Jumat, 03 Oktober 2014

KITAB QAMI’ ATH-THUGHYAN SIRI 13 : BERPEGANG TEGUH PADA JAMAAH, HUKUMAN YANG ADIL, AMAR MAARUF , SALING MEMBANTU



KARYA SYAIKH NAWAWI AL BANTANI
 
Cabang iman Yang Ke-50 s/d 53 (Berpegang teguh pada apa saja yang disepakati jamaah, Menetapkan hukum dengan adil, Amar makruf nahi mungkar, Saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan)
 ------------------------------------------
Cabang iman Yang Ke-50 s/d 53 disebutkan dalam dua bait syair:


اَمْسِكْ حَبِيْبِى مَا عَلَيْهِ جَمَاعَةٌ * وَاحْكُمْ بِعَدْلٍ وَانْهَ مَاهُوَ مَأْثَمُ
وَأْمُرْ بِمَعْرُوْفٍ وَاَنْتَ اَعِنْهُمُ * جِدًّا عَلَى بِرٍّ وَتَقْوَى تُـكْرَمُ

Pegang teguh wahai kasihku, apa yang ada pada jamaah; hukumilah dengan adil dan cegahlah segala yang dosa. Perintahkan `pa yang telah diketahui kebaikannya, bantulah manusia dengan sungguh-sungguh terhadap kebajikan dan ketakwaan, maka engkau akan dimuliakan.
================================

Berpegang teguh pada apa saja yang disepakati jama'ah

Jamaah di sini maksudnya adalah orang muslim. Meskipun hanya satu orang muslim boleh dikatakan jamaah sebagaimana keterangan Syaikhuna Ahmad an-Nahrawi.
Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 103:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا ... الآية
Berpegang teguhlah kamu sekalian pada agama Allah semuanya saja dan janganlah kamu bercerai-berai ...

Rasulullah saw bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ اِلاَّ بِاِحْدَى مِنْ ثَلاَثٍ : اَلثَِّيِّبُ الزَّانِى وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidak halal darah seseorang muslim, kecuali salah satu dari tiga sebab: tsayyib yang berzina, orang yang membunuh orang lain, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jamaahnya.

Pengertian dari hadits di atas adalah bahwa tidak boleh membunuh seseorang muslim dengan sengaja, kecuali salah satu dari tiga hal:
1.      Tsayyib yang berzina. Tsayyib ialah orang merdeka (bukan budak belian) yang sudah baligh lagi berakal yang pernah melakukan jimak atau bersetubuh dalam hubungan pernikahan yang sah. Tsayyib yang berbuat zina wajib dirajam dengan lemparan batu sampai mati.
2.      Orang yang membunuh orang lain harus dibunuh berdasarkan hukum qishash, sebab pembunuhan yang dilakukan karena permusuhan dengan syarat-syarat yang telah disebutkan dalam kitab fikih.
3.      Orang yang meninggalkan agama Islam dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin, yaitu berbuat murtad, seperti memaki nabi, malaikat, atau Allah.
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengada-ada dalam agama kami ini sesuatu hal yang tidak ada dasar darinya, maka hal tersebut ditolak.
Artinya, Barangsiapa membawa sesuatu yang baru dalam agama Islam yang agung derajatnya dan tidak ada dasarnya dalam agama, maka hal baru tersebut adalah batal. 

Menetapkan hukum dengan adil

Dalam surat Shadayat 22 Allah swt berfirman:
... فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلاَ تُشْطِطْ ... الآية
... maka berilah putusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang ...

Dalam surat al-Maidah ayat 45 Allah swt berfirman:
... وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاُولئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
... Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang dhalim.

Rasulullah saw bersabda:
مَنْ حَكَمَ بَيْنَ اثْنَيْنِ تَحَاكَمَا اِلَيْهِ وَارْتَضَيَاهُ ، فَلَمْ يَقْضِ بَيْنَهُمَا بِالْحَقِّ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
Barangsiapa yang menghakimi dua orang yang berhukum kepadanya dan rela akan putusan hukumnya, kemudian ia tidak memutuskan hukum antara keduanya dengan hukum yang haq (adil), maka atasnya laknat Allah.
 
Amar makruf nahi mungkar (menyuruh perkara yang sudah diketahui kebaikannnya dan melarang perkara yang ditentang oleh akal pikiran yang sehat)

Dalam surat Ali Imran ayat 104 Allah swt berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ اَمَّةٌ يَدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ، وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; maka merekalah orang-orang yang beruntung.

Syeikh Muhyiddin an-Nawawi berkata mengenai firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 105 yang berbunyi:
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْاعَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَا اهْتَدَيْتُمْ.. الآية
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi madlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk ...

Bahwa sesungguhnya ayat ini termasuk ayat yang membuat banyak orang bodoh tertipu dalam memahaminya. Mereka mengartikan ayat ini kepada selain yang dimaksudkan. Pengertian ayat ini yang benar adalah: "sesungguhnya kamu sekalian apabila telah melakukan sesuatu yang diperintahkan niscaya perbuatan sesat dari orang yang sesat tidak dapat membahayakan kamu." Di antara sejumlah hal yang diperintahkan adalah menyuruh kepada perbuatan yang sudah diketahui kebaikannya oleh akal pikiran yang sehat, dan melarang dari perkara yang mungkar.
Ayat di atas adalah satu martabat dengan firman Allah swt dalam surat al-Maidah ayat 99:
مَا عَلَى الرَّسُوْلِ اِلاَّ الْبَلاَغُ ...
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan ...

Muhammad bin Tamam berkata bahwa nasihat adalah pasukan tentara Allah. Perumpamaannya adalah seperti tanah liat yang dilemparkan pada tembok. Jika tembok tersebut dapat menahan tanah liat, maka bermanfaat; dan jika tanah liat tersebut jatuh, maka sudah membekas.
Sulaiman al-Khawwash menyatakan bahwa Barangsiapa yang memberi nasihat kepada saudaranya dengan empat mata, maka ia telah memberi nasihat. Jika ia memberi nasihat di muka umum, maka ia telah mencelanya. 

Saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan

Dalam surat al-Maidah ayat 2 Allah swt berfirman:
... وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى ... الآية
... dan tolong menolonglah kamu sekalian dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan ....

Rasulullah saw bersabda:
مَنْ مَشَى فِىْ عَوْنِ اَخِيْهِ وَمَنْفَعَتِهِ فَلَهُ ثَوَابُ الْمُجَاهِدِيْنَ فِى سَبِيْلِ اللهِ
Barangsiapa yang berjalan dalam usaha membantu saudaranya atau memberi manfaat kepadanya, maka baginya pahala orang-orang yang berjuang membela agama Allah.

Hadits riwayat Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ اَغَاثَ مَلْهُوْفًا كَتَبَ اللهُ لَهُ ثَلاَثًا وَسَبْعِيْنَ حَسَنَةً ، وَاحِدَةٌ مِنْهَا يَصْلُحُ بِهَا آخِرَتُهُ وَدُنْيَاهُ ، وَالْبَاقِى فِى الدَّرَجَاتِ
Barangsiapa yang memberi pertolongan kepada orang yang dianiaya, maka Allah mencatat baginya 73 (tujuh puluh tiga) kebaikan. Salah satu dari 73 kebaikan tersebut adalah urusan akhirat dan dunianya menjadi baik. Sedangkan sisanya adalah untuk meningkatkan derajatnya.

Rasulullah saw bersabda:
مَنْ قَضَى حَاجَةً لاَخِيْهِ فَكَاَنَّمَا خَدَمَ اللهَ عُمْرَهُ
Barangsiapa yang memenuhi hajat saudaranya, maka seolah-olah dia telah melayani Allah sepanjang umurnya.

Rasulullah saw bersabda:
مَنْ اَقَرَّ عَيْنَ مُؤْمِنٍ اَقَرَّ اللهُ عَيْنَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang menyenangkan hati seseorang mukmin, niscaya Allah akan menyenangkan hatinya pada hari kiamat.

Rasulullah saw bersabda:
مَنْ مَشَى فِىْ حَاجَةِ اَخِيْهِ سَاعَةً مِنْ لَيْلٍ اَوْ نَهَارٍ قَضَاهَا اَوْ لَمْ يَقْضِهَا كَانَ خَيْرًا لَهُ مِنْ اعْتِكَافِ شَهْرَيْنِ
Barangsiapa yang berjalan memenuhi hajat saudaranya dalam waktu satu jam pada siang atau malam hari, baik hajat tersebut terpenuhi atau tidak, niscaya pahalanya lebih baik baginya dari pada pahala iktikaf dua bulan.

Rasulullah saw bersabda:
مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُؤْمِنٍ مَغْمُوْمٍ اَوْ اَعَانَ مَظْلُوْمًا غَفَرَ اللهُ لَهُ ثَلاَثًا وَسَبْعِيْنَ مَغْفِرَةً
Barangsiapa yang memberikan jalan keluar dari seseorang mukmin yang susah atau membantu seseorang yang dianiaya, niscaya Allah akan memberikan ampunan baginya sebanyak 73 (tujuh puluh tiga) ampunan.

Rasulullah saw bersabda:
اِنَّ مِنْ اَحَبِّ الاَعْمَالِ اِلَى اللهِ اِدْخَالُ السُّرُوْرِ عَلَى قَلْبِ الْمُؤْمِنِ وَاَنْ يُفَرِّجَ عَنْهُ غَمًّا اَوْ يَقْضِيَ عَنْهُ دَيْنًا اَوْ يُطْعِمُهُ مِنْ جُوْعٍ
Sesungguhnya di antara amal yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat kesenangan hati orang mukmin, memberikan jalan keluar satu kesusahan darinya, membayarkan hutangnya, atau memberi makan ketika lapar.

Sabda Rasulullah saw riwayat Ali bin Abi Thalib ra:
اِذَا اَرَادَ اَحَدُكُمُ الْحَاجَةَ فَلْيُبَكِّرْ لَهَا يَوْمَ الْخَمِيْسِ وَلْيَقْرَأْ اِذَا خَرَجَ مِنْ مَنْزِلَةٍ آخِرَ آلِ عِمْرَانَ وَآيَةَ الْكُرْسِيِّ وَاِنَّا اَنْزَلْنَاهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَاُمَّ الْكِتَابِ فَاِنَّ فِيْهَا حَوَائِجَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
/Apabila salah seorang dari kamu menginginkan sesuatu hajat, hendaklah berangkat pagi-pagi untuk memenuhi hajat tersebut pada hari Kamis. Apabila ia keluar dari rumah, hendaklah membaca akhir dari surat Ali Imran, ayat Kursi, Inna anzalnahu fi laylatil qadri, dan Fatihah, karena Sesungguhnya pada-ayat tersebut terdapat hajat-hajat dunia dan akhirat

KITAB QAMI’ ATH-THUGHYAN SIRI 12 : MENYEMBELIH BINATANG, AQIQAH, HADIAH DAN TAAT PADA ULIL AMRI



KARYA SYAIKH NAWAWI AL BANTANI
 
Cabang iman Yang Ke-48 s/d 49 (Menyembelih binatang kurban, aqiqah, dan hadiah, Taat kepada ulil amri (penguasa) jika perintahnya sesuai dengan kaidah syariat Islam; dan mentaati larangannya selama tidak bertentangan dengan kaidah syariat Islam)
================================
Cabang iman Yang Ke-48 s/d 49 disebutkan dalam bait syair:
وَائْتِ الضَّحِيَّةَ وَالْعَقِيْقَةَ وَاهْدِيَنْ*وَاُولِى الاُمُوْرِاَطِعْهُمُ لاَتَجْرِمُ

Bagikanlah binatang kurban, aqiqah dan hendaklah engkau sungguh-sungguh menyembelih binatang hadiah(Al-Hadyu); taatilah penguasa dan janganlah kamu durhaka.

Menyembelih binatang kurban, aqiqah, dan hadiah(Al-Hadyu)
Kurban ialah menyembelih unta, sapi, atau kambing karena mendekatkan diri kepada Allah swt Waktu menyembelih binatang kurban adalah sesudah matahari terbit pada hari nahar, tanggal 10 Dzul Hijjah dan telah berlalu waktu sekedar cukup untuk melakukan salat Idul Adlha dan dua khutbah. Ini adalah pendapat Imam as-Syafii. Waktu terakhir untuk menyembelih binatang kurban adalah sebelum matahari terbenam tanggal 13 Dzul Hijjah. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa waktu terakhir untuk menyembelih binatang kurban adalah sebelum matahari terbenam tanggal 12 Dzul Hijjah. 

Daging binatang kurban yang sunnah, bukan kurban yang dinadzarkan, wajib dibagikan kepada fakir miskin; sedang orang yang menyembelih binatang kurban disunnatkan untuk tidak ikut memakan dagingnya lebih dari sepertiga. Daging binatang kurban itu disyaratkan untuk dibagikan dalam keadaan mentah, agar orang yang menerima dapat mempergunakannya sesuka hatinya, dijual, atau lainnya. Daging dari binatang kurban tidak sah dibagikan dalam keadaan masak kepada fakir miskin yang diundang makan ke rumah orang yang menyembelihnya. Adapun kurban yang dinadzarkan tidak boleh dimakan sama sekali oleh orang yang berkurban meskipun sedikit. Seluruhnya wajib disedekahkan, termasuk kulit dan tanduknya. 

Aqiqah ialah hewan yang disembelih untuk anak yang baru lahir. Waktu terbaik aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran anak. Penyembelihannya disunnatkan setelah terbit matahari. Aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor. Aqiqah disunnatkan untuk dihadiahkan kepada fakir miskin dalam keadaan dimasak terlebih dahulu dengan masakan yang manis dan berkuah serta diantarkan ke rumah-rumah mereka, artinya tidak mengundang fakir miskin untuk memakannya di rumah orang yang menyembelih aqiqah; kecuali kakinya, boleh diberikan dalam keadaan mentah kepada orang yang mau menerimanya. 

Hadiah(Al-Hadyu) ialah hewan yang disembelih di dekat masjid al-Haram di Makkah oleh orang yang melakukan haji Tamattu' Dan Qiron guna mendekatkan diri kepada Allah swt Waktu penyembelihan seperti waktu menyembelih hewan kurban.Sedangkan Untuk orang yang melakukan hajiIfrod, Tidak ada kewajiban menyembelih Al-Hadyu.
Taat kepada ulil amri (penguasa) jika perintahnya sesuai dengan kaidah syariat Islam; dan mentaati larangannya selama tidak bertentangan dengan kaidah syariat Islam
Taat kepada ulil amri wajib bagi semua rakyat secara lahir dan batin, berdasarkan firman Allah swt dalam surat an-Nisa ayat 59:
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَاَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ... الآية
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah dan taatlah kamu sekalian kepada Rasul dan orang-orang yang ulil amri di antara kamu ...
Ulil amri adalah para ulama dan pemegang kekuasaan dalam pemerintahan. Hadits Nabi Muhammad saw:
مَنْ اَطَاعَ اَمِيْرِى فَقَدْ اَطَاعَنِى وَمَنْ عَصَى اَمِيْرِى فَقَدْ عَصَانِى
Barangsiapa yang taat kepada amir saya, maka ia telah mentaati saya. Dan barang-siapa yang mendurhakai amir saya, maka ia telah mendurhakai saya.
Taat kepada ulil amri tidak berlaku untuk hal-hal yang haram dan makruh. Adapun taat mengenai hal-hal yang mubah (diperbolehkan agama) jika mengandung kemaslahatan bagi orang muslim, wajib ditaati. Jika tidak mengandung kemaslahatan bagi orang muslim, maka tidak wajib mentaatinya. Jika pemerintah mengundangkan mengenai larangan merokok, misalnya, maka wajib ditaati seluruh rakyatnya karena menghentikan merokok membawa kemaslahatan bagi umum dan terus menerus merokok adalah perbuatan yang hina menurut pandangan masyarakat dan manusia. Demikian pendapat Imam al-Bajuri.
ayat-ayat tersebut terdapat pemenuhan hajat dunia dan akhirat.


SYARAH KITAB AL-HIKAM ATHAILLAH USTAZ QUTUB KE 29 : Perbedaan pandang orang sudah wushul dengan orang salik

SYARAH USTAZ QUTUB

Menurut Kalam Hikmah ke 29 Imam Ibnu Athaillah Askandary:

"Jauh berbeda orang yang berpendapat (membuat dalil); adanya Allah menunjukkan adanya alam, dengan orang yang berpendapat (membuat dalil);  bahwa adanya alam inilah yang menunjukkan adanya Allah. Orang yang berpendapat adanya Allah menunjukkan adanya alam, yaitu orang yang mengenal hak dan meletakkan pada tempatnya, sehingga menetapkan adanya sesuatu dari asal mulanya. Sedang orang yang berpendapat adanya alam menunjukkan adanya Allah, karena ia tidak sampai kepada Allah. Maka kapnkah Allah itu ghaib sehingga memerlukan dalil untuk mengetahuinya. Dan kapankah Allah itu jauh sehingga adanya alam ini dapat menyampaikan kepadanya."
 


Orang yang wushul ila-llah itu ada dua cara :

1.    Muriiduun / Salikuun yaitu: orang yang mengharapkan bisa wushul kepada Allah.

2.    Muraaduun / Majdzubuun yaitu: orang dikehendaki oleh Allah atau ditarik oleh Allah sehingga dapat wushul kepada Allah.

Golongan pertama (Muriiduun / Salikuun) dalam suluknya masih terhalang dari Allah, karena mata hatinya masih masih melihat selain Allah, Allah masih ghoib dalam mata hatinya, sehingga dia menggunakan makhluk (selain Allah) untuk dalil adanya (wujudnya) Allah. Lisannya berdzikir, diya yaqin kalau yangmenggerakkan lisannya berdzikir itu Allah, tapi dia masih memperhatikan lisan dan dzikirnya, belum memperhatikan Allah yang menggerakkan lisannya.

Golongan kedua (Muraaduun / Majdzubuun) dia langsung ditarik oleh Allah dan dihadapi Allah, sehingga hilanglah semua makhlk selain Allah dalam mata hatinya, semua tidak ada wujudnya, yang wujud hanya Allah. Tapi ketika dia turun kebawah lagi(sadar dengan kehidupan dunia) dia tahu semua makhluk itu wujud karena wujudnya Allah.

SYARAH KITAB AL-HIKAM ATHAILLAH KE 29 : WUSHULNYA ORANG MENJADIKAN ALLAH SEBAGAI PETUNJUK



SYARAH OLEH USTAZ  HJ WAFI

Menurut Kalam Hikmah ke 29 Imam Ibnu Athaillah Askandary

" Jauh berbeda antara orang yang menjadikan dia (Allah) sebagai petunjuk dengan orang yang menjadikannya sebagai yang ditunjukan. Orang yang menjadikannya sebagai petunjuk adalah orang yang mengetahui haq orang yang berhaq dan menetapkan perkara dari pokoknya sedangkan yang menjadikannya sebagai yang ditunjukan itu karena ia belum sampai (wushul) kepadaNya".

Jika tidak demikian maka kapan dia (Allah) ghoib sehingga membutuhkan petunjuk untuk menunjukannya ?. Kapan dia jauh sehingga yang dapat menyampaikan kepadaNya adalah bekas-bekas jejak-jejak sentuhannya?. Mana yang menjadi tanda (petunjuk) akan menjadi tanda adanya cabang ataukah cabang menjadi petunjuk adanya akar ?. Mata air adalah tanda adanya anak sungai ataukah anak sungai sebagai tanda adanya mata air ?

Diantara manusia ada yang mengetahui akar dahulu kemudian akar tersebut menunjukan kepada cabang-cabang dan buah-buah dan ada pula yang mengetahui buah dan cabangnya dahulu kemudian melacak akar yang merupakan pokoknya. Yang menjadi tolak ukur dalam pembagian ini adalah " jelas dan samar ". Yang jelas selalu menunjukan yang tidak tampak atau " samar".

Boleh jadi sebuaah pohon tidak tampak olehmu yang tampak didiepanmu hanya buahnya saja. Dengan demikian buah tersebut yang notabennya sebagai cabang (far'i) dapat menunjukan adanya pohon yang merupakan pokok (asal) dan bisa jadi buahnya tidak tampak dan pohonnya tampak dimata, dengan demikian pohonlah yang menunjukan adanya buah (pokok menunjukan adanya cabang) . Dua kemungkina tersebut berlaku pada seluruh makhluq dan yang tercipta, tetapi apakah berlaku pula pada yang diciptakan dengan menciptakan, pencipta semesta dengan semesta ?

Perhatikan ! ketika kamu berucap : "sang pencipta" maka yang kamu kehendak adalah pencipta segala sesuatu, mencakup aqal yang dapat digunakan untuk mengetahui dan cahaya yang dapat menampakkan sesuatu yang lain. Sang pencipta ini adalah Allah Subhanahu Wata'ala.

Jadi apakah disini ada yang kemungkinan sama ? sebagaimana yang berlaku pada makhluq ?. jika anda renungkan, anda kan tahu bahwa dan kemungkinan tersebut disini tidaklah sama. Kok bisa demikian ?

Ya ! karena bila mana anda sapukan pandangan anda pada alam sekitar, anda akan melihat dan mengetahuinya, dan yang dapat membuat anda melihat dan mengetahui adalah cahaya hidayah dari Allah. Dengannya anda dapat mengatahui melihat dan mengenal alam sekitar.

Dengan demikian yang dapat menunjukanmu akan adanya alam semesta adalah Allah Subhanahu Wata'ala, bagaimana dalil (yang menunjukan) yakni Allah bisa terbalik menjadi yang ditunjukan ? dan bagaimana pula yang ditunjukan, yakni alam semsta, terbalik menjadi yang menunujukan?

Beri kami kesempatan untuk mencontohkan : "ada seorang lelaki dalam gelap gulita membawa lentera dan memasuki rumah yang gelap gulita, dibawah temanmu sinar lentera tersebut ia melihat berbagai parabot , makanan, uang dan lain-lain.

Dari contoh tersebut menurut anda, mana yang menunjukan? Dan mana yang ditunjukan?. Apakah ada yang saking bodohnya tidak tahu bahwa lentera yang menerangi adalah petunjuk dan semua yang tersingkap oleh cahaya lentera adalah yang ditunjukan?.

Dengan (cahaya) Allah anda dapat melihat sekelilingmu dan dengannya pula anda mengantongi dunia dan mengetahui sebagian-sebagian rahasia-rahasiamu (dunia) yang demikian itu adalah sebagian kandungan ma'na firman Allah,

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (النور-35)

Artinya: "Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus , yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) , yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (Q.S : An-Nur : 35)
Jadi Allah adalah dalil (yang menunjukan) kamu pada segala sesuatu selain dia. Telah lewat penjelasan hikmah Ibnu Athoillah yang berbunyi : "seluruh semesta gelap, dan yang meneranginya hanyalah Allah Al-haq".

Adapun Al-Muqorrobin (orang-orang dekat Allah) adalah orang-orang yang menyaksikan langsung cahaya Allah. Mula-mula mereka melihat Allah (cahaya langit dan bumi) kemudian (dengan melihatNya) meraka melihat jejak-jejakNya, mereka melihat ciptaan-ciptaanNya mereka melihat bekas-bekasNya mereka yaqin bahwa seandainya tanpa adaNya yang membuat bekas niscaya tidak ada bekas, seandainya tiada yang membuat tentu tidak ada buatan, seandaiananya tidak ada cahaya yang menunjukan pastinya tidak ada sesuatu yang tersingkap dari gelapnya alam semesta.

Kami kira penjelasan bahwa "Allah tidak terhalangi apapun" sudah cukup sehingga tidak perlu kamu ulangi lagi, jika kurang jelas mohon dibaca ulang keterangan tersebut. Semoga ketidak jelasan dalam masalah ini segera sirna.

Sedangkan orang-orang yang tenggelam dalam awan "jejak" dan terhalangi dari dzat yang membentuk oleh tabir gambaran-gambaran. Itu berarti mereka mulai mencari lentera melalui sesuatu yang tersingkap oleh cahaya lentera itu sendiri. Yang demikian itu sebagaimana anda ketahui adalah konyol, tetapi itulah kenyataannya, ini adalah keadaan orang-orang yang melupakan Allah sang pemilik wujud mutlaq.

Kami katakan : "mereka melupakan Allah", tidak kami katakana : "Allah terhalangi dari mereka" karena dalam jagat raya ini, tiada sesuatupun yang dapat menghalanginya dari menusia. Betapa ini merupakan kelambutan dan kedetailan stateman Al-Qur'an.


وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (الحشر : 19)

Artinya : " Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik". (Q.S : Al-Hasr : 19)

Namun, bagaimanapun mencari lentera adalah tindakan yang bagus. Karena yang demikian adalah lebih baik dari pada tidak mau mencarinya dan melupakannya, dari sini akan menjadi pengingkaran adanya lentera tersebut.

Ini adalah kondisi orang-orang yang bingung, dari mengenal Allah disebabkan selalu akan gemerlap kesenangan dunia yang membuat lupa diri tergiur kesenangan hawa nafsu dan syahwat, dan tampaklah bahwa kita masuk dalam ketegori golongan yang kedua ini. Setiap kali kita ingat akan adanya Allah dan menampakan dalil-dalil yang mengatakan akan adanya Allah, kita jadikan sesuatu yang kita ketahui dengan cahay dan hidayah Allah, yakni alam semesta sebagian tanda akan adanya Allah dengan berkata : "alam semesta ini diatur sedemikian rupa dengan hukum sebab-akibat, maka pasti ada yang mengatur semua itu dan yang mengatur semua itu adalah Allah". Kita lupa ketika kita bahwa kita dapat mengetahui hukum sebab-akibat itu dengan cahaya hidayah Allah, artinya : dengan Allah kita bisa mengetahui sesuatu yang kita anggap sebagai dalil adanya Allah.

Betapa bingungnya kita dari mengenal Allah dan melacak tanda-tanda keberadaannya dan dalam memformulasikan metode untuk melacak keberadaannya, karena nafsu manusiawi menjadikan perdebatan-perdebatan dan pembahasan-pembahasan tersebut sebagai aktivitas rutinan yang menyenangkan.

Anda lihat orang yang mata hatinya tersinari pancaran wujud Allah yaitu orang-orang yang terbesbaskan dari belenggu kesibukan-kasibukan hawa nafsu dan syahwat orang-orang yang berpaling dari berbagai hal yang membuat lupa diri.

Anda tentu akan melihat betapa hatinya senantiasa merasa akan kehadiran Allah, serta mengingatnya tanpa memerlukan dalil-dalil dan tanda-tanda ia melupakan dalil-dalil dan tanda-tanda tersebut karena hatinya merasa hadir dalam hadirat Allah. Hatinya menyaksikan Allah Subhanahu Wata'ala.

Diantara orang-orang yang sholeh dan para wali Allah terdahulu terdapat orang-orang yang ma'rifat kepada Allah dan menyaksikannya tanpa melalui metode-metode istidlal (mencari bukti akan adanya tuhan) dengan makhluq-makhluq benda-benda dan jejak-jejak.

Tetapi mereka mengenal Allah dan larut dalam menyaksikannya dan peng-enjawantahannya tanpa memerlukan satu istidlalpun, mereka memandang alam semesta, maka mereka tidak menjumpai kecuali tampilan keesaan Allah dan keagungan sifat-sifatNya mereka dalam ta'amul (kontemplasi), tidak berpindah dari dalil menuju madlul tetapi lenyap semua dalil dan tampak jelas begi mereka madlul (Allah) perantara dan jalan lenyap dari pandangan mereka dan tujuan akhir tampak jelas didepan mata, karena yang kita anggap sebagai perantara/jalan itu tidak lebih dekat, bagi mereka dari pada tujuan akhir yaitu Allah Azza Wajalla.

Kadang, mamang sulit bagi kita untuk memahaminya. Karena kita sudah terbiasa melihat wujud yang bersifat maya kemudian baru berpindah menuju wujud Allah yang haqiqi pula kita tumbuh dengan penglihatan dan pikiran yang terpenjara dalam wujud maya tersebut.

Tetapi itulah kenyataannya, orang-orang yang terbebas dari penjara ini tidak mempertimbangkan alam fana' ini sama sekali, alam yang hanya bayang-bayang belaka, kapankah ada bayangan yang lebih berbobot dari asal banyang itu sendiri ? (tidak akan ada !). Dengan begitu, mereka melihat wujud yang haqiqi wujud yang benar-benar wujud dzat, bukan bayang-bayang belaka kemudian (dengan melihat wujud dzat haqiqi) mereka melihat adanya wujud bayang-bayang dari dzat tersebut. Mereka adalah sebagaimana Ibnu Athoillah berkata : "(orang-orang yang) mengetahui haq bagi yang berhaq, dan menetapkan sesuatu dari wujud pokoknya.

SYARAH KITAB AL-HIKAM ATHAILLAH KE 29 TO’ FAKIR AN NASIRIN : PANDANGAN HATI DAN AKAL



SYARAH OLEH TO’FAKIR AN NASIRIN

Menurut Kalam Hikmah ke 29, Imam Ibnu Athaillah Askandary 

BERBEZA ANTARA ORANG YANG MENGAMBIL DALIL DENGAN ALLAH S.W.T DENGAN ORANG YANG MENGAMBIL DALIL ATAS-NYA. ORANG YANG MENGAMBIL DALIL DENGAN ALLAH S.W.T ITULAH YANG MENGENAL HAQ DAN MELETAKKANNYA PADA TEMPATNYA DAN MENETAPKAN TERJADINYA SESUATU DARI ASAL MULANYA. MENGAMBIL DALIL ATAS ALLAH S.W.T ADALAH KERANA TIDAK SAMPAI KEPADA-NYA. MAKA BILAKAH ALLAH S.W.T ITU GHAIB SEHINGGA MEMERLUKAN DALIL UNTUK MENYATAKAN-NYA DAN BILAKAN ALLAH S.W.T ITU JAUH SEHINGGA MEMERLUKAN ALAM UNTUK SAMPAI KEPADA-NYA.

Nur Ilahi yang menyinari hati memperlihatkan Allah s.w.t terlebih dahulu sebelum yang selain-Nya kelihatan. Akal pula melihat anasir alam dan kejadian-kejadian yang berlaku terlebih dahulu sebelum sampai kepada Tuhan yang mengatur segala urusan. Orang-orang hati melihat Wujud Allah s.w.t mengwujudkan alam dan apa yang berlaku di dalamnya dan orang-orang akal pula melihat wujud alam menjadi dalil kepada Wujud Allah s.w.t.
Orang yang sampai kepada Allah s.w.t melihat bahawa Wujud Allah s.w.t adalah Wujud Hakiki dan Wujud Allah s.w.t menerangi wujud makhluk sehingga makhluk menjadi nyata. Orang yang pada peringkat mencari pula melihat Allah s.w.t itu ghaib dan jauh, dan jalan untuk mengenal Allah s.w.t adalah dengan cara mengenal ciptaan-Nya. Wujud makhluk menjadi bukti kepadanya tentang Wujud Allah s.w.t, kerana makhluk tidak terjadi dengan sendirinya.

 Perbincangan Hikmat 8 menyentuh golongan mencari dan golongan yang dicari. Orang yang mencari menempuh jalan yang sukar-sukar sebelum bertemu dengan yang dicarinya. Contoh terbaik orang yang mencari ialah Salman al-Farisi yang mendapat jolokan Pencari Kebenaran. Beliau r.a berasal dari Isfahan. Bapanya seorang kenamaan yang kaya-raya dan kuat berpegang kuat pada agama Majusi. Salman bertugas menjaga api dan bertanggungjawab mempastikan api itu tidak padam. Satu hari beliau lalu berhampiran gereja Nasrani. Beliau tertarik melihat cara orang Nasrani bersembahyang. Setelah bertukar-tukar fikiran dengan mereka dan mempelajari tentang agama Nasrani beliau berpendapat agama Nasrani lebih benar daripada agama Majusi, lalu beliau memeluk agama Nasrani Beliau kemudiannya pergi ke Syria untuk mendalami pengajiannya tentang agama Nasrani. Beliau tinggal dengan seorang pendeta dan beliau menjadi pelayan kepada pendeta tersebut sambil beliau belajar Setelah pendeta itu meninggal dunia Salman pergi ke Mosul, untuk memenuhi kehendak wasiat pendeta tersebut. Di sana beliau tinggal dan berkhidmat kepada seorang pendeta juga. Apabila hampir ajalnya pendeta kedua ini mewasiatkan kepada Salman supaya pergi ke Nasibin dan berkhidmat kepada seorang salih yang tinggal di sana.  Salman kemudiannya berpindah ke Nasibin. Pendeta di Nasibin kemudiannya mewasiatkan kepada Salman agar beliau pergi ke Amuria dan berkhidmat kepada seorang salih di sana. Salman berpindah pula ke Amuria. Ketika pendeta di Amuria itu hampir menemui ajalnya beliau memberi amanat kepada Salman bahawa sudah hampir masanya kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s secara murni. Nabi yang baharu muncul itu nanti akan berhijrah ke satu tempat yang banyak ditumbuhi pokok kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Tanda-tanda yang jelas tentang kenabiannya ialah dia tidak mahu makan sedekah tetapi menerima hadiah. Di bahunya ada cap kenabian yang bila dilihatnya segera dikenali akan kenabiannya. Setelah pendeta yang memberi amanat itu meninggal dunia berangkatlah Salman mengikuti rombongan Arab dengan menyerahkan kepada mereka lembu-lembu dan kambing-kambingnya. Sampai di Wadi Qura, Salman dianiayai dan dijual kepada orang Yahudi. Kemudian, Salman dijual kepada orang Yahudi yang lain. Tuannya yang baharu itu membawanya ke Yasrib. Sebaik sahaja Salman melihat negeri itu yakinlah dia bahawa itulah negeri yang diceritakan oleh pendeta yang menjaganya dahulu. Apabila Rasulullah s.a.w berhijrah ke Yasrib, Salman datang menemui baginda s.a.w di Quba dan memberikan makanan sebagai sedekah kepada baginda s.a.w dan sahabat baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w menyuruh mereka makan tetapi baginda s.a.w tidak menjamah makanan tersebut. Keesokan harinya Salman datang lagi membawa makanan sebagai hadiah. Rasulullah s.a.w makan bersama-sama sahabat baginda s.a.w. Semasa Rasulullah s.a.w berada di Baqi’, Salman pergi lagi menemui baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w ketika itu memakai dua helai kain lebar, satu sebagai sarung dan satu lagi sebagai baju. Salman menjenguk dan mengintai untuk melihat belakang baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w mengerti akan maksud Salman lalu baginda s.a.w menyingkap kain burdah dari leher baginda s.a.w hingga kelihatanlah cap kenabian yang dicari oleh Salman. Melihatnya Salman terus menangis dan menciumnya. Akhirnya beliau temui kebenaran yang beliau telah cari di merata-rata tempat.

 Kisah Salman memberi gambaran betapa sukarnya jalan yang ditempuhi oleh orang yang mencari Allah s.w.t. Di samping mengharungi kehidupan yang sukar mereka juga menuntut ilmu, berguru ke sana ke mari, mencari dalil-dalil dan pembuktian bagi menambahkan pengetahuan tentang Tuhan. Mereka melihat alam dan kejadian di dalam alam sebagai bukti yang menunjukkan Wujud Allah s.w.t, dan mereka mengkaji alam untuk memahami tentang keesaan Allah s.w.t. Setelah mereka sampai kepada Allah s.w.t mereka melepaskan dalil-dalil lalu berpegang kepada makrifat yang diperolehi.

 Golongan yang dicari menempuh jalan yang berbeza. Contoh orang yang dicari ialah Saidina Umar al-Khattab r.a. Pada awal perkembangan Islam di Makkah umat Islam menghadapi tentangan yang hebat dari puak Quraisy.  Rasulullah s.a.w telah berdoa agar Islam diperkuatkan dengan salah satu Umar, iaitu Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar al-Khattab. Umar al-Khattab ketika itu sangat keras menentang dan menyeksa golongan Islam, terutamanya yang lemah. Rasa bencinya terhadap agama baharu yang merombak adat dan kepercayaan datuk neneknya itu meluap-luap di hatinya. Apabila rasa kebencian itu memuncak beliau mengambil keputusan mahu membunuh Rasulullah s.a.w. Umar mencabut pedangnya sambil menuju ke tempat di mana Rasulullah s.a.w berada. Di tengah jalan Umar diberitahu bahawa adiknya sendiri telah pun memeluk Islam. Dia memikirkan bahawa lebih baik jika dia menguruskan masalah dalamannya dahulu sebelum membunuh Rasulullah s.a.w. Mendengar berita itu dia pun membelok ke rumah adiknya. Keadaannya seperti singa bengis. Ditendangnya pintu rumah adiknya. Pada ketika itu adiknya sedang memegang lembaran yang ditulis dengan ayat al-Quran. Umar memukul adiknya dan merampas lembaran tersebut. Umar adalah seorang cendekiawan yang tahu membaca, dan arif tentang sastera puisi. Sebaik sahaja Umar membaca wahyu Allah s.w.t, tubuhnya menggeletar dan keluarlah ucapan dari mulutnya,” Ini bukan syair yang ditulis oleh penyair yang handal. Ini bukan karya manusia. Tidak ada yang dapat menciptakannya kecuali Tuhan sendiri”. Lalu Umar al-Khattab pergi menghadap Rasulullah s.a.w dan menyatakan keislamannya.

 Umar al-Khattab membaca ayat al-Quran, Kalam Allah s.w.t dan serta-merta dia melihat kebenarannya. Umar tidak memerlukan kepada alam dan makhluk sekaliannya sebagai dalil dan bukti. Kebenaran itu sendiri menjadi dalil baginya. Kalam Allah s.w.t sendiri yang menyampaikan Umar kepada-Nya. Allah s.w.t yang menerangi hati Umar dengan makrifat-Nya. Makrifatullah yang menerangi makrifat alam sehingga alam itu dikenali melalui sumber iaitu Allah s.w.t sendiri. Orang yang mencari menyusur dari ranting ke dahan, turun ke batang lalu pergi kepada umbi sebelum menemui benih yang melahirkan pokoknya. Orang yang telah dibawa kepada Tuhan melihat dari asal mulanya, melihat benih yang darinya muncul pokok yang cukup lengkap.

 Perbezaan arah memandang menyebabkan terjadi perbezaan daya nilai dan daya rasa. Orang akal lebih cenderung kepada fahaman falsafah yang berdiri di atas kemanusiaan sejagat iaitu fitrah manusia. Keberkesanan hukum sebab-akibat membentuk formula-formula yang seterusnya melahirkan hukum logik yang dipegang oleh akal. Sukar bagi akal untuk melihat bahawa Allah s.w.t yang meletakkan dan menetapkan keberkesanan hukum sebab-akibat itu. Orang akal memerlukan masa untuk berfikir dan menimbang sehingga mereka melihat dan mengakui kerapian serta kesempurnaan hukum yang mereka pegang itu. Setelah sampai kepada pengakuan yang demikian baharulah mereka beralih memerhatikan apa yang datang dari Tuhan.

 Orang hati pula terus menyaksikan ketuhanan pada apa yang disaksikan. Mereka melihat perjalanan sebab dan akibat sebagai tadbir Allah s.w.t. Mereka juga mengambil sebab dalam melakukan sesuatu tetapi ketika mengambil sebab itu hati memandang kepada Allah s.w.t, meletakkan pergantungan kepada-Nya yang mentadbir sebab musabab itu, bukan bersandar kepada sebab semata-mata. Jika sebab gagal menghasilkan akibat menurut hukum logik, orang hati melihat kekuasaan Allah s.w.t mengatasi segala sebab. Orang akal yang berhadapan dengan keadaan yang demikian sering diganggu oleh kekeliruan dan mereka mencari formula baharu untuk mengembangkan logik.

 Walaupun terdapat perbezaan cara memandang tetapi tidak seharusnya berlaku berselisihan di antara dua golongan tersebut. Satu golongan harus menghormati daya nilai dan daya rasa golongan yang satu lagi. Walau bagaimana pun orang akal harus sedar bahawa mereka sedang bergerak ke arah daerah orang hati kerana iman, ikhlas, berserah diri, takwa dan lain-lain nilai baik dalam agama adalah nilai hati yang mengeluarkan niat.