Selasa, 21 Oktober 2014

KITAB AL MINAH AL SANIYAH (MENAJDI KEKASIH ALLAH) FASAL 9 : MELAKUKAN UZLAH



Oleh Syeikh Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)


Pernah ditanyakan kepada Rasul, "Siapa manusia yang paling utama". "Mereka adalah orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya",  jawab Rasul. "Kemudian siapa?". "Laki-laki yang menyendiri dalam lereng-lereng gunung untuk beribadah kepada Allah" (HR. Bukhori Muslim).

Uzlah adalah menyendiri dan menjauhi keramaian masyarakat. Tujuannya, agar tidak terpengaruh akan segala dampak buruk dari bergaulan. Model uzlahseperti ini mengandung banyak kebaikan  dunia maupun akherat.

As-Sirry menyatakan, siapa yang ingin selamat agamanya, ringan bebannya dan sedikit susahnya, hendaknya menghindarkan diri dari pengaruh jahat manusia (uzlah).

Pernyataan itu dikuatkan oleh sebuah hadits;
"Akan datang suatu masa di mana seseorang sulit melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, kecuali dengan lari ke desa-desa, ke gunung-gunung atau ke gua-gua seperti musang yang menggali tanah" (Hadist).

Kenyataannya, pergaulan memang banyak mendatangkan dampak negatif, selain yang baik. Belum pernah terjadi suatu peperangan, fitnah dan malapeta kecuali timbul karena salah  pergaulan. Karena itu, untuk pertama kalinya, seorang murid harus melakukan uzlah untuk kemudian berkholwat. Akan tetapi, hal itu bukan berarti seseorang yang melakukan uzlah mesti memutuskan hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan.

Muhammad ibn Al-Munir menyatakan, tidak benar orang yang melakukan uzlah kemudian memutuskan hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan.

Sebaliknya, justru dengan uzlah seseorang harus semakin merapatkan barisan dan semakin mempererat hubungan sesama muslim. Sebab, terjadinya hubungan sesama manusia, pada dasarnya adalah lebih disebabkan karena adanya persamaan nilai,perasaan dan tujuan.

Dikatakan dalam sebuah hadits,
"Ruh manusia dalam alam ruh-- terdiri atas banyak golongan. Bila telah saling  mengenal, maka di dunia akan hidup rukun. Bila bertentangan, akan timbul perselisihan" (Al-Hadits).

Namun demikian, persoalan uzlah ini perlu dilihat dalam konteks yang lebih maslahah. Maksudnya, uzlah bukan berarti mesti lebih baik dari bercampur dengan masyarakat; begitu juga sebaliknya.

Hanya saja, pada akhir kehidupannya,seorang yang arif  hendaknya melakukan uzlah sebagaimana yang dilakukan Rasul setelah turun surat An-Nashr, agar ia lebih bdapat tenang dan khusyuk dalam melakukan pendekatan kepada Allah

KITAB AL MINAH AL SANIYAH (MENJADI KEKASIH ALLAH ) FASAL 8 : MENUNDUKKAN NAFSU



Oleh Syeikh Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)
 
Nafsu adalah bahagian dari jiwa manusia yang selalu mengajak kepada kejahatan dan penyelewengan. Untuk dapat mencapai Hadlirat Ilahy yang suci,seseorang harus mampu menundukkan dorongan-dorongan nafsu ini).

Sahal At-Tastary berkata;
"Sejelek-jelek maksiat adalah menurutkan bisikan nafsu. Banyak manusia yang tidak menyadari akan hal ini. Bila seorang murid mampu menjaga dirinya dari gejolak nafsu dan melakukan dzikir, hatinya menjadi bersinar dan terjaga. Setan lari menjauh, sehingga gejolak perasaannya menjadi ringan. Saat itu, ia menjadi mudah untuk menundukkannya".

Untuk menundukkan nafsu, caranya dengan mengurangi makan; sedikit demi sedikit. Berpuasa dan menahan lapar).

Ini penting, sebab gejolak nafsu memang tidak bisa ditundukkan selain dengan lapar. Dengan mengurangi makan, maka daya tenaga nafsu menjadi lemah sehingga akhirnya mudah ditundukkan.

Dalam kitabnya "Futuhat Al-Makkiyah", Muhyiddin ibn Arabi menceritakan bahwa ketika pertama kali menciptakan nafsu, Tuhan bertanya,"Siapa Aku?". Nafsu membangkang dan balik bertanya, "Siapa pula aku ini".Tuhan murka, kemudian memasukkan nafsu dalam lautan lapar sampai 1000 (seribu) tahun. Kemudian dientas dan ditanya lagi, "Siapa Aku". Setelah dihajar dengan lapar barulah nafsu mengakui siapa dirinya dan Tuhannya. "Engkau adalahTuhanku Yang Maha Agung, dan aku hamba-Mu yang lemah".

Sejalan dengan itu, Abu Sulaiman Ad-Daroni juga berkata, "Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akherat adalah lapar". Maksudnya, Allah memberikan ilmu dan hikmah pada orang-orang yang lapar (puasa) dan menjadikan kebodohan dan tindak kemaksiatan pada mereka yang kenyang. Makan kenyang dan nafsu adalah dua komponen yang saling mendukung.

Yahya ibn Muadz Ar-Rozi menyatakan, kenyang ibarat api sedang nafsu ibarat kayu kering. Kayu nafsu yang membara karena tenaga makanan tidak akan mati sampai membakar habis orang bersangkutan.

Karena itu, Sahl ibn Abdullah menyatakan, siapa yang makan lebih dari dua kali sehari, maka hendaknya ia bersiap menjadi kuda --liar.Untuk menundukkan dorongan-dorongan nafsu, selain dengan lapar, juga dengan bangun --sholat-- malam (mengurangi tidur) dan melakukan amalan-amalan yang berat.

Nafsu dapat  diibaratkan sebagai anak sapi yang nakal. Untuk menundukkannya, anak sapi perlu dilaparkan, dibutakan kedua matanya dan diputar-putar pada gilingan kosong sambil dipukuli. Setelah sekian lama, ia akanmenjadi tunduk dan penurut. Saat itu, barulah dilepaskan penutup kedua matanya.

Begitu pula, untuk menundukan nafsu, seseorang harus sedapat mungkin mengurangi tidurnya. Tidur adalah ibarat mati. Waktu tidur, seseorang tidak dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat, baik untuk kepentingan dunia maupun akherat. Memilih tidur daripada bangun untuk sholat malam, berarti sama dengan menurutkan hawa nafsu.

Juga merupakan petunjuk bahwa dalam diri seseorang belum ada rasa cinta kepada Allah. Sebaliknya, dengan bangun sholat malam, akan menghancurkan dan melepaskan manusia dari empat unsur kejadiannya; air, tanah, udara dan api.

Selanjutnya, mereka akan mampu naik keatas dan melihat alam malakut; alam"atas" yang tidak boleh dilihat dengan mata biasa.

Sedemikian, sehingga ia akan semakin berghairah dalam mencari keridhaan Allah.

Abu Hasan Al-Azzaz menyatakan, persoalan ini manusia mampu mencapai alam malakut  dibangun atas tiga hal; tidak makan sampai merasa lapar, tidak tidur sampai sangat mengantuk dan tidak berbicara bila tidak perlu.

Karena itu, sebagaimana dikatakan Ibn Al-Hawari, seorang yang ingin masuk Hadlirat Ilahy tetapi tidak meninggalkan tiga masalah; pengaruh harta, makan dan tidur, maka itu berarti omong kosong.




KITAB AL MINAH AL SANIYAH FASAL 7: TIDAK CURANG DALAM PEKERJAAN



Oleh Syeikh Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)


Menipu atau berlaku curang dalam pekerjaan adalah perbuatan yang sangat dicela oleh agama. Diriwayatkan, suatu ketika Rasul pergi ke pasar dan dijumpainya di sana setumpuk makanan. Rasul memasukkan tangannya dalam makanan tersebut, dan ternyata di dalamnya basah. "Mengapa ini?", tanya Rasul kepada si penjual. "Wahai Rasul, makanan itu tadi terkena hujan", jawab sipemilik makanan. "Mengapa makanan yang basah tidak kamu taruh diatas sehingga orang-orang d tapat tahu".

Rasulullah selanjutnya bersabda, "Siapa yang menipu (berlaku curang), bukan termasuk golonganku".

Setiap manusia, pada dasarnya, sadar akan apa yang ia lakukan; apakah dia telah berlaku jujur atau curang.

Allah menjadikan manusia terpercaya atas dirinya sendiri. Bila menipu, berarti menghianati agamanya, dirinya sendiri dan masyarakatnya.Para ulama menyatakan, siapa yang berlaku baik dalam pekerjaannya, Allah berikan berkah dalam usahanya.

Sedemikian, sehingga tanpa disadari, ia menjadi orang yang berkecukupan. Sebaliknya, siapa yang menipu, niscaya terbuka kejelekannya. Ia segera menjadi buah bibir masyarakat. Sesungguhnya,Allah menjadikan kemiskinan dalam penipuan dan menjadikan berkah dalam ketelitian dan kejujuran.

Sejak awal, para guru pembimbing thoriqot senantiasa menekankan agar para murid berlaku jujur dalam pekerjaannya. Bahkan, para guru dari kalanganSyadziliyah sangat menekankan soal pekerjaan ini. Abu Hasan As-Syadzili, tokoh dan pemimpin thoriqot Syadzili mengatakan,
"Siapa yang bekerja keras dan tetap teguh dalam menjalankan perintah Allah, ia berarti telah sempurna mujahadahnya".

Sedang Abu Al-Abbas Al-Mursi berkata;
"Bekerjalah. Jadikan alat tenunmu sebagai tasbih. Jadikan kapakmu sebagai tasbih. Jadikan jahitmu sebagai tasbih dan jadikan pula perjalananmu sebagai tasbih".

(Bekerja adalah sesuatu yang wajib) sebagaimana sholat, puasa, haji dan lain sebagainya. Ia termasuk bahagian dan pendukung kekuatan iman. Laki-laki yang tidak bekerja adalah sama seperti perempuan.

Rasul sendiri membawa risalah bukan dengan memerintahkan para shahabat meninggalkan pekerjaannya.Sebaliknya, Rasul tetap memerintahkan mereka aktif pada apa yang telah dilakukan. Rasul hanya memerintahkan mereka berbuat baik dan jujur dalam pekerjaannya.Karena itu, untuk menempuh jalan menuju Tuhan, guru pembimbing yangsempurna adalah guru yang tetap menganjurkan para muridnya bekerja. Bukan guru yang melarang muridnya bekerja untuk kemudian membimbing mereka menuju Tuhan.

Sesungguhnya, pekerjaan yang diperbolehkan agama tidak akan menghalangi seseorang untuk masuk dalam Hadlirat Ilahy. Berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilarang.

Bekerja sangat penting untuk menjaga keimanan, kehormatan dan kemandirian. Sedemikian, sehingga orang mukmin yang bekerja adalah lebih baik daripada guru thoriqot yang tidak mempunyai pekerjaan, yang makanannya hanya mengharap dari pemberian sedekah dan penyaluran zakat masyarakat.

Orang yang bekerja mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding mereka yang tidak bekerja. Pertama, ia makan dari hasil usahanya sendiri secara halal dan suci, bukan dari sedekah atau zakat yang semua itu pada hakekatnya adalah harta kotor. Kedua, ia terhindar dari anggapan bahwa dirinya adalah orang yang berilmu, sehingga tidak akan muncul sikap sombong dan menganggap remeh orang lain. Ketiga, orang yang bekerja akan terselamatkan dari ketidakjelasan tentang sifat Allah, Rasul dan hukum-hukum-Nya. Keempat, bila terjerumus dalam maksiat, ia akan mudah sadar dan mengerti, dan tidak meremehkan kesalahan dengan jalan bahwa hal itu dapat dihapuskan dengan istighfar.

Demikianlah diantara kelebihan-kelebihan orang yang bekerja. Bahkan,Ali Al-Khowash pernah menyatakan, orang yang makan dari hasil usahanya sendiri, walau dari pekerjaan yang makruh, adalah masih lebih baik daripada seorang ahli ibadah yang makan dengan mengharap pemberian dari orang lain. Akan tetapi, perlu diingat, sebuah pekerjaan yang dilakukan untuk menumpuk-numpuk harta dan demi kesombongan juga sangat dicela.Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
"Siapa yang mencari harta secara halal, dengan maksud menumpuk-numpuknyadan untuk kesombongan, Tuhan akan menemuinya di akherat kelak dengan kemurkaan- Nya" (Hadits).
Imam Syafii menyatakan, mencari kelebihan dari perkara halal adalahsiksaan sebagaimana yang pernah diberikan Tuhan kepada para ahli tauhid.

KITAB AL MINAH AL SANIYAH FASAL 6 : MENJAGA RASA MALU



Oleh Syeikh Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)


Wacana Rasa malu yang dimaksud di sini adalah malu yang muncul karena sifat sombong).  Misalnya, seseorang malu ikut jamaah dengan masyarakat awam,karena marasa bahwa dirinya seorang pembesar. Untuk menggapai Tuhan, sifat malu yang tidak benar seperti ini harus dibuang.

Dalam syairnya, Umar ibn Farid menyatakan,
"Peganglah ujung cinta Allah Buanglah rasa malu Lepaskan untuk menuju jalan Tuhan Walau tinggi kedudukannya"
                          
Untuk menghilangkan rasa malu tersebut, Syeh Muhammad memerintahkan para muridnya untuk berdzikir keras-keras di pasar, jalan-jalan dan tempat-tempat kosong. "Dzikirlah di tempat-tempat itu dengan keras sehingga kelak akan menjadi saksi untukmu. Teroboslah rahasia nafsu dan hancurlah rasa malu. Tanpa boleh menundukkan nafsu dan kesombongan, kamu tidak akan pernah sampai pada Hadlirat Ilahi


Rabu, 15 Oktober 2014

RAHSIA AL QURAN 22 : ALLAH MENJADIKAN AGAMANYA TINGGI JIKA ORANG-ORANG HANYA MENYEMBAH DIA SAJA

Salah satu tujuan terpenting bagi seorang Muslim dalam hidup ini adalah mendakwahkan ajaran-ajaran al-Qur’an ke seluruh dunia, sehingga orang-orang dapat menyembah Allah sebagaimana yang seharusnya. Dalam al-Qur’an, Allah telah menunjukkan kepada orang-orang beriman jalan untuk mencapai tujuan ini, dan Dia memerintahkan sebagai berikut:

 “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mere¬ka berkuasa, dan sungguh Dia akan mene¬guh¬kan bagi mereka agama mereka yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mere¬ka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap me¬nyem-bah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang¬siapa yang kafir sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.s. an-Nur: 55). 

Berdasarkan rahasia Allah yang diungkap¬kan kepada orang-orang beriman, Allah akan meneguhkan nilai-nilai al-Qur’an di seluruh dunia jika orang-orang beriman dan hanya me-nyem¬bah Allah, tanpa menyekutukan-Nya. Ini merupakan rahasia yang sangat pen¬ting, karena hal ini menunjukkan bahwa sesung¬guhnya merupakan tanggung jawab setiap orang beriman untuk mendakwahkan ajaran al-Qur’an kepada manusia. Dengan demikian setiap orang beriman yang memiliki hati nurani harus menjauhkan diri dengan sung¬guh-sungguh dari menyekutukan Allah dan hanya menyembah-Nya. Dibandingkan hal-hal lainnya, menyekutukan Allah meru¬pa¬kan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah dan orang yang melakukannya akan dimasukkan ke dalam neraka. Bagaimanapun, tampaknya sebagian besar manusia terlibat dalam ajaran-ajaran orang musyrik yang me¬nyembah ber¬hala. Manusia harus waspada terhadap “kemusyrikan yang tersembunyi”. Dalam bentuk kemusyrikan seperti ini, orang tersebut menyatakan beriman kepada Allah, mengakui Allah itu satu, Allah Yang Menciptakan, dan Yang wajib ditaati. Tetapi, ia juga takut kepada makhluk selain Allah, menganggap persetujuan dan dukungan orang lain lebih penting, menganggap bahwa perdagangan, keluarga, dan anak cucu lebih penting dari¬pada Allah dan berjuang di jalan-Nya, sesungguhnya semua ini merupakan bentuk kemusyrikan yang nyata.

Keimanan yang benar sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an adalah memandang bahwa keridhaan Allah adalah di atas segala-galanya. Mencintai makhluk lain selain Allah hanyalah sebagai asbab untuk mencari keridhaan-Nya. Orang-orang yang merasa berutang budi kepada manusia yang telah memberi sesuatu kepada mereka, yang memandang manusia sebagai pelindungnya, sesungguhnya mereka adalah orang-orang musyrik. Hal ini karena Yang memberi rezeki hanyalah Allah, Yang mem¬beri makan, menolong, dan melindungi setiap makhluk hidup dan menyembuhkan orang yang sakit, hanyalah Allah.

Jika Allah meng¬hendaki, Dia dapat menyembuhkan orang yang sakit melalui tangan seorang dokter. Dalam hal ini, sungguh tidak masuk akal jika seseorang menumpukan harapannya hanya pada dokter. Karena, tak seorang dokter pun yang dapat menyembuhkan pasiennya kecuali jika Allah menghendaki. Seseorang yang melihat kesehatannya membaik harus meli¬hat, bahwa dokter itu sebagai orang yang dipakai tangan¬nya oleh Allah untuk menyem¬buhkannya, sehingga ia akan menghormati dokter itu dengan semesti¬nya. Namun, karena ia menge¬tahui bahwa se¬sung¬guhnya yang menyem-buhkan adalah Allah, maka hanya kepada Allah saja ia harus bersyukur. Jika tidak demi¬kian, berarti ia telah menyeku¬tu¬kan Allah dan menganggap sama sifat Allah dengan sifat manusia. Semua Muslim harus menjauhi dengan sungguh-sung¬guh syirik yang tersem¬bunyi ini, dan jangan sampai menjadikan penolong dan pelindung selain Allah.