Rabu, 01 Oktober 2014

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 BAHAGIAN 3 Sifat zuhud Nabi Muhammad saw

Firman Allah bermaksud, ” Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat keterangan Kami, mereka akan dikenakan azab seksa dengan sebab mereka berlaku fasik.” (Surah al-An’am :49)

Ertinya, mereka yang mendustakan (mengkufuri) al-Quran (ayat-ayat keterangan yang dapat dibaca) yang disampaikan oleh Nabi s.a.w dan ayat-ayat keterangan yang dapat dilihat (alam yang menjadi hujah mengenai keagungan dan kekuasaan Allah) dengan mata mereka sendiri, mereka akan dikenakan azab seksa yang pedih daripada sebab kejahatan dan kekufuran yang mereka lakukan terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya s.a.w.

Seterusnya Allah berfirman yang bermaksud, “Katakanlah (wahai Muhammad s.a.w): “Aku tidak mengatakan kepada kamu (bahawa) perbendaharaan Allah ada di sisiku.” (Surah al-An’am : 50)

Yakni Allah SWT memerintahkan supaya Nabi s.a.w berkata kepada mereka yang kufur itu bahawa baginda s.a.w tidak mengatakan yang harta perbendaharaan milik Allah berada di sisinya.

Bahkan Nabi s.a.w tidak pernah memiliki harta kekayaan walaupun baginda s.a.w berupaya untuk mendapatkannya.

Ini kerana baginda s.a.w pernah ditawarkan oleh golongan kafir Quraisy harta kekayaan dan pangkat kedudukan jika baginda s.a.w meninggalkan kerja-kerja dahkwah mengajak manusia kepada Islam.

Nabi s.a.w boleh memohon pertolongan Allah untuk mendapatkan harta kekayaan atau perbendaharaan Allah jika dia mahu. Tetapi baginda tidak berbuat demikian Inilah sifat zuhud dan tawaduk baginda s.a.w

Sejarah membuktikan baginda adalah seorang Nabi yang tidak mempunyai harta kekayaan, tidak seperti Nabi Sulaiman a.s. bahkan semasa wafat baginda s.a.w masih berhutang dengan Yahudi di Madinah.

Allah berfirman yang bermaksud, “Dan aku pula tidak mengetahui perkara yang ghaib.” (Surah al-An’am:50)

Allah juga memerintahkan Nabi s.a.w supaya memberitahu orang-orang kafir itu bahawa perkara ghaib itu adalah di dalam ilmu Allah SWT. Nabi Muhammad s.a.w tidak akan dapat mengetahuinya melainkan Allah yang memberitahunya. Nabi s.a.w tidak berkuasa untuk mengetahui semuanya itu melainkan Allah yang memberitahu kepadanya.

Banyak peristiwa dalam sejarah menjelaskan bagaimana Allah SWT menampakkan perkara-perkara ghaib kepada Nabi s.a.w di mana Nabi s.a.w melihat malaikat dan Jibrail dalam pelbagai rupaya seperti seorang lelaki yang lawa dan berpakaian serban putih dan dalam bentuk rupanya yang asal datang menemui Rasulullah s.a.w dalam banyak peristiwa sepanjang hayatnya sehingga baginda s.a.w wafat.

Allah berfirman lagi, “Aku juga tidak mengatakan kepada kamu bahawasanya aku ini malaikat.” (Surah al-An’am : 50)

Allah turut memerintahkan nabi s.a.w berkata kepada golongan kuffar itu bahawa beliau tidak pernah mengatakan dan mengakui bahawa baginda adalah seorang malaikat. Baginda adalah seorang manusia yang dipilih oleh Allah menjadi rasul. Baginda masih bersifat seperti manusia biasa yang lain, perlu makan dan minum, perlu berkawin dan sebagainya.

Orang-orang kafir itu menghina Nabi s.a.w kerana perkara ini sebagaimana firman Allah yang bermaksud, “Mengapa rasul ini makan minum dan berjalan di pasar-pasar seperti manusia lain)?” (Surah al-Furqan:7)

Cuma bezanya dengan manusia yang lain ialah baginda s.a.w diutuskan sebagai rasul untuk menyampaikan dan memberi contoh teladan yang baik kepada manusia bagaimana seharusnya mereka melaksanakan segala suruhan Allah daripada sekecik-kecil perkara sehingga ke sebesar perkara daripada membuang duri dan batu di tengah jalan sehingga mendirikan kerajaan Islam dan menegakkkan hukum Allah SWT di atas muka bumi dan berjihad, berperang bagi menegakkan agama Allah SWT.

Allah berfirman yang bermaksud, “Aku tidak menurut melainkan apa yang diwahyukan kepadaku.” (Surah al-An’am : 50)

Allah SWT memerintahkan Nabi s.a.w berkata kepada golongan yang tidak beriman itu bahawa baginda s.a.w tidaklah melakukan sesuatu perkara melainkan menurut segala perintah wahyu daripada Allah yang disampaikan kepadanya melainkan Jibrail a.s

Ini dikuatkan lagi dengan firman Allah yang bermaksud,” Dan ia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakan itu (sama ada al-Quran atau hadis) tidak lain melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Surah an-Najmu:3-4)

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 2) Zuhud Sebagai Cikal Bakal Tasawuf



Salah satu ajaran tasawuf adalah zuhud bahkan ada sebagian mengatakan zuhud merupakan cikal bakal tasawuf. Secara bahasa zudud, berasal dari Bahasa Arab “Zahada” yang berarti meninggalkan atau menjauhi.

Adapun Zuhud menurut istilah tasawuf adalah memalingkan muka dari kesenangan kehidupan duniawi, dan menghapus cinta dunia pada hati sanubari, hal ini dilakukan untuk konsentrasi mendekatkan diri pada Allah SWT. Dan dalam hal ini mencintai Allah dan hari akhir adalah diatas segala-galanya. Andai kata ia melewati kehidupan orang yang serba mewah dan hedonis, tidak sedikitpun hatinya tergoyah dan terpesona oleh silaunya sinar dunia dan ia sadar betul bahwa kehidupan dunia ini tidak akan sebanding dengan kehidupan akhirat.

Imam Al-Junaid memberikan defenisi masalah ini:
Artinya: Zuhud ialah menganggap remeh dan menghapus cinta keduniaan dalam hati.

Dalam kitab yang sama dikatakan:

Artinya: Orang-orang yang zuhud tidak gembira kalau dunia ada pada dirinya namun juga tidak bersedih jika dunia lari darinya (Risalah Qusyairiyah hal. 56)

Berkata Imam Al-Gazali:

Artinya:  Zuhud artinya meninggalkan sesuatu yang halal yang di inginkan hawa nafsu (Ihya Ulumuddin, jlid IV hal. 212)

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik benang merah, bahwa yang di sebut dengan zuhud adalah memalingkan atau menghapuskan sifat keduniaan dalam hati manusia, dan berkonsentrasi beribadah kepada Allah. Hal ini dilakukan karena akhirat bersifat kekal dan abadi.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Harun Nasution seseorang muslim tidak akan menjadi shufi kecuali harus terlebih dahulu menjadi zahid. Dengan demikian tiap sufi pastilah zahid, namun sebaliknya belum tentu si zahid itu sampai pada sufi[4], dan dalam sejarah Islam sebelum munculnya tasawuf terlebih dahulu dari aliran zuhud. Aliran ini menurut sebagian saksi dari ketimpangan social dan moral pada akhir abad I H. dan awal II H. Ketimpangan social dan penyelewengan moral banyak dilakukan oleh elit-elit politik pada waktu itu seperti berbuat maksiat, hidup bermewah-mewah, melanggar batas-batas dan norma-norma syari`at Islam. Orang-orang alim memperingatkan para elit dengan perkataan tidak digyblisnya lagi. Sehingga dalam rangka memperotes dan mengingatkan para elit yang lalai ini ditempuhlah hidup zuhud (hidup bersahaja) sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Dengan kata lain zuhud merupakan gerakan moral yang bertujuan mengingatkan para elit politik dan masyarakat luas, agar kembali pada ajaran Allah dan hidup secara Islami sebagaimana yang di contohkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabtnya. Para zahid melihat Mua`wiyah sebagaimana raja-raja romawi dan persi. Dan yang tidak kalah sadisnya, anak kesayangan beliau, Yazid adalah pelanggar HAM berat, yang suka mabuk-mabukan dan larangan-larangan agama lainnya. Nilai-nilai Islam sudah jauh dari kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat matrealisme mewabah pada tiap-tiap kehidupan waktu itu, mulai elit politik sampai rakyat biasa.

Dalalam Risalah Qusyairiyah disebutkan bahwa Imam Ahmad Ibnu Hambal membagi zuhud ada tiga macam:

    Zuhudnya orang awam, yaitu menjauhi harta yang haram
    Zuhudnya orang khawas yaitu memalingkan muka dari harta yang halal, hal ini dilakukan demi untuk berkonsentrasi untuk ibadah, taqarrub ilallah SWT.
    Zuhudnya orang arif, meninggalkan harta benda yang dapat mengganggu kepentingan akhirat..

Berbicara tokoh-tokoh zuhud, lebih dahulu perlu diklarifikasikan asal-usul kehidupan zuhud itu sendiri. Zuhud ada sejak zaman Rasulullah, sahabat, tabiin, tabiit tabiin, dan ulama-ulama yang sholeh, tokoh zuhud yang tidak dapat dilupakan adalah Hasan Al-Basry wafat 728 M/ 110 H. konsep Hasan Al-Basri tentang kehidupan keagamaan merupakan refleksi zuhud, dimana keslahan kefakiran, dan menjauhkan cinta dunia dalam hati untuk taqarrub kepada Allah dan gerakan ini  berkembang pesat di Bagdad, sebagai jawaban atas ketimpangan sosial dan politik waktu itu.

Sedangkan di Kufah aliran zuhud di pelopori  Sofyan Assaury yang wafat 135 H, dan Abu Hasyim wafat 150 H. serta Jabir Ibn Hasyim yang wafat 190 H. mereka memakai wol (bulu-bulu domba yang kasar sebagai bentuk protes dan mengingatkan para elit politik yang telah jauh menyimpang dari nilai-nilai agama. Dimana kaum laki-laki sudah memakai sutra dan emas-emasan yang dilarang agama.

Dari kedua kota ini aliran zuhud pindah kedaerah-daearah lain seperti khurasan dengan tokoh Ibrahim Ibn Adham w 162 H. Syafiq al-Balqi w. 190 H. dan di Madinah ada Ja`far asshidiq w. 142 H. dalam memperhatikan kemewahan dunia dan perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh para elit politik, orang-orang zahid ingat akan ancaman Allah yang akan menimpa umatnya yang durhaka, mereka teringat adzab Neraka yang digambarkan dalam Al-Qur`an, mereka lari dari kemewahan dunia yang mewah dan hidup sederhana sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Tentang zuhud ini Hasan Al-Basry mengatakan “Jauhilah dunia ini (dalam hati) karena ia laksana ular yang licin namun ia juga beracun yang siap membunuh “. Sedangkan Ibrahim ibnu Adham adalah putera seorang raja di Persia yang akhirnya menjadi seorang zahid besar, kata  beliau “tinggalkanlah dunia ini, karena cinta dunia membuat orang tuli, serta buta, dan menjadi budaknya duniawi”.

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 1) KEHIDUPAN KEROHANIAN BERMULA DARI RASULULLAH SAW

Muhammad Al-Amin di Gua Hira’

Di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan bermacam-macam kepincangan itu, dalam dekad pertama kurun ke – 7 Masihi, Muhammad yang bergelar Al-Amin yang sedang meningkat usia empat puluhan sedang dalam keadaan amat tidak puas hati dengan keadaan masyarakatnya yang sedemikian rupa. Baginda sentiasa berfikir dan merenung mencari kebenaran.

Pada suatu malam, baginda mengalami mimpi yang baik “al-Ru’ya al-Salihah” atau “al-Ru’ya al-sadiqah” mimpi yang benar di dalam tidurnya. Sejak itu baginda gemar bersendirian di Gua Hira’, sebuah gua yang terletak kira-kira enam batu ke utara kota Makkah. Baginda bersendirian di gua itu kerana beribadat menurut agama Nabi Ibrahim AS. Dalam hubungan ini Aisyah melaporkan:

Permulaan wahyu berlaku pada Rasulullah s.a.w. ialah mimpi yang baik di dalam tidur. Sesuatu mimpi yang dilihatnya itu pasti datang seperti sinaran subuh. Kemudian selepas itu baginda gemar bersendirian di Gua Hira’ beribadat beberapa malam sebelum kembali kepada keluarga mengambil bekalan baru. Sesudah beberapa malam di Gua Hira’ baginda pulang kepada Khadijah mengambil bekalan sehingga datang kebenaran ketika berada di Gua Hira’ itu. (Riwayat al-Bukhari , L-Tajrid al-Sarih, hlm.5)

Beberapa tahun sepanjang bulan Ramadhan, baginda pergi ke Gua Hira’, merenung, berfikir dan menunaikan ibadat. Jauh dari masyarakat yang hingar–bingar, bersendirian mencari kebenaran dan keheningan fikiran, mencari kekuatan rohaniah dan kekuatan diri.

Pada suatu ketika sewaktu berada di gua itu, tiba-tiba datang Malaikat Jibril AS dengan rupa yang asal, membawa sehelai kain sutera yang bertulis, terus ia memeluk nabi dengan erat sambil berkata: “Bacalah!” dan dia menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Sekali lagi Jibril memeluknya. Ia menyuruh lagi katanya: “Bacalah!” Muhammad terus bertanya, “Apakah saya akan baca?” Ketika itu Jibril terus membaca firman ALLAH Subhanahu wataala:

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Ia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan pena. Ia mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. (Surah al-Alaq :1-5)
Nabi menurut bacaan itu dan Jibril menghilang dirinya dari situ . Ketika itu baginda seolah-olah terasa hatinya sudah tertulis atau terpatri dengan ayat yang dibacanya itu.

Begitulah peristiwa Rasulullah SAW menerima ayat al-Quran yang pertama dari Malaikat Jibril. Peristiwa ini berlaku pada malam Isnin 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahirannya bersamaan 6 Ogos tahun 610 Masihi. Ketika itu baginda meningkat usia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kiraan tahun Qamariah bersamaan kira-kira 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kiraan Syamsiah.

Dalam keadaan terkejut dan kehairanan Nabi SAW keluar dari gua itu. Ketika sampai di lembah bukit, baginda terdengar suara dari arah langit, katanya: “Wahai Muhammad! Engkau rasul dan aku Jibril.” Nabi mendongak ke langit kelihatan Jibril dalam rupa seorang lelaki. Baginda tidak berganjak dari tempatnya, tidak ke depan dan tidak ke belakang. Setelah Jibril menghilangkan diri, Nabi segera pulang ke rumah mendapatkan isterinya Khadijah. Dengan perasaan gerun dan terperanjat baginda meletakkan kepalanya di atas paha Khadijah sambil berkata, “Selimutkanlah aku! Selimutkanlah aku!”

Melihat keadaan yang luar biasa itu, dengan penuh simpati Kahdijah bertanya: “Wahai Abu al-Qasim, ke manakah anda pergi? Saya telah menghantar utusan untuk mencari anda sehingga mereka sampai ke Bandar Makkah dan kini mereka telah pulang.” Setelah agak reda daripada keadaan itu, Nabi menceritakan segala yang telah berlaku. Sebaik sahaja mendengar peristiwa itu, sebagai seorang isteri yang bertanggungjawab, Khadijah cuba menenang dan menguatkan semangat suaminya itu. Kata Khadijah: “Bergembiralah dan tetapkan hati wahai anak pakcik ku! Demi yang diri Khadijah ini di dalam kekuasaan-Nya, ku harap anda dapat menjadi Nabi bagi umat ini.”5 Melihat suaminya dalam keletihan dan terperanjat itu, Khadijah menyelimutkannya sehingga baginda tertidur.

Ketika Nabi sedang tertidur itu Khadijah pergi ke rumah sepupunya Waraqah bin Naufal seorang tua yang buta, beragama Nasrani, menguasai bahasa Ibrani, sangat luas pengetahuan dalam hal-hal agama. Mengetahui kandungan kitab Taurat dan Injil. Setelah mendengar cerita daripada Khadijah, Waraqah berkata: “Quddus, Quddus! Demi yang diri Waraqah di tangan-Nya, kalau engkau mempercayai aku wahai Khadijah, sebenarnya dia telah didatangi al-Namus al-Akbar yang telah datang kepada Nabi Musa. Dia adalah Nabi untuk umat ini.” Katakanlah kepadanya: “Hendaklah tetapkan hati.”

Khadijah pulang menemui suaminya dan didapati ia masih nyenyak tidur. Tiba-tiba ia menggigil dan sesak nafas sementara peluh membasahi dahinya. Baginda terbangun dari tidurnya itu dan didapati malaikat datang menyampaikan wahyu kepadanya:7

“Wahai orang yang berselimut! Bangunlah , lalu berilah peringatan! Dan Tuhan mu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan jangan engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (Surah al-Muddathir: 1-6)

Melihat suaminya yang menggigil-gigil itu, timbul rasa belas kasihan dan simpati di hati Khadijah lalu menyuruhnya tidur kembali untuk berehat. Mendengar suruhan isterinya itu baginda berkata:-
Masa tidur dan berehat sudah habis wahai Khadijah! Jibril telah memerintah aku supaya memberi peringatan kepada manusia dan menyeru mereka kepada ALLAH dan beribadat kepada-Nya. Tetapi siapakah orangnya yang hendak aku serukan itu? Siapakah yang akan menerima seruan aku itu?8

Kemudian dengan tidak teragak-agak Khadijah terus menyatakan pendiriannya dengan berkata: “Sayalah orang yang mula-mula sekali menyahut seruan Islam. Saya mengaku bahawa anda adalah Nabi dan Pesuruh ALLAH dan saya beriman kepada ALLAH.”

Bermulalah babak baru dalam hidup Muhammad. Hidup yang mengubah dunia dari gelap kejahilan kepada cahaya kebenaran dan ilmu. Kehidupan baginda menjadi contoh teladan yang unggul bukan sahaja dalam bidang kehidupan rohani, tetapi dalam pembinaan masyarakat dan negara.

Kerohaniaan Dalam Islam

Kehidupan rohaniah dalam Islam bermula sejak zaman Nabi SAW dan baginda sendiri merupakan model yang pertama dan utama dalam mengamalkan rohaniah dalam kehidupan sehari-hari. Amalan baginda dicontohi dan diikuti para sahabat yang kemudiannya diteruskan pula oleh para Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in dan berterusan sampai ke hari ini dan masa-masa yang akan datang. Perjuangan dan amalan rohaniah Baginda SAW merupakan ikutan utama bagi setiap Muslim yang ingin mencapai ketinggian rohaniah.

Rasulullah dan para sahabatnya, di samping berjuang di medan perang kerana menegakkan agama ALLAH  mereka juga berjuang meningkatkan rohaniah, hidup zuhud, tidak mementingkan kebendaan dunia, pangkat kebesaran dan kemasyhuran diri. Mereka sebaliknya dengan penuh prihatin dan kesedaran menumpukan sepenuh hati kepada ALLAH, berusaha meningkatkan mujahadah al-nafs melawan hawa nafsu dan godaan syaitan. Di samping itu tidak pula lalai daripada tanggungjawab dakwah menegakkan amar maaruf dan nahi munkar. Semua tanggungjawab ini adalah semata-mata kerana ALLAH demi mencapai keredhaan-Nya.

Dengan iman yang kental dan keyakinan yang padu, mereka tidak ragu-ragu memikul tanggungjawab sebagai hamba ALLAH  menunaikan hak-hak fizikal dan juga tuntutan-tuntutan rohaniah sehingga berjaya mencapai ketinggian rohaniah dan kehidupan yang sempurna selaras dengan ajaran-ajaran dan tuntutan Islam yang sebenar. Mereka telah memperimbangkan antara tuntutan dunia dan tuntutan akhirat, antara jasmaniah dan rohaniah. Dengan menggabung-jalinkan antara dua aspek ini barulah terbina kehidupan yang dikehendaki Islam.

Cara hidup Rasulullah SAW dan para sahabat Ridwanullahi Alaihim dengan penumpuan beribadat, hidup zuhud, hidup secara kasar (taqasysyuf), mujahadah al-nafs, berjihad pada jalan ALLAH  semuanya itu merupakan benih pertama kehidupan rohaniah Islamiah. Kemudian benih ini tumbuh dan berkembang subur melahirkan sistem rohaniah yang mempunyai kaedah-kaedah dan cara-cara yang tertentu, menjadi amalan para tabi’in dan amalan umat Islam yang kemudiannya. Mereka mengambil berat menjalankan urusan agama, tidak lalai dan tidak terpengaruh dengan kehidupan dunia yang sementara ini.

Sirah Rasulullah SAW sebelum baginda dibangkitkan menjadi Rasul sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bahagian yang lepas, baginda berhari-hari bersendirian di Gua Hira, merenung memikirkan tentang keindahan alam, tentang keadaan masyarakat, tentang kekuasaan dan keagungan Maha Pencipta, mencari ketenangan dan keheningan jiwa, semuanya ini merupakan jalan rohaniah, jalan menyuci jiwa daripada kekotoran dan gangguan keduniaan untuk menuju insan kamil.

Untuk mencapai ketinggian dan kemurniaan rohaniah itu, seseorang itu memerlukan disiplin diri yang kuat, menjalani riadah dan mujahadah, melaksanakan amalan-amalan syariat dengan penuh kesedaran sehingga akhirnya terbentuklah kehidupan rohaniah yang murni, bersih daripada gangguan-gangguan hawa nafsu, rasa tamakkan dunia, tidak berasa takut dan ragu dalam menjalani hidup di dunia ini.

Berjuang meningkatkan ketinggian rohaniah dengan membersihkan jiwa daripada daki-daki dunia merupakan satu usaha dan ikhtiar untuk membaiki diri setakat yang mampu oleh manusia. Tujuannya supaya benar-benar menjadi abid, seorang insan yang beruntung, yang mencapai kejayaan hakiki menurut penilaian Islam, beruntung dan berjaya di dunia dan akhirat.

Dalam kehidupan dunia ini, biasanya manusia kalah kepada hawa nafsu apabila berhadapan dengan kebendaan dan pangkat kebesaran dan tawaran-tawaran kesenangan walaupun kadang-kadang jalan-jalan memperolehinya itu tidak bersih dan salah. Apabila seseorang itu kalah dalam menghadapi gejala-gejala tersebut, nilai dirinya telah jatuh ke tahap yang paling rendah, ia tidak lagi mempunyai harga diri dan terlalu hina pada pandangan ALLAH Subhanahu wataala.

Biasanya pengaruh kebendaan inilah yang memutuskan hubungan hamba dengan Tuhannya. Ia merupakan penghalang bagi seseorang daripada mencapai kebersihan kerohaniaan, menjadikan manusia leka dalam hidup ini dan akhirnya terjerumus dalam kesesatan, kegelapan dan kehinaan.
Kehidupan rohaniah menurut Islam bukan sahaja bertujuan menggilap hati sejernih mungkin, tetapi juga membawa manusia kepada keinsafan diri, mengenali diri sendiri dan mengenali akan alam sarwajagat yang tersusun indah, rapi dan menakjubkan ini. Semakin tajam keprihatinan diri terhadap alam ini, semakin jauh jangkauan mata hati, perasaan hati dan pandangan hidup meneroka alam metafizik yang penuh rahsia, penuh misteri ini.

Ayat-ayat Al-Quran begitu banyak menganjurkan manusia supaya merenung berfikir dan menyelidik terhadap alam semesta ini. Bagi orang yang berfikir, orang yang bermata hati, semua penjuru alam ini menimbulkan kesedaran bahawa di sebalik alam nyata yang indah dan terbentang luas wujud satu kuasa Yang Maha Agung, Maha Sempurna, Dialah Al-Khaliq. Apabila kesedaran ini telah bertakhta di hati, perasaan diri akan lebih tertumpu ke arah Yang Maha Agung itu sehingga timbul perasaan rindu, perasaan ingin mengenali dan mendampingi-Nya. Justeru itu, mulailah ia berusaha mencari jalan untuk makrifatullah dengan sebenar-benarnya. Sesudah dapat mencapai makrifatullah, keimanan akan bertambah kukuh, keyakinan terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya semakin kuat dan rasa tauhid bertambah mendalam, tiada lagi ragu-ragu, itulah tauhid ahlullah. Terangkat hijab dan terserlah baginya berbagai-bagai rahsia alam ghaib.

Apabila seseorang itu telah mencapai tahap kerohaniaan yang tinggi, mengenali hakikat hidup yang sebenar, keduniaan ini tidak lagi menjadi tumpuan hidup yang utama. Nilai kebendaan dan kebesaran pangkat pula tidak lagi menjadi tumpuan hidup dan tidak lagi menduduki tempat yang teratas dalam pandangannya. Dia sudah mempunyai pegangan dan pandangan hidup yang tersendiri. Dia sedar hidup di dunia ini hanya sementara sahaja. Dia yakin, di sebalik hidup di dunia ini ada lagi hidup yang lebih tinggi dan lebih bererti, hidup kekal abadi, hidup di dalam rahmat Allah bagi mereka yang telah menyuci jiwanya. Sebaliknya pula, hidup dalam kesengsaraan yang amat parah bagi mereka yang hanya bergelumang dengan keduniaan.

Setelah mengenali yang hak dan yang batil, ia beriltizam di atas yang hak. Kaya atau miskin, senang atau susah, mulia ataupun hina, tinggi ataupun rendah, istana atau pun teratak, semuanya tidak penting dalam hidupnya. Yang penting ialah menghabiskan sia-sia hidup sementara ini dalam kebenaran. Kalau Allah memberi kesenangan, kemewahan, kekayaan, ia bersyukur, dan ia membelanjakannya untuk jalan agama ALLAH   Jika sebaliknya, ia juga bersyukur dan bersabar. Ia terus berusaha dan bersabar beristiqamah dalam keredaan ALLAH  walaupun terpaksa menempuh ujian dan kesusahan.

Dengan pandangan ini, ia terus bertekun meningkatkan ta’abbudnya kepada ALLAH   menjadi seorang abid yang bersikap warak, zuhud, taqasysyuf, bertawakal dan reda. Inilah sikap hidup yang dipelopori baginda Rasulullah SAW, dicontohi para sahabat, menjadi ikutan generasi Muslim yang kemudian. Inilah juga cara hidup para nabi yang terdahulu, para wali, orang-orang salihin, dan orang-orang sufi.

Kehidupan rohaniah sebagaimana yang tersebut di atas adalah tuntutan syariat Allah, bukannya rekaan manusia. Ia adalah intisari bagi agama Samawi, telah dipraktikkan para nabi dan abid yang telah sempurna kemuncak keagungannya dalam agama Islam, bertitik tolak daripada ajaran al-Quran dan as-Sunnah.

Kehidupan rohaniah Islamiah sebagaimana yang telah digambarkan di atas itu terus berkembang di kalangan generasi Islam peringkat permulaan itu dengan keadaan bersih dan murni. Tetapi setelah Islam berkembang luas, penganut bertambah ramai terdiri daripada pelbagai bangsa yang selama ini telah mempunyai kepercayaan, amalan, adat istiadat, kebudayaan dan cara hidup yang tersendiri, mulailah kehidupan itu bercampur dengan pelbagai unsur. Ada yang bersifat falsafah, kebudayaan, kepercayaan dan sebagainya. Unsur-unsur itu telah memberi kesan dan pengaruh yang besar kepada kehidupan orang-orang Islam. Antara unsur itu ada yang sesuai dengan Islam dan ada pula yang menyeleweng.

Oleh yang demikian apabila hendak melibatkan diri dalam kehidupan rohaniah, kita kenalah berhati-hati memilih guru atau syeikh mursyid yang muktabar agar kita tidak terjerumus dalam ajaran sesat yang bertopengkan ilmu tasawuf. Perlu diingat sejak zaman-zaman kebelakangan ini, terdapat banyak ajaran sesat berkembang di dalam masyarakat kita yang dibawa oleh orang-orang jahil yang mendakwa diri mereka sebagai ahli tasawuf padahal mereka bukan ahli tasawuf.

Ibadat Rasulullah SAW

Dalam huraian di atas dinyatakan bahawa kehidupan Rasulullah merupakan contoh teladan bagi para sahabat dan kemudiannya diikuti pula oleh generasi yang kemudian Rasulullah SAW dalam kehidupannya telah melaksanakan kedua-dua tuntutan, duniawi dan ukhrawi. Baginda tidak meninggalkan dunia kerana menumpukan amal ibadat untuk hidup akhirat. Baginda adalah sebagai panglima perang, ketua negara yang berkecimpung dalam masyarakat kerana membina ummah, sebagai suami dan sebagai ayah yang bertanggungjawab membina keluarga dan rumahtangga bahagia. Dalam kesibukan menjalankan tugas dan tanggungjawab tersebut, baginda juga merupakan seorang abid yang tekun menunaikan ibadat, bangun menunaikan solat tahajud dan membaca Al-Quran setiap malam, beristighfar kepada ALLAH sekurang-kurangnya 70 kali atau 100 kali setiap hari.

Baginda menunaikan solat fardu berjemaah di masjidnya. Ditambah pula dengan sunat rawatibnya, lapan rakaat ditunaikan solat dhuha setiap hari. Solat ditunaikan dengan khusyuk, penuh sempurna memakan masa yang panjang, malah meliputi dua pertiga malam menunaikan solat. Auf bin Malik menceritakan: “Pada suatu malam saya bersama Rasulullah SAW. Baginda bangun lalu bersugi. Selepas itu baginda menunaikan solat. Saya bangun besertanya. Baginda menunaikan solat dengan membaca surah Al-Baqarah. Bila bertemu ayat rahmat, baginda berhenti lalu berdoa. Bila bertemu ayat azab, ia berhenti lalu memohon perlindungan. Kemudian barulah rukuk. Lama sekali rukuknya itu. Dalam rukuknya itu baginda membaca:
سبحان ذى الملكوت والعظمة والجبروت
‘Maha suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan dan keagungan serta kekuatan.’

Kemudian bangun dan sujud, dibacanya yang demikian. Pada rakaat yang kedua dibacanya surah Ali Imran, kemudian dibacanya surah demi surah dilakukannya seperti itu juga.

Mengambarkan keadaan ibadat Rasulullah SAW, Ummu Mu’minin Saiyidatina Aisyah menerangkan bahawa baginda menunaikan solat malam sampai bengkak kedua kakinya. Lantaran itu Aisyah RA berkata: “Wahai Rasulullah! Kerana apa lagi tuan lakukan sampai begini, sedangkan ALLAH telah mengampuni dosa tuan yang telah lalu mahupun yang akan datang?” Jawab baginda: “Tidakkah baik aku menjadi seorang hamba yang penuh bersyukur?”

Rasulullah SAW sering menangis takutkan ALLAH  Sensitiviti hatinya begitu terasa dan tajam. Justeru itu apabila berdoa kepada ALLAH baginda sering menggeletar, menadah tangan dengan penuh khusyuk dan tadarruk terutamanya pada malam-malam hari selepas menunaikan solat pada waktu sahur, pada waktu pagi dan juga pada waktu petang. Baginda pernah bersabda maksudnya: “Demi ALLAH  jika kamu mengetahui apa yang aku ketahui, tentulah kamu berebut-rebut hendak pergi ke kubur.”

Ata’ menceritakan bahawa beliau dan Ubaid bin Umair pernah pergi ke rumah Aisyah RA bertanyakan hal-hal yang menakjubkan pada Rasulullah SAW. Aisyah yang berada di balik tabir itu tiba-tiba menangis sambil berkata: “Perkara-perkara yang berlaku pada Rasulullah SAW semuanya menakjubkan.

Pada satu malam giliran saya, baginda datang menghampiri saya sehingga bersentuhan kulit. Baginda bersabda: aku hendak menumpukan ibadat kepada Tuhanku, ALLAH Taala’. Baginda pun pergi ke tempat air mengambil wuduk. Baginda berdiri menunaikan solat. Kemudian menangis sehingga basah janggutnya. Kemudian sujud. Selepas itu baginda terbaring di atas lambungnya. Kemudian datang Bilal kerana azan Subuh. Bilal bertanya: ‘Apa sebab tuan menangis sedangkan ALLAH telah mengampuni dosa tuan yang lalu dan yang akan datang?’ Jawab baginda: ‘Wahai Bilal, betapa tidak aku menangis kerana pada malam ini ALLAH telah menurunkan ayat:

“Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190)

Kemudian baginda bersabda: ‘Celakalah bagi mereka yang membaca ayat ini, tetapi tidak memikirkan tentangnya.’

Dalam penumpuan rohaniah ini, pernah terjadi Rasulullah SAW putus hubungan dengan alam nyata ini, terputus dengan keadaan sekelililngnya walaupun tubuh kasarnya berada di alam nyata ini. Pada suatu ketika baginda berada seorang diri, tiba-tiba Aisyah isterinya masuk ke tempat baginda. Bila baginda sedar Aisyah masuk terus bertanya:

“Siapa engkau?”
“Saya Aisyah.” Jawab Aisyah.
“Siapa Aisyah?” Tanya baginda lagi.
“Aisyah anak al-Siddiq.”
“Siapa al-Siddiq itu?”
“Mentua Muhammad,” tegas Aisyah.

Ketika baginda bertanya: “Siapa Muhammad?” Aisyah tidak berkata apa-apa kerana dia sudah mengetahui, Nabi SAW sedang berada dalam keadaan yang luar biasa, lebih ke alam rohani daripada alam maddi. Jika riwayat ini sahih, kata Muhammad Mustafa Hilmi, suasana rohaniah yang luar biasa juga boleh berlaku pada orang-orang yang sufi.

Dalam melaksanakan tuntutan rohaniah ini, seseorang itu jangan sampai mengabaikan tanggungjawab terhadap tuntutan jasmaniah dirinya. Kedua-duanya hendaklah dilaksanakan, sama-sama diberi perhatian yang sebaik-baiknya.

Pada zaman Rasulullah SAW pernah tiga orang sahabat datang ke rumah isteri-isteri Rasulullah SAW bertanyakan tentang ibadat baginda. Setelah mereka diberitahu, mereka merasakan bahawa ibadat tersebut masih terlalu sedikit. Lalu mereka pun berkata: “ Di manlah kita ini jika dibandingkan dengan Rasulullah SAW sedangkan baginda diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang?” salah seorang daripada mereka berkata: “Tentang saya, saya akan solat malam selama-lamanya.” Yang kedua berkata: “saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka.” Yang ketiga pula berkata: “saya akan menjauhkan diri daripada perempuan dan tidak akan kahwin selama-lamanya.”
Apabila Raulullah SAW bertemu mereka, baginda bertanya: “Kamukah yang berkata begini, begini? Sesungguhnya demi ALLAH  saya adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada-Nya, tetapi saya berpuasa dan berbuka. Saya mendirikan solat dan tidur dan saya juga berkahwin. Sesiapa yang tidak sukakan sunnahku, dia bukan daripada golonganku.” (Riwayat Al-Bukhari)

Ramai para sahabat melaksanakan tuntutan rohaniah dengan memperbanyakkan ibadat kepada ALLAH  Sikap ini pula dicontohi oleh generasi tabi’in. dalam perkembangan rohaniah Islam ini, semua tatahidup para sahabat itu dapat dianggap sebagia benih pertama yang kemudiannya tumbuh dan berkembang merendang mengeluarkan buah-buahan yang lazat rasanya, dinikmati dalam kehidupan para tabi’in dan generasi-generasi kemudian yang mengutamakan agama dalam hidup dunia ini.

Dalam peringkat permulaan ini, istilah “tasawwuf” dan “sufi” belum lagi wujud dalam sejarah umat Islam. Ia mula dikenali pada kurun ke-2 Hijrah. Orang-orang yang mula-mula sekali dipanggil sufi ialah Abu Hasyim al-Kufi yang meninggalkan dunia pada tahun 162.

Perkembangan Kehidupan Rohaniah

Kehidupan rohaniah Islamiah yang bermula dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang tersebut dalam bahagian yang lepas, dicontohi dan diamalkan oleh para sahabat dalam kehidupan mereka. Sebagaimana Nabi turun ke medan perang berjihad menegakkan agama ALLAH  para sahabat dan generasi yang kemudiannya juga turut melaksanakan tuntutan tersebut. Akhirnya mereka berjaya menegakkan pemerintahan Islam, mengalahkan dua kerajaan besar pada masa itu iaitu Rom dan Parsi. Di samping meneruskan jihad di medan perang, mereka juga meneruskan jihad al-nafs, melawan hawa nafsu dan godaan syaitan.

Sejarah menunjukkan sikap hidup yang bersepadu, yang dipelopori Rasulullah SAW dan para rasul yang terdahulu itu, dalam kehidupan sahabat-sahabat besar baginda, Abu Bakr, Umar, Uthman dan Ali. Sahabat-sahabat utama seperti Bilal Al-Habsyi, Salman Al-Farisi, Suhaib Al-Rumi, Ubai Ibn Ka’ab, Tamim Al-Dari, Abu Dzar Al-Ghiffari, Huzaifah Ibn al-Yaman, Mus’ab ibn Umair dan ramai lagi sahabat lain turut mempraktikkan sistem hidup Rasulullah SAW itu. Mereka menumpukan amal ibadat (taabud), bersikap zuhud (tazahhud), hidup taqasysyuf (hidup secara kasar), mujahad al-nafs dan sebagainya.

Semuanya tatahidup mereka itu merupakan benih pertama rohaniah yang kemudiannya tumbuh dan berkembang membina institusi kehidupan rohaniah yang besar, menerbitkan buah-buahan yang lazat, dinikmati dalam kehidupan para tabi’in dan generasi yang kemudiannya.

Dalam kurun pertama hijrah ini, istilah sufi dan tasawwuf belum lagi dikenal dalam sejarah kehidupan rohaniah Islamiah. Dalam peringkat ini ahli-ahli ibadat dipanggil dengan berbagai-bagai gelaran. Antaranya ialah:

Nussak: Kata jamak bagi perkataan nasik iaitu orang-orang yang memberi penumpuan untuk beribadat kepada ALLAH.

Ubbad: Kata jamak bagi perkataan abid iaitu orang-orang yang banyak beribadat, mengabdikan diri semata-mata kepada ALLAH.

Zuhhad: Kata jamak bagi perkatan zahid yang diambil daripada perkataan zuhud iaitu orang-orang yang tidak mementingkan dunia, harta benda, kemegahan, kebesaran dan sebagainya.

Bakka’un: Kata jamak bagi perkataan bakka’ yang bermaksud orang-orang yang banyak menangis kerana mengenangkan amalan ibadat kalau-kalau tidak diterima ALLAH atau pun kerana mengenangkan hari Akhirat.

Walaupun nama-nama ini berlainan sebutan zahirnya, tetapi semuanya membawa pengertian yang sama iaitu sangat-sangat prihatin terhadap urusan agama, sedikit perhatian terhadap dunia. Kehidupan mereka lebih banyak menunaikan ibadat, banyak berzikir, merenung, bertafakkur mengenangkan keagungan dan kekuasaan ALLAH, peka terhadap ALLAH dan penuh bertawakal kepada-Nya.

Antara tokoh rohaniah dalam peringkat ini ialah Uwais bin Amir Al-Qarani, Amir bin Abdullah bin Abd Qais al-Basri, Masyruq bin Abdurrahman al-Kufi, al-Rabi’ bin Khaitham, Haram bin Hayyan, Hasan bin Abu al-Hasan Abu Sai’d al-Basri dan lain-lain. Cara hidup mereka meninggalkan kesan yang besar dalam pertumbuhan kerohanian Islam masa-masa berikutnya.

Dalam kurun pertama dan kedua Hijrah, peraturan-peraturan yang merupakan kaedah-kaedah umum untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan kehidupan rohaniah atau kaedah-kaedah yang perlu diikuti dalam menjalani latihan rohaniah belum lagi wujud dengan teratur. Malah setiap individu menjalankan kehidupan rohaniah menurut citarasa sendiri. Walau bagaimanapun, masing-masing berusaha menuju ke arah ketinggian rohaniah dan kebersihan jiwa. Ahli-ahli ibadat, nasik, zahid, dan sebagainya itu berusaha membersih dan membebaskan diri daripada gangguan-gangguan duniawi yang boleh menyekat perkembangan rohaniah seseorang itu. Matlamat mereka ialah mencapai keredaan ALLAH, matlamat tertinggi bagi setiap orang.

Dalam peringkat ini, golongan nussak, dan zuhud itu secara umumnya terbahagi kepada dua aliran iaitu:
1.Aliran Kufah
2.Aliran Basrah

Kedua-dua aliran ini sangat-sangat mengambil berat tentang ilmu-ilmu Islam dengan mempelajari ilmu fekah, hadis, ilmu al-kalam dan ilmu-ilmu bahasa. Di samping kegiatan ilmiah itu, mereka juga giat menjalani latihan rohaniah, menjalani riadah hati, mujahadah al-nafs dan mengawal hawa nafsu.

Selain daripada dua aliran yang berpusat di dua buah kota itu golongan al-zuhhad, ubbad dan nussak juga telah muncul di kawasan-kawasan lain umpamanya Khurasan di mana munculnya Ibrahim bin Adham (m. 161H) dan muridnya Syaqiq al-Balkhi (m. 194H). Kedua-duanya merupakan tokoh terkenal dalam sejarah kehidupan rohaniah Islamiah.

Rabu, 24 September 2014

PERISAI MUKMIN FASAL 7 : Shalat

Perisai Mukmin yang tak dapat lagi dipungkiri keampuhannya ialah shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan dalam firman-Nya bahwa shalat merupakan sarana amar makruf nahi  munkar, sebagai penolong dan alat kontrol bagi Mukmin agar bersabar terhadap segala bencana dan mara-bahaya yang senantiasa datang dan mengintai sebagai ujian atas keimanannya. Dan dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  mengabarkan tentang hakikat shalat yang diumpamakan sebagai tiang agama bagi yang menegakkannya dan kehancuran atas mereka yang melalaikannya.Bahkan ditandaskan pula oleh beliau perbedaan antara si Mukmin dengan si Kafir adalah dengan menegakkan shalat dan tidaknya.
Oleh karena itu, seorang Mukmin dengan penuh kesadaran akan senantiasa memperhatikan waktu-waktu shalatnya. Disamping itu ia akan menegakkannya ditempat yang suci lagi di sucikan, dengan kekhusyu'an, penuh kesabaran, dan tidak lupa memberi peringatan atas orang-orang yang melalaikannya.

Maka shalat  seperti inilah yang akan menjadi perisai untuk menggapai kemenangan.Kemenangan secara kaffah, hancurnya yang munkar dan tegaknya yang makruf.

"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar."(Al-'Ankabuut :45)

PERISAI MUKMIN FASAL 6 : Jihad

Ini pun merupakan perisai perwujudan refleksi atas orang-orang yang berhijrah dengan sungguh-sungguh. Yaitu, denganmengadakan perbaikan melalui peningkatan amal shaleh yangdiperintahkan dan menjauhi segala apa yang dilarang. Dan atasmereka inilah peran amar makruf terealisasi dengan sempurna.Karena mereka memiliki ciri-ciri yang diisyaratkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam AI-Qur'an, diantaranya:

Pertama : Berperang di jalan Allah (QS an-Nisa 4:76).
Kedua : Berjihad dengan pedoman Al-Qur'an (QS al-Furqan 25:52).
Ketiga : Berjihad dalam barisan yang teratur (QS al- An’am 61:4).
Keempat : Siap mengorbankan harta dan jiwa (QS at-Taubah 9:111).Kelima : Tertindas (QS al-Qashash 28:4).
Dan, atas mereka yang memegang erat-erat perisai jihadnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan mereka kemenangan dan berkuasa di mukabumi, tapi bila mereka gugur Allah Subhanahu wa Ta'ala telah tetapkan atas  mereka rezki yang tidak terputus dan surga yang kekal nan abadi.

 Dari Abu Hurairah ra., katanya Nabi bersabda: "Allah menggembirakan hati orang-orang yang berperang fi sabilillah, yaitu orang yang berperang semata-mata karenaiman kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akan kembali membawa kemenangan dan harta rampasan, atau dimasukkan ke dalam surga."(HR. Bukhari).

PERISAI MUKMIN FASAL 5 : Hijrah



Perisai ini merupakan refleksi dari perwujudan taubat yangmemiliki keterkaitan mutlak dalam rangka menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala  yang dalam sirah bisa kita baca bahwa para nabi dan rasul dalam mengemban amanahnya diperintahkan pula oleh Allah Subhanahu waTa'ala
untuk berhijrah. Begitu pun atas Mukmin yang benar keimanannya, yang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berhijrah selama pintu taubat masih terbuka menjelang datangnya ajal dan kiamat. Sebagaimana yang disinyalir Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bahwa tidak akan terputus hijrah sehingga terputus taubat. Yaitu, hijrah dengan taubatnya dari alam jahiliyah kepada cahaya Islam. Hijrah dengan taubatnya dari dosa kepada pahala. Hijrah dengan taubatnya dari panasnya bara api neraka kepada kenikmatan surga. Dan semua ini merupakan sebuah proses yang menuntut sekian banyak pengorbanan. Baik terbentuk harta maupun jiwa. Dan atas orang-orang yang istiqamah Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan bagi mereka dalam firman-Nya yang berbunyi:

“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.(QS an-Nisaa' 4:100

PERISAI MUKMIN FASAL 4 : Taubat

Membenamkan diri dalam lumpur dosa merupakan perbuatan yang menutup semua jalan kebaikan yang akan mendorong seseorang ke dalam jurang neraka. Umumnya orang yang seperti ini telah menganggap dirinya sangat kotor hingga sulit untuk dibersihkan dan menganggap sudah kepalang tanggung. Dan ini merupakan kekeliruan yang besar. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan taubat sebagai satu-satunya perisai yang dapat menghapus dosa-dosa dan memudahkan langkah untuk mengadakan berbagai macam perbaikan dan amal shaleh. Untuk itu segeralah bertaubat! Karena perisai ini memiliki kadaluarsa ketika ajal datang menjemput dan kiamat tiba. Dan Mukmin yang memiliki perisai ini tidak akan lari dari empat perkara yang menunjang keabsahan taubatnya, iaitu:

Pertama : Menghentikan maksiat.
Kedua : Menyesali atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Ketiga : Berniat sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatanmaksiat tersebut.
Keempat : Bila terkait hak manusia, wajib atasnya meminta maaf danmengembalikan hak orang yang dizalimi.
Dan, taubat yang hanya diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala tertuangdalam firman-Nya yang berbunyi:

 “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang -orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengansegera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah MahaMengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS an-Nisaa' 4:17).
 

Dari Abu Hurairah ra., katanya Nabi bersabda: "Allah menggembirakan hati orang-orang yang berperang fi sabilillah, yaitu orang yang berperang semata-mata karenaiman kepada Allah dan Rasul-Nya, ia akan kembali membawa kemenangan dan hartarampasan, atau dimasukkan ke dalam surga."(HR. Bukhari).