Sabtu, 15 November 2014

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 2 Adab Dalam Shalat



 Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

 “Se­orang hamba yang memiliki adab dalam shalatnya sebelum masuk waktu shalat maka ia seakan-akan sedang shalat, ketika mau melakukan shalat, berangkat dari suatu kondisi ruhani yang tidak bisa ditinggalkan ketika ia sedang shalat.”Sebab di antara etika sebelum shalat ialah seialu muraqabah dan menjaga hati dari berbagai bentuk bisikan, bersitan pikiran dari luar, lalu menepiskan ingatan segala sesuatu selain Allah Swt. Maka ketika ia hendak melakukan shalat dengan hati yang khusyu` dan hadirnya jiwa, maka seakan-akan ia berangkat dari suatu shalat untuk melakukan shalat yang lain. Dengan demikian ia tetap dengan niat dan perjanjian yang telah ia lakukan ketika awal memasuki shalat. Ketika ia keluar dari shalat, ia kembali pada ‘ kondisi ruhani semula yakni dengan hati yang khusyu`, hadir, menjaga bersitan-bersitan pikiran dari luar dan muraqabah, sehingga seakan-akan ia tetap dalam shalat sekalipun ia sudah keluar dari shalat. Inilah adab (etika) dalam shalat.

Diriwayatkan dari Rasulullah saw yang bersabda: “Seorang hamba dianggap berada dalam shalat sepanjang ia menunggu shalat (yang lain).“ (H.r. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah dan Anas). Inilah adab yang dibutuhkan oleh seseorang yang menunggu dan hendak menjalankan shalat serta yang sedang shalat, sebagaimana yang telah saya jelaskan jika Anda bisa memahaminya. Insya Allah.Saya pernah melihat orang ketika menjalankan shalat, wajahnya ‘ terlihat merah dan pucat ketika ia sedang bertakbir yang pertama, karena ia sangat takut akan Keagungan Allah Swt. Saya juga melihat orang yang tak mampu menghitung rakaat shalatnya. Sehingga ia meminta kepada salah seorang temannya yang duduk di sampingnya untuk menghitungkan berapa rakaat ia shalat. Sebab ia berusaha menjaga hatinya agar tetap berada dalam perjanjian yang ia lakukan di awal kali memasuki shalat. Ia khawatir terjadi kesalahan dalam dirinya sebab ia tidak tahu lagi berapa rakaat ia melakukan shalat. Oleh karenanya ia minta ban­tuan orang lain untuk menghitungkan rakaat-rakaat yang telah ia lakukan, sehingga ia yakin.

Dikisahkan, bahwa Sahl bin Abduliah setiap kali usai shalat merasa lemah lunglai, sehingga hampir tidak mampu berdiri dari tempatnya. Namun tatkala waktu shalat yang lain tiba, kekuat­annya pulih kembali. Kemudian ia berdiri di mihrab laksana pasak. Begitu selesai shalat ia kembali lemah seperti sediakala dan tak mampu berdiri dari tempat duduknya.Saya juga melihat seseorang yang bepergian jauh melalui gurun pasir sendirian, sementara ia tidak pernah meninggalkan wirid­-wirid sunnahnya, shalat malam, keutamaan-keutamaan dan adab­-adab lain yang ia lakukan pada saat ia tidak dalam bepergian. Ia berkata, “Kondisi-kondisi ruhani kelompok (kaum Sufi) ini se­yogyanya sama antara sedang dalam perjalanan dengan ketika sedang berada di rumah.”Salah seorang saudara saya menemani dalam satu tempat, adat kebiasaannya, ketika habis makan ia langsung berdiri dan shalat dua rakaat, sehabis minum ia juga berdiri dan shalat dua rakaat, sehabis memakai pakaian ia shalat dua rakaat, ketika masuk dan keluar masjid ia shalat dua rakaat. Demikian juga tatkala ia marah atau senang ia shalat dua rakaat.

Sekelompok sahabat-sahabat kami kaum Sufi pernah beper­gian bersama Abu Abdillah Ahmad bin Jabban r.a, mereka bercerita kepada saya tentang kebiasaan Abu Abdiliah, “Setiap kali perjalanan di gurun pasir telah mencapai satu mill, ia tidak akan duduk sebelum shalat dua rakaat terlebih dahulu, kemudian menyusul teman-temannya.”Di antara adab mereka adalah tidak suka menjadi imam, tidak senang shalat di barisan (shaf pertama, baik di Mekkah atau di luar Mekkah). Mereka juga sangat tidak suka memperlama shalat. Adapun ketidaksukaan mereka menjadi imam, meskipun mung­kin mereka hafal al-Qur’an dan lebih memilih menjadi ma’mum di belakang orang yang bisa membaca al-Fatihah dan surat-surat lain dengan baik adalah karena sabda Rasulullah Saw:“Imam itu menanggung (ma’mumnya), sedangkan mu’adzin adalah orang yang dipercaya.“ (H.r. Ibnu Hibban dari Aisyah, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Huzaimah dari Abu i Hurairah, dan Ahmad dari Abu Umamah).

Sedangkan ketidaksukaan mereka berada di shaf awal adalah untuk menghindari berebut dengan orang-orang pada umumnya berdesakan. Karena pada umumnya orang-orang selalu berebut untuk bisa shalat di shaf terdepan. Meskipun dalam sebuah hadist disebutkan bahwa di shaf awal memiliki ke­utamaan, namun mereka lebih mengutamakan orang lain. Namun jika shaf awal itu kosong mereka juga akan menggunakan kesem­patan utama itu dengan sebaiknya.Sedangkan keengganan mereka untuk memperlama shalat, maka gangguan alpa dan was-was juga akan semakin banyak. Sementara itu sibuk dengan keabsahan amal itu lebih baik dibanding dengan amalan-amalan banyak dan lama. Diriwayatkan, “Bahwa Rasulullah Saw. adalah orang yang paling ringan shalatnya dengan penuh kesempurnaan.” (H.r. Malik, Bukhari-Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i).

Saya mendengar Ibnu `Alwan -rahimahuliah -berkata, “A Junaid -rahimahullah - sekalipun sudah sangat lanjut usia dan lemah tenaganya, ia tidak pernah meninggalkan wirid-wiridnya. Kemudian ia ditanya tentang hal itu. Maka ia menjawab, `Ini adalah kondisi ruhani, dimana dengan kondisi ruhani ini saya bisa `sampai’ kepada Allah Swt, di awal hidupku. Lalu bagaimana saya bisa meninggalkannya di ujung hidupku?’.”Di antara adab mereka dalam shalat adalah, bahwa shalat itu memiliki empat cabang:* Hadirnya hati di mihrab, * Kesaksian akal di sisi Sang Maha Pemberi, * Kekhusyu’an hati tanpa ada keraguan dan * Tunduknya anggota badan tanpa terpaksa. Sebab dengan hadirnya hati akan menyingkap hijab, sedangkan dalam kesaksian akal akan menghilangkan cercaan dan teguran dari Allah, dalam kekhusyu’an hati akan membuka pintu-pintu Tuhan dan dengan menundukkan anggota badan akan ada pahala.Maka barangsiapa shalat namun hatinya tidak pernah hadir, ia adalah orang yang shalat dengan alpa. Barangsiapa shalat de­ngan tanpa kesaksian akal, maka ia adalah orang yang shalat dengan lupa. Dan barangsiapa shalat dengan tanpa kekhusyu’an hati maka ia adalah orang yang shalat dengan kesalahan. Barangsiapa shalat tanpa menundukkan anggota badan maka ia shalat dengan anggota yang merenggang dan jauh dari Tuhannya. Sedangkan orang yang sanggup melakukan semuanya dengan sempurna maka ia adalah orang yang shalat dengan memenuhi syarat shalat. Inilah sebagian yang bisa saya hadirkan saat ini dari adab-adab mereka dalam shalat. Semoga Allah memberi taufik kepada kita.

ADAB KAUM SUFI ABU NASHR AS SARRAJ : 1 Adab Dalam Berwudhu dan Bersuci



Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Syekh Abu Nashr as-Sarraj r.a berkata:

“Adab paling awal yang dibutuhkan dalam bab wudhu dan bersuci adalah mencarl ilmunya dan mempelajarinya, mengetahui tentang fardlu dan yang sunnah-sunnahnya, apa yang dianjurkan dan yang dimakruhkan, apa yang diperintahkan dan yang dianjurkan untuk memperoleh keutamaan”.
Tentu saja untuk mengetahui dan memahaminya secara rinci tidak mungkin kecuali dengan ilmu dan bertanya, membahas dan memiliki perhatian yang serius, sehingga ia bisa melakukan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah dengan cara lebih berhati-hati mengikuti yang paling baik dan paling sempurna, menghilangkan hal-hal yang bisa saling mencela, tidak mengingkari secara hati nurani terhadap orang yang tidak menggunakan cara yang lebih berhati-hati dan yang paling baik. Sebab Aliah tetap senang biia keringanan-keringanan hukum (rukhshah)-Nya dilakukan sebagaimana Dia mencintai bila hukum-hukum asal (azimah-Nya) tetap dilakukan secara normal. Sementara itu, manusia yang iain memiliki kesibukan dan sebab-sebab yang harus dikerjaka dan diberi perhatian. Sehingga apabila mereka menggunakan keringanan dan mengambil kelonggaran mereka pun tetap dimaafkan.
Adapun kaum Sufi dan orang-orang yang meninggalkan sebab akibat dunia, keluar dari segaja kesibukan serta mencurahkan dirinya untuk beribadah dan berzuhud, (karena bimbingan tertentu dari Mursyidnya, pent) maka tidak ada alasan bagi mereka untuk meninggalkan hal yang paling baik, paling bersih dan memperhatikan bagian-bagian anggota wudhu secara sempurna dan maksimal, berpegang teguh pada tindakan yang paling berhati-hati dan paling sempurna dalam bersuci dan soal kebersihan. Barangsiapa tidak memiliki kesibukan selain itu, maka ia wajib curahkan segala kemampuan untuk melakukannya sesuai dengan kemampuannya. Sebab Allah swt. berfirman, “Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian (semaksimal kalian).” (Q.s. at-Taghaabun:16).
Saya melihat sejumlah manusia yang selalu memperbarui wudhunya setiap kali shalat. Mereka segera berwudhu sebelum masuk waktu shalat, sehingga setelah selesai berwudhu mereka langsung shalat.Diantara adab mereka adalah selalu berada dalam kondisi suci jika dalam perjalanan. Sebab yang menjadi landasan dasarnya karena mereka tidak tahu kapan kematian datang menjemput.Firman Allah swt., “Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya sesaat pun dan juga tidak dapat memajukannya.“ (Q.s. al-A’raf. 34). Sehingga mereka berharap, ketika ajal menjemputnya secara mendadak, mereka tinggalkan dunia ini dalam keadaan suci.
Saya pernah mendengar al-Hushri r.a, berkata, Kadang saya pernah bangun tidur di suatu malam, lalu saya tidak tidur kembali kecuali setelah memperbarui wudhuku.”Syekh Abu Nashr as-Sarraj r.a berkata: Sebab ia tidur dalam keadaan suci. Ketika ia bangun tidur dan wudhunya telah batal maka ia segera memperbaruinya. Ia telah latih untuk tidak tidur kecuali dalam keadaan suci.Ada salah seorang syeikh yang masyhur dan terpandang selalu merasakan was-was ketika sedang berwudhu, sehingga ‘banyak menuangkan air saat berwudhu. Kemudian saya mendengarnya berkata, “Suatu malan aku memperbarui wudhuku untuk shalat Isya’. Aku menuangkan air ke bagian tubuhku sehingga menghabiskan separo malam. Namun hatiku belum juga yakin dan rasa was-was tidak juga hilang. Kemudian aku menangis dan berkata, ‘Wahai Tuhanku, ampunilah aku.’ Ialu aku mendengar bisikan suara, “Wahai fulan, ampunan itu diberi jika ilmu digunakan!.”
Abu Nashr adalah Abu Abdillah ar-Rudzbari rahimahullah - berkata: Dikatakan bahwa syetan selalu ingin mengambil bagiannya dari seluruh amal (kegiatan) anak cucu Adam. ia tidak peduli apakah dengan mengambil bagian itu menyebabkan anak cucu Adam bertambah banyak melakukan yang diperintah atau malah berkurang.Disebutkan dari Ibnu al-Kurraini, salah seorang guru al-Junaid bahwa suatu malam ia pernah junub. Ia mengenakan pakaian bertambal yang kasar dan tebal, dimana pakaian ini satu-satunya pakaian yang paling berharga ketika di sisi Ja’far al-Khuldi. Kemudian di malam hari ia pergi menuju pinggir sungai. Sementara cuaca pada malam itu sangat dingin, sehingga nafsunya mogok untuk mencebur ke dalam air karena sangat dingin. Namun akhirnya ia menceburkan diri ke dalam air dengan pakaian tebal yang ia kenakan tersebut. ia terus berendam di dalam air beberapa lama ia berkata, ‘Aku berniat untuk tidak melepaskan baju ini dari tubuhku sehingga ia kering.” Ternyata baju tebal yang ia kenakan itu tidak kering selama sebulan penuh. Apa yang ia lakukan adalah sebagai pelajaran dan melatih diri (nafsu)nya, karena ia mogok ketika mau menjalankan apa yang diperintah Allah untuk mandi junub.
Sahl bin Abdullah - rahimahullah - menganjurkan para sahabatnya untuk banyak minurn air dan tidak banyak menumpah air di atas tanah. Ia berkata, “Sesungguhnya air itu memiliki kehidupan. Ia akan mati ketika ditumpahkan di atas tanah.” Katanya, dengan banyak minum air akan melemah nafsu, mamatikan kesenangan nafsu dan mematahkan kekuatnya. Abu Amr Muhammad bin Ibrahim az-Zujaji pernah bermukim di Mekkah dalam waktu beberapa tahun, di mana tempat bermukim berada di perbatasan dengan tanah halal. Setiap ingin buang hajat ia keluar dari perbatasan tanah haram sejauh satu farsakh ( 8 km-an), sebagaimana cerita yang saya terima ia tak pernah buang hajat di tanah haram selama 30 tahun.Sementara itu, Ibrahim al-Khawwash - r.a, ketika hendak masuk di daerah pedalaman ia selalu membawa tempat air (dari kulit) yang diisi air. la hanya minum sedikit dari persedian air tersebut, karena ia mempersiapkannya untuk berwudhu.lebih mengutamakan bisa berwudhu dengan air daripada Minumnya. meskipun sangat haus.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - r.a - berkata: Aku melihat sekelompok orang Sufi berjalan di tepi sungai. Sementara mereka tidak bisa meninggalkan tempat air dari kulit atau kendi berisikan air. Hal ini dilakukan agar ketika mereka keburu ingin kencing dan tidak memungkinkannya duduk di tepi sungai dalam kondisi aurat terbuka dan bisa dilihat oleh orang, maka dengan persiapan air yang ada di kendi atau tempat dari kulit mereka akan mudah mencari tempat yang sepi, sehingga, tindakan itu bisa lebih melindungi diri mereka.Merekajuga sangat tidak suka memijit-mijit kemaluannya saat tak mampu menahan buang air kecil. Sebab akan bisa mengendorkan otot-otot yang berfungsi menahan kencing. jika sering dipijit maka akan tidak mampu menahan air kencing, dan mengakibatkan sering buang air kecil dalam kadar sedikit (beser).Mereka juga tidak suka menahan kencing kecuali memang dalam kondisi sulit mencari air dan sangat terpaksa. Saya lebih suka mengenakan celana ketimbang mengenakan sarung setelah bersuci. Sementara sarung lebih gampang dilepas ketika mau lakukan apa saja.Mereka juga menghindari mengenakan apa saja yang dilubangi dengan bulu babi, baik itu sedikit atau banyak, kering atau basah. oleh karenanya mereka lebih suka memakai sandal.Dikatakan jika anda melihat seorang Sufi yang tidak membawa bekal air, maka Anda perlu tahu, bahwa la berniat meninggalkan shalat dan siap menyingkap aurat, baik itu ia kehendaki atau tidak.Saya pernah melihat seseorang yang tinggal di tengah-tengah jamaah para ahli lbadah. Mereka berkumpul dalam satu rumah. Tapi tak seorang pun dari mereka yang melihatnya masuk atau keluar dari tempat buang air besar. Ia telah membiasakan dan melatih dirinya untuk buang air besar atau kecil dalam satu waktu, yaitu ketika ia sedang sendirian dan sepi tidak ada orang sehingga tidak ada orang yang melihatnya ia masuk atau keluar dari tempat tersebut.Saya juga melihat seorang Sufi yang melatih dan membill dirinya untuk tidak kentut kecuali saat buang air besar di tempat yang sangat terpencil. Sementara ia tinggal di pedalaman dan tempat sepi.
Sementara itu, Ibrahim al-Khawwash – r.a, pernah keluar dari Mekkah ke Kufah sendirian. Selama dalam perjalanan ia tidak pernah melakukan tayamum, karena ia membawa air minum yang kemudian ia gunakan untuk berwudhu.Sekelompok syeikh Sufi sangat tidak suka masuk tempat pemandian umum kecuali benar-benar sangat terpaksa. Jika terpaksa harus melakukannya, maka mereka menunggu sampai sepi tiada orang. Dan jika mereka masuk di tempat pemandian, maka tidak melepas sarungnya sampai mereka keluar. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melihat. Mereka selalu meminta agar air selalu didekatkan. Dan jika mereka berada dalam satu rombongan mereka saling menggosok badan. Jika dalam tempat mandi ada orang lain maka mereka akan menghadap tembok hingga matanya tidak melihat aurat yang lain. Kalangan kaum Sufi tidak memperkenankan orang lain masuk bersamanya di tempat mandi kecuali harus memakai sarung.Dan di antara hal-hal yang dianjurkan adaah mencabuti bulu ketiak dan mencukur rambut kemaluan. Sementara orang yang tidak bisa mencukurnya dengan baik dianjurkan untuk membuat ramuan obat yang bisa menghilangkan bulu dan dilakukan di tempat yang sepi. Murid-murid Sahl bin Abdullah, antara yang satu dengan lain saling mencukur atau memotong rambutnya.
Saya mendengar Isa al-Qashshar ad-Dinawari - r.a, berkata, “Orang yang pertama kali memotong kumisku dengan tangannya sendiri adalah asy-Sybli. Saat itu aku menjadi pembantunya.”Syekh Abu Nashr as-Sarraj- r.a, berkata: Menyisir rambut dengan dibelah di tengah kepala menjadikan pilihan jamaah kaum Sufi, namun hal itu dimakruhkan untuk para pemuda. Ini amat baik bagi para syeikh jika mereka melakukannya demi mengikuti sunnah.Sebagian syeikh Sufi mengatakan: Anggaplah bahwa kefakiran dari Allah. Lalu apa hubungannya dengan kekumuhan? Sementara yang paling disenangi kaum Sufi adalah kebersihan, mencuci pakaian, selalu membiasakan gosok gigi (siwak), mencari air yang mengalir, lapangan terbuka yang luas, dan yang ada di sudut-sudut kota, suka menyendiri di tempat (khalwat), mandi setiap hari jumat, baik di musim kemarau di musim penghujan. Mereka juga menyukai wangi-wangian, dan sebaik-baiknya “minyak wangi” adalah air yang mengalir. Mereka selalu mandi, memperbarui wudhu dan menyempurnakannya.Bukanlah kategori was-was seseorang yang berusaha suci semaksimal mungkin dengan cara menjauh dan mencari air mengalir meskipun ia tempuh dalam perjalanan yang jauh. Juga bukanlah termasuk was-was jika seseorang mendapatkan air yang telah berubah dengan mencari tempat-tempat yang suci, dan menyiramkan air bersih pada anggota tubuh bagian dalam dan kulit sela-sela anggota tubuh bagian dalam, bagian-bagian kulit mengkerut, menghirupnya hingga mencapai ujung hidung dan menuangkan air pada seluruh anggota tubuh, bagian kulit, baik saat berwudlhu atau mandi dan bersuci lainnya.Juga tidak masuk dalam kategori was-was yang dilarang orang yang berhati-hati dan mencari yang paling suci dalam meniti keutamaan. Sebab semua itu masuk dalam lingkaran firman Allah swt., “Maka bertaqwalah kalian kepada Allah semaksimal kemampuan kalian.” (Q.s. at-Taghabun: 16).
Sedangkan was-was yang dilarang oleh syariat ialah yang menjadikan Anda keluar dari ketentuan ilmu. Yaitu jika Anda disibukkan dengan lbadah-lbadah yang bersifat keutamaan (sunnah) dengan meninggalkan lbadah-lbadah fardlu. Demikian halnya jika menyalahi aturan keilmuan. Maka batallah shalat seseorang yang berwudhu dengan hanya satu cibuk, cibuk pula.Sementara itu tindakan yang benar ialah bila seorang hanya melakukan sesuai dengan waktu dan kondisi dirinya. Jika ia ingin dapatkan air yang melimpah, maka ia berwudhu dengan cukup sempurna dengan lebih berhati-hati sehingga hatinya menjadi tenang. Jika ia tidak mendapatkan air yang cukup, maka sebaliknya ia memperbarui wudhunya dan bersuci dengan air yang sedikit, sebagaimana diriwayatkan, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah selalu berwudhu dengan air yang tidak bercampur debu.
Syeikh Abu Nashr as-Sarrai - r.a, berkata: Saya pernah melihat seorang Sufi yang di wajahnya ada luka yang tak kunjung sembuh dalam waktu dua belas tahun, sebab air selalu membasahi lukanya. Sementara ia tidak pernah meninggalkan memperbarui wudhunya setiap kali shalat.Saya juga melihat seorang Sufi yang kedua matanya selalu meneteskan air. Keluarganya mendatangkan seorang dokter untuk mengobatinya. Mereka telah mengeluarkan banyak biaya untuk pengobatannya. Dokter berkata, “Ini bisa sembuh jika tidak sentuh air air dalam beberapa hari dan hendaknya tidur telentang.” Si Sufi ini tidak mau melakukan apa yang dianjurkan dokter, memilih lebih baik penglihatannya hilang daripada diperintahkan meninggalkan wudhu dan bersuci dengan air. Si Sufi ini tidak lain adalah Abu Abdillah Muhammad ar-Razi al-Muqri’i.Diriwayatkan, bahwa Ibrahim bin Adham - r.a, punya tugas malam, di mana ia semalam bangun tujuh kali lebih. Dan setiap kali bangun ia selalu memperbarui wudhunya kemudian shalat dua rakaat.Sementara itu, Ibrahim al-Khawwash wafat di masjid jami’ Rayy saat berada di tengah-tengah air. Saat itu ia sakit perut, kemudian menceburkan diri ke dalam air dan memandikan diri dan akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.Inilah yang sempat saya ingat saat ini tentang adab kaurn Sufi dalam masalah wudhu dan bersuci. Semoga Aliah senantiasa memberi taufiq kepada kita.

Kamis, 23 Oktober 2014

CATATAN IBADAHNYA KOSONG

SELAIN WALIYULLOH IBADAHNYA TEKA TEKI
( Kajian syariat bidang wushul )


Aasalamu'alaikum wr wb.
Bismillahir rohmaanir rohiim


ucapan syukur Alhamdulillah senantiasa kita haturkan kepada Allah SWT, atas limpahan nikmat yang tak terhingga diberikan kepada kita semua sehingga salah satunya diberi bisa mengikuti dan menkaji diri kita sendiri indalloh wa rosulihi SAW. maka tak lupa pula kita haturkan salam ikroman, ta'dziiman wa mahabbatan kepangkuan junjungan kita Rosulullohi SAW beserta pengikutnya min awalihim ila akhirihim khushushon beliau Ghoutsi HadAz Zaman RA.

Dengan keyakinan penuh bahwa semua kekasih Allah senantiasa menjangkung restu hingga untaian kata ini menjadikan sebab yang kuat diterimanya semua permohonan baik yang kita ucapkan maupun yang terlintas dalam hati . 

Semoga siapapun yang membaca untaian kata ini tidak lama lagi betul betul dibuka kesadaran fafirru ilalloh wa rosulihi SAW.

Mari kita koreksi bersama sama akan apa yang selama ini kita kerjakan. Menjelang akhir tahun hijriyah 1435 H, tentunya kita perlu menghitung diri kita sendiri sebelum kita dihitung.

Kita sama sama mafhum apa itu Lillahi ta'aalaa. kita semua tahu bahwa kita diperintah mengabdi kepada Allah sejak kita diciptakan dan hingga waktunya . Berapa persen hidup kita untuk menghamba kepada Allah dan berapa persen untuk menghamba kepada nafsu kita sendiri atau mengabdi kepada selain Allah.

Kita sama sama tahu, *Wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya'buduun. *Dan tidaklah kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdikan diri. Menghamba kepadaku kata Allah. jadi dalam alqur'an surat Addzariyat 56 sudah jelas bahwa kita tercipta hanya untuk mengabdi hingga tidak ada waktu maupun aktifitas selain mengabdi kepada Allah tentunya. 

Untuk itu kita perlu mengoreksi diri kita sendiri. sejak pagi hari, kita bangun, berdiri, berjalan, bekerja hingga siang, hingga sore, hingga malam, hingga kita tidur dan bangun lagi. jika diteliti betul, dalam hitungan jam bahkan menit saja bisa terdapat ribuan perbuatan. bahkan diam itu juga sebuah perbuatan. berbuat untuk tidak melakukan aktifitas tertentu. Jadi diam itu juga af'al. 

Sebuah pertanyaan besar yang harus kita jawab sendiri.
Sudahkah kita gunakan untuk mengabdi kepada Allah ? Sudahkah kita niatkan untuk menghamba sesuai ayat tersebut ? atau seluruh aktifitas kita justru hanya untuk mengikuti hawa nafsu ? atau tidak ada sama sekali penghambaan ? Atau bahkan saat kita sholat, itupun bukan mengabdi?..... sebab sholat kita masih menuntut imbalan dari Alloh? menuntut surga? menuntut supaya tidak masuk neraka? Jika itu yang terjadi, maka tidak ada harapan bagi untuk selarmat. semua bentuk pengabdian kita masih didorong oleh imbalan. Apakah bisa sebuah pengabdian yang didasarkan sebuah imbalan disebut pengabdian? . Tepatnya akan lebih tepat jika kita sebut barter. Tepatnya ini sebuah transaksi tukar menukar. 

Ketika kita menyadari akan hal ini, kita akan melihat dengan mata kita sendiri bahwa sebenarnya kita masih belum pernah beribadah. Kita belum pernah mengabdi kepada Allah. Kita belum menjadi hamba Allah menurut ukuran ilmu wushul. Ibadah kita tukar dengan fadhol Allah 

Semua aktifitas apapun termasuk Sholat, Puasa, Zakat, haji, dan seterusnya, hingga semua perbuatan yang tidak dikitabkan, seperti makan, tidur, bekerja, kumpul keluarga, dan seterusnya. Semuanya akan dicatat ibadah selama dalam pelaksanaannya diniatkan semata mata untuk mengabdikan diri kepada Allah tanpa pamrih apapun. Jadi ini merupakan hukum Allah yang tidak semuanya menjadi hukum islam. Ketika kita melakuakan sebuah aktifitas jika tidak untuk mengabdi kepada Allah tanpa pamrih, tentu itu semua bukan ibadah. Walaupun aktifitas itu berupa sholat sekalipun. sekalipun itu berupa puasa, berupa zakat, berupa amal kebajikan, Allah tidak akan mengakui sebagai ibadah. Allah hanya mengakui sebagai aktifitas biasa, sebatas sebuah fi'luhu dari sebuah Aamiluun. 

Dari sekian juta aktifitas kita, kesemuanya masih berupa perbuatan Lahir yang masih merupakan perbuatan yang tidak bisa menyebabkan kita selamat dari segala urusan kewajiban kita kepada Allah sebagai hamba selama dalam pelaksanaannya tidak di dasari Lillahi ta'ala. Bagaimanapun keihlasan kita dalam berbuat, tidak akan menjadi sebab bagi kita untuk menjadi Abdullah. Sudah murni tanpa pamrih, tapi dasarnya tidak semata melaksanakan perintah Allah. Bahasa ringkasnya dalam istilah Wahidiyah, bahwa perbuatan kita masih mengandung unsur Lighoirillah. Unsur supaya baik, unsur supaya berhasil, supaya diakui oleh orang lain, supaya Ihlas dan supaya dan supaya yang semuanya tetap merusak amal itu sendiri. 

Sebagai pemahaman yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa semua yang tidak Lillah pasti Lighoirillah. Dan semua yang Lighoirillah itu bukan Ibadah. Atau bahasa sopannya adalah bahwa Ibadahnya masih teka teki. kapan detik Lillah, pasti Ibadah, dan kapan Lighoirillah pasti bukan ibadah yang mana antara keduanya menjadi teka teki yang sangat besar kecuali murni Lillahi ta'aalaa. 

Hanya yang dilindungi Allah akan mampu menerapkan Lillah. Hanya Abdulloh yang menjadi Hamba Allah. Hanya kekasih Allah yang senantiasa menerapkan pengabdian kepada Allah. Sebagaimana dalam sebuah kitab dijelaskan bahwa #Man 'amila Lillah, wahuwa waliyyun au abdulloh.*Siapa saja yang menerapkan Lillah maka dia itu Waliyulloh atau Abdulloh. 

Kiranya sangat jelas bahwa selain kekasih Allah masih belum mampu melaksanakan pengabdian kepada Allah sebab dalam ibadahnya masih ada udang dibalik batu. PAda unsur meminta imbalan dalam setiap aktifitasnya. Ibarat seorang buruh masih menuntut gaji yang sebenarnya sudah menjadi haknya.

Semoga dengan terbukanya kesadaran ini kita diberi bisa secepat kilat bertaubat. Secepat kilat kita memohon ampunan kepada Allah SWT. Mohon syafa'at Rosulullah SAW, dengan bersungguh sungguh tobat makmum dibelakang kekasih Allah Ghoutsi Hadzaz Zaman RA.

Alfaatihah.
Yaa syafi'al kholqis sholatu was salaam, 'alaika nuurol kholqi haadia al anaam, wa ashlahuu wa ruuhahu adriknii faqod dzolamtu abadan wa robbinii, wa laiasa lie yaa sayyidii siwaakaa faintarudda kuntu syhshon haalikaa. Yaa sayyidii Yaa Rosuulalloh. Yaa Sayyidiu Yaa Rosulalloh. Yaa Sayyidii Yaa Rosulalloh.
Alfaatihah.

Ditilik dari sini, kita menyadari betapa sulitnya ibadah. betapa beratnya sebuah pengabdian. betapa tidak mampunya kita menjadi hamba Allah, bagi yang tidak terbuka hidayah sehingga menyadari betul ketidak tahuan kita akan kedudukan kita di hadapan Allah SWT.

Apalagi jika kita koreksi lebih jauh lagi, apa apa yang kita kerjakan, jika tidak semata mata untuk menghambakan diri kepada tuhan, tentu nilainya menghamba kepada selain tuhan. bisa menghamba kepada mahluk ciptaan tuhan. Mahluk tuhan itu bisa berupa apa saja. bisa berupa orang yang kita cintai, bisa perupa pacar, bisa berupa anak, istri, suami, bisa berupa harta yang kita sukai, kesenangan yang kita junjung tinggi, kedudukan yang kita puja. Pangkat dan derajat yang kita damba. semua itu yang membelokkan tugas utama kita dalam menghamba. Bahkan yang paling umum sering terjadi berupa diri kita sendiri. yang pada umumnya diberi sebutan Ananiyah. menyembah dirinya sendiri. Orang yang menyembah dirinya sendiri atau menuruti nafsunya sendiri, atau berbuat sesuatu atas dasar dorongan dari nafsunya sendiri tidak bisa dikatakan mengabdi atau beribadah kepada Allah. sebab ada dorongan dari selain Allah yaitu nafsunya sendiri. Mau tidak mau, menurut ayat atau kalamulloh, yang tentunya sudah menjadi hukum Allah, ini tidak bisa dikatakan mengabdi kepada Allah. Atau boleh jadi dikatakan mengabdi kepada Allah akan tetapi masih ada dorongan dari selain perintah Allah yaitu perintah nafsunya sendiri. 

Yang mana dalam istilah Wahidiyah yaitu Linafsi.

Dengan menengok kejadian nyata pada diri kita yang ternyata mengingkari ayat ayat Allah, dan tidak sesuai dengan pernyataan yang sering kita ucapkan, sehingga suatu ketika ada seorang rekan mengatakan betapa sulit dan licin sekali jalan menuju Allah. Maka kami katakan memang sangat sulit dan Licin sekali, Kita masih tergiur oleh Pundi pundi dari Amal. pundi pundi yang jelas dijanjikan Allah. Pundi Pundi yang tergambar berupa surga. Pundi Pundi Allah dalam bentuk peringatan, berupa gambaran neraka dan lain sebagainya..

Hal ini semakin jelas jika Allah murka kepada kita kebanyakan manusia. Tidak hanya dimurka akan tetapi lebih dari itu, yaitu bahwa orang yang menyembah atau menuruti hawa nafsu itu sangat dibenci oleh Allah. 

#Abghodhu ilaahin ubida lahu fil ardhi huwa al hawa" Sesembahan yang paling aku benci di muka bumi itu adalah hawa nafsu. 

Sekecil apapun yang namanya nafsu, pasti menjeromoskan apabila tidak dirahkan kepada jalan yang sesuai dengan kehendak Allah. Segala bentuk sumber nafsu berpangkal dari dalam hati kita berupa nafsu Ananiyah. Nafsu meng aku aku. Aku kepingin. aku mau, aku tidak mau. Aku suka, aku benci. Aku dan aku dan seterusnya.  

Terjadinya kebaikan atau keburukan di dunia ini, berawal dari adanya nafsu. Maka dalam kajian Wushul kepada Allah, yang dikaji pertama kali adalah tentang nafsu dan pernak perniknya nafsu. 

Sebagaimana kita sadari bersama, bahwa nafsu itu senantiasa mengajak kepada kehancuran apabila tidak diarahkan. Oleh sebab itu , kajian di sini lebih mengedepankan kajian nafsu yang mengarah kepada hal hal menjauhkan kita kepada Allah. 

Sumber nafsu itu sendiri adalah Ananiyah. selebihnya merupakan perinciannya dalam bentuk jenis dan namanya. 

Ada Nafsu Bahimiyah, yang sifatnya menyerupai binatang. prilakunya juga seperti binatang. hidup hanya makan, tidur, sex. 

Nafsu Sabu'iyah, yang sifatnya Ganas, mencengkeram, menghancurkan, membunuh, juga mirip binatang buas, hidup hanya makan, tidur, sex, dan bersifat menghancurkan lawan. 

Nafsu Syaithoniyah, yang sifat dan prilakunya melawan aturan, melawan hukum sosial, hukum agama, hukum negara, pokoknya bersifat kontrdictive dan berusaha membelokkan linnya. 

Nafsu Rububiyah, Menyerupai Tuhan, Meniru sifat tuhan, ingin seperti tuhan. Jika tuhan kuasa, kita juga kuasa walau konteknya berbeda. jika tuhan maha mengetahui, kita juga merasa tahu. Jika Tuhan maha berkehendak, maka kita juga merasa punya keinginan. dan seterusnya hingga merasa mampu menolong lainnya. 

Dalam kajian ini cuma Muhasabah, selebihnya kembali kepada kita masing masing. Kita disuruh menghitung perbuatan mana yang masuk kategori Ibadah dan mana yang bukan ibadah. 

Ketika kita menyadari keadaan kita sedang menempati salah satu macam nafsu, atau sedang dikuasai semua jenis nafsu, yang jelas liammarotun Bissu' , nafsu itu menggeret kepada kejahatan. Mungkin menurut kacamata syariat, tampak tidak jahat, nafsu ingin berhasil umpamanya, nafsu ingin hidup mapan misalnya. ini lepas dari Lillah. Sementara perbuatan yang tidak Lillah menurut ajaran Wahidiyah, berarti perbuatan yang menyimpang dari hukum Allah yaitu mengabdi, hanya kepada Allah. Sudah tentu semua yang tidak Lillah, pasti menyimpang. Bukan besar kecilnya penyimpangan, akan tetapi sekecil apapun sebuah penyimpangan, tetap sebuah ketidak tepatan. yang dimurka itu penyimpangannya. bukan bentuk dan jenis penyimpangannya. 

Di lapangan kehidupan diri kita sendiri menyaksikan jutaan penyimpangan tiap hari. Jika tidak berhati hati, kita sendiri akan ikut tergelincir. Apalagi tidak dikaji dan dikoreksi untuk ditobati. mohon ampunan maghfiroh Allah dan Rosulnya. Semakin tidak ditobati maka semakin menumpuk dan menumpuk. Jadi yang pokok dalam segala aktifitas harus Lillah. Sebagaimana sudah sekian kali kita kaji bersama bahwa semua yang tidak Lillah merupakan penyimpangan. Dosa penyimpangan akibat perbuatan Lighirillah. karena selain mengabdi pasti menyimpang dari hukum Allah SWT. menyimpang dari tuntunan Rosulullah SAW.

Semoga muhasabah ini menimbulkan peningkatan yang luar biasa serta istimewa. sebab waktu kita sudah tidak banyak. Tidak akan cukup untuk modal ahirat yang abadan abada selama lamanya. 

Jika kita menyadari akan hal ini tentu tidak akan ada waktu selain mengabdikan diri kepada Allah. Tidak akan ada urusan selain Allah. Tidak ada tuhan selain Allah. tidak ada penghambaan kecuali kepada Allah. 

Kajian ini baru sepotong, yaitu kajian syariat, kajian lahir, aktifitas lahir. Ibadah jasmani. ibadah yang sebenarnya masih jauh dari yang sebenarnya. Masih belum menyentuh ranah hakikat. sebab Perbuatan Lillah itu berkenaan dengan syariat lahiriyah. Baru jenis dorongan batin yang dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan jasmani. masih belum masuk ranah Rohani, yang mana ranah rohani adalah ranah Billah. ranah langit istilahnya. sedangkan ibadah lahir atau jasmani itu masih ranah bumi.

Semoga kajian ini menjadi sebab ditingkatkannya nilai pengabdian kita kepada Allah dan Rosulnya. Dengan niat murni menghambakan diri tanpa pamrih imbalan apapun semua akan menjadi ibadah. 

Wabillahi taufiq wal hidayah
Wassalamu'aaikum wr wb.

Selasa, 21 Oktober 2014

KITAB AL MINAH AL SANIYAH (MENJADI KEKASIH ALLAH) FASAL 17 : ATURAN BERDZIKIR



Oleh Syeikh Abdul Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)


Orang yang melakukan dzikir harus mematuhi aturan-aturan yang ditentukan. Pertama, tidak boleh syirik dalam dzikir. Para ulama menyatakan, seseorang yang melakukan dzikir dengan masih mengandung unsur-unsur syirik, misalnya masih ada niat-niat lain selain untuk Allah, maka itu akan memutuskan hubungannya kepada Allah dan menghalangi terbukanya hijab hati; sesuai dengan besar kecilnya syirik yang dikandungnya.

Karena itu, setiap guru thoriqot harus memerintahkan para muridnya untuk bersungguh-sungguh dan benar dalam melakukan dzikir. Berdzikir dengan lisan (bukan hanya --dalam-- hati). Setelah mantap, kemudian melakukan dzikir dengan lisan dan hati secara bersama-sama.

Hal ini harus terus menerus dilakukan sampai seseorang mencapai tingkatan tertentu, dan seluruh anggota badannya dapat merasakan ikut berdzikir. Kedua, mengosongkan perut.  Artinya, orang yang melakukan dzikir, sedikit demi sedikit harus mengurangi makannya. Juga mengurangi perkataan-perkataan yang tidak perlu, mengurangi tidur dan menghindarkan diri dari pergaulan masyarakat yang tidak benar.

Ini penting, dan seseorang yang mematangkan tauhidnya memang harus berbuat demikian. Sebab, tanpa kelakuan itu semua, nur tauhidnya akan redup, kemudian mati. Dan kenyataannya, para guru thoriqot banyak yang tidak mampu membimbing murid-muridnya, ketika  mereka merusak (tidak melakukan sesuai) aturan-aturan tersebut. Ketiga, melakukan dzikir dengan suara keras. Ini untuk orang-orang pemula. Dengan suara keras, maka dorongan-dorongan hati, lamunan-lamunan dan lain-lain akan mudah dihilangkan.

Sebaliknya, bila mereka melakukan dzikir secara pelan, dzikirnya akan mudah hilang, mudah terlena dan tidak boleh khusyuk. Keempat, harus didasarkan pada niat atau kehendak yang kuat.Maksudnya, orang yang melakukan dzikir harus mempunyai niat, kehendak dan harapan yang kuat untuk berhasil dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Para ulama menyatakan, "Seorang murid harus melakukan dzikir dengan didasari hati dan kehendak yang kuat, sehingga tidak ada tempat sedikit pun dalam hati dan bahagian tubuhnya, kecuali semua ikut bergetar; berdzikir kepada Allah". Para ulama menyamakan kuatnya dzikir ini dengan batu. Yaitu, bagaimanapun kuat dan kerasnya batu, ia akan dapat erpecahkan dengan kekuatan. Begitu pula dengan keras dan rusaknya hati; akan lunak dan tertundukkan oleh dzikir, asal dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kemauan yang kuat. Kelima, dilakukan secara bersama-sama (berjamaah). Hal ini dikarenakan,dzikir yang dilakukan secara berjamaah lebih kuat pengaruhnya, dan lebih cepat membuka hijab.

Al-Ghozali, pengarang kitab Ihya Ulumiddin, juga menyatakan hal itu. Iamenyamakan dzikir yang dilakukan secara berjamaah dengan adzan yang disampaikan secara bersama-sama. Yaitu, bahwa adzan yang dilakukan secara bebarengan (jamaah) adalah lebih kuat, lebih keras dan lebih jauh jangkauannya. Adapun soal tempat melakukan dzikir, para ulama menyatakan, bahwa yang terbaik adalah di masjid, di mushalla, atau ditempat-tempat lain yang biasa digunakan untuk dzikir

Mana yang lebih baik, dzikir dengan lafat "Lailaha illallah"saja, atau dengan lafat "Lailaha illallah Muhammad Rasulullah?". Yang lebih baik, bagi pemula, adalah cukup lafat "Lailaha Ilallah"; tanpa ada kata tambahan. Bila sudah mapan dan bagus, terserah.Keenam, dilakukan dengan penuh kesopanan dan takdzim. Yaitu, bahwa seseorang yang akan melakukan dzikir harus menghadirkan Keagungan Ilahy terlebih dahulu dalam hatinya.

Mengonsentrasikan diri dan hatinya untuk menghadap Hadlirat Ilahy

Abu Bakar Al-Kannani menyatakan, di antara salah satu syarat dzikira dalah bahwa orang yang melaksanakannya harus menghadirkan keagungan Ilahy dalam hatinya. Menyiapkan dan memantapkan hati dalam menghadap Hadlirat Ilahy. Tanpa itu, ia tidak akan dapat mencapai kedudukan-kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan. Salah satu adab dan kesopanan dalam berdzikir adalah bahwa seseorang yang melakukan dzikir harus terlebih dahulu; (1) Bertaubat, membaca istighfar. Minta ampun atas segala dosa dan kekurangan yang pernah dilakukan. (2)Memperbanyak syukur dengan membaca al-Hamdulillah. Mengagungkan Tuhan. (3) Tidak langsung minum begitu selesai dzikir. (4) Tidak menyibukkan diri dalam urusan-urusan keduniaan, kecuali pada hal-hal yang boleh membantumemperlancar perjalanannya menuju Tuhan.