Sabtu, 07 April 2012

AJARAN SULUK SYEKH ABD AL SAMAD AL-PALIMBANI


(Telaah Terhadap Kitab Sayr al-Salikin)

PENDAHULUAN

Tasawuf menyebut kemajuan dalam kehidupan spritual sebagai
suluk dan sang pencari Allah sebagai salik atau “penempuh jalan
spritual”. Makna leteral suluk adalah menempuh jalan, yang merupakan
suatu tindakan fisik dan bisa dipandang sebagai gerakan dalam dimensi
ruang. Hanya saja dalam istilah teknis, yang dimaksud suluk adalah
“perjalanan spritual” dan bukan gerakan dalam dimensi ruang.
Suluk nafs, disebut tazkiyah an-nafs atau “penyucian jiwa” yang
berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti, sesudah
membersihkan dari sifat-sifat tercela dan hewani. Dengan kata lain, diri
dibersihkan dari kotoran dan kerusakan, diubah menjadi an-nafs allawwamah
(jiwa yang mencela) dan akhirnya menjadi an-nafs almuthma’innah
atau “jiwa yang tenang”.
Dengan demikian, sulukbukanlah gerakan dalam dimensi ruang, melainkan
kemajuan dalam kehidupan spritual, yakni gerak maju spritual dari sifat-sifat tercela
menuju sifat-sifat baik dan terpuji; gerak maju ini adalah nama lain
transmutasi atau perubahan normal manusia batiniah.
Tulisan ini akan mencoba menelaah dan mengkaji ajaran suluk
seperti apa yang telah dituangkan oleh al-Palimbani dalam kitab Sayr al
Salikin.

RIWAYAT HIDUP AL-PALIMBANI

Abd al-Samad al-Jawi al-Palimbani adalah orang Indonesia yang
berasal dari Palembang. Ia adalah putra Syekh Abd Jalil bin Syekh Abd
al-Wahab bin Syekh Ahmad al-Madani dari Yaman yang diangkat
menjadi mufti negeri Kedah, dengan istrinya Raden Ranti dari
Palembang. Sebelum ia kawin di Palembang, Syekh Abd Jalil telah kawin
di Kedah, dan dari perkawinan tersebut ia mendapat dua orang putra yaitu
Wan Abd al-Qadir dan Wan Abdullah. Tetapi Abd al-Samad lebih tua
dari kedua saudara seayahnya, karena keduanya lahir setelah Syekh Abd
al-Jalil pulang tiga tahun setelah kepergiannya ke Palembang, di mana ia
kawin lagi dan mendapat seorang putra yang bernama Abd Samad.
Selanjutnya Abd Samad dan saudaranya Wan Abd al-Qadir diantar ke
Mekkah, sehingga akhirnya ia dikenal dengan sebutan Syekh Abd Samad
al-Palimbani, dan saudaranya tersebut diangkat menjadi mufti negeri
Kedah, menggantikan ayahnya. (Chatib Quzwain, 9)
Penobatan Sultan Kedah terjadi pada tahun 1112 H/1700 M. Tidak
lama kemudian, Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti dan
dikawinkan dengan Wan Zainab, putri Dato Sri Maharaja Dewa. Tidak
berapa lama setelah perkawinan itu mereka melahirkan anak, Syekh Abd
al-Jalil dijemput oleh utusan dari Palembang untuk berkunjung ke sana
melepaskan rindu kepada murid-muridnya yang sudah sangat lama
ditinggalkan.
Berdasarkan keterangan ini, al-Palimbani lahir di Palembang
sekitar tiga atau empat tahun setelah 1112 H/1700 M. Menurut catatan
yang terdapat dalam kitab Sair al-Salikin, kitab tersebut mulai ditulisnya
pada tahun 1193 H/1779 M. (Abd Samad Al-Palimbani, TT : 3).
Menurut Yusuf Halidi, al-Palimbani menuntut ilmu di Mekkah
bersama-sama dengan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab
Bugis dari Sulawesi Selatan dan Abdul Rahman Masri dari Jakarta,
“empat serangkai” yang kemudian sama-sama belajar thariqat di
Madinah kepada Syeikh Muhammad al-Samman, dan akhirnya mereka
bersama-sama pula pulang ke daerah mereka masing-masing di Indonesia.
(Yusuf Halidi, 1980 : 33)
Tasawuf merupakan bidang spesialisasi Al-Palimbani, sehingga
dalam Sair al-Salikin, ia menyebut lebih dari seratus kitab tasawuf serta
mengklasifikasinya menurut isi masing-masing kitab tersebut. Ada yang
dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih berada di tingkat
permulaan (mubtadi), ada yang merupakan bacaan orang yang sudah
mencapai tingkat pertengahan (mutawassith) dan ada pula yang hanya
boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tingkat penghabisan
(muntahi) saja.
Al-Palimbani mengambil Tarekat al-Khalwatiyah melalui Syekh
Muhammad al-Samman di Madinah, yang selanjutnya dikenal sebagai
pendiri Tarekat Sammaniyah. Dalam tulisan-tulisannya, khususnya dalam
Hidayat al-Salikin dan Sair al-Salikin, ia selalu menyebut dirinya sebagai
murid dari Syekh Muhammad al-Samman al-Madani.

Mengenai karya tulis Al-Palimbani, ada beberapa kitab seperti
yang penulis kutip dari Chatib Quzwain diantaranya (1) Hidayat al-
Salikin, (2) Sair al-Salikin, yang secara berurutan merupakan terjemahan
dari Bidayat al-Hidayat dan Lubab Ihya’ Ulum al-Din – Karangan Al-
Ghazali, (3) Zahrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tauhid, (4) Nasihat al-
Muslimin wa Tazdkirat al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabilillah, (6),
Al-‘Urwat al-Wutqa wa Silsilat Uli al-Ittiqa, (7) Ratib Abd al-Samad al-
Palimbani (Chatib Quzwain, 22 – 30).

Pokok-pokok Ajaran Suluk al-Palimbani

1. Taubat

Al-Palimbani memandang taubat sebagai langkah pertama yang
harus diambil oleh setiap orang yang ingin menempuh jalan ini.
Menurut dia taubat merupakan jalan bagi orang yang salik yang
menyampaikannya untuk berbuat ibadah yang sempurna yang
menyampaikan kepada makrifah Allah. (Abd Samad Al-Palimbani,
TT : 3) di samping itu, ia juga menerangkan tentang taubat yakni
“Suatu makna yang bersusun daripada tiga perkara : ilmu, hal, dan
fi’il, yakni perbuatan”.
Menurut dia, taubat adalah suatu kewajiban agama yang harus
dilakukan oleh setiap orang yang melakukan perbuatan dosa. Untuk
mendapat kebulatan tekad dalam bertaubat itu, harus dilakukan tiga
hal :
- Pertama, “bahwa maksiat yang membawa kepada dosa sangat keji
dan sangat jahat kepada Allah dan kepada manusia”.
- Kedua, harus diingat “betapa beratnya siksaan Allah SWT dan
Allah sangat murka atas orang yang berbuat maksiat”.
- Ketiga, harus diingat kelemahan diri untuk “menanggung siksa
yang sangat sakit di akhirat” nanti. (Al-Palimbani, Jilid IV : 7 –
8).
Menurut Al-Palimbani, taubat itu terbagi dalam tiga tingkatan :
- Pertama, taubat orang awam;
- Kedua, taubat orang khawash;
- Ketiga, taubat orang khawash al khawash.
Taubat dari “maksiat yang zahir, merupakan taubat tingkatan
pertama seperti berzina, membunuh, merampas, mencuri dan
sebagainya; orang khawash taubat dari “maksiat batin” seperti ujub,
ria, takabur, hasad dan sebagainya; sedangkan orang khawash al
khawash, taubat dari segala yang terlintas di dalam hatinya yang lain
dari pada Allah SWT, karena ibadah mereka itu senantiasa hadir hati
kepada Allah SWT dan mengekali pada tiap-tiap masa (waktu) itu
dengan dzikrullah (ingat kepada Allah) di dalam hati dan syuhud
(memandang dalam hati) akan Allah Taala.
Tingkat taubat yang ketiga ini, nampaknya bukan lagi
“permulaan jalan bagi orang yang salik” karena orang yang bertaubat
dari segala yang terlintas di dalam hati selain Allah itu adalah orang
khawash al khawas, yang setiap waktu mengingat Allah, bahkan
memandang-Nya. Dengan kata lain, taubat pada tingkat ketiga ini
adalah taubat orang yang sudah sampai ke puncak makrifah yang
berada di ujung jalan orang sufi, yang hanya dicapai oleh seorang
salik yang telah menempuh perjalanan panjang.
Pada tahap permulaan maqam taubat dalam perjalanan seorang
salik hanya meliputi taubat orang awam dan taubat orang khawash,
yang masih bergulat melawan hawa nafsu untuk membebaskan diri
dari “maksiat lahir” dan “maksiat batin.” Tetapi perjuangan ini pun
belum dapat dirampungkan pada maqam taubat, karena maksiat batin
hanya terhapus setelah seorang salik berada pada maqam zuhud.
Menurut al-Palimbani, dosa-dosa batin “tersimpan” dalam sepuluh
perkara sebagai berikut :
1. Banyak makan
2. Banyak berkata-kata,
3. Pemarah,
4. Dengki,
5. Kikir dan cinta harta
6. Cinta kemegahan dan kebesaran
7. Cinta dunia,
8. Tinggi hati,
9. Uzub,
10. Ria
Sepuluh macam dosa ini, merupakan sebagian dari dosa besar
yang ada di dalam hati. Di samping itu ada empat macam dosa besar
yang termasuk dalam dosa bathin yaitu :
1. Menyekutukan Allah,
2. Mengekalkan berbuat maksiat,
3. Putus asa dari rahmat Allah,
4. Tidak takut siksa Allah.
Perasaan “Cinta dunia” itu akan terhapus setelah seorang salik
mencapai maqam zuhud; tetapi sebelum sampai ke sana ia harus
melewati maqam takut dan harap, yang erat hubungannya dengan
kejiwaan seorang salik yang masih berada dalam tahap permulaan.


2. Takut dan Harap

Pada tahap tertentu, takut dan harap sangat dominan dalam
diri seorang salik sehingga merupakan maqamnya. Hal ini terjadi
pada tahap permulaan, tetapi sebagaimana halnya dengan maqamat
yang lain, takut dan harap ini pun menurut dia masing-masing
dikatakan maqam bagi seorang salik apabila perasaan-perasaan ini
mantap di dalam dirinya; kalau hanya dirasakan pada saat-saat
tertentu saja, hal itu termasuk ahwal.
Semakin dalam ilmu seseorang mengenai Tuhan dan mengenai
dirinya, semakin tinggi pula rasa takutnya kepada Allah. Rasa
takut kepada Allah dapat membebaskan seseorang dari takut pada
yang lain, bahkan melahirkan suatu kepribadian yang disegani oleh
semua orang. Dalam hal ini, Al-Palimbani mengutip hadits Nabi
SAW : “Barang siapa takut akan Allah Taala niscaya takut akan dia
oleh tiap-tiap sesuatu; dan barang siapa takut yang lain daripada
Allah niscaya takut ia daripada tiap-tiap sesuatu”. Lebih penting lagi,
rasa takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk banyak
berzikir kepada Allah dan melazimkan hadir hati kepada Allah Taala”
membanyakkan dzikir akan melazimkan mahabbah (cinta) Allah”
yang membawa jinak hati kepada Allah Taala; semuanya itu
membawa kepada makrifah Allah; dan tiada yang terlebih afdhal dan
mulia di dunia dan di akhirat melainkan makrifah akan Allah Taala.
Dengan kata lain, takut kepada Allah adalah suatu maqam yang
melahirkan maqamat sesudahnya yang akan menyampaikan seorang
salik kepada makrifah.
Tetapi, sebagaimana halnya rasa takut, rasa harap ini pun pada
tahap tertentu dapat menguasai perasaan seorang salik sehingga ia
memiliki maqam harap (raja’). Tetapi dua maqam ini menurut Al-
Palimbani, tidak ada yang lebih utama dari yang lain. “Khauf (takut)
dan raja’ (harap) menurutnya seperti roti dan air; jikalau sangat
dahaga, maka air lebih afdal. Apabila seseorang putus asa dari rahmat
Allah, maka raja’ lebih afdhal baginya. Mana yang lebih utama
antara takut dan harap, yang menentukan adalah keadaan orang yang
bersangkutan.
Amal perbuatan yang dikerjakan atas dasar harap pada dasarnya
derajatnya lebih tinggi dari yang dilakukan atas dasar takut, bahkan
rasa harap itu sendiri lebih tinggi derajatnya daripada rasa takut,
demikian dikatakan oleh Al-Palimbani. Menurutnya, hal ini
diisyaratkan oleh Hadits nabi SAW : “Jangan mati seseorang
melainkan dia berbaik sangka pada Allah Taala” yakni
membanyakkan harap akan keridhaan Allah. Dengan demikian,
harap kepada Allah itu adalah suatu maqam yang lebih tinggi dari
pada maqam takut, karena hal itu lebih dekat kepada maqam cinta
(mahabbah).
Sebagaimana halnya maqam takut, maqam harap ini pun
dianggap lahir dari ilmu. Kalau yang pertama lahir dari ilmu
seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa
harap ini menurut Al-Palimbani dapat diperkuat dengan “memikirkan
nikmat yang diberikan oleh Allah Taala” yang tidak terhingga
banyaknya. Namun keduanya melahirkan buah yang sama, yakni
ketaatan mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Orang yang sudah mencapai tingkat makrifah, yakni orang arif,
berada di maqam cinta (mahabbah), tingkat para aulia Allah yang
menurut Al-Qur’an “Tiada lagi bagi mereka rasa takut dan mereka
pun tiada bersedih”. Tetapi untuk mencapai maqam cinta kepada
Allah itu masih ada beberapa maqam lagi yang harus dilalui;
diantaranya adalah maqam zuhud.


3. Zuhud

Al-Ghazali mengibaratkan hati manusia seperti sebuah bejana
yang penuh dengan air; untuk mengisinya dengan cuka, air yang ada
di dalamnya harus dikeluarkan sebesar volume cuka yang akan
dimasukkan. Kalau seluruh bejana itu akan diisi dengan cuka, seluruh
air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan lebih dahulu.
Demikianlah halnya cinta kepada Allah itu tidak mungkin memasuki
hati yang masih penuh dengan cinta kepada yang lain. Untuk
mencintai Allah dengan sepenuh hati, cinta kepada yang lain harus
dikeluarkan seluruhnya dari dalam hati. Karena itu, seperti yang
terdapat dalam uraian Al-Palimbani mengenai taubat, cinta harta,
cinta kebesaran atau kemegahan dan cinta dunia, semuanya
dipandang sebagai dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap salik.
Zuhud pada hakikanya adalah meninggalkan sesuatu yang
dikasihi dan berpaling darinya. Karena itu sikap seseorang yang
“meninggalkan kasih akan dunia” karena menginginkan “sesuatu di
dalam akhirat,” dikatakan zuhud. Tetapi tingkat zuhud yang tertinggi,
menurut dia, ialah meninggalkan “gemar daripada tiap-tiap sesuatu
yang lain daripada Allah, hingga engkau tinggalkan gemar daripada
sesuatu yang di dalam akhirat”. Dengan demikian, pengertian zuhud
itu ada tiga macam :
Pertama, meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu
yang lebih baik dari padanya. Kedua, meninggalkan keduniaan karena
mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan Ketiga,
meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya.
Al-Palimbani menjelaskan mengenai orang yang zuhud, ada tiga
tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik dalam
menempuh kehidupan zuhud yakni :
- Pertama, zuhud “orang mubtadi” (permulaan) yang baru
menjalani jalan yang menyampaikan (kepada) makrifah akan
Allah itu, “yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa
kasih dan cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguhsungguh
untuk melawan hawa nafsunya.
- Kedua, “orang yang Mutawassith (pertengahan), yaitu orang yang
telah mudah hatinya meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi ia
sangat kasih akan dunia itu”.
- Ketiga, orang yang muntahi, yakni ‘Arifin (orang-orang arif),
yang bagi mereka dunia itu “seperti kotoran saja”, tidak ada
nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke
akhirat.
Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang
“meninggalkan daripada hatinya yang lain daripada Allah Taala,”
baik dunia maupun akhirat.
Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti tersebut itu adalah satu
maqam dalam perjalanan seorang salik yang menurut Al-Palimbani
terdiri dari tiga perkara : ilmu, hal dan amal.
Dalam hal ini al-Palimbani menjelaskan secara rinci batas-batas
kebutuhan duniawi yang boleh dipenuhi oleh seorang zahid. Patokan
yang digunakannya adalah “bahwa orang yang zuhud, dalam
mengambil sesuatu dari dunia (hanya mengambil) akan sekedar
darurat hajatnya yang mendirikan akan dia pada kehidupan
badannya”. Dengan kata lain, seorang zahid hanya boleh memenuhi
kebutuhan jasmaninya yang pokok saja dan dalam kadar yang tidak
mungkin dihindari untuk menyangga kelangsungan hidupnya.
Mengenai hal ini, orang-orang zahid dibaginya dalam tiga tingkatan :
 “Derajat yang terlebih tinggi, derajat pertengahan dan derajat yang
terbawah (rendah).
Orang zahid pada derajat yang tertinggi hanya memiliki
makanan untuk satu kali makan saja, tidak mempunyai simpanan
untuk jam makan berikutnya berupa makanan pokok dalam kadar
minimal untuk dapat mengerjakan ibadah. Ia hanya makan satu kali
dalam tiga hari atau satu kali dalam tujuh hari, atau lebih jarang lagi.
Pakaian yang dimilikinya hanya cukup untuk mengelak kedinginan
atau kepanasan, di samping menutup aurat; dan tempat tidurnya hanya
di pojok-pojok mesjid atau di tempat gurunya memberikan pelajaran.
Meskipun demikian, orang zahid boleh juga kawin, sepanjang
perkawinan itu tidak mengganggu kebulatan hatinya kepada Tuhan.
Ukuran-ukuran ini semakin longgar untuk kehidupan zuhud
yang pertengahan dan yang paling rendah. Seorang zahid pada tingkat
yang disebut terakhir ini boleh menyimpan makanan untuk keperluan
pokoknya selama satu tahun; ia boleh makan satu kali sehari,
meskipun dalam ukuran sederhana sekali; ia boleh memakai
seperangkat pakaian yang terdiri dari baju, celana, kopiah dan sapu
tangan, meskipun semuanya itu hanya boleh dimiliki selembar saja;
dan ia boleh memiliki rumah kediaman yang layak, baik dibeli atau
disewanya, selama tidak melebihi taraf kesederhanaan.
Namun tingkat zuhud tertinggi, menurut Al-Palimbani bukan
tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak menginginkan sesuatu selain
Allah. Ciri seorang zahid menurutnya ada tiga perkara :
1) Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan
hilangnya sesuatu.
2) Orang yang memuji dan orang yang mencelanya dianggapnya
sama saja.
3) Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa lezat dalam mentaati-
Nya. (Al-Palimbani, Jilid IV : 99).
Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang
di dalam hatinya tidak ada lagi sesuatu selain Allah, walaupun ia
memiliki kekayaan dan kebesaran. Karena itu, maqam zuhud ini,
nampaknya adalah pendahuluan dari maqam syukur yang
mencerminkan kejiwaan seorang muslim yang selalu memandang
Tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi,
sebelum mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang
harus dilewati, yaitu maqam sabar.


4. Sabar

Menurut Al-Palimbani, sabar adalah menahan diri dalam
memikul suatu penderitaan, baik dalam kedatangan sesuatu yang
tidak diingini maupun dalam hal kepergian sesuatu yang disenangi.
Sabar terbagi dalam tiga tingkatan :
Pertama, sabar “orang awam” yang disebutnya tashabbur
(bersabar), yaitu “menanggung kesusahan dan menahan
kesakitan” dalam menerima hukum Allah;
Kedua, sabar “orang yang menjalani tarikat,” yaitu “jadi biasa ia
dengan bersifat dengan sabar telah mudah atasnya segala yang
susah yang datang akan dia itu”.
Ketiga, sabar orang arif yang telah mengenal Allah, yang
disebutnya ishthibar, yaitu “bersedap-sedap dengan kena bala dan
suka ia dengan ikhtiyar (pilihan) Tuhannya.
Sebagaimana maqamat yang sebelumnya, tingkat yang
tertinggi bagi maqam sabar inipun, nampaknya hanya dicapai oleh
orang yang sampai ke tingkat makrifah; adapun maqam bagi orangorang
salik yang belum mencapai makrifah adalah sabar tingkat
pertama dan tingkat kedua. Menurut Al-Palimbani, maqam sabar
inipun terdiri dari ilmu, hal dan amal; yang dimaksudkan dengan ilmu
di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu
mengandung “maslahat di dalam agama” dan memberi manfaat di
dunia dan di akhirat; dari ilmu ini lahir ketabahan hati, yang
selanjutnya mendapat perwujudan dalam tingkah laku seorang yang
sabar menghadapi segala penderitaan yang dialaminya.
Sifat sabar ini adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh seorang
salik sejak ia menginjakkan kakinya di maqam zuhud, karena untuk
menempuh kehidupan zuhud yang telah disampaikan sebelumnya
diperlukan kesabaran yang tinggi.

5. Syukur

Hakikat syukur menurut Al-Palimbani adalah “engkau ketahui
tiada yang memberi nikmat itu melainkan Allah Taala jua, kemudian
maka engkau ketahui pula akan kelebihan segala nikmat Allah atasmu
di dalam segala anggotamu dan segala jasadmu dan roh dan segala
yang engkau berkehendak kepadanya di dalam kehidupanmu niscaya
di dalam hatimu suka dengan Allah dan nikmat-Nya dan dengan
anugerah-Nya atasmu”.
Bagi kaum sufi memandang Allah dalam kesenangan lebih
sukar daripada memandang-Nya dalam penderitaan. Karena itu, orang
sufi yang sudah berani hidup mewah, seperti Haris Al-Muhasibi,
misalnya dianggap mencapai maqam yang tinggi dalam kesufiannya.
Al-Qur’an pun mengatakan bahwa “Jikalau mereka ditimpa
kesusahan, manusia selalu berdoa kepada Allah dan menyerahkan
diri kepada-Nya; tetapi setelah mereka mendapat kesenangan
banyaklah di antara mereka yang menyekutukan-Nya”.
Orang yang berada pada maqam zuhud merasakan kemesraan
hubungan dengan Tuhan dalam kehidupan bathin yang bebas dari
segala keinginan duniawi, dan yang berada di maqam sabar merasa
berhubungan dengan Tuhannya melalui segala penderitaan yang
ditakdirkan atasnya, orang yang sudah mencapai maqam syukur ini
malahan memandang wajah Tuhan melalui segala nikmat yang
dilimpahkan kepadanya.
Rasa syukur terhadap nikmat Allah itu harus dilahirkan dalam
bentuk amal, baik yang dilakukan dengan hati atau diucapkan dengan
lidah maupun yang dilakukan dengan anggota.
Berbeda dengan maqamat sebelumnya, maqam syukur ini
memerlukan amal perbuatan yang mengandung kebaikan bagi semua
manusia; kalau pada maqam zuhud tadi seorang salik membelakangi
kehidupan dunia ini untuk membulatkan hatinya kepada Allah, pada
maqam ini ia harus melahirkan rasa syukurnya kepada Allah dalam
bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memerlukan
keikhlasan yang tinggi agar semua amal kebajikan yang dilakukan itu
mencapai tujuannya sebagai pengabdian kepada Allah. Karena itu,
sebagaimana halnya maqam zuhud tadi diiringi oleh maqam sabar,
maqam syukur ini pun diiringi pula oleh maqam ikhlas.



6. Ikhlas

Ikhlas bagi al-Palimbani adalah suatu maqam yang harus dilalui
oleh seorang salik dalam perjalannya kepada Allah. Maqam ikhlas
adalah maqam yang paling dekat untuk menjangkau makrifah yang
menjadi tujuan akhir orang-orang sufi, yang dalam tingkatan
permulaannya mungkin telah dicapai pada maqam syukur tadi. Dalam
penjelasannya mengenai fadhilat ikhlas ini, Al-Palimbani mengutip
sebuah Hadits Nabi SAW yang menerangkan bahwa apabila seorang
hamba Allah beramal dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh
hari, pasti mengalir mata air hikmah dari dalam hatinya melalui
lisannya.


7. Tawakkal

Al-Palimbani membagi tawakal dalam tiga tingkatan :
- Pertama, menyerah diri kepada Allah seperti seorang yang
menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya dalam suatu perkara.
- Kedua, menyerah diri kepada-Nya seperti anak kecil
menyerahkan segala persoalan kepada ibunya;
- Ketiga, menyerah diri kepada Allah seperti mayat di tangan orang
yang memandikannya.
Pada tingkat yang pertama orang yang bertawakkal itu masih
berusaha dalam batas-batas tertentu untuk mencapai tujuan yang
diingininya, seperti halnya orang yang berwakil masih harus
melakukan usaha tertentu, menurut permintaan atau perintah dari
wakilnya, untuk memenangkan perkaranya. Pada tingkat yang kedua
orang yang bertawakal itu tidak lagi melakukan usaha selain meminta
apa yang diingininya kepada Allah, seperti anak kecil meminta dan
mengadu kepada ibunya. Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat
tawakal yang ketiga tidak lagi berusaha dalam bentuk apapun juga,
bahkan tidak meminta sesuatu kepada Tuhan, “karena ia telah
berpegang kepada kurnia Allah dan percaya ia akan Allah Taala
bahwa Ia memberi akan sekalian hajatnya itu”
Dalam hal ini Al-Palimbani tidak memaksudkan bahwa orang
yang bertawakal sama dengan seorang fatalis yang menyerah diri
kepada nasib saja, tanpa berusaha. Menurut dia, dugaan bahwa orang
yang bertawakal itu tidak berusaha sama sekali, baik secara fisik
maupun pemikiran adalah dugaan orang jahil yang tersesat atau
kepercayaan Jabariah yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam;
orang yang bertawakal juga berusaha mencapai apa yang
diperlukannya menurut batas-batas yang wajar, seperti menjangkau
makanan yang terletak di hadapannya, bahkan seperti bercocok
tanam, berniaga, memelihara diri dan hartanya secara wajar, seperti
membawa perbekalan dalam perjalanan, menghindari binatang buas,
memakai senjata dalam perang, menutup pintu rumah, mengembala
hewan ternak dan sebagainya. Hanya dalam kesemuanya itu, ia tidak
merasa mempunyai tempat pergantungan selain kepada Allah,
sehingga dalam menghadapi semua tantangan, kesukaran, kerugian
dan sebagainya ia tidak merasa sedih dan susah, di samping berusaha
mengatasinya menurut cara yang wajar dalam batas kemampuan yang
ada padanya.
 Di samping itu, semua usaha yang dilakukannya tidak
sampai ke batas yang menyebabkan ia terganggu mengingat Allah.
Al-Palimbani menganggap tawakal itu suatu maqam yang
terdiri dari ilmu, hal dan amal. Ilmu yang dipandang sebagai sumber
dari tawakal itu ialah inti tauhid tingkat ketiga, yakni tauhid orang
muqarrabin yang memandang bahwa segala sesuatu dalam alam ini
terbit dari Yang Maha Satu. Inti tauhid tersebut, bukan suatu konsep
ketuhanan yang dicapai dan mungkin dijelaskan dengan daya bahasa
akal, karena pandangan tersebut dikatakan hanya dicapai dengan
pancaran Nur Al-Haq dalam hati orang-orang tertentu.


8. Mahabbah

Cinta kepada Tuhan dalam pandangan Al-Palimbani seperti
halnya Al-Ghazali adalah maqam yang terakhir dan derajat yang
paling tinggi; segala maqam yang sesudahnya adalah buah dari segala
maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk
mencapainya. Di samping itu ia juga menambahkan bahwa “tiada
derajat yang di atas mahabbah itu melainkan martabat makrifah
Allah Taala; dan dengan derajat mahabbah Allah Taala itu sampai
kepada makrifah Allah; dan itulah kesudahan martabat orang yang
salik.
Rasa cinta kepada Allah sudah bergerak dalam hati seorang
salik ketika ia mulai mengenal dirinya dan itulah daya penggerak
yang mendorong seseorang bertaubat dari segala dosanya. Dalam
perjalanan seorang salik melalui apa yang disebut maqamat itu satu
persatu, perasaan cinta itu mungkin terlindung di balik perasaanperasaan
lain seperti takut, harap dan sebagainya. Tetapi pada tahap
tertentu perasaan itu menguasai seluruh kesadaran batinnya, sehingga
ia dikatakan berada pada maqam cinta.
Makrifah yang hakiki lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi
cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari makrifah. Dengan
demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang masingmasing
merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang benar-benar
mencintai Allah itu memiliki tanda-tanda sebagai berikut :
- Kasih ia akan mati;
- Melebihkan barang yang dikasihi oleh Allah Taala itu atas
sekalian yang dikasihi dan menjauhi ia akan mengikuti hawa
nafsunya;
- Senantiasa ia melazimkan zikir Allah;
- Jinak dengan bersunyi sendiri, munajat akan Allah, berzikir,
membaca Al-Qur’an dan mengekali ia atas sembahyang tahajjud
di malam yang sunyi;
- Tidak menyesal kehilangan “sesuatu yang lain daripada Allah
Taala”
- Sedap dengan berbuat taat akan Allah Taala
- Kasih sayang akan hamba (Allah) yang muslimin dan benci akan
orang kafir-yaitu seteru Allah;
- Adalah ia kasih akan Allah Taala itu serta takut akan Dia;
- Menyembunyikan ia akan kasihnya akan Allah Taala itu dari pada
orang yang bukan ahlinya;
- Senantiasa jinak hatinya itu kepada Allah Taala dan ridha ia akan
Allah Taala di dalam sekalian yang diperbuat Allah Taala akan
Dia. (Al-Palimbani, Jilid IV : 124 – 130).
Al-Palimbani memandang cinta yang merupakan maqam
tertinggi itu suatu cinta sadar yang melahirkan dirinya melalui saluran
syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan syathahat
yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Orang
yang berada pada maqam mahabbah ini menurut keterangan di atas,
selalu berzikir, munajat, mengerjakan sembahyang tahajjud,
membaca Al-Qur’an, dengan rasa cinta kepada Tuhan yang
mengalahkan hawa nafsunya, sehingga ia merasa lezat mentaati
semua ajaran syariat, kasih kepada semua yang dikasihi Allah dan
benci kepada semua yang dibenci-Nya.


9. Ridha

Al-Palimbani menganggap ridha sebagai maqam tertinggi yang
merupakan buah dari mahabbah. Menurutnya, arti ridha itu “tidak
menyangkali akan segala perbuatan yang diperlakukan Allah atasnya
dan atas orang yang lain daripadanya; karena sekalian perbuatan yang
wuqu’ (terjadi) di dalam dunia ini perbuatan-Nya dan wajib ia ridha
akan perbuatannya. Dalam hubungan ini, antara lain ia mengutip
sebuah cerita bahwa Rabi’ah Al-Adawiyyah pernah ditanya :
“Bilakah seorang hamba Allah ridha kepada-Nya ?” Jawabnya :
“apabila kegembirannya menerima musibah sama dengan
kegembirannya menerima nikmat.” Dengan demikian, maqam ridha
itu mencerminkan puncak ketenangan jiwa seorang sufi yang tidak
lagi digoncangkan oleh apapun juga, karena bagi dia segala yang
terjadi di alam ini adalah perbuatan Allah, lahir dari qudrat dan
iradat-Nya yang mutlak, yang harus diterima dengan gembira.
Maqam ridha ini lebih tinggi dari maqam sabar, karena
pengertian sabar itu masih terkandung di dalamnya pengakuan adanya
sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan orang yang sudah
berada di maqam ridha ini tidak membedakan lagi antara apa yang
disebut musibah dan yang disebut nikmat, semuanya diterima dengan
gembira, karena semuanya adalah perbuatan Tuhan.
Al-Palimbani juga memperingatkan pembacanya bahwa ridha
kepada Tuhan itu tidak berarti bahwa seseorang harus ridha pula
menerima kemaksiatan dan kekafiran. Menurutnya, hal itu harus
dipandang dari dua segi; segi pertama “kufur dan maksiat itu jadi
daripada qadha Allah Taala dan daripada qudrat-Nya” yang harus
kita ridhai, tetapi dari segi lain, “kufur dan maksiat itu sifat bagi
hamba-Nya” yang tiada disuruh oleh Allah Taala” dan karena itu
tidak boleh pula kita terima dengan ridha.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksudkan dengan ridha terhadap semua yang diridhai Allah,
sebagai buah dari cinta yang hakiki kepada-Nya. Dengan kata lain,
pada maqam tertinggi ini segala kehendak dan keinginan yang
mencerminkan tuntutan hawa nafsu manusia telah terhapus dalam
kehendak Tuhan yang sudah merupakan sentral wujud-Nya. Menurut
Al-Palimbani, ridha yang lahir dari cinta kepada Allah itu adalah
pintu yang amat besar yang merupakan jalan masuk kepada makrifah
Allah Ta’ala, dan merupakan maqam yang terlebih tinggi, maqam
orang yang muqarrabin, yakni orang yang sangat dekat kepada Allah
Ta’ala.

10. Makrifah

Al-Palimbani menganggap makrifah sebagai tujuan akhir yang
ingin dicapainya di dunia ini, karena hal itu menurut dia adalah
“surga”, “barang siapa yang masuk ia akan dia niscaya tiada ingat ia
akan surga yang di akhirat” nanti. Semua maqamat yang tersebut itu,
dari taubat sampai kepada ridha dianggapnya sebagai jalan yang
menyampaikan kepada makrifah Allah Ta’ala.
Intisari makrifah hanya dapat dicapai setelah seorang salik
melewati maqam mahabbah dan maqam ridha, karena dua maqam ini
dianggapnya sebagai “jalan” menuju makrifah. Mengenai tujuan
tingkatan nafs, ia menerangkan bahwa orang yang sudah mencapai
tingkat nafs ar-radliyah – tingkat nafs yang kelima – ridha dengan
segala yang terjadi, karam dalam memandang keindahan Allah yang
mutlak dan “Syuhud (memandang di dalam hati) akan zat (esensi)
Allah. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan yang sama dengan
di atas; bahwa makrifah yang menjadi tujuan akhir seorang sufi itu
hanya dicapai setelah melewati maqam yang tertinggi.


11. Fana dan Baqa

Menurut Al-Palimbani, pandangan batin bahwa yang ada hanya
Allah itu dikatakan “fana dalam tauhid,” karena orang yang sudah
mencapai pandangan itu “karam ia dengan syuhud akan Tuhan Yang
Maha Esa Yang Sebenarnya”. Dalam tasawuf, istilah fana digunakan
dalam arti “gugurnya sifat-sifat tercela” dan istilah Baqa dalam arti
 “berdirinya sifat-sifat terpuji” orang yang sudah fana (terhapus dari
dirinya sifat-sifat tercela, lahir padanya sifat-sifat terpuji. Dalam kata
lain, fana dan baqa itu adalah dua istilah yang mengungkapkan
keadaan atau pengalaman seorang sufi dari dua aspek yang berbeda.
Dengan demikian, istilah fana dan baqa yang bertalian dengan
makrifah meliputi tiga tingkatan. Pertama, fananya segala perbuatan
makhluk dalam perbuatan Tuhan; kedua, fananya sifat-sifat makhluk
dalam perbuatan Tuhan; dan ketiga, fananya wujud makhluk dalam
wujud Tuhan.
Al-Palimbani dalam hal ini memberikan suatu penjelasan,
menurutnya orang yang sudah mencapai tingkat nafs almuthma’innah,
fana segala sifatnya dan syuhud ia akan sifat Allah
Taala; dan orang yang sudah sampai ke tingkat nafs-ar-radiyah “fana
dirinya (dan) segala sifat basyariah (nya) di dalam syuhud akan
Ahadiyah Allah Taala.
Bagi orang yang telah berada pada tingkat nafs al-mulhamah ia
memandang segala yang terjadi di alam semesta ini perbuatan Allah,
sehingga dalam pandangannya telah fana semua perbuatan yang lain.
Dengan demikian, fana dan baqa itu tercapai dalam waktu yang
sama, karena hal itu adalah dua aspek dari keadaan atau pengalaman
yang sama. Orang yang telah fana dari perbuatan makhluk baqa
dengan perbuatan Tuhan; dan yang telah fana dari wujud dan yang
lain baqa dengan Tuhan. Makrifah dalam arti memandang esensi
Tuhan yang mutlak secara langsung, nampaknya hanya tercapai
dalam keadaan fana tingkat yang terakhir ini, ketika wujud diri orang
arif telah terhapus di dalam syuhud akan ahadiyah Allah Taala yang
menurut Al-Palimbani itulah puncak makrifah tertinggi, yang
dicapai oleh Rasulullah SAW. Pada puncak perjalanan mikraj-nya.
Selain itu, dua istilah di atas juga digunakan dalam arti dua
keadaan yang dialami oleh seorang salik dalam waktu yang
beriringan. Baqa merupakan keadaan yang mengiringi fana; orang
yang dalam keadaan fana segala perbuatan-nya diatur dan dikuasai
oleh Allah, karena ia dalam keadaan tidak mampu membedakan
antara sesuatu barang dengan yang lain; tetapi orang yang dalam
keadaan baqa sesudah fana segala perbuatannya sesuai dengan garis
keridhaan Allah, karena segala perbuatannya tidak lagi untuk
kepentingan dirinya sendiri.

PENUTUP

Menurut Al Palimbani, untuk suluk dan dapat mencapai insan
kamil manusia harus mampu menaklukkan hawa nafsunya, sehingga
jiwanya terbebas dan dapat berada sedekat mungkin di sisi Allah. Untuk
dapat berada di sisi Tuhan, manusia harus dapat menaklukkan tujuh hawa
nafsu yang ada di dalam dirinya, yaitu nafs al-ammarah, nafs allawwamah,
nafs al-mulhamah, nafs al-muthma’innah, nafs al-radliyah,
nafs al-mardliyah dan nafs al kamilah.
Di samping upaya menaklukkan hawa nafsu dalam rangka
mencapai makrifat tertinggi itu, salik harus membersihkan jiwanya dari
noda-noda. Untuk itu, ia harus menempuh maqamat, sebagai stasiunstasiun
ruhani, yang menandai perjalanan salik menuju Tuhannya. Dalam
hal ini, pada prinsipnya, pandangan Al Palimbani dekat dengan Al
Ghazali dalam Al arbain fi Ushul al Din, ada sepuluh maqam yang harus
ditempuh oleh salik agar sampai kepada Allah, yaitu : taubat, takut dan
cemas (al khauf wal raja’), zuhud, sabar, syukur, ikhlas, tawakkal, cinta,
ridha dan mengingat mati. Sifat-sifat itu disebut sebagai sifat-sifat terpuji
(al akhlak al mahmudah), dalam pengertian ketaatan kepada Allah.
Setelah menempuh sepuluh maqam itu, barulah salik sampai pada
makrifat yang sebenarnya, sehingga ia fana’ dalam makrifat tersebut

Jumat, 06 April 2012

KITAB PENYAKIT NAFSU DAN PENAWARNYA (Uyub Al-Nafsi wa Dawaa’uha)

KITAB  Uyub Al-Nafsi wa Dawaa’uha (KITAB PENYAKIT NAFSU DAN PENAWARNYA)

Oleh Imam Abu Abdul Rahman Al-Sulamiy (325H-412H)

Muqaddimah
Saya telah diminta oleh beberapa orang syeikh r.m.h agar dapat menyusun satu kitab yang membicarakan perihal yang bersangkutan dengan jiwa dan nafsu manusia serta perkara-perkara yang tersirat berhubung dengannya. Saya cuba untuk menyumpurnakan permintaan ini. Lali saya susun satu buku yang berkaitan dengan ini. Saya memohon kepada Allah agar mengurniakan keberkatanNya. Semuanya saya tulis setelah mendapat jawapan yang positif daripada solat istikharah yang saya lakukan. Hanya Allah sahaja yang membalasnya dan Dia jugalah sebaik-baik Pelindung. Selawat dan salam kepada Nabi Muhammad s.a.w., keluarganya dan para sahabat.
Firman Allah SWT yang bermaksud,
“…. Sesungguhnya nafsu manusia itu sangat menyuruh kepada kejahatan ….”
(Surah Yusof : 53)
Firman Allah SWT yang bermaksud,
“…. serta ia menahan dirinya dari menurut hawa nafsu.”
(Surah al-Nazi’ah : 40)
Firman Allah SWT yang bermaksud,
“Dengan yang demikian bagaimana fikirannu(wahai Muhammad) terhadap orang yang menjadikan hawa nafsunya tuhan yang dipatuhinya ….”
(Surah al-Jathiyah : 23)
Banyak lagi ayat-ayat Al-Quran yang merakamkan tentang kejahatan nafsu serta sedikitnya kecenderungan nafsu kepada kebaikan. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadith baginda:1
Yang bermaksud, “Bala bencana, hawa nafsu dan syahwat telah diadun sebati dengan tubuh Adam.”
Penyakit Pertama
Ia menyangka bahawa ia telah berjaya mengetuk pintu ketuhanan dengan berbagai-bagai zikir dan amal ketaatan. Pintu itu memang terbuka tetapi laluan untuk rujuk kepada Allah di dalam jiwa ditutupnya, disebabkan oleh banyaknya dosa-dosa yang telah dilakukan.
Kata Ibn Masruq, pada suatu hari Rabia’ah al-Adawiyah3 telah lalu dimajlis Soleh al-Murra, lalu Soleh berkata, “Siapa yang berterusan mengetuk pintu ketuhanan Allah akhirnya ia akan dibuka,” lalu dijawab oleh Rabia’ah al-Adawiyah, ” Pintu itu terbuka tapi kamu lari daripadanya. Bagaimanakah kamu boleh sampai kepada matlamat perjalanan sekiranya kamu tersalah jalan sejak dari langkah yang pertama lagi? Bagaimanakah seseorang hamba itu dapat membebaskan dirinya daripada pengaruh jahat nafsunya sedangkan ia sentiasa dikuasai oleh syahwat? Atau bagaimanakah seseorang itu mampu membebaskan dirinya daripada kongkongan hawa nafsu sedangkan ia tidak menegah dirinya daripada melakukan dosa-dosa?”
Kata al-Sulamiy, Ibn Abu Dunya4 berkata, para ahli hikmah berkata, “Janganlah kamu meletakkan harapan yang tinggi untuk mendapat kejayaan menuju Allah sedangkan dirimu diselaputi dosa.”
Rawatannya ialah sepertimana kata Sarij al-Saqati,5″Hendaklah kamu sentiasa menurut jalan hidayah, mempastikan segala pemakanan bersumber daripada yang halal serta menyempurnakan ketakwaan kepada Allah.”

Penyakit Kedua
Apabila ia menangis maka hilanglah rasa dukacitanya dan ia berada di dalam keadaan senang hati.
Rawatannya ialah dengan sentiasa melazimi perbuatan menangis berserta perasaan dukacita oleh kerana dosa yang ia lakukan sehingga ia tidak berhajat kepada keinginan untuk bersenang hati. Oleh itu apabila seseorang diuji oleh Allah dengan perasaan dukacita, ia tidak akan menangis dengan sebab dukacita itu, bahkan ia akan merasa senang hati dan bergembira jika tangisan itu lahir daripada rasa takut kepada Allah kerana dosa yang dilakukannya. Sesiapa yang menangis kerana dukacita maka tangisan itu akan menambahkan lagi beban dukacita yang ditanggungnya.

Penyakit Ketiga
Apabila ia ditimpa mudarat ia akan mengadukannya kepada kuasa yang tidak mampu merungkai mudharat tersebut. Bagitu juga, dia akan meletakkan pergantungan harapannya kepada sesuatu yang tidak akan mampu memenuhi harapannya. Ia juga berhempas pulas dan menumpukan perhatian sepenuhnya mencari rezeki sedangkan rezekinya telah dijamin oleh Allah.
Rawatannya ialah dengan memperbetulkan keimanan dengan menyakini sepenuhnya firman Allah s.w.t. :
Yang bermaksud, “Dan jika Allah mengenakan engkau dengan sesuatu yang membahayakan, maka tiada sesiapa pun yang akan dapat menghapuskannya melainkan Dia(Allah); dan jika Ia menghendaki engkau beroleh sesuatu kebaikan, maka tiada sesiapapun yang akan dapat menghalangi limpah kurniaNya. Allah melimpahkan kurniaNya itu kepada sesiapa yang dikendakiNya dari hamba-hambaNya, …
Firman Allah s.w.t. lagi:
Dan tiadalah sesuatupun dari makhluk-makhluk yang bergerak di bumi melainkan Allah jualah yang menanggung rezekinya …
Hakikat yang telah dinyatakan oleh ayat-ayat tersebut adalah sangat jelas bahawa semua makhluk Allah itu bersifat lemah. Di suatu sudut yang lain, semua makhluk memerlukan bantuan daripada pihak lain untuk menyempurnakan kehidupannya. Bagaimanakah orang yang memerlukan bantuan untuk memenuhi kehidupannya mampu untuk mengisi keperluan hidup orang lain. Oleh itu apabila seseorang itu ternyata lemah serta tidak berkemampuan nescaya dia tidak akan dapat memperbaiki orang lain. Jadi dia perlu memperbetulkan salah faham ini dan hendaklah bergantung kepada Allah secara mutlak.

Penyakit Keempat
Dia telah mengabaikan hak-hak tertentu yang wajib ke atasnya, sedangkan sebelumnya dia telah melaksanakan hak-hak tersebut. Pengabaian ini lebih tercela apabila seseorang itu langsung tidak ambil peduli terhadap kecuaian dan kelalaian itu. Ia akan menjadi sangat tercela apabila seseorang itu tidak menyedari kelalaiannya. Keadaan ini akan menjadi lebih dahsyat apabila seseorang itu menyangka bahawa kehidupan agamanya sempurna walaupun keadaan dirinya penuh cuai.
Hal ini berlaku kerana ketika ia melaksanakan hak-hak yang dituntut ke atas dirinya itu, sifat syukur yang ada di dalam dirinya kepada Allah sangat sedikit. Apabila semakin berkurangan sifat syukur di dalam dirinya, lalu kedudukan seseorang itu akan ditukar oleh Allah daripada menghayati dan menjunjung perintahNya kepada makam lalai dan cuai. Akhirnya seseorang itu akan terhijap daripada dapat melihat kelemahannya bahkan lebih dahsyat lagi, dia akan menganggap kejahatan dan dosa yang dilakukannya sebagai kebaikan. Hal inilah yang ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya:
Yang bermaksud, “Maka (fikirkanlah) adakah orang yang diperelokkan kepadanya amal buruknya (oleh Syaitan) lalu ia memandangnya dan mempercayainya baik,?”
(Surah Fathir : 8)
Rawatannya ialah sentiasa rujuk kepada Allah dalam segala hal serta melazimi zikir-zikir tertentu, membaca Al-Quran, berhati-hati dan teliti dalam sumber rezeki dan makanan dengan mempastikan yang halal, memelihara kehormatan dan maruah umat Islam, serta memohon doa daripada auli’a Allah agar melalui doanya itu Allah akan memeliharanya daripada kelemahan dan kesalahan yang telah disebutkan sebelum ini, disamping Allah akan membukakan hijab untuknya melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Penyakit Kelima
Dia mentaati perintah Allah tetapi tidak dapat mencapai kemanisan di dalam melaksanakan perintah itu. Hal ini berlaku kerana amal ketaatannya itu telah bercampur baur dengan unsur-unsur riya’ dan tidak disertai dengan keikhlasan serta tidak menurut sunnah di dalam amalan.
Rawatannya ialah dengan melatih jiwa supaya ikhlas di dalam amalan, menuruti sunnah di dalam setiap perbuatan dan amalan serta memperbetulkan seluruh asas kehidupan supaya kesudahannya menepati kehendak kebenaran.

Penyakit Keenam
Dia mengharapkan dirinya mendapat balasan kebaikan setelah mendapati tanda kebaikan itu wujud pada dirinya. Sekiranya ia dapat mencapai kebaikan itu nescaya orang yang jiwanya hampir kepada Allah akan bermasam muka dan merasa malang dengan kehadirannya.
Hal ini pemah disebutkan kepada sebahagian daripada para salaf, “Apakah pendapatmu terhadap (Seseorang yang bertahan makamnya di dalam dunia kesufian di antara dua makam)?” Lalu dijawab, “Aku pernah menyaksikan pelbagai golongan seperti itu. Kalaulah bukan kerana aku pernah menjadi seperti mereka, nescaya aku akan memohonkan keampunan daripada Allah untuk mereka. Beginilah bentuk perjalanan (jiwa yang hidup).
Rawatannya ialah hendaklah diketahui sekiranya Allah mengampunkan dosa-dosa mereka sedangkan Allah menyaksikan dan mengetahui bahawa keampunan yang dianugerahkannya itu akan ditukar ganti oleh mereka itu dengan melakukan dosa dan maksiat. Oleh itu hendaklah kita merasa malu kepada Allah dan sentiasa sedar terhadap kejahatan diri sendiri. Hal ini dinyatakan oleh al-Fudail bin ‘Iyad6, “Alangkah kejinya perbuatan kamu itu walaupun kamu merasakan ianya sesuatu yang baik. Ini adalah kerana kamu telah mendahului ilmu Allah di dalam urusan tersebut.” Kata Al-Sulamiy, Yahya bin Muaz7 berkata, “Berlapar itu dianggap sebagai makanan kerana dengan berlapar itu Allah akan memperkuatkan tubuh badan para siddiqin.”

Penyakit Ketujuh
Jika kamu ingin membina dan menyuburkan kehidupan akhirat kamu, terlebih dahulu hendaklah kamu mematikan keinginan terhadap (keseronokan) kehidupan duniawi. Kamu tidak akan dapat berdampingan dengan Allah sehingga kamu mematikan keinginan nafsu kamu kepada perkara-­perkara yang keji.”
Hal ini disebut oleh Yahya Bin Mu’az, katanya “Sesiapa yang menghampirkan diri kepada Allah dengan hati yang mendalam, Allah akan memelihara jiwanya daripada godaan nafsu. Cara menguasai hawa nafsu itu ialah melakukan perkara-perkara yang tidak disukainya, kerana nafsu itu selama-lamanya tidak akan tunduk kepada kebenaran.”
Rawatannya ialah berjaga malam untuk beribadat, berpuasa, melaksanakan kewajipan yang tidak disukai oleh nafsu serta menghalang daripada pengaruh syahwat yang berbagai-­bagai.

Penyakit Kelapan
Nafsu itu selama-lamanya tidak akan melahirkan kebenaran. Hal ini kerana amal ketaatan itu berlawanan dengan kehendak nafsu, bahkan akan lahirlah pula pertentangan yang lebih banyak apabila seseorang itu patuh mengikut kehendak hawa nafsu dan syahwat.
Rawatannya ialah keluar daripada kongkongan nafsu itu secara keseluruhan kemudian kembali kepada Allah secara mutlak. Al-Sulamiy berkata, “Abul Qasim al-Basri berkata di Baghdad; Ibn Bazdan telah ditanya, “Atas dasar apakah seseorang itu keluar menuju kepada Allah?”
Katanya,”Keluar di atas dasar dia tidak akan kembali semula ke tempat asalnya, serta dia akan memelihara dan menumpukan seluruh perhatiannya kepada Allah.” Abul Qasim al-Basri berkata, “Hal itu hanya melibatkan pencarian orang yang telah menemui hakikat ketuhanan Allah”
“Bagaimana pula keadaan orang yang masih belum menemui hakikat itu?” Jawabnya, “Kemanisan iman yang lahir dipermulaan langkah menuju Allah itu akan menjadi penawar yang sangat mujarab untuk mengharungi segala kepahitan di dalam pencarian hakikat ketuhanan itu di hari-hari yang mendatang.”

RAHSIA AL QURAN 4 : TERDAPAT KEBAIKAN DALAM SETIAP PERISTIWA

Allah memberitahukan kita bahwa dalam setiap peristiwa yang Dia ciptakan terdapat kebaikan
di dalamnya. Ini merupakan rahasia lain yang menjadikan mudah bagi orang-orang yang beriman
untuk bertawakal kepada Allah. Allah menyatakan, bahkan dalam peristiwa-peristiwa yang
tampaknya tidak menyenangkan terdapat kebaikan di dalamnya:

“Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.” (Q.s. an-Nisa’: 19).

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu
tidak mengetahui.” (Q.s. al-Baqarah: 216).

Dengan memahami rahasia ini, orang-orang yang beriman menjumpai kebaikan dan
keindahan dalam setiap peristiwa. Peristiwa-peristiwa yang sulit tidak membuat mereka merasa
gentar dan khawatir. Mereka tetap tenang ketika menghadapi penderitaan yang ringan maupun berat.
Orang-orang Muslim yang ikhlas bahkan melihat kebaikan dan hikmah Ilahi ketika mereka
kehilangan seluruh harta benda mereka. Mereka tetap bersyukur kepada Allah yang telah mengkaruniakan
kehidupan. Mereka yakin bahwa dengan kehilangan harta tersebut Allah sedang melindungi
mereka dari perbuatan maksiat atau agar hatinya tidak terpaut dengan harta benda. Untuk itu, mereka
bersyukur dengan sedalam-dalamnya kepada Allah karena kerugian di dunia tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan kerugian di akhirat. Kerugian di akhirat artinya azab yang kekal abadi dan
sangat pedih. Orang-orang yang tetap sibuk mengingat akhirat melihat setiap peristiwa sebagai
kebaikan dan keindahan untuk menuju kehidupan akhirat. Orang-orang yang bersabar dengan
penderitaan yang dialaminya akan menyadari bahwa dirinya sangat lemah di hadapan Allah, dan
akan menyadari betapa mereka sangat memerlukan Dia. Mereka akan berpaling kepada Allah
dengan lebih berendah diri dalam doa-doa mereka, dan dzikir mereka akan semakin mendekatkan
diri mereka kepada-Nya. Tentu saja hal ini sangat bermanfaat bagi kehidupan akhirat seseorang.
Dengan bertawakal sepenuhnya kepada Allah dan dengan menunjukkan kesabaran, mereka akan
memperoleh ridha Allah dan akan memperoleh pahala berupa kebahagiaan abadi.
Manusia harus mencari kebaikan dan keindahan tidak saja dalam penderitaan, tetapi juga
dalam peristiwa sehari-hari. Misalnya, masakan yang dimasak dengan susah payah ternyata hangus,
dengan kehendak Allah, mungkin akan bermanfaat menjauhkan dari madharat kelak di kemudian
hari. Seseorang mungkin tidak diterima dalam ujian masuk perguruan tinggi untuk menggapai
harapannya pada masa depan. Bagaimanapun, hendaknya ia mengetahui bahwa terdapat kebaikan
dalam kegagalannya ini. Demikian pula hendaknya ia dapat berpikir bahwa barangkali Allah
menghendaki dirinya agar terhindar dari situasi yang sulit, sehingga ia tetap merasa senang dengan
kejadian itu. Dengan berpikir bahwa Allah telah menempatkan berbagai rahmat dalam setiap peristiwa,
baik yang terlihat maupun yang tidak, orang-orang yang beriman melihat keindahan dalam
bertawakal mengharapkan bimbingan Allah.
Seseorang mungkin tidak selalu melihat kebaikan dan hikmah Ilahi di balik setiap peristiwa.
Sekalipun demikian ia mengetahui dengan pasti bahwa terdapat kebaikan dalam setiap peristiwa. Ia
memanjatkan doa kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya kebaikan dan hikmah Ilahi di balik
segala sesuatu yang terjadi.
Orang-orang yang menyadari bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah memiliki tujuan
tidak pernah mengucapkan kata-kata, “Seandainya saya tidak melakukan…” atau “Seandainya saya
tidak berkata …,” dan sebagainya. Kesalahan, kekurangan, atau peristiwa-peristiwa yang
kelihatannya tidak menguntungkan, pada hakikatnya di dalamnya terdapat rahmat dan masingmasing
merupakan ujian. Allah memberikan pelajaran penting dan mengingatkan manusia tentang
tujuan penciptaan pada setiap orang. Bagi orang-orang yang dapat melihat dengan hati nuraninya,
tidak ada kesalahan atau penderitaan, yang ada adalah pelajaran, peringatan, dan hikmah dari Allah.
Misalnya, seorang Muslim yang tokonya terbakar akan melakukan mawas diri, bahkan keimanannya
menjadi lebih ikhlas dan lebih lurus, ia menganggap peristiwa itu sebagai peringatan dari Allah agar
tidak terlalu sibuk dan terpikat dengan harta dunia.
Hasilnya, apa pun yang dihadapinya dalam kehidupannya, penderitaan itu pada akhirnya akan
berakhir sama sekali. Seseorang yang mengenang penderitaannya akan merasa takjub bahwa
penderitaan itu tidak lebih dari sekadar kenangan dalam pikiran, bagaikan orang yang mengingat
kembali adegan dalam film. Oleh karena itu, akan datang suatu saat ketika pengalaman yang sangat
pedih akan tinggal menjadi kenangan, bagaikan bayangan adegan dalam film. Hanya ada satu yang
masih ada: bagaimanakah sikap seseorang ketika menghadapi kesulitan, dan apakah Allah ridha
kepadanya atau tidak. Seseorang tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang telah ia alami,
tetapi yang dimintai tanggung jawab adalah sikapnya, pikirannya, dan keikhlasannya terhadap apa
yang ia alami. Dengan demikian, berusaha untuk melihat kebaikan dan hikmah Ilahi terhadap apa
yang diciptakan Allah dalam situasi yang dihadapi seseorang, dan bersikap positif akan mendatangkan
kebahagiaan bagi orang-orang beriman, baik di dunia maupun di akhirat. Tidak duka cita dan
ketakutan yang menghinggapi orang-orang yang beriman yang memahami rahasia ini. Demikian
pula, tidak ada manusia dan tidak ada peristiwa yang menjadikan rasa takut atau menderita di dunia
ini dan di akhirat kelak. Allah menjelaskan rahasia ini dalam al-Qur’an sebagai berikut:
“Kami berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu. Kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran
atas mereka, dan mereka tidak bersedih hati’.” (Q.s. al-Baqarah: 38).
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan mereka tidak bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada
perubahan bagi kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”
(Q.s. Yunus: 62-4).