah Ahmad bin Jabban r.a, mereka bercerita kepada saya tentang kebiasaan Abu Abdiliah, “Setiap kali perjalanan di gurun pasir telah mencapai satu mill, ia tidak akan duduk sebelum shalat dua rakaat terlebih dahulu, kemudian menyusul teman-temannya.”Di antara adab mereka adalah tidak suka menjadi imam, tidak senang shalat di barisan (shaf pertama, baik di Mekkah atau di luar Mekkah). Mereka juga sangat tidak suka memperlama shalat. Adapun ketidaksukaan mereka menjadi imam, meskipun mung­kin mereka hafal al-Qur’an dan lebih memilih menjadi ma’mum di belakang orang yang bisa membaca al-Fatihah dan surat-surat lain dengan baik adalah karena sabda Rasulullah Saw:“Imam itu menanggung (ma’mumnya), sedangkan mu’adzin adalah orang yang dipercaya.“ (H.r. Ibnu Hibban dari Aisyah, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Huzaimah dari Abu i Hurairah, dan Ahmad dari Abu Umamah).

Sedangkan ketidaksukaan mereka berada di shaf awal adalah untuk menghindari berebut dengan orang-orang pada umumnya berdesakan. Karena pada umumnya orang-orang selalu berebut untuk bisa shalat di shaf terdepan. Meskipun dalam sebuah hadist disebutkan bahwa di shaf awal memiliki ke­utamaan, namun mereka lebih mengutamakan orang lain. Namun jika shaf awal itu kosong mereka juga akan menggunakan kesem­patan utama itu dengan sebaiknya.Sedangkan keengganan mereka untuk memperlama shalat, maka gangguan alpa dan was-was juga akan semakin banyak. Sementara itu sibuk dengan keabsahan amal itu lebih baik dibanding dengan amalan-amalan banyak dan lama. Diriwayatkan, “Bahwa Rasulullah Saw. adalah orang yang paling ringan shalatnya dengan penuh kesempurnaan.” (H.r. Malik, Bukhari-Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i).

Saya mendengar Ibnu `Alwan -rahimahuliah -berkata, “A Junaid -rahimahullah - sekalipun sudah sangat lanjut usia dan lemah tenaganya, ia tidak pernah meninggalkan wirid-wiridnya. Kemudian ia ditanya tentang hal itu. Maka ia menjawab, `Ini adalah kondisi ruhani, dimana dengan kondisi ruhani ini saya bisa `sampai’ kepada Allah Swt, di awal hidupku. Lalu bagaimana saya bisa meninggalkannya di ujung hidupku?’.”Di antara adab mereka dalam shalat adalah, bahwa shalat itu memiliki empat cabang:* Hadirnya hati di mihrab, * Kesaksian akal di sisi Sang Maha Pemberi, * Kekhusyu’an hati tanpa ada keraguan dan * Tunduknya anggota badan tanpa terpaksa. Sebab dengan hadirnya hati akan menyingkap hijab, sedangkan dalam kesaksian akal akan menghilangkan cercaan dan teguran dari Allah, dalam kekhusyu’an hati akan membuka pintu-pintu Tuhan dan dengan menundukkan anggota badan akan ada pahala.Maka barangsiapa shalat namun hatinya tidak pernah hadir, ia adalah orang yang shalat dengan alpa. Barangsiapa shalat de­ngan tanpa kesaksian akal, maka ia adalah orang yang shalat dengan lupa. Dan barangsiapa shalat dengan tanpa kekhusyu’an hati maka ia adalah orang yang shalat dengan kesalahan. Barangsiapa shalat tanpa menundukkan anggota badan maka ia shalat dengan anggota yang merenggang dan jauh dari Tuhannya. Sedangkan orang yang sanggup melakukan semuanya dengan sempurna maka ia adalah orang yang shalat dengan memenuhi syarat shalat. Inilah sebagian yang bisa saya hadirkan saat ini dari adab-adab mereka dalam shalat. Semoga Allah memberi taufik kepada kita.

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 1 Adab Dalam Berwudhu dan Bersuci



Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Syekh Abu Nashr as-Sarraj r.a berkata:

“Adab paling awal yang dibutuhkan dalam bab wudhu dan bersuci adalah mencarl ilmunya dan mempelajarinya, mengetahui tentang fardlu dan yang sunnah-sunnahnya, apa yang dianjurkan dan yang dimakruhkan, apa yang diperintahkan dan yang dianjurkan untuk memperoleh keutamaan”.
Tentu saja untuk mengetahui dan memahaminya secara rinci tidak mungkin kecuali dengan ilmu dan bertanya, membahas dan memiliki perhatian yang serius, sehingga ia bisa melakukan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah dengan cara lebih berhati-hati mengikuti yang paling baik dan paling sempurna, menghilangkan hal-hal yang bisa saling mencela, tidak mengingkari secara hati nurani terhadap orang yang tidak menggunakan cara yang lebih berhati-hati dan yang paling baik. Sebab Aliah tetap senang biia keringanan-keringanan hukum (rukhshah)-Nya dilakukan sebagaimana Dia mencintai bila hukum-hukum asal (azimah-Nya) tetap dilakukan secara normal. Sementara itu, manusia yang iain memiliki kesibukan dan sebab-sebab yang harus dikerjaka dan diberi perhatian. Sehingga apabila mereka menggunakan keringanan dan mengambil kelonggaran mereka pun tetap dimaafkan.
Adapun kaum Sufi dan orang-orang yang meninggalkan sebab akibat dunia, keluar dari segaja kesibukan serta mencurahkan dirinya untuk beribadah dan berzuhud, (karena bimbingan tertentu dari Mursyidnya, pent) maka tidak ada alasan bagi mereka untuk meninggalkan hal yang paling baik, paling bersih dan memperhatikan bagian-bagian anggota wudhu secara sempurna dan maksimal, berpegang teguh pada tindakan yang paling berhati-hati dan paling sempurna dalam bersuci dan soal kebersihan. Barangsiapa tidak memiliki kesibukan selain itu, maka ia wajib curahkan segala kemampuan untuk melakukannya sesuai dengan kemampuannya. Sebab Allah swt. berfirman, “Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian (semaksimal kalian).” (Q.s. at-Taghaabun:16).
Saya melihat sejumlah manusia yang selalu memperbarui wudhunya setiap kali shalat. Mereka segera berwudhu sebelum masuk waktu shalat, sehingga setelah selesai berwudhu mereka langsung shalat.Diantara adab mereka adalah selalu berada dalam kondisi suci jika dalam perjalanan. Sebab yang menjadi landasan dasarnya karena mereka tidak tahu kapan kematian datang menjemput.Firman Allah swt., “Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya sesaat pun dan juga tidak dapat memajukannya.“ (Q.s. al-A’raf. 34). Sehingga mereka berharap, ketika ajal menjemputnya secara mendadak, mereka tinggalkan dunia ini dalam keadaan suci.
Saya pernah mendengar al-Hushri r.a, berkata, Kadang saya pernah bangun tidur di suatu malam, lalu saya tidak tidur kembali kecuali setelah memperbarui wudhuku.”Syekh Abu Nashr as-Sarraj r.a berkata: Sebab ia tidur dalam keadaan suci. Ketika ia bangun tidur dan wudhunya telah batal maka ia segera memperbaruinya. Ia telah latih untuk tidak tidur kecuali dalam keadaan suci.Ada salah seorang syeikh yang masyhur dan terpandang selalu merasakan was-was ketika sedang berwudhu, sehingga ‘banyak menuangkan air saat berwudhu. Kemudian saya mendengarnya berkata, “Suatu malan aku memperbarui wudhuku untuk shalat Isya’. Aku menuangkan air ke bagian tubuhku sehingga menghabiskan separo malam. Namun hatiku belum juga yakin dan rasa was-was tidak juga hilang. Kemudian aku menangis dan berkata, ‘Wahai Tuhanku, ampunilah aku.’ Ialu aku mendengar bisikan suara, “Wahai fulan, ampunan itu diberi jika ilmu digunakan!.”
Abu Nashr adalah Abu Abdillah ar-Rudzbari rahimahullah - berkata: Dikatakan bahwa syetan selalu ingin mengambil bagiannya dari seluruh amal (kegiatan) anak cucu Adam. ia tidak peduli apakah dengan mengambil bagian itu menyebabkan anak cucu Adam bertambah banyak melakukan yang diperintah atau malah berkurang.Disebutkan dari Ibnu al-Kurraini, salah seorang guru al-Junaid bahwa suatu malam ia pernah junub. Ia mengenakan pakaian bertambal yang kasar dan tebal, dimana pakaian ini satu-satunya pakaian yang paling berharga ketika di sisi Ja’far al-Khuldi. Kemudian di malam hari ia pergi menuju pinggir sungai. Sementara cuaca pada malam itu sangat dingin, sehingga nafsunya mogok untuk mencebur ke dalam air karena sangat dingin. Namun akhirnya ia menceburkan diri ke dalam air dengan pakaian tebal yang ia kenakan tersebut. ia terus berendam di dalam air beberapa lama ia berkata, ‘Aku berniat untuk tidak melepaskan baju ini dari tubuhku sehingga ia kering.” Ternyata baju tebal yang ia kenakan itu tidak kering selama sebulan penuh. Apa yang ia lakukan adalah sebagai pelajaran dan melatih diri (nafsu)nya, karena ia mogok ketika mau menjalankan apa yang diperintah Allah untuk mandi junub.
Sahl bin Abdullah - rahimahullah - menganjurkan para sahabatnya untuk banyak minurn air dan tidak banyak menumpah air di atas tanah. Ia berkata, “Sesungguhnya air itu memiliki kehidupan. Ia akan mati ketika ditumpahkan di atas tanah.” Katanya, dengan banyak minum air akan melemah nafsu, mamatikan kesenangan nafsu dan mematahkan kekuatnya. Abu Amr Muhammad bin Ibrahim az-Zujaji pernah bermukim di Mekkah dalam waktu beberapa tahun, di mana tempat bermukim berada di perbatasan dengan tanah halal. Setiap ingin buang hajat ia keluar dari perbatasan tanah haram sejauh satu farsakh ( 8 km-an), sebagaimana cerita yang saya terima ia tak pernah buang hajat di tanah haram selama 30 tahun.Sementara itu, Ibrahim al-Khawwash - r.a, ketika hendak masuk di daerah pedalaman ia selalu membawa tempat air (dari kulit) yang diisi air. la hanya minum sedikit dari persedian air tersebut, karena ia mempersiapkannya untuk berwudhu.lebih mengutamakan bisa berwudhu dengan air daripada Minumnya. meskipun sangat haus.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - r.a - berkata: Aku melihat sekelompok orang Sufi berjalan di tepi sungai. Sementara mereka tidak bisa meninggalkan tempat air dari kulit atau kendi berisikan air. Hal ini dilakukan agar ketika mereka keburu ingin kencing dan tidak memungkinkannya duduk di tepi sungai dalam kondisi aurat terbuka dan bisa dilihat oleh orang, maka dengan persiapan air yang ada di kendi atau tempat dari kulit mereka akan mudah mencari tempat yang sepi, sehingga, tindakan itu bisa lebih melindungi diri mereka.Merekajuga sangat tidak suka memijit-mijit kemaluannya saat tak mampu menahan buang air kecil. Sebab akan bisa mengendorkan otot-otot yang berfungsi menahan kencing. jika sering dipijit maka akan tidak mampu menahan air kencing, dan mengakibatkan sering buang air kecil dalam kadar sedikit (beser).Mereka juga tidak suka menahan kencing kecuali memang dalam kondisi sulit mencari air dan sangat terpaksa. Saya lebih suka mengenakan celana ketimbang mengenakan sarung setelah bersuci. Sementara sarung lebih gampang dilepas ketika mau lakukan apa saja.Mereka juga menghindari mengenakan apa saja yang dilubangi dengan bulu babi, baik itu sedikit atau banyak, kering atau basah. oleh karenanya mereka lebih suka memakai sandal.Dikatakan jika anda melihat seorang Sufi yang tidak membawa bekal air, maka Anda perlu tahu, bahwa la berniat meninggalkan shalat dan siap menyingkap aurat, baik itu ia kehendaki atau tidak.Saya pernah melihat seseorang yang tinggal di tengah-tengah jamaah para ahli lbadah. Mereka berkumpul dalam satu rumah. Tapi tak seorang pun dari mereka yang melihatnya masuk atau keluar dari tempat buang air besar. Ia telah membiasakan dan melatih dirinya untuk buang air besar atau kecil dalam satu waktu, yaitu ketika ia sedang sendirian dan sepi tidak ada orang sehingga tidak ada orang yang melihatnya ia masuk atau keluar dari tempat tersebut.Saya juga melihat seorang Sufi yang melatih dan membill dirinya untuk tidak kentut kecuali saat buang air besar di tempat yang sangat terpencil. Sementara ia tinggal di pedalaman dan tempat sepi.
Sementara itu, Ibrahim al-Khawwash – r.a, pernah keluar dari Mekkah ke Kufah sendirian. Selama dalam perjalanan ia tidak pernah melakukan tayamum, karena ia membawa air minum yang kemudian ia gunakan untuk berwudhu.Sekelompok syeikh Sufi sangat tidak suka masuk tempat pemandian umum kecuali benar-benar sangat terpaksa. Jika terpaksa harus melakukannya, maka mereka menunggu sampai sepi tiada orang. Dan jika mereka masuk di tempat pemandian, maka tidak melepas sarungnya sampai mereka keluar. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melihat. Mereka selalu meminta agar air selalu didekatkan. Dan jika mereka berada dalam satu rombongan mereka saling menggosok badan. Jika dalam tempat mandi ada orang lain maka mereka akan menghadap tembok hingga matanya tidak melihat aurat yang lain. Kalangan kaum Sufi tidak memperkenankan orang lain masuk bersamanya di tempat mandi kecuali harus memakai sarung.Dan di antara hal-hal yang dianjurkan adaah mencabuti bulu ketiak dan mencukur rambut kemaluan. Sementara orang yang tidak bisa mencukurnya dengan baik dianjurkan untuk membuat ramuan obat yang bisa menghilangkan bulu dan dilakukan di tempat yang sepi. Murid-murid Sahl bin Abdullah, antara yang satu dengan lain saling mencukur atau memotong rambutnya.
Saya mendengar Isa al-Qashshar ad-Dinawari - r.a, berkata, “Orang yang pertama kali memotong kumisku dengan tangannya sendiri adalah asy-Sybli. Saat itu aku menjadi pembantunya.”Syekh Abu Nashr as-Sarraj- r.a, berkata: Menyisir rambut dengan dibelah di tengah kepala menjadikan pilihan jamaah kaum Sufi, namun hal itu dimakruhkan untuk para pemuda. Ini amat baik bagi para syeikh jika mereka melakukannya demi mengikuti sunnah.Sebagian syeikh Sufi mengatakan: Anggaplah bahwa kefakiran dari Allah. Lalu apa hubungannya dengan kekumuhan? Sementara yang paling disenangi kaum Sufi adalah kebersihan, mencuci pakaian, selalu membiasakan gosok gigi (siwak), mencari air yang mengalir, lapangan terbuka yang luas, dan yang ada di sudut-sudut kota, suka menyendiri di tempat (khalwat), mandi setiap hari jumat, baik di musim kemarau di musim penghujan. Mereka juga menyukai wangi-wangian, dan sebaik-baiknya “minyak wangi” adalah air yang mengalir. Mereka selalu mandi, memperbarui wudhu dan menyempurnakannya.Bukanlah kategori was-was seseorang yang berusaha suci semaksimal mungkin dengan cara menjauh dan mencari air mengalir meskipun ia tempuh dalam perjalanan yang jauh. Juga bukanlah termasuk was-was jika seseorang mendapatkan air yang telah berubah dengan mencari tempat-tempat yang suci, dan menyiramkan air bersih pada anggota tubuh bagian dalam dan kulit sela-sela anggota tubuh bagian dalam, bagian-bagian kulit mengkerut, menghirupnya hingga mencapai ujung hidung dan menuangkan air pada seluruh anggota tubuh, bagian kulit, baik saat berwudlhu atau mandi dan bersuci lainnya.Juga tidak masuk dalam kategori was-was yang dilarang orang yang berhati-hati dan mencari yang paling suci dalam meniti keutamaan. Sebab semua itu masuk dalam lingkaran firman Allah swt., “Maka bertaqwalah kalian kepada Allah semaksimal kemampuan kalian.” (Q.s. at-Taghabun: 16).
Sedangkan was-was yang dilarang oleh syariat ialah yang menjadikan Anda keluar dari ketentuan ilmu. Yaitu jika Anda disibukkan dengan lbadah-lbadah yang bersifat keutamaan (sunnah) dengan meninggalkan lbadah-lbadah fardlu. Demikian halnya jika menyalahi aturan keilmuan. Maka batallah shalat seseorang yang berwudhu dengan hanya satu cibuk, cibuk pula.Sementara itu tindakan yang benar ialah bila seorang hanya melakukan sesuai dengan waktu dan kondisi dirinya. Jika ia ingin dapatkan air yang melimpah, maka ia berwudhu dengan cukup sempurna dengan lebih berhati-hati sehingga hatinya menjadi tenang. Jika ia tidak mendapatkan air yang cukup, maka sebaliknya ia memperbarui wudhunya dan bersuci dengan air yang sedikit, sebagaimana diriwayatkan, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah selalu berwudhu dengan air yang tidak bercampur debu.
Syeikh Abu Nashr as-Sarrai - r.a, berkata: Saya pernah melihat seorang Sufi yang di wajahnya ada luka yang tak kunjung sembuh dalam waktu dua belas tahun, sebab air selalu membasahi lukanya. Sementara ia tidak pernah meninggalkan memperbarui wudhunya setiap kali shalat.Saya juga melihat seorang Sufi yang kedua matanya selalu meneteskan air. Keluarganya mendatangkan seorang dokter untuk mengobatinya. Mereka telah mengeluarkan banyak biaya untuk pengobatannya. Dokter berkata, “Ini bisa sembuh jika tidak sentuh air air dalam beberapa hari dan hendaknya tidur telentang.” Si Sufi ini tidak mau melakukan apa yang dianjurkan dokter, memilih lebih baik penglihatannya hilang daripada diperintahkan meninggalkan wudhu dan bersuci dengan air. Si Sufi ini tidak lain adalah Abu Abdillah Muhammad ar-Razi al-Muqri’i.Diriwayatkan, bahwa Ibrahim bin Adham - r.a, punya tugas malam, di mana ia semalam bangun tujuh kali lebih. Dan setiap kali bangun ia selalu memperbarui wudhunya kemudian shalat dua rakaat.Sementara itu, Ibrahim al-Khawwash wafat di masjid jami’ Rayy saat berada di tengah-tengah air. Saat itu ia sakit perut, kemudian menceburkan diri ke dalam air dan memandikan diri dan akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.Inilah yang sempat saya ingat saat ini tentang adab kaurn Sufi dalam masalah wudhu dan bersuci. Semoga Aliah senantiasa memberi taufiq kepada kita.