Selasa, 05 Februari 2013

PERMATA SUFI (6) : PENJELASAN BERTASAWWUF



Mereka menanyakan mengapa dikatakan Rasulullah bertasawuf  bukan Rasulullah menyampaikan tentang akhlak, karena bagi pemahaman mereka berdasarkan pemahaman syaikh/ulama/ustadz mereka, tasawuf mempunyai makna yang lain yang berkonotasi negatif dan sekaligus menanyakan mengapa kami menyiarkan tentang tasawuf.
Kami sengaja memilih judul “Rasulullah bertasawuf” agar semakin jelas bahwa jika tasawuf dimaknakan bukan sebagai akhlak atau tentang Ihsan maka mustahil Rasulullah bertasawuf.
Upaya ini kami lakukan karena pada zaman modern ini semakin banyak muslim yang tidak tahu tentang akhlak atau tentang Ihsan.
Banyak yang tidak paham apa arti dan maksud sebenarnya dari akhlak.
Jika tidak mengerti atau mengetahui tentang Akhlak / tentang Ihsan maka secara tidak disadari akan menganggap bahwa Allah Azza wa Jalla tidak melihat segala perbuatan kita. Seperti contoh mereka yang korupsi, mafia hukum, bugil depan kamera dan perbuatan-perbuatan yang dilarang lainnya, pada hakikatnya adalah mereka yang tidak yakin bahwa Allah ta’ala melihat segala perbuatan mereka.
Apakah boleh kami membiarkan perihal seperti itu berlarut-larut ?
Adakah tarekat Rasulullah
Kemudian, saudara-saudara kita yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh menanyakan apakah ada tarekat Rasulullah ?
Pada hakikatnya tarekat yang muktabar, sanad/silsilah atau sanad ilmu/ijazah terhubung kepada Rasulullah.
Sedangkan contoh murid yang mursyidnya langsung baginda Rasulullah adalah Sayyidina Ali ra.
Sayyidina Ali ra lah yang secara intensif dibimbing oleh Rasulullah untuk bertasawuf sehingga mencapai muslim yang Ihsan (muhsin) yang keadaannya “seolah-olah” melihat Allah.
Sebagaimana yang diriwayatkan berikut
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Jadi bagi kaum muslim yang “paham” dan mengakui Rasulullah sebagai Wali Allah maka mereka “paham” dan mengakui Sayyidina Ali ra sebagai wali Allah pula.
Inilah makna sebenarnya dari perkataan Rasulullah , “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali” dalam riwayat berikut yang dimaknai lain oleh kaum Syiah.
Riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar khutbah Rasulullah saw pada hari Jumat. Ia memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah Swt, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa yang engkau katakan wahai Rasulullah saw“. Kemudian beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda. “Orang ini adalah waliku, dan dialah yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya
Yang “paham” atau mengenal wali Allah hanyalah mereka yang dikaruniakan Taufiq dan hidayahNya”
Dalam hadits qudsi, Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya
Kemudian, saudara-saudara kita yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh menyatakan berdasarkan pendapat syaikh/ulama/ustaadz mereka bahwa kaum sufi adalah mereka yang gemar tahayul dan khurafat.
Khurafat adalah salah satu kata yang termasuk dalam “slogan” dari saudara-saudara kita yang mengaku berpemahaman Salafasuh Sholeh dan mengaku seolah-olah hanya mereka saja yang “khawatir” tentang “Tahayul, Bid’ah dan Khurafat”.
Untuk masalah bid’ah kita sudah sepakat bahwa pemahaman mereka tentang bid’ah berbeda dengan pemahaman kaum muslim pada umumnya.
Sehingga jumhur ulama sepakat juga menggunakan kata Wahhabi untuk “mengidentifikasi” suatu kaum dengan pemahaman berlainan yakni pemahaman tentang bid’ah sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menurut pengakuan beliau mengikuti pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah yang mengaku sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh.
Seharusnya nama kaum bukan Wahhabi tetapi Muhammadi berdasarkan nama pendirinya. Namun untuk menghindari kesalahpahaman dengan penamaan kaum maka disepakati menggunakan nama Wahhabi.
Sedangkan kesalahpahaman tentang Kurafat, Tahayul adalah kesalahpahaman mereka terhadap kisah-kisah, syair-syair, syarah atau perumpamaan-perumpaman yang disampaikan oleh para ulama Tasawuf (ulama yang mendalami tentang Ihsan / akhlak).
Kekurangan dari bahasa lisan maupun tulisan adalah ketika ulama-ulama tasawuf berupaya mengungkapkan suasana atau bahasa hati atau keimanan. Untuk itulah diperlukan kisah-kisah, syair-syair, syarah atau perumpamaan-perumpamaan.
Perihal ini sesuai dengan firman Allah yang ertinya,
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Mursyid adalah pembimbing secara dzahir (tampak mata) namun pada hakikatnya Allah Azza wa Jalla yang membimbing hambaNya untuk sampai kepadaNya dan khusus hanya kepada siapa yang dihendakiNya.
Oleh karenanya muslim yang mencapai muslim yang ihsan atau muhsin atau juga disebut sufi disebut juga sebagai orang khusus untuk membedakan dengan muslim pada umumnya.
Mereka disebut juga orang dalam perjalan untuk sampai kepadaNya . Mereka menjadi khusus karena mereka dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla
Allah Azza wa Jalla yang menghendaki mereka untuk dapat mencapai tingkatan muslim yang ihsan (muhsin) atau muslim yang seolah-olah melihatNya atau muslim yang dapat melihat Allah dengan hati/keimanan dengan mensucikan mereka.
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Oleh karenanya makna sebenarnya dari sufi sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Abu al-Abbas r.a, “Kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal“.
Oleh karenanya kami sampaikan atau peringatkan berulang-ulang kali, janganlah mengambil pemahaman tentang tasawuf atau tentang sufi dari dukhala ilmi atau ahli ilmu (ulama) yang tidak mendalami tasawuf, karena ulama-ulama Tasawuf lah yang berkompeten / yang ahli untuk menjelaskannya.
Kalau kita belum dapat memahami apa yang disampaikan oleh ulama-ulama Tasawuf , haruslah kita intropeksi diri terlebih dahulu karena mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala.
Namun pada prinsipnya, tidak mengapa kita belum dapat mendalami atau memahami atau menjalankan tasawuf karena tidak membatalkan keislaman kita. Perihal ini sama dengan hukum bagi mereka yang belum meyakini hadits qudsi ataupun belum mengenal Wali Allah, tidaklah membatalkan keislaman. Akan tetapi jika kita mengolok-olok, menghujat, mefitnah terhadap Tasawuf, Hadits Qudsi, Wali Allah, inilah yang terlarang dan akan diperangi oleh Allah ta’ala.
Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Swt telah berfirman, “Barangsiapa memusuhi wali-Ku (kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang terhadapnya…

Kesalahpahaman bahwa tasawuf  bukan termasuk syariat/tasyri
Sebagian besar kesalahpahaman menganggap / memperlakukan tasawuf sebagai tasyri atau syariat atau ajaran tambahan dan syariat sudah sempurna sampai dengan Rasulullah wafat.
Inilah yang harus diluruskan , bagaimana kedudukan sebenarnya antara tasawuf dengan tasyri / syariat.
Dalam agama Islam ada 3 pokok utama yakni
Tentang Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I’tiqad), Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)
Tasawuf dapat dikatakan sebagai perjalanan (suluk) seorang hamba Allah menuju atau agar sampai (wushul) kepada Allah.
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Pada hakikatnya Tasawuf (tentang Ihsan) bukanlah sebuah ilmu atau sebuah pemahaman namun sebuah amal atau perbuatan atau “perjalanan” atau dikenal dengan suluk dan “pejalan”nya disebut seorang salik.
Sedangkan Fiqih, Ushuluddin, I’tiqad dll yang merupakan pendalaman/pengamalan rukun Iman, dan rukun Islam adalah syariat / syarat “perjalanan”, rambu2 dan petunjuk “perjalanan”, tanpa syariat / syarat maka “perjalanan” akan tersesat.
Pada hakikatnya setiap hamba Allah yang mempunyai kesadaran sendiri untuk menuju kepada Allah akan dapat memahami dan merasakan bahwa Allah ta’ala yang membimbing walaupun secara dzahir dibimbing oleh seorang/beberapa mursyid (pembimbing)
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (membimbingmu/memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282)
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Beberapa sarana bimbingan adalah melalui mursyid , hati, mimpi, suatu kejadian / cobaan dan bentuk-bentuk lain atas kehendakNya
“Perjalanan” yang dilakukan seorang hamba Allah menuju kepada Allah sebaiknya tidak dilakukan seorang diri karena kemungkinan tersesatnya akan besar sekali dan godaan syetanpun semakin besar dan semakin halus (semakin sukar dibedakan antara kebenaran dengan kesesatan), godaaan syetan berbanding lurus dengan tingkat perjalanan yang telah dilampaui atau disebut juga dengan maqam, jadi tingkatan / pangkat syetan yang menggoda mengikuti tingkatan(maqam) salik itu sendiri.
Oleh karenanya dibutuhkan seorang/beberapa mursyid (pembimbing) yang telah mengetahui / melewati “jalan yang lurus”.
Sekali lagi kami sampaikan sebagaimana firman Allah dalam (QS An Nisaa’ [4]:175 ) bahwa tujuan hidup kita adalah (untuk sampai) kepadaNya. Berkumpul dengan para Nabi, para Shidiqqin, Syuhada dan Sholihin. Berkumpul dengan mereka yang selalu mengingat Allah (dzikrullah).
Maka berupayalah menjadi muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin), muslim yang baik , muslim yang sholeh (sholihin). Muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati/keimanan sebagai perwujudan sebenar-benarnya “bersaksi” / syahadah.
Oleh karenanya marilah kita bertasawuf atau memperdalam/menjalankan tentang ihsan sebagaimana yang telah dicontohkan baginda Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wasallam

PERMATA SUFI (5 ) :KENALI DIRI



Mengenal diri itu adalah “anak kunci” untuk Mengenal Allah sebagaimana yang telah disampaikan oleh para ulama yang sholeh sejak dahulu kala.

MAN ‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
(Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah)

Firman Allah Taala :
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“  (QS. Fush Shilat [41]:53 )

Tidak ada hal yang melebihi diri sendiri.  Jika anda tidak kenal diri sendiri, bagaimana anda hendak tahu hal-hal yang lain?  Yang dimaksudkan dengan Mengenal Diri itu bukanlah mengenal bentuk lahir anda, tubuh, muka, kaki, tangan dan lain-lain anggota anda itu.  karena mengenal semua hal itu tidak akan membawa kita mengenal Alloh.  Dan bukan pula mengenal perilaku dalam diri anda yaitu bila anda lapar anda makan,  bila dahaga anda minum,  bila marah anda memukul dan sebagainya.  Jika anda bermaksud demikian,  maka binatang itu sama juga dengan anda.  Yang dimaksudkan sebenarnya mengenal diri itu ialah:
Apakah yang ada dalam diri anda itu?
Dari mana anda datang? Kemana anda pergi? Apakah tujuan anda berada dalam dunia fana ini? Apakah sebenarnya bagian dan apakah sebenarnya derita?
Sebagian daripada sifat-sifat anda adalah bercorak kebinatangan.  Sebagian pula bersifat Iblis dan sebagian pula bersifat Malaikat.  Anda hendaklah tahu sifat yang mana perlu ada,  dan yang tidak perlu.   Jika anda tidak tahu,   maka tidaklah anda tahu di mana letaknya kebahagiaan anda itu.
Kerja binatang ialah makan,  tidur dan berkelahi.  Jika anda hendak jadi binatang,  buatlah itu saja.  Iblis dan syaitan itu sibuk hendak menyesatkan manusia,  pandai menipu dan berpura-pura.  Kalau anda hendak menurut mereka itu,   lakukan sebagaimana kerja-kerja mereka itu.  Malaikat sibuk dengan memikir dan memandang Keindahan Ilahi.  Mereka bebas dari sifat-sifat kebinatangan.
Jika anda ingin bersifat dengan sifat KeMalaikatan,  maka berusahalah menuju asal anda itu agar dapat anda mengenali dan menuju pada Alloh Yang Maha Tinggi dan bebas dari belenggu hawa nafsu.  Sebaiknya hendaklah anda tahu kenapa anda dilengkapi dengan sifat-sifat kebintangan itu.
Adakah sifat-sifat kebinatangan itu akan menaklukkan anda atau adakah anda menakluki mereka?.  Dan dalam perjalanan anda ke atas martabat yang tinggi itu,  anda akan gunakan mereka sebagai tunggangan dan sebagai senjata.
Langkah pertama untuk mengenal diri ialah mengenal bahwa anda itu terdiri dari bentuk yang zhohir,  yaitu tubuh ;  dan hal yang batin yaitu hati atau Ruh .  Yang dimaksudkan dengan “HATI” itu bukanlah daging yang terletak dalam sebelah kiri tubuh.
Yang dimaksudkan dengan “HATI” itu ialah satu hal yang dapat menggunakan semua kekuatan,   yang lain itu hanyalah sebagai alat dan kaki tangannya saja.  Pada hakikat hati itu bukan termasuk dalam bidang Alam Nyata(Alam Ijsam) tetapi adalah termasuk dalam Alam Ghaib.  Ia datang ke Alam Nyata ini ibarat pengembara yang melawat negeri asing untuk tujuan berniaga dan akhirnya kembali akan kembali juga ke negeri asalnya.  Mengenal hal seperti inilah dan sifat-sifat itulah yang menjadi “Anak Kunci” untuk mengenal Alloh.
ISLAM yang telah Allah redhakan untuk menjadi agama kita, dan disampaikan melalui utusan-Nya Nabi Muhammad SAW merupakan satu syariat yang mencakup persoalan hidup lahir dan batin. Syariat lahir disebut syariat. Syariat batin disebut hakikat. Hal itu sangat sesuai dengan struktur kejadian manusia itu sendiri yang merupakan kombinasi antara jasad lahir dan jasad batin.
Jasad lahir adalah semua anggota tubuh kita yang nampak dengan mata. Sedangkan jasad batin adalah jasad gaib yang menggerakkan seluruh anggota lahir. Jasad batin dapat merasa, mengingat, memikirkan, mengetahui, memahami segala sesuatu yang terjadi di dalam diri kita masing-masing. Allah SWT menetapkan bahwa syariat lahir untuk diamalkan oleh jasad lahir sedangkan syariat batin untuk diamalkan oleh jasad batin yaitu ruh.
Sesuai dengan keadaan lahir batin kita yang saling berkaitan erat tanpa terpisah-pisah maka begitu pula amalan lahir dan batin wajib dilaksanakan secara serentak di setiap waktu dan keadaan. Kalau kita membeda-bedakan atau menolak salah satu dari amalan itu, maka kita tidak mungkin menjadi hamba Allah yang sebenarnya sebab Islam memandang syariat itu sebagai kulit, sedangkan hakikat itu adalah intipati.
Kedua-duanya sama-sama penting dan saling memerlukan, ibarat kulit dan isi pada buah-buahan. Keduanya mesti ada untuk kesempurnaan wujud buah itu sendiri. Tanpa kulit, isi tidak selamat malah isi tidak mungkin ada kalau kulit tidak ada. Sebaliknya tanpa isi, kulit jadi tidak berarti apa-apa. Sebab buah yang dimakan adalah isinya bukan kulitnya.
Begitu juga hubungan syariat dan hakikat. Keduanya mesti diterima dan diamalkan serentak. Keduanya saling mengisi dan memerlukan. Kalau kita bersyariat saja (artinya berkulit saja tanpa isi), itu tidak membawa arti apa-apa di sisi Allah.
Sabda Rasulullah SAW:
Terjemahannya : “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (Riwayat : Muslim)
Sebaliknya kalau kita berhakikat saja (isi tanpa kulit), maka tidak ada jaminan keselamatan dari Allah SWT. Hakikat itu akan mudah rusak, dan kita sama sekali tidak akan memperoleh apa-apa, bahkan agama Islam yang kita anut akan rusak tanpa kita sadari.
Berkata Imam Malik Rahimahullahu Taala:
Terjemahannya : “Barangsiapa berfiqih (syariat) dan tidak bertasawuf maka ia jadi fasik. Barangsiapayang bertasawuf (hakikat) tanpa fiqih maka ia adalah kafir zindik.”
Ertinya kita mesti mengamalkan keduanya sekaligus, yaitu syariat dan hakikat. Kalau kita pilih salah satu, kita tidak akan selamat. Kalau kita bersyariat saja tanpa dilindungi oleh hakikat, kita akan menjadi fasik. Dan kalau kita berhakikat saja tanpa dikawal oleh syariat, maka hakikat itu akan mudah rusak sehingga kita jatuh kafir zindik (kafir tanpa sadar).
Begitulah pentingnya syariat dan hakikat. Tetapi bila kedua-duanya ada, maka hakikatlah yang lebih utama.
Seperti dalam sabda Rasulullah SAW:
Terjemahannya : Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu. (Riwayat : Muslim)
Hadis itu tidak bermaksud bahwa syariat tidak penting. Bahkan syariat juga adalah hukum-hukum fardhu yang wajib diamalkan oleh seluruh umat Islam. Hanya saja dalam keadaan keduanya (syariat dan hakikat) itu sama-sama diamalkan, Allah memberi keutamaan pada amalan hakikat. Perbandingannya seperti antara kulit dan isi buah. Kedua-duanya sama penting, tetapi manusia memberi keutamaan pada isi sebab bisa dimakan.
Begitulah peranan hakikat. Peranannya menentukan berakhlak atau tidaknya seorang manusia kepada Allah dan kepada sesama manusia. Orang yang kuat amalan batinnya atau tinggi pencapaian tasawufnya adalah orang yang hatinya selalu dekat dengan Allah. Ia senantiasa merasakan kebesaran Allah, dibandingkan dirinya yang maha lemah dan senantiasa memerlukan pertolongan Allah. Ia sangat beradab dengan Allah dan dapat mengorbankan dunia untuk Tuhannya. Ia juga mampu mengasihi semua manusia, bersedia susah untuk manusia dan akan menyelamatkan manusia dari tipuan dunia, nafsu dan syaitan.
Sebaliknya orang yang lemah dalam amalan batin adalah orang yang hatinya jauh dan terpisah dari Allah. Ia tidak takut dengan Allah, tidak malu, tidak harap, dan tidak cinta kepada Allah. Ia tidak redha dan tidak sabar, kurang beradab dengan Allah, penuh hasad dengki, sombong, bakhil, dendam dan pemarah. Ia akan menjadi seorang pencinta dunia yang bekerja keras hanya untuk dunianya. Orang seperti itu selalu dibelenggu oleh kecintaan kepada dunia hingga takut berjuang dan berjihad untuk agama Allah serta untuk kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Orang yang tidak berhakikat, sekalipun melakukan ibadah shalat, puasa, dan banyak membaca Al Quran serta gigih berjuang adalah orang yang kurang berakhlak dengan Allah dan kurang berakhlak dengan manusia.
Kurangnya amalan batin dapat menyebabkan orang-orang yang tidak berhakikat itu biasanya mati dalam dosa yang tidak sadar. Mungkin dosa karena buruk sangka dengan Allah, putus asa dengan ketentuan Allah, tidak redha dengan takdir Allah atau dosa karena merasa bahwa amalannya lah yang akan menyelamatkan dirinya dari neraka Allah.
Rasa riya’, ujub atau merasa diri bersih itu pun adalah dosa batin. Dosa batin, tak seorang pun yang dapat melihatnya, bahkan diri sendiri pun tidak dapat merasakannya. Hanya orang yang mempunyai basirah (pandangan hati yang tembus) saja yang dapat mengetahuinya.
Nanti, bila Allah bukakan segala kesalahan (dosa-dosa batin itu) di akhirat, barulah manusia akan terkejut dan tersentak.
Ulama tasawuf berkata:
“Biarlah sedikit amalan beserta rasa takut pada Allah, karena itu lebih baik daripada banyak amalan tetapi tidak ada rasa takut dengan Allah. Lebih baik orang yang merasa berdosa dan bersalah dengan Allah daripada orang yang banyak amalan tetapi tidak rasa berdosa pada Allah bahkan dia merasa telah cukup dengan amalan itu.”
Firman Allah :
Terjemahannya : Hari kiamat ialah hari dimana harta dan anak-anak tidak dapat memberi manfaat, kecuali mereka yang menghadap Allah membawa hati yang selamat sejahtera.(Asy Syuara: 88-89)
Hati yang selamat sejahtera ialah hati orang bertaqwa yang berisi iman, yakin, ikhlas, redha, sabar, syukur, tawakal, takut, harap dan lain-lain rasa hati dengan Allah SWT. Hati yang senantiasa merasa sehat dalam kesakitan, kaya dalam kemiskinan, ramai dalam kesendirian, lapang dalam kesempitan dan terhibur dalam kesusahan. Ia bersikap redha dengan apa saja pemberian Tuhan-Nya.
Untuk memperoleh hati yang seperti itu, kita mesti bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu untuk melakukan amalan lahir dan batin (syariat dan hakikat). Kedua-duanya akan saling mengawal untuk mengangkat kita ke taraf taqwa.
Syariat dan hakikat akan mendidik dan memimpin kita menjadi seorang insan kamil yang mampu memenuhi keinginan dan keperluan fitrah murni manusia secara suci lagi mulia. Orang seperti itulah yang Allah maksudkan sebagai golongan As Siddiqin atau golongan Al ‘Arifin. Sifat mereka Allah uraikan dalam Surah Al Furqaan ayat 63-74:
Terjemahannya : “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang (hamba-hamba yang baik) itu ialah mereka yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan mereka yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (orang-orang yang melakukan shalat tahajjud di malam hari semata-mata karena Allah). Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami. Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.” Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) bakhil, dan adalah (perbelanjaan itu) pertengahan. Dan mereka juga tidak mengharap (menyembah) yang lain di samping Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (orang Islam) kecuali yang dibenarkan syarak (pembunuh, penzina, murtad) dan tidak juga berzina. Barang siapa yang melakukan yang demikian itu niscaya dia akan menerima pembalasan dosanya. (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali mereka yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal soleh, kejahatan mereka Allah gantikan dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal soleh maka sesungguhnya mereka bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka tidak menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan orang-orang yang sering berdoa, “Ya Tuhan kami anugerahkanlah kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Merekalah orang-orang bertaqwa yang akan memperoleh ketenangan hidup di dunia dan di akhirat. Mereka adalah tempat untuk kita mempelajari dan mencontoh kehidupan yang aman dan bahagia. Suasana seperti itu pernah terjadi, yaitu dalam kehidupan salafussoleh. Mereka telah menjalani suatu kehidupan, di mana mereka menerima dan mengamalkan sepenuhnya kehendak syariat dan hakikat. Hasilnya, mereka (para salafussoleh) menjadi orang-orang yang bahagia dan membahagiakan orang lain.
Sejarah 15 abad yang silam memberitahu kepada kita bahwa 3/4 dunia menjadi tenang, aman dan damai di bawah pemerintahan mereka. Kawan maupun lawan merasa selamat berada di dalam kekuasaan mereka. Demikianlah satu kenyataan yang membuktikan bahwa sekiranya manusia patuh menjalani syariat lahir dan batin, maka selamat dan berbahagialah mereka di dunia dan di akhirat.
Allah berfirman :
Terjemahannya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal soleh di antara kamu bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia akan menegakkan bagi mereka agama yang telah diredhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang ingkar sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS An Nur [24] : 55 ) .

 

PERMATA SUFI (4 ) : ISTILAH TASAWWUF



Kadang kita mendengar saudara muslim kita yang memperturutkan hawa nafsunya, sibuk dengan istilah tasawuf mengatakan,
“kalau tasawuf ajaran Rasulullah ??  dari mana asal kata tasawuf ??”
“Apakah Muhammad Rasulullah saw, pernah bertutur dalam hadist sahih bahwa “Sarana atau ilmu untuk paham seputar mengenal Allah adalah ilmu
Tasawuf”?”
“Apakah Muhammad Rasulullah saw pernah mengaku sebagai sufi dan pendiri aliran tasawuf??”
Berikut tulisan yang menarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan yang senada dengan itu, memperdebatkan masalah yang bukan substansi, yakni istilah tasawuf.
Membahas masalah Tasawuf saya jadi ingat pengajian rutin mingguan yang diadakan di Masjid Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar, membahas kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah yang disampaikan langsung oleh Syaikh Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi. Pembahasan terakhir kebetulan sampai pada Bab Tasawuf, setelah selesai membahas Bab Al-Faqr.
Dalam pengajian terakhir (14/5/2010), Syaikh Al-Buthi menerangkan bahwa istilah tasawuf adalah istilah yang tidak memiliki asal. Memang ada yang mengatakan bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuuf (bulu domba), Ahlus Shuffah (penghuni Shuffah), Shafaa (jernih), Shaff (barisan) dan lain-lain. Namun teori-teori itu tidak ada yang tepat menurut beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Qusyairi sendiri dalam kitabnya. Namun yang menjadi fokus pembahasan bukanlah itu, yaitu meributkan masalah nama atau istilah yang takkan pernah ada habisnya, karena setiap orang bisa membuat istilah sesuka hatinya. Yang menjadi fokus adalah substansinya. Oleh karena itu, ada sebuah ungkapan yang sudah sangat masyhur di kalangan para ulama dan santri, “La musyahata fil ishthilah (tidak perlu ribut karena membahas istilah).”
Dalam dunia ushul fikih kita mengenal istilah Wajib dan Fardhu, menurut Jumhur Fuqoha keduanya memiliki arti yang sama, namun menurut Hanafiyah keduanya berbeda. Dalam dunia Mushtolah Hadis kita mengenal istilah Hadis Mursal yang menurut ahli hadis artinya adalah hadis yang dinaikkan oleh seorang tabii tanpa menyebutkan siapa perantaranya kepada Nabi SAW, namun menurut ahli ushul artinya adalah hadis yang terputus secara mutlak, di mana pun letaknya dan berapa pun jumlah perawinya, mirip Hadis Munqathi’. Imam Asy-Syafii mengingkari Istihsan dan mengatakan bahwa “Barangsiapa ber-istihsan maka ia telah membuat syariat (baru)”, sedangkan Ulama Hanafiyah paling banyak menggunakan Istihsan. Setelah diselidiki dan diteliti ternyata perbedaan mereka hanya sampai pada tataran istilah saja (ikhtilaf lafzhi), namun pada substansinya mereka sepakat. Istihsan yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafii bukanlah Istihsan yang selama ini dipakai oleh Ulama Hanafiyah. Kata Sunnah pun memiliki pengertian yang bebeda-beda menurut ahli fikih, ushul fikih dan mustholah hadis. Demikianlah seterusnya, perdebatan dalam masalah istilah takkan pernah menemui titik temu dan takkan memberikan manfaat yang signifikan.
Demikian pula dalam masalah Tasawuf. Banyak orang berbondong-bondong mengumandangkan genderang dan mengibarkan bendera perang terhadap apa yang disebut Tasawuf. Buku-buku ditulis, pengajian-pengajian digelar, perang opini dikobarkan. Semuanya dengan satu tujuan, memberangus Tasawuf dari muka bumi. Sementara itu, di sisi lain berbondong-bondong pula orang yang siap membela mati-matian Tasawuf. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak mengerti dan tidak memahami apa hakikat dari istilah Tasawuf itu sendiri. Ironis.
Syaikh Al-Buthi berkata, “Jika Tasawuf yang kalian maksud itu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat seperti ikhtilath (campur baur) laki-laki dengan perempuan dan lain-lain, maka aku akan berdiri bersama kalian dalam memerangi Tasawuf. Namun jika yang kalian perangi adalah perkara-perkara yang memang berasal dari Islam seperti tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), akhlak dan lain-lain, maka berhati-hatilah!”
Beliau juga sering mengulang-ulang perkataan ini, “Namailah sesuka kalian: Tasawuf, Tazkiyah, Akhlak atau yang lainnya selama substansinya sama.”
Ya, ternyata istilah tidaklah sedemikian penting dibandingkan dengan subtansinya selama dalam batas-batas yang bisa ditolerir. Syaikh Al-Buthi bahkan menegaskan dalam ceramahnya, “Saya sengaja berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggunakan istilah tasawuf dalam kitab saya, Syarah Hikam Atho’iyah, demi menjaga perasaan saudara-saudara kami yang sudah termakan opini bahwa tasawuf bukanlah dari Islam.”
Namun, apakah dengan demikian beliau mengingkari inti atau substansi Tasawuf? Jawabannya seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Apapun istilahnya, jika memang terbukti berupa pelanggaran terhadap syariat maka kita harus berdiri dalam satu barisan untuk memeranginya. Namun jika hal-hal itu adalah bagian dari Islam atau bahkan inti ajaran Islam, maka tidak semestinya kita menolaknya.
Jadi, kita mesti banyak berhati-hati dalam menggunakan istilah sebelum memahami makna sebenarnya. Jangan sampai kita terjebak dalam perangkap musuh yang sengaja mengkotak-kotakkan umat Islam dengan cara menciptakan istilah-istilah agar umat Islam disibukkan membahasnya lalu terlupakan akan tugas yang lebih penting dan lebih besar manfaatnya daripada itu. Jangan sampai kita terpecah-pecah karena masalah furu’iyyah sementara kita melupakan prinsip-prinsip agama kita.

KISAH SUFI DARI IDRIES SHAH: DI JALAN TEMPAT PEDAGANG WANGI-WANGIAN



Seorang pengais sampah, yang sedang berjalan-jalan di tempat orang berjualan wangi-wangian, tiba-tiba terjatuh seakan-akan mati. Orang-orang berusaha menghidupkannya kembali dengan bau-bauan wangi, namun keadaannya malah semakin parah.
Akhirnya seorang bekas pengorek sampah datang; ia mengetahui keadaan itu. Ia mendekatkan sesuatu yang berbau busuk di hidung orang itu, yang segera saja segar kembali, teriaknya, "Nah, ini dia wangi-wangian!"


Kamu harus mempersiapkan dirimu bagi keadaan peralihan, di sana tidak ada apa pun yang sudah biasa kau kenal. Setelah mati, dirimu akan harus memberikan tanggapan terhadap rangsangan yang di dunia ini masih bisa kaucoba rasakan.
Kalau kau tetap terikat pada beberapa hal yang kau kenal akrab, kau hanya akan sengsara, seperti halnya si pengorek sampah yang keadaannya menjadi gawat ditempat para penjual wangi-wangian.

Catatan

Kisah perumpamaan ini jelas sekali maknanya. Ghazali mempergunakannya dalam Alkemia Kebahagiaan pada abad kesebelas untuk menggarisbawahi ajaran Sufi, bahwa hanya beberapa saja diantara benda-benda yang kita kenal ini yang memiliki pertalian dengan "dimensi lain." 

KISAH SUFI DARI IDRIES SHAH: ISA DAN PARA PERAGU



Dikisahkan oleh Sang Guru Jalaludin Rumi dan yang lainnya bahwa pada suatu hari, Isa, putra Maryam, berjalan-jalan di padang pasir dekat Yerusalem bersama-sama sejumlah orang yang hatinya masih dikuasai ketamakan.
Mereka memohon agar Isa memberitahukan kepada mereka Nama Rahasia yang dipergunakanya untuk menghidupkan orang mati. Isa berkata, "Kalau kuberitahukan pada kalian, kalian akan menyalahgunakannya."
Kata mereka, "Kami sudah siap dan pantas untuk mendapatkan pengetahuan semacam itu; lagipula, hal itu akan menguatkan iman keyakinan kami."
"Kalian tidak tahu apa yang kalian minta," katanya, tetapi diberitahukannya juga tentang Kata itu.
Segera sesudah itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu tempat yang ditinggalkan dan mereka melihat setumpuk tulang yang sudah memutih. "Mari kita coba kekuatan Kata itu," kata mereka satu sama lain, dan disebutkanlah Kata itu.
Tak lama setelah Kata itu diucapkan, tulang-tulang itu pun perlahan-lahan terbungkus daging dan menjelma menjadi seekor binatang buas liar, yang menerkam mereka sampai tercabik-cabik.
Mereka yang diberkahi akal budi akan mengerti. Mereka yang terbatas akal budinya bisa mengerti dengan belajar dari kisah ini.


Isa dalam kisah ini adalah Yesus, putra Maryam. Kisah ini mengandung gagasan yang serupa dengan yang ada dalam Sorcerer's Apprentice, dan juga muncul dalam karya Rumi dan sering pula muncul dalam legenda-legenda lisan darwis tentang Yesus, yang jumlahnya banyak sekali.
Tradisi menyebutkan bahwa tokoh yang sering mengulang-ulang kisah ini adalah salah seorang dari orang-orang pertama yang menyandang gelar Sufi: Jabir bin Al-Hayyan, yang dalam bahasa Latin disebut Geber, yang juga perintis al-Kimia Kristen.
Ia meninggal tahun 790. Sebenarnya, ia adalah orang Sabean dan, menurut para pengarang Barat, ia membuat penemuan-penemuan kimia penting.