Tampilkan postingan dengan label Wali Ibnu Sama'. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wali Ibnu Sama'. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Februari 2013

TOKOH SUFI KLASIK IBNU SAMA’ BAHAGIAN 3 : KERANA ALLAH MENUTUPI AIB KAMI



Seorang khalifah Abbasiyah bernama Harun Ar Rasyid mengirim utusan kepada Muhammad bin Samak, seorang penasihat yang tersohor di zamannya. Tatkala Yahya bin Khalid Al Barmaki datang beliau menyambutnya dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu berkatalah Yahya :”Sesungguhnya amirul mukminin telah mengutusku kepada anda karena telah sampai kepada beliau tentang kebaikan anda, banyaknya dzikir anda kepada Allah S.W.T dan banyaknya doa anda bagi umat.”

 Maka Ibnu Samak berkata :
”Adapun berita yang telah sampai kepada amirul mukminin tentang kebaikan kami, hal itu semata mata karena Allah menutupi aib kami. Kalau saja Allah menampakkan dosa dosa kami kepada manusia, niscaya tak seorang pun menaruh simpati kepada kami, tak satu pun lisan yang akan memuji kami dan kami khawatir jika kami binasa karenanya dan sedikit syukur kami karenanya.”
 
***
 Sungguh perkataan beliau ini adalah nasehat bagi orang yang mau menerima nasehat, peringatan bagi orang yang mau menerima peringatan, hingga karena berkesannya di hati utusan Ar Rasyid terhadap ungkapan ini maka dia mengambil pena dan kertas untuk menulisnya !

Karena ungkapan tersebut merupakan peringatan kepada manusia akan bahaya suka dipuji dan rela disanjung serta membanggakan diri sendiri, khususnya bagi para da’i yang menyeru manusia kepada yang ma’ruf dan melarang manusia berbuat mungkar.

Gila pupularitas, ambisi tenar dan sum’ah adalah perangkap yang berbahaya, yang sering dihadapi oleh ahli ilmu dan para da’i yang menyeru kepada kebaikan, sehingga pandangan mereka tertuju pada penilaian manusia dan akan menumbuhkan keinginan untuk ujub dan dihormati. Dari pintu inilah masuknya kesombongan dan ujub menuju hati, mengusir tawadhu’ dan kehalusan hatinya, sehingga yang menjadi target baginya adalah menjadi orang yang terpandang di majelis dan diunggulkan dari yang lain.

Ketika itulah seorang da’i telah melepaskan keikhlasan, tawadhu’ dan silau oleh cahaya dan fatamorgana, hingga menyebabkan ucapannya tak berpengaruh dan hilang faedahnya. Tinggallah untaian kata kata indah dan gaya bahasa yang bagus dan yang bersemayam di otaknya adalah keinginan untuk menunjukkan kepandaian dan kecerdasan.

Ibnu Samak sadar betul akan bahaya bahaya tersebut, sehingga beliau berupaya agar tidak terpedaya dengan sanjungan. Beliau tidak rela dikatakan dengan serba baik kendati hal itu ada pada beliau. Bahkan beliau menekankan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa seperti yang lain, terkadang salah dan terkadang terjerumus ke dalam dosa, hanya saja Allah S.W.T menutupinya, mungkin karena beliau tidak sengaja melakukannya, tidak terus menerus dalam kesalahan/dosa namun bersegera untuk bertaubat dan istighfar.

Ibnu Samak telah menghayati firman Allah :
“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An Najm : 32)


Beliau memahami bahwa seorang mukmin tidak selayaknya menyanjung dirinya sendiri, tidak suka pula jika dikatakan dengan sifat yang dia tidak berhak menyandangnya secara sempurna. Beliau memiliki uswah bernama Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyalluhu’Anhu yang tatkala mendengar pujian manusia atasnya lalu berkata :”Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka duga tentangku dan ampunilah aku dalam hal yang tidak mereka ketahui tentangku.”

Oleh karena itu, kita pantas bersedih manakala kita melihat pujian yang kelewat batas terhadap para da’i di jalan Allah. Orang orang menyematkan segala sifat kebaikan atas mereka, namun sebagian mereka merasa senang dan rela diperlakukan seperti itu seakan akan itu adalah kebenaran yang telah terlegitimasi atau sesuatu yang telah hakiki dan pasti.

Kita mengharapkan agar para ulama dan da’i di zaman kita ini berpegang dengan manhaj para salaf dalam hal tawadhu’ dan kewaspadaannya terhadap tipu daya. Begitu pula dalam hal kejujuran tatkala menggambarkan untuk mensifatkan dirinya. Karena tiada seorang manusia pun yang maksum melainkan orang orang yang dijaga oleh Allah dari para Nabi dan RasulNya.

Hendaknya kita selalu ingat perkataan Muhammad bin Shabih bin Samak dalam risalah yang beliau tulis untuk saudaranya:

”Wahai saudaraku berapa banyak orang yang menyebut asma Allah namun lupa kepada Allah, berapa banyak yang katanya takut kepada Allah namun berlaku lancang terhadap Allah, berapa banyak orang yang menyeru ke jalan Allah namun ia sendiri lari menjauh dari Allah dan berapa banyak orang yang membaca kitabullah namun menghapus sebagian ayat ayat Allah?”

Itulah penyimpangan yang terjadi dalam perjalanan sejarah kita, sebagaimana banyak menimpa pada orang orang di zaman sekarang sebabnya berbangga dengan apa yang dikatakan, mabuk terhadap popularitas dan ingin terus disanjung dan dipuji. Seluruhnya itu akan membunuh. Semestinya para da’i berhati hati terhadap hal hal tersebut.

TOKOH SUFI KLASIK IBNU SAMA’ BAH 3 : MANUSIA MAKHLUK YANG LEMAH



Pada suatu hari yang amat terik, Khalifah Harun Al-Rasyid mengundang Ibnu Samak, seorang ulama, ke istana di Baghdad untuk meminta fatwa dan nasihatnya. Khalifah meminta pelayannya untuk menyajikan minuman segar untuk Ibnu Samak.

Sebelum meminum, Ibnu Samak bertanya kepada Khalifah, ''Tuan, jika sekiranya seteguk air minum itu sulit diperoleh dan susah mencarinya, sedangkan tuan sudah sangat kehausan, berapakah kiranya seteguk air itu mau tuan hargai?''
''Biar habis setengah kekayaanku, aku mau membelinya,'' ujar Khalifah Harun Al-Rasyid. ''Minumlah tuanku air yang seteguk itu yang kadangkala harganya lebih mahal daripada setengah kekayaan tuanku!'' lanjut Ibnu Samak.
Setelah Khalifah minum, Ibnu Samak pun melanjutkan fatwanya. ''Jika air yang tuan minum tadi tidak mau keluar dari diri tuan, meski sudah bersusah payah berusaha tidak juga mau keluar, berapakah kiranya tuan mau membayar agar air itu dapat keluar?'' tanya Ibnu Samak lagi.
Harun Al-Rasyid menjawab, ''Kalau air itu tidak mau keluar lagi, apalah gunanya kemegahan dan kekayaan ini. Biarlah habis seluruh kekayaanku ini untuk mengobati diriku, sehingga air itu bisa keluar.''
Ibnu Simak melanjutkan pengajarannya, ''Maka tidakkah tuan insyaf, betapa kecil dan lemahnya kita ini. Tibalah saatnya kita tunduk dan patuh serta bersyukur kepada-Nya dan menyadari akan kelemahan diri kita.'' Mendengar fatwa itu Khalifah menangis tersedu.
Subhanallah, sungguh benarlah wasiat Ibnu Samak pada Khalifah Harun Al-Rasyid di atas. Betapa lemahnya manusia. Bagaimanakah seandainya Allah SWT dengan tiba-tiba menghentikan air yang masuk dalam tubuh kita? Atau, menghentikan denyut jatung dan paru-paru, sedangkan kita masih hidup bergelimang dosa. Sungguh kematian itu datang tiba-tiba dengan sebab yang tak terduga.
Betapa kufurnya kita, jika tidak bersyukur kepada Allah SWT, sedangkan hari ini kita masih bisa membuang hajat dengan lancar, bernapas dengan lega, dan jantung masih berdetak dengan teratur. Jika kita menghitung nikmat yang Allah SWT berikan, niscaya tidak akan mampu menghitungnya.
Padahal, Allah SWT telah melengkapi tubuh kita dengan segala perlengkapan, sehingga dapat bertahan hidup dan mencapai kebahagiaan. Tapi terkadang, manusia melalaikan semua itu.
Sampai-sampai Allah SWT berfirman, ''Hai manusia, apakah yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuhmu)-mu seimbang.'' (QS Al-Infithaar (82): 6-7).
Bagi Allah SWT amatlah mudah mencabut nyawa kita kapan saja. Karenanya, kita harus siap menyambut maut dengan iman dan amal yang ikhlas.

Jumat, 25 Januari 2013

TOKOH SUFI KLASIK IBNU SAMA’ BAH 2 : MANUSIA MAKHLUK YANG LEMAH



Pada suatu hari yang amat terik, Khalifah Harun Al-Rasyid mengundang Ibnu Samak, seorang ulama, ke istana di Baghdad untuk meminta fatwa dan nasihatnya. Khalifah meminta pelayannya untuk menyajikan minuman segar untuk Ibnu Samak.

Sebelum meminum, Ibnu Samak bertanya kepada Khalifah, ''Tuan, jika sekiranya seteguk air minum itu sulit diperoleh dan susah mencarinya, sedangkan tuan sudah sangat kehausan, berapakah kiranya seteguk air itu mau tuan hargai?''
''Biar habis setengah kekayaanku, aku mau membelinya,'' ujar Khalifah Harun Al-Rasyid. ''Minumlah tuanku air yang seteguk itu yang kadangkala harganya lebih mahal daripada setengah kekayaan tuanku!'' lanjut Ibnu Samak.
Setelah Khalifah minum, Ibnu Samak pun melanjutkan fatwanya. ''Jika air yang tuan minum tadi tidak mau keluar dari diri tuan, meski sudah bersusah payah berusaha tidak juga mau keluar, berapakah kiranya tuan mau membayar agar air itu dapat keluar?'' tanya Ibnu Samak lagi.
Harun Al-Rasyid menjawab, ''Kalau air itu tidak mau keluar lagi, apalah gunanya kemegahan dan kekayaan ini. Biarlah habis seluruh kekayaanku ini untuk mengobati diriku, sehingga air itu bisa keluar.''
Ibnu Simak melanjutkan pengajarannya, ''Maka tidakkah tuan insyaf, betapa kecil dan lemahnya kita ini. Tibalah saatnya kita tunduk dan patuh serta bersyukur kepada-Nya dan menyadari akan kelemahan diri kita.'' Mendengar fatwa itu Khalifah menangis tersedu.
Subhanallah, sungguh benarlah wasiat Ibnu Samak pada Khalifah Harun Al-Rasyid di atas. Betapa lemahnya manusia. Bagaimanakah seandainya Allah SWT dengan tiba-tiba menghentikan air yang masuk dalam tubuh kita? Atau, menghentikan denyut jatung dan paru-paru, sedangkan kita masih hidup bergelimang dosa. Sungguh kematian itu datang tiba-tiba dengan sebab yang tak terduga.
Betapa kufurnya kita, jika tidak bersyukur kepada Allah SWT, sedangkan hari ini kita masih bisa membuang hajat dengan lancar, bernapas dengan lega, dan jantung masih berdetak dengan teratur. Jika kita menghitung nikmat yang Allah SWT berikan, niscaya tidak akan mampu menghitungnya.
Padahal, Allah SWT telah melengkapi tubuh kita dengan segala perlengkapan, sehingga dapat bertahan hidup dan mencapai kebahagiaan. Tapi terkadang, manusia melalaikan semua itu.
Sampai-sampai Allah SWT berfirman, ''Hai manusia, apakah yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuhmu)-mu seimbang.'' (QS Al-Infithaar (82): 6-7).
Bagi Allah SWT amatlah mudah mencabut nyawa kita kapan saja. Karenanya, kita harus siap menyambut maut dengan iman dan amal yang ikhlas.

SUFI KLASIK IBNU SAMA’ BAH 1 : HARGA SEBUAH KERAJAAN TIDAK LEBIH DARI SEGELAS AIR



Tercatat dalam kitab "Syadzraat dzahab fii akhbaari man dzahab"  karangan Ibnul Imaad al-Hanbali , ketika mencatatkan biografi Khalifah Harun ar-Rasyid rahimahullah, berikut nukilannya:

Pada suatu hari Ibnu Samak pernah masuk ke istana Harun ar-Rasyid, maka ar-Rasyid meminta untuk dibawakan air minum untuknya. 

Berkata Ibnu Samak kepada beliau: 

"Wahai amirul mu'minin! Demi Allah, saya bertanya kepadamu, jika seandainya engkau terhalang dari meminum air ini, berapa dirhamkah akan engkau bayar? 

Beliau menjawab: "Dengan setengah kerajaanku". 

Ibnu Samak bertanya lagi: 

" Kalau seandainya setelah kamu meminumnya lantas tidak boleh keluar dari badanmu, berapa banyak akan kamu bayar? Beliau menjawab: "Dengan setengah lagi dari kekuasaanku". 

Ibnu Samak lantas mengatakan kepadanya: "Sungguh kerajaanmu nilainya tidak lebih dari segelas air. Oleh kerana itu tidak selayaknya untuk saling berlumba-lumba untuk mendapatkanya".