Tampilkan postingan dengan label Memahami Tasawwuf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Memahami Tasawwuf. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Juli 2012

AKHLAK SEORANG SALIK

Diambil dari Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah, Ibn’ Atha’illah al-Iskandari

Ketahulilah, bahwa jalan menuju Allah haruslah senantiasa bersih dari sikap menentang dan dari nafsu yang menyimpang. Pemberian alasan, sikap toleran dan kelembutan pada sesuatu yang mengarah pada penyimpangan dari jalan Allah adalah tidak boleh ada di dalamnya. Karena itu, perbuatan yang jelas-jelas melanggar syariat adalah layak dikecam dan tidak boleh diberi maaf. Sikap toleran hanya berlaku dalam sesuatu yang terkait dengan hak-hak pribadi.
Seorang salik yang hendak menapak jalan menuju Allah, haruslah berusaha memberikan apa yang menjadi hak orang tanpa menuntut balas dari mereka. Ia juga harus menerima alasan orang tanpa berusaha mencari alasan untuk diri sendiri.
Selain itu, ia harus menolong tanpa berusaha untuk ditolong, harus memperlakukan manusia dengan sikap kasih dan sayang, serta berinteraksi bersama mereka dengan mengembangkan sikap saling menasehati.
Ia tidak boleh dengki dan iri dalam apa yang Allah berikan pada orang.
Tidak berteman dan duduk bersama wanita. Serta tidak bersahabat dan bercengkrama dengan anak-anak muda.
Seorang salik juga harus berusaha menepati janji, berkata benar dan bersikap wara’ entah itu terkait dengan ucapan, makanan, pandangan dan seterusnya.
Ia tidak boleh bersikap riya, harus menjaga adab-adab syariat –baik yang kecil maupun yang besar- kalau sudah mengetahui. Kalau belum mengetahui, ia harus bertanya. Orang yang berani mengkhianati adab-adab syariat akan lebih berani lagi mengkhianati rahasia-rahasia ilahi. Karena itu, Allah hanya akan memberikan rahasiaNya kepada mereka yang bisa dipercaya.
Seorang salik tidak boleh memilih, sebab ia bersama pilihan Allah.
Ia juga harus meninggalkan hal-hal yang mubah, sebab memperhatikan hal yang mubah itu hanya akan membuang-buang waktu. Salik yang masuk ke dalam jalan ini, kalau sudah menjadi suami, hendaknya tidak menceraikan isterinya. Atau kalau masih bujang hendaknya tidak menikah dulu sampai sempurna. Dan jika sudah sempurna ia akan mendapat pemberian Allah.

Seorang salik harus jujur. Ia hanya berbicara dengan apa yang ia saksikan.
Ketika salik atau murid mengunjungi seorang syekh, qalb-nya harus kosong agar ia bisa menerima apa yang diberikan oleh syekhnya itu. Ia tidak boleh mengingkarinya. Jika sulit diterima, ia harus mengevaluasi diri dengan berkata,… “Saya belum sampai pada kedudukan ini.” Ia tidak boleh menganggap syekhnya yang salah. Siapa yang menemui syekh untuk mengujinya, berarti ia adalah seorang yang bodoh. Hendaknya ia meminta sang syekh untuk berbicara tentang persoalan khatir. Tetapi, yang mestinya ia minta adalah agar sang syekh tersebut mengajarkan kotoran-kotoran jiwa beserta obatnya, juga agar ia menerangkan hal-ihwal seorang murid, bukan hal-ihwal kaum arif.

Apabila seorang salik menyaksikan ada orang yang sedang berbuat maksiat, janganlah ia mempunyai keyakinan bahwa maksiat tersebut dilakukan seterusnya. Namun, hendaknya ia berkata,… “Barangkali ia bertaubat pada saat tak dilihat orang…” atau “Barangkali maksiat tersebut tidak mengkhawatirkan karena mungkin Allah menolong ia di akhir hidupnya.” Seorang salik tidak boleh mempunyai prasangka buruk terhadap seseorang kecuali yang memang telah Allah tampakkan akhir kehidupannya. Para salik juga tak boleh berprasangka baik terhadap dirinya. Siapa yang memandang dirinya lebih baik dari orang lain, padahal ia belum mengetahui keadaannya dan keadaan orang tersebut di akhir hidupnya, berarti ia bodoh terhadap Allah, tertipu dan tidak memiliki kebaikan. Meskipun ia diberi pengetahuan, tetapi sebetulnya ia tidak diberi. Meremehkan ilmu yang hakiki berarti meremehkan Allah. Dan tentu saja hal tersebut bertentangan dengan sifat kewalian.
Ciri-ciri seorang salik adalah ia selalu membersihkan diri dari berbagai perangai buruk dan mengisinya dengan berbagai akhlak yang terpuji.
Ia senantiasa sabar menghadapi gangguan orang dan tidak menyakiti.
Hendaknya ia senang membantu orang dalam hal kebajikan, mengasihi orang yang lemah, menunjuki orang yang sesat dan bodoh, menyadarkan orang yang lalai dan tidak membuat hijab.
Setiap orang yang meminta pertolongannya, selalu dibantu.
Setiap orang yang ingin menemuinya, selalu bisa bertemu.
Ia tidak menutup diri dari orang, selalu memberi kepada yang meminta, menghormati tamu, menghibur orang yang sedang merana, menenangkan orang yang sedang cemas, memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi baju kepada orang yang telanjang, membantu pelayan, selalu melakukan perbuatan mulia dan tidak melakukan perbuatan tercela.

Diantara ciri salik lainnya adalah selalu melakukan mujahadah jasmani seperti menahan rasa lapar dan haus, serta berujung dalam empat hal,…
::: Kematian putih, yaitu menahan lapar,
::: Kematian merah, yaitu menentang hawa nafsu,
::: Kematian hitam yaitu bersabar dalam memikul beban, serta
::: Kematian hijau yaitu memakai tembelan berlapis.

Seorang salik juga lebih mengutamakan orang lain, selalu bersandar kepada Allah dalam semua hal, ridha dengan semua ujian dariNya, bersabar dalam menghadapi berbagai macam penderitaan, meninggalkan tanah air, menjauh dari makhluk tanpa memandang mereka sebagai orang yang buruk, namun semata-mata karena lebih mengutamakan Allah ketimbang makhluk. Ia memutuskan segala hubungan yang bisa menjadi penghalang, selalu berusaha untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia setelah selesai membenahi dirinya sendiri. Siapa yang berusaha memenuhi hajat manusia sebelum ia memperbaiki diri sendiri, berarti orang tersebut sebenarnya menginginkan kedudukan dan pujian.
Diantara akhlak salik adalah bersikap Qana’ah, yaitu merasa cukup dengan pemberian yang ada tanpa mengharap tambahan karunia. Lalu ia juga selalu berusaha agar dirinya senantiasa berada dalam keadaan suci. Malaikat berkata kepada Allah, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat….”
Akhlak lainnya adalah berdo’a kepada Allah untuk menunjukkan keberadaan dirinya sebagai hamba,… sekaligus menunjukan kefakiran, kehinaan, kekhusyukan, ketundukan dan sikap tawadhu kepadaNya. Hal itu dilakukan karena keberadaan asma-asma Allah yang selaras dengan sifat tersebut. Tidak ada yang mengetahui rahasia dari asma-asma Tuhan tersebut kecuali orang yang bertingkah laku dengan sifat-sifat yang mencerminkan asma itu.

Seorang salik juga melihat pada aibnya, sibuk dengan dirinya, dan berusaha untuk tidak melihat aib orang. Ia selalu mempunyai prasangka yang baik kepada mereka. Ia membiasakan lisannya mengucapkan yang baik-baik, menjaga pandangan matanya agar tidak melihat kepada sesuatu yang tidak selayaknya, mempercepat langkah ketika berjalan, berusaha diam kecuali dalam kebaikan, melakukan amar maruf nahyi munkar kepada para penguasa yang mempunyai perasaan takut dan diharapkan bisa berubah, …
Senantiasa berlapang dada kepada semua makhluk, mendo’akan kaum muslimin, melayani orang-orang fakir, serta mengasihi dan menyayangi semua hamba Allah, baik manusia maupun yang lainnya.

Dikisahkan bahwa ada seorang penguasa yang sangat lalim,….
suatu hari ia menaiki tunggangannya dan kemudian melihat seekor anjing yang kepayahan. Udara pada hari tersebut sangat dingin. Ia pun segera memerintahkan para pembantunya agar anjing itu dibawa ke rumah. Ia sangat mengasihi anjing tersebut dan berbuat baik kepadanya. Ketika malam tiba, ia bermimpi ada suara yang berkata padanya,…“Engkau tadinya seperti anjing,.. maka kami berikan engkau pada seekor anjing.”

Sifat salik lainnya adalah senantiasa menyebarkan kebaikan manusia. Ia tutupi aib mereka, kecuali ahli bid’ah agar orang-orang mengetahui dan berhati-hati kepadanya.
Seorang salik juga selalu memandang dengan wajah yang menyiratkan penghormatan. Ia tidak pernah menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, tidak merasa berjasa dan tidak meminjamkan –tapi memberi.
Kalaupun orang yang membutuhkan kemudian meminta sesuatu kepadanya, ia segera memberinya tanpa rasa pamrih. Namun, jika orang tadi mengembalikannya, ia meminta secara halus kepadanya agar tak usah dikembalikan. Kalau toh orang tadi menolak dan memaksa untuk mengembalikannya, maka ia mengambilnya, tapi untuk diserahkan kepada orang lain yang juga membutuhkannya.
Seorang salik takkan mengambil kembali apa yang sudah keluar darinya. Jika suatu ketika barangnya terjatuh dijalan, entah itu berupa pakaian atau uang, meskipun jumlahnya sekitar seribu dinar, sementara ia sudah berjalan jauh, ia takkan kembali untuk mencarinya dan tidak pula mengumumkannya. Jika ternyata pada kondisi tersebut jiwanya goncang, berarti padanya terdapat penyakit yang tersisa dan dunia masih mendekam dalam qalb-nya. Hendaknya ia lekas mengobati penyakitnya itu. Hanya saja, kalau barang yang hilang tadi kembali tanpa di cari, maka terserah ia. Ia bisa menyimpannya atau mengeluarkannya.

Selanjutnya, sifat seorang salik yang lain adalah mendahulukan kaum fakir daripada orang kaya serta mengutamakan mereka yang cenderung pada akhirat ketimbang hamba dunia. Seorang salik tidaklah harus menjadi miskin. Tetapi, ada yang miskin dan ada pula yang kaya.
Seorang salik juga senang melakukan amal ketaatan, baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Ia selalu berusaha agar jiwanya dan lintasan pikirannya bersama Allah dalam menerima limpahan karunia. Ia senantiasa ridha kepada Allah dalam semua kondisi. Segala puji bagiNya dalam setiap keadaan.
Kalau ia bisa mengubah kebiasaan yang lazim dilakukan oleh manusia dan dirinya, maka akan Allah berikan untuknya sesuatu yang luar biasa sebagai imbalan yang setimpal. Itulah yang oleh masyarakat awam disebut dengan karamah. Adapun bagi kalangan khusus, karamah adalah pertolongan Tuhan berupa taufiq dan kekuatan hingga ia bisa mengubah kebiasaan mereka.


PIAWAIAN KEGAGALAN DAN KEJAYAAN DALAM SULUK

Ibn’ Atha’illah al-Iskandari ra. berkata,…

Terdapat 10 penyakit yang boleh menggagalkan perjalanan seseorang menuju Allah, yakni :

- melihat amal,
- panjang angan-angan,
- merasa telah sampai ke tingkat wali,
- menunduk kepada makhluk,
- merasa puas dengan penglihatan mimpi,
- bersuka cita dengan wirid,
- bersenang-senang dengan karunia yang diterima,
- berdiam terhadap janji,
- merasa cukup dengan pengakuan
- dan lalai terhadap Allah,


Sedangkan tanda bahwa seseorang jatuh nilainya dalam pandangan Allah ada 3:

- Ridha terhadap diri sendiri,
- tidak ridha terhadap Allah
- serta melawan qada dan qadar Allah.


Tanda dekatnya seseorang dari Allah juga ada 3:

- Tidak mementingkan dirinya,
- menegakkan kebenaran
- dan tawadhu terhadap makhluk.



Tanda bahwa seseorang telah sampai kepada Allah juga ada 3:

- Memahami Allah,
- mendengarkan Allah
- dan mengambil semua yang berasal dari Allah.


Tanda orang yang menggantungkan diri emata-mata kepada Allah pun ada 3:

- Tidak ikut memilih,
- tidak ikut mengurus
- dan tidak ikut mengatur.


Tanda bahwa seseorang mewakili Allah adalah :

Ketika ia mengganti sifat-sifat fananya dengan sifat-sifat yang abadi dan melenyapkan zatnya yang fana dalam Zat yang Abadi.
Allah senantiasa memberi kekuasaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.



Tanda bahwa seseorang hamba benar-benar mencintai Allah ada 3:

- Tidak ikut memilih,
- menganggap baik semua realitas takdir,
- serta menyaksikan kesempurnaan sang Kekasih dalam segala sesuatu disertai kepasrahan total kepadaNya.

Sebaliknya, tanda bahwa seseorang dicintai Allah juga ada 3:

- Ridha kepadanya atas apa yang dilakukannya,
- membicarakannya dan memberikan rahasia kepadanya lewat hikmah-Nya yang mendalam sebagai dalil atas-Nya.

Selasa, 26 Juni 2012

RAHSIA MEMATIKAN DIRIMU SEBELUM MATI

Matikan dirimu sebelum kamu mati’.

 
Maka ‘mati yang pertama’ itu seolah-olah bercerai ruh dari jasad, tiada daya upaya walau sezarah jua pada hakikatnya, hanya Allah jua yang berkuasa, kamudian dimusyahadahkan didalam hati dengan menyaksikan kebesaran iaitu sifat Jalal dan JamalNya dan kesucianNya. Maka mati diri sebelum mati itu ialah dengan memulangkan segala amanah Allah iaitu tubuh jasad ini kepada yang menanggung amanah iaitu ruhaniah jua.


Ditarikkan ‘nafas’ itu dengan hakikat memulangkan dzat, sifat, afaal kita kepada Dzat, Sifat, Afaal Allah yang bererti memulangkan segala wujud kita yang zahir kepada wujud kita yang bathin (Ruh). Dan pulangkan wujud Ruh pada hakikatnya kepada Wujud Yang Qadim.
Maka selepas sempurna ‘mematikan diri yang pertama’ hendaklah melakukan ‘mikraj’ iaitu ‘mematikan diri peringkat kedua’ yang dinamakan mati maknawi, iaitu hilang segala sesuatu didalam hatimu malainkan hanya berhadap pada Allah jua. Dengan meletakkan nafas kita melalui alam ‘ampas’ iaitu antara dua kening merasa penuh limpah dalam alam kudus kita iaitu dalam kepala kita hingga hilang segala ingatan pada yang lain melainkan hanya hatimu berhadap pada Allah jua.

‘Mati pada peringkat ketiga’ adalah mati segala usaha ikhtiar dan daya usaha diri kerana diri kita ini tidak boleh melakukan sesuatu dengan kekuatan sendiri sebab manusia itu sebenarnya memiliki sifat ‘Fakir, Dhaif, lemah dan hina’. Dinaikkan ‘tanafas’ hingga ditempatkannya dengan sempurna di ‘nufus’ dengan melihat pada matahati itu dari Allah, dengan Allah dan untuk Allah.

Dari Allah mengerakkan Ruhaniah, dari ruhaniah mengerakkan Al-Hayat, dari al-hayat mengerakkan Nafas, dari nafas mengerakkan Jasad dan pada hakikatnya itu Allah jualah yang mengerakkan sekeliannya. Pada pandangan dzahir perbuatan hamba tetapi pada pandangan matahati perbuatan Allah jua. Maka Syuhud akan Allah pada kosadnya (niat) dan segala gerak dan diamnya sebagaimana firmanNya,
“Dan tiadalah yang melontar oleh engkau ya Muhammad ketika engkau melontar tetapi Allah yang melontar………”
.

Selasa, 12 Juni 2012

KEHIDUPAN KEROHANIAN BERMULA DARI RASULULLAH SAW

Muhammad Al-Amin di Gua Hira’
Di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan bermacam-macam kepincangan itu, dalam dekad pertama kurun ke – 7 Masihi, Muhammad yang bergelar Al-Amin yang sedang meningkat usia empat puluhan sedang dalam keadaan amat tidak puas hati dengan keadaan masyarakatnya yang sedemikian rupa. Baginda sentiasa berfikir dan merenung mencari kebenaran.
Pada suatu malam, baginda mengalami mimpi yang baik “al-Ru’ya al-Salihah” atau “al-Ru’ya al-sadiqah” mimpi yang benar di dalam tidurnya. Sejak itu baginda gemar bersendirian di Gua Hira’, sebuah gua yang terletak kira-kira enam batu ke utara kota Makkah. Baginda bersendirian di gua itu kerana beribadat menurut agama Nabi Ibrahim AS. Dalam hubungan ini Aisyah melaporkan:
Permulaan wahyu berlaku pada Rasulullah s.a.w. ialah mimpi yang baik di dalam tidur. Sesuatu mimpi yang dilihatnya itu pasti datang seperti sinaran subuh. Kemudian selepas itu baginda gemar bersendirian di Gua Hira’ beribadat beberapa malam sebelum kembali kepada keluarga mengambil bekalan baru. Sesudah beberapa malam di Gua Hira’ baginda pulang kepada Khadijah mengambil bekalan sehingga datang kebenaran ketika berada di Gua Hira’ itu.
(Riwayat al-Bukhari , L-Tajrid al-Sarih, hlm.5)
Beberapa tahun sepanjang bulan Ramadhan, baginda pergi ke Gua Hira’, merenung, berfikir dan menunaikan ibadat. Jauh dari masyarakat yang hingar–bingar, bersendirian mencari kebenaran dan keheningan fikiran, mencari kekuatan rohaniah dan kekuatan diri.
Pada suatu ketika sewaktu berada di gua itu, tiba-tiba datang Malaikat Jibril AS dengan rupa yang asal, membawa sehelai kain sutera yang bertulis, terus ia memeluk nabi dengan erat sambil berkata: “Bacalah!” dan dia menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Sekali lagi Jibril memeluknya. Ia menyuruh lagi katanya: “Bacalah!” Muhammad terus bertanya, “Apakah saya akan baca?” Ketika itu Jibril terus membaca firman Allah Taala:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Ia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan pena. Ia mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. (Surah al-Alaq :1-5)
Nabi menurut bacaan itu dan Jibril menghilang dirinya dari situ . Ketika itu baginda seolah-olah terasa hatinya sudah tertulis atau terpatri dengan ayat yang dibacanya itu.
Begitulah peristiwa Rasulullah SAW menerima ayat al-Quran yang pertama dari Malaikat Jibril. Peristiwa ini berlaku pada malam Isnin 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahirannya bersamaan 6 Ogos tahun 610 Masihi. Ketika itu baginda meningkat usia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kiraan tahun Qamariah bersamaan kira-kira 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kiraan Syamsiah.
Dalam keadaan terkejut dan kehairanan Nabi SAW keluar dari gua itu. Ketika sampai di lembah bukit, baginda terdengar suara dari arah langit, katanya: “Wahai Muhammad! Engkau rasul dan aku Jibril.” Nabi mendongak ke langit kelihatan Jibril dalam rupa seorang lelaki. Baginda tidak berganjak dari tempatnya, tidak ke depan dan tidak ke belakang. Setelah Jibril menghilangkan diri, Nabi segera pulang ke rumah mendapatkan isterinya Khadijah. Dengan perasaan gerun dan terperanjat baginda meletakkan kepalanya di atas paha Khadijah sambil berkata, “Selimutkanlah aku! Selimutkanlah aku!”
Melihat keadaan yang luar biasa itu, dengan penuh simpati Kahdijah bertanya: “Wahai Abu al-Qasim, ke manakah anda pergi? Saya telah mengantar utusan untuk mencari anda sehingga mereka sampai ke Bandar Makkah dan kini mereka telah pulang.” Setelah agak reda daripada keadaan itu, Nabi menceritakan segala yang telah berlaku. Sebaik sahaja mendengar peristiwa itu, sebagai seorang isteri yang bertanggungjawab, Khadijah cuba menenang dan menguatkan semangat suaminya itu. Kata Khadijah: “Bergembiralah dan tetapkan hati wahai anak pakcik ku! Demi yang diri Khadijah ini di dalam kekuasaan-Nya, ku harap anda dapat menjadi Nabi bagi umat ini.” Melihat suaminya dalam keletihan dan terperanjat itu, Khadijah menyelimutkannya sehingga baginda tertidur.
Ketika Nabi sedang tertidur itu Khadijah pergi ke rumah sepupunya Waraqah bin Naufal seorang tua yang buta, beragama Nasrani, menguasai bahasa Ibrani, sangat luas pengetahuan dalam hal-hal agama. Mengetahui kandungan kitab Taurat dan Injil. Setelah mendengar cerita daripada Khadijah, Waraqah berkata: “Quddus, Quddus! Demi yang diri Waraqah di tangan-Nya, kalau engkau mempercayai aku wahai Khadijah, sebenarnya dia telah didatangi al-Namus al-Akbar yang telah datang kepada Nabi Musa. Dia adalah Nabi untuk umat ini.” Katakanlah kepadanya: “Hendaklah tetapkan hati.”
Khadijah pulang menemui suaminya dan didapati ia masih nyenyak tidur. Tiba-tiba ia menggigil dan sesak nafas sementara peluh membasahi dahinya. Baginda terbangun dari tidurnya itu dan didapati malaikat datang menyampaikan wahyu kepadanya:
“Wahai orang yang berselimut! Bangunlah , lalu berilah peringatan!Dan Tuhan mu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan jangan engkau memberi(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.”
(Surah al-Muddathir: 1-6)
Melihat suaminya yang menggigil-gigil itu, timbul rasa belas kasihan dan simpati di hati Khadijah lalu menyuruhnya tidur kembali untuk berehat. Mendengar suruhan isterinya itu baginda berkata:-
Masa tidur dan berehat sudah habis wahai Khadijah! Jibril telah memerintah aku supaya memberi peringatan kepada manusia dan menyeru mereka kepada Allah dan beribadat kepada-Nya. Tetapi siapakah orangnya yang hendak aku serukan itu? Siapakah yang akan menerima seruan aku itu?
Kemudian dengan tidak teragak-agak Khadijah terus menyatakan pendiriannya dengan berkata: “Sayalah orang yang mula-mula sekali menyahut seruan Islam. Saya mengaku bahawa anda adalah Nabi dan Pesuruh Allah dan saya beriman kepada Allah.”
Bermulalah babak baru dalam hidup Muhammad. Hidup yang mengubah dunia dari gelap kejahilan kepada cahaya kebenaran dan ilmu. Kehidupan baginda menjadi contoh teladan yang unggul bukan sahaja dalam bidang kehidupan rohani, tetapi dalam pembinaan masyarakat dan negara.

Kerohaniaan Dalam Islam
Kehidupan rohaniah dalam Islam bermula sejak zaman Nabi SAW dan baginda sendiri merupakan model yang pertama dan utama dalam mengamalkan rohaniah dalam kehidupan sehari-hari. Amalan baginda dicontohi dan diikuti para sahabat yang kemudiannya diteruskan pula oleh para Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in dan berterusan sampai ke hari ini dan masa-masa yang akan datang. Perjuangan dan amalan rohaniah Baginda SAW merupakan ikutan utama bagi setiap Muslim yang ingin mencapai ketinggian rohaniah.
Rasulullah dan para sahabatnya, di samping berjuang di medan perang kerana menegakkan agama Allah, mereka juga berjuang meningkatkan rohaniah, hidup zuhud, tidak mementingkan kebendaan dunia, pangkat kebesaran dan kemasyhuran diri. Mereka sebaliknya dengan penuh prihatin dan kesedaran menumpukan sepenuh hati kepada Allah, berusaha meningkatkan mujahadah al-nafs melawan hawa nafsu dan godaan syaitan. Di samping itu tidak pula lalai daripada tanggungjawab dakwah menegakkan amar maaruf dan nahi munkar. Semua tanggungjawab ini adalah semata-mata kerana Allah demi mencapai keredhaan-Nya.
Dengan iman yang kental dan keyakinan yang padu, mereka tidak ragu-ragu memikul tanggungjawab sebagai hamba Allah, menunaikan hak-hak fizikal dan juga tuntutan-tuntutan rohaniah sehingga berjaya mencapai ketinggian rohaniah dan kehidupan yang sempurna selaras dengan ajaran-ajaran dan tuntutan Islam yang sebenar. Mereka telah memperimbangkan antara tuntutan dunia dan tuntutan akhirat, antara jasmaniah dan rohaniah. Dengan menggabung-jalinkan antara dua aspek ini barulah terbina kehidupan yang dikehendaki Islam.
Cara hidup Rasulullah SAW dan para sahabat Ridwanullahi Alaihim dengan penumpuan beribadat, hidup zuhud, hidup secara kasar (taqasysyuf), mujahadah al-nafs, berjihad pada jalan Allah, semuanya itu merupakan benih pertama kehidupan rohaniah Islamiah. Kemudian benih ini tumbuh dan berkembang subur melahirkan sistem rohaniah yang mempunyai kaedah-kaedah dan cara-cara yang tertentu, menjadi amalan para tabi’in dan amalan umat Islam yang kemudiannya. Mereka mengambil berat menjalankan urusan agama, tidak lalai dan tidak terpengaruh dengan kehidupan dunia yang sementara ini.
Sirah Rasulullah SAW sebelum baginda dibangkitkan menjadi Rasul sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bahagian yang lepas, baginda berhari-hari bersendirian di Gua Hira, merenung memikirkan tentang keindahan alam, tentang keadaan masyarakat, tentang kekuasaan dan keagungan Maha Pencipta, mencari ketenangan dan keheningan jiwa, semuanya ini merupakan jalan rohaniah, jalan menyuci jiwa daripada kekotoran dan gangguan keduniaan untuk menuju insan kamil.
Untuk mencapai ketinggian dan kemurniaan rohaniah itu, seseorang itu memerlukan disiplin diri yang kuat, menjalani riadah dan mujahadah, melaksanakan amalan-amalan syariat dengan penuh kesedaran sehingga akhirnya terbentuklah kehidupan rohaniah yang murni, bersih daripada gangguan-gangguan hawa nafsu, rasa tamakkan dunia, tidak berasa takut dan ragu dalam menjalani hidup di dunia ini.
Berjuang meningkatkan ketinggian rohaniah dengan membersihkan jiwa daripada daki-daki dunia merupakan satu usaha dan ikhtiar untuk membaiki diri setakat yang mampu oleh manusia. Tujuannya supaya benar-benar menjadi abid, seorang insan yang beruntung, yang mencapai kejayaan hakiki menurut penilaian Islam, beruntung dan berjaya di dunia dan akhirat.
Dalam kehidupan dunia ini, biasanya manusia kalah kepada hawa nafsu apabila berhadapan dengan kebendaan dan pangkat kebesaran dan tawaran-tawaran kesenangan walaupun kadang-kadang jalan-jalan memperolehinya itu tidak bersih dan salah. Apabila seseorang itu kalah dalam menghadapi gejala-gejala tersebut, nilai dirinya telah jatuh ke tahap yang paling rendah, ia tidak lagi mempunyai harga diri dan terlalu hina pada pandangan Allah Taala.
Biasanya pengaruh kebendaan inilah yang memutuskan hubungan hamba dengan Tuhannya. Ia merupakan penghalang bagi seseorang daripada mencapai kebersihan kerohaniaan, menjadikan manusia leka dalam hidup ini dan akhirnya terjerumus dalam kesesatan, kegelapan dan kehinaan.
Kehidupan rohaniah menurut Islam bukan sahaja bertujuan menggilap hati sejernih mungkin, tetapi juga membawa manusia kepada keinsafan diri, mengenali diri sendiri dan mengenali akan alam sarwajagat yang tersusun indah, rapi dan menakjubkan ini. Semakin tajam keprihatinan diri terhadap alam ini, semakin jauh jangkauan mata hati, perasaan hati dan pandangan hidup meneroka alam metafizik yang penuh rahsia, penuh misteri ini.
Ayat-ayat Al-Quran begitu banyak menganjurkan manusia supaya merenung berfikir dan menyelidik terhadap alam semesta ini. Bagi orang yang berfikir, orang yang bermata hati, semua penjuru alam ini menimbulkan kesedaran bahawa di sebalik alam nyata yang indah dan terbentang luas wujud satu kuasa Yang Maha Agung, Maha Sempurna, Dialah Al-Khaliq. Apabila kesedaran ini telah bertakhta di hati, perasaan diri akan lebih tertumpu ke arah Yang Maha Agung itu sehingga timbul perasaan rindu, perasaan ingin mengenali dan mendampingi-Nya. Justeru itu, mulailah ia berusaha mencari jalan untuk makrifatullah dengan sebenar-benarnya. Sesudah dapat mencapai makrifatullah, keimanan akan bertambah kukuh, keyakinan terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya semakin kuat dan rasa tauhid bertambah mendalam, tiada lagi ragu-ragu, itulah tauhid ahlullah. Terangkat hijab dan terserlah baginya berbagai-bagai rahsia alam ghaib.
Apabila seseorang itu telah mencapai tahap kerohaniaan yang tinggi, mengenali hakikat hidup yang sebenar, keduniaan ini tidak lagi menjadi tumpuan hidup yang utama. Nilai kebendaan dan kebesaran pangkat pula tidak lagi menjadi tumpuan hidup dan tidak lagi menduduki tempat yang teratas dalam pandangannya. Dia sudah mempunyai pegangan dan pandangan hidup yang tersendiri. Dia sedar hidup di dunia ini hanya sementara sahaja. Dia yakin, di sebalik hidup di dunia ini ada lagi hidup yang lebih tinggi dan lebih bererti, hidup kekal abadi, hidup di dalam rahmat Allah bagi mereka yang telah menyuci jiwanya. Sebaliknya pula, hidup dalam kesengsaraan yang amat parah bagi mereka yang hanya bergelumang dengan keduniaan.
Setelah mengenali yang hak dan yang batil, ia beriltizam di atas yang hak. Kaya atau miskin, senang atau susah, mulia ataupun hina, tinggi ataupun rendah, istana atau pun teratak, semuanya tidak penting dalam hidupnya. Yang penting ialah menghabiskan sia-sia hidup sementara ini dalam kebenaran. Kalau Allah memberi kesenangan, kemewahan, kekayaan, ia bersyukur, dan ia membelanjakannya untuk jalan agama Allah. Jika sebaliknya, ia juga bersyukur dan bersabar. Ia terus berusaha dan bersabar beristiqamah dalam keredaan Allah walaupun terpaksa menempuh ujian dan kesusahan.
Dengan pandangan ini, ia terus bertekun meningkatkan ta’abbudnya kepada Allah, menjadi seorang abid yang bersikap warak, zuhud, taqasysyuf, bertawakal dan reda. Inilah sikap hidup yang dipelopori baginda Rasulullah SAW, dicontohi para sahabat, menjadi ikutan generasi Muslim yang kemudian. Inilah juga cara hidup para nabi yang terdahulu, para wali, orang-orang salihin, dan orang-orang sufi.
Kehidupan rohaniah sebagaimana yang tersebut di atas adalah tuntutan syariat Allah, bukannya rekaan manusia. Ia adalah intisari bagi agama Samawi, telah dipraktikkan para nabi dan abid yang telah sempurna kemuncak keagungannya dalam agama Islam, bertitik tolak daripada ajaran al-Quran dan as-Sunnah.
Kehidupan rohaniah Islamiah sebagaimana yang telah digambarkan di atas itu terus berkembang di kalangan generasi Islam peringkat permulaan itu dengan keadaan bersih dan murni. Tetapi setelah Islam berkembang luas, penganut bertambah ramai terdiri daripada pelbagai bangsa yang selama ini telah mempunyai kepercayaan, amalan, adat istiadat, kebudayaan dan cara hidup yang tersendiri, mulailah kehidupan itu bercampur dengan pelbagai unsur. Ada yang bersifat falsafah, kebudayaan, kepercayaan dan sebagainya. Unsur-unsur itu telah memberi kesan dan pengaruh yang besar kepada kehidupan orang-orang Islam. Antara unsur itu ada yang sesuai dengan Islam dan ada pula yang menyeleweng.
Oleh yang demikian apabila hendak melibatkan diri dalam kehidupan rohaniah, kita kenalah berhati-hati memilih guru atau syeikh mursyid yang muktabar agar kita tidak terjerumus dalam ajaran sesat yang bertopengkan ilmu tasawuf. Perlu diingat sejak zaman-zaman kebelakangan ini, terdapat banyak ajaran sesat berkembang di dalam masyarakat kita yang dibawa oleh orang-orang jahil yang mendakwa diri mereka sebagai ahli tasawuf padahal mereka bukan ahli tasawuf.

Ibadat Rasulullah SAW
Dalam huraian di atas dinyatakan bahawa kehidupan Rasulullah merupakan contoh teladan bagi para sahabat dan kemudiannya diikuti pula oleh generasi yang kemudian Rasulullah SAW dalam kehidupannya telah melaksanakan kedua-dua tuntutan, duniawi dan ukhrawi. Baginda tidak meninggalkan dunia kerana menumpukan amal ibadat untuk hidup akhirat. Beliau adalah sebagai panglima perang, ketua negara yang berkecimpung dalam masyarakat kerana membina ummah, sebagai suami dan sebagai ayah yang bertanggungjawab membina keluarga dan rumahtangga bahagia. Dalam kesibukan menjalankan tugas dan tanggungjawab tersebut, baginda juga merupakan seorang abid yang tekun menunaikan ibadat, bangun menunaikan solat tahajud dan membaca Al-Quran setiap malam, beristighfar kepada Allah sekurang-kurangnya 70 kali atau 100 kali setiap hari.
Baginda menunaikan solat fardu berjemaah di masjidnya. Ditambah pula dengan sunat rawatibnya, lapan rakaat ditunaikan solat dhuha setiap hari. Solat ditunaikan dengan khusyuk, penuh sempurna memakan masa yang panjang, malah meliputi dua pertiga malam menunaikan solat. Auf bin Malik menceritakan: “Pada suatu malam saya bersama Rasulullah SAW. Baginda bangun lalu bersugi. Selepas itu baginda menunaikan solat. Saya bangun besertanya. Baginda menunaikan solat dengan membaca surah Al-Baqarah. Bila bertemu ayat rahmat, baginda berhenti lalu berdoa. Bila bertemu ayat azab, ia berhenti lalu memohon perlindungan. Kemudian barulah rukuk. Lama sekali rukuknya itu. Dalam rukuknya itu baginda membaca:
سبحان ذى الملكوت والعظمة والجبروت
‘Maha suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan dan keagungan serta kekuatan.’
Kemudian bangun dan sujud, dibacanya yang demikian. Pada rakaat yang kedua dibacanya surah Ali Imran, kemudian dibacanya surah demi surah dilakukannya seperti itu juga.
Mengambarkan keadaan ibadat Rasulullah SAW, Ummu Mu’minin Saiyidatina Aisyah menerangkan bahawa baginda menunaikan solat malam sampai bengkak kedua kakinya. Lantaran itu Aisyah RA berkata: “Wahai Rasulullah! Kerana apa lagi tuan lakukan sampai begini, sedangkan Allah telah mengampuni dosa tuan yang telah lalu mahupun yang akan datang?” Jawab baginda: “Tidakkah baik aku menjadi seorang hamba yang penuh bersyukur?”
Rasulullah SAW sering menangis takutkan Allah. Sensitiviti hatinya begitu terasa dan tajam. Justeru itu apabila berdoa kepada Allah baginda sering menggeletar, menadah tangan dengan penuh khusyuk dan tadarruk terutamanya pada malam-malam hari selepas menunaikan solat pada waktu sahur, pada waktu pagi dan juga pada waktu petang. Baginda pernah bersabda maksudnya: “Demi Allah, jika kamu mengetahui apa yang aku ketahui, tentulah kamu berebut-rebut hendak pergi ke kubur.”
Ata’ menceritakan bahawa beliau dan Ubaid bin Umair pernah pergi ke rumah Aisyah RA bertanyakan hal-hal yang menakjubkan pada Rasulullah SAW. Aisyah yang berada di balik tabir itu tiba-tiba menangis sambil berkata: “Perkara-perkara yang berlaku pada Rasulullah SAW semuanya menakjubkan. Pada satu malam giliran saya, baginda datang menghampiri saya sehingga bersentuhan kulit. Baginda bersabda: aku hendak menumpukan ibadat kepada Tuhanku, Allah Taala’. Baginda pun pergi ke tempat air mengambil wuduk. Baginda berdiri menunaikan solat. Kemudian menangis sehingga basah janggutnya. Kemudian sujud. Selepas itu baginda terbaring di atas lambungnya. Kemudian datang Bilal kerana azan Subuh. Bilal bertanya: ‘Apa sebab tuan menangis sedangkan Allah telah mengampuni dosa tuan yang lalu dan yang akan datang?’ Jawab baginda: ‘Wahai Bilal, betapa tidak aku menangis kerana pada malam ini Allah telah menurunkan ayat:
“Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 190)
Kemudian baginda bersabda: ‘Celakalah bagi mereka yang membaca ayat ini, tetapi tidak memikirkan tentangnya.’
Dalam penumpuan rohaniah ini, pernah terjadi Rasulullah SAW putus hubungan dengan alam nyata ini, terputus dengan keadaan sekelililngnya walaupun tubuh kasarnya berada di alam nyata ini. Pada suatu ketika baginda berada seorang diri, tiba-tiba Aisyah isterinya masuk ke tempat baginda. Bila baginda sedar Aisyah masuk terus bertanya:
“Siapa engkau?”
“Saya Aisyah.” Jawab Aisyah.
“Siapa Aisyah?” Tanya baginda lagi.
“Aisyah anak al-Siddiq.”
“Siapa al-Siddiq itu?”
“Mentua Muhammad,” tegas Aisyah.
Ketika baginda bertanya: “Siapa Muhammad?” Aisyah tidak berkata apa-apa kerana dia sudah mengetahui, Nabi SAW sedang berada dalam keadaan yang luar biasa, lebih ke alam rohani daripada alam maddi. Jika riwayat ini sahih, kata Muhammad Mustafa Hilmi, suasana rohaniah yang luar biasa juga boleh berlaku pada orang-orang yang sufi.
Dalam melaksanakan tuntutan rohaniah ini, seseorang itu jangan sampai mengabaikan tanggungjawab terhadap tuntutan jasmaniah dirinya. Kedua-duanya hendaklah dilaksanakan, sama-sama diberi perhatian yang sebaik-baiknya. Pada zaman Rasulullah SAW pernah tiga orang sahabat datang ke rumah isteri-isteri Rasulullah SAW bertanyakan tentang ibadat baginda. Setelah mereka diberitahu, mereka merasakan bahawa ibadat tersebut masih terlalu sedikit. Lalu mereka pun berkata: “ Di manlah kita ini jika dibandingkan dengan Rasulullah SAW sedangkan baginda diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang?” salah seorang daripada mereka berkata: “Tentang saya, saya akan solat malam selama-lamanya.” Yang kedua berkata: “saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka.” Yang ketiga pula berkata: “saya akan menjauhkan diri daripada perempuan dan tidak akan kahwin selama-lamanya.” Apabila Raulullah SAW bertemu mereka, baginda bertanya: “Kamukah yang berkata begini, begini? Sesungguhnya demi Allah, saya adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada-Nya, tetapi saya berpuasa dan berbuka. Saya mendirikan solat dan tidur dan saya juga berkahwin. Sesiapa yang tidak sukakan sunnahku, dia bukan daripada golonganku.” (Riwayat Al-Bukhari)
Ramai para sahabat melaksanakan tuntutan rohaniah dengan memperbanyakkan ibadat kepada Allah. Sikap ini pula dicontohi oleh generasi tabi’in. dalam perkembangan rohaniah Islam ini, semua tatahidup para sahabat itu dapat dianggap sebagia benih pertama yang kemudiannya tumbuh dan berkembang merendang mengeluarkan buah-buahan yang lazat rasanya, dinikmati dalam kehidupan para tabi’in dan generasi-generasi kemudian yang mengutamakan agama dalam hidup dunia ini.
Dalam peringkat permulaan ini, istilah “tasawwuf” dan “sufi” belum lagi wujud dalam sejarah umat Islam. Ia mula dikenali pada kurun ke-2 Hijrah. Orang-orang yang mula-mula sekali dipanggil sufi ialah Abu Hasyim al-Kufi yang meninggalkan dunia pada tahun 162.

Perkembangan Kehidupan Rohaniah
Kehidupan rohaniah Islamiah yang bermula dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang tersebut dalam bahagian yang lepas, dicontohi dan diamalkan oleh para sahabat dalam kehidupan mereka. Sebagaimana Nabi turun ke medan perang berjihad menegakkan agama Allah, para sahabat dan generasi yang kemudiannya juga turut melaksanakan tuntutan tersebut. Akhirnya mereka berjaya menegakkan pemerintahan Islam, mengalahkan dua kerajaan besar pada masa itu iaitu Rom dan Parsi. Di samping meneruskan jihad di medan perang, mereka juga meneruskan jihad al-nafs, melawan hawa nafsu dan godaan syaitan.
Sejarah menunjukkan sikap hidup yang bersepadu, yang dipelopori Rasulullah SAW dan para rasul yang terdahulu itu, dalam kehidupan sahabat-sahabat besar baginda, Abu Bakr, Umar, Uthman dan Ali. Sahabat-sahabat utama seperti Bilal Al-Habsyi, Salman Al-Farisi, Suhaib Al-Rumi, Ubai Ibn Ka’ab, Tamim Al-Dari, Abu Dzar Al-Ghiffari, Huzaifah Ibn al-Yaman, Mus’ab ibn Umair dan ramai lagi sahabat lain turut mempraktikkan sistem hidup Rasulullah SAW itu. Mereka menumpukan amal ibadat (taabud), bersikap zuhud (tazahhud), hidup taqasysyuf (hidup secara kasar), mujahad al-nafs dan sebagainya.
Semuanya tatahidup mereka itu merupakan benih pertama rohaniah yang kemudiannya tumbuh dan berkembang membina institusi kehidupan rohaniah yang besar, menerbitkan buah-buahan yang lazat, dinikmati dalam kehidupan para tabi’in dan generasi yang kemudiannya.
Dalam kurun pertama hijrah ini, istilah sufi dan tasawwuf belum lagi dikenal dalam sejarah kehidupan rohaniah Islamiah. Dalam peringkat ini ahli-ahli ibadat dipanggil dengan berbagai-bagai gelaran. Antaranya ialah:
Nussak: Kata jamak bagi perkataan nasik iaitu orang-orang yang memberi penumpuan untuk beribadat kepada Allah.
Ubbad: Kata jamak bagi perkataan abid iaitu orang-orang yang banyak beribadat, mengabdikan diri semata-mata kepada Allah.
Zuhhad: Kata jamak bagi perkatan zahid yang diambil daripada perkataan zuhud iaitu orang-orang yang tidak mementingkan dunia, harta benda, kemegahan, kebesaran dan sebagainya.
Bakka’un: Kata jamak bagi perkataan bakka’ yang bermaksud orang-orang yang banyak menangis kerana mengenangkan amalan ibadat kalau-kalau tidak diterima Allah atau pun kerana mengenangkan hari Akhirat.
Walaupun nama-nama ini berlainan sebutan zahirnya, tetapi semuanya membawa pengertian yang sama iaitu sangat-sangat prihatin terhadap urusan agama, sedikit perhatian terhadap dunia. Kehidupan mereka lebih banyak menunaikan ibadat, banyak berzikir, merenung, bertafakkur mengenangkan keagungan dan kekuasaan Allah, peka terhadap Allah dan penuh bertawakal kepada-Nya.
Antara tokoh rohaniah dalam peringkat ini ialah Uwais bin Amir Al-Qarani, Amir bin Abdullah bin Abd Qais al-Basri, Masyruq bin Abdurrahman al-Kufi, al-Rabi’ bin Khaitham, Haram bin Hayyan, Hasan bin Abu al-Hasan Abu Sai’d al-Basri dan lain-lain. Cara hidup mereka meninggalkan kesan yang besar dalam pertumbuhan kerohanian Islam masa-masa berikutnya.
Dalam kurun pertama dan kedua Hijrah, peraturan-peraturan yang merupakan kaedah-kaedah umum untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan kehidupan rohaniah atau kaedah-kaedah yang perlu diikuti dalam menjalani latihan rohaniah belum lagi wujud dengan teratur. Malah setiap individu menjalankan kehidupan rohaniah menurut citarasa sendiri. Walaubagaimanapun, masing-masing berusaha menuju ke arah ketinggian rohaniah dan kebersihan jiwa. Ahli-ahli ibadat, nasik, zahid, dan sebagainya itu berusaha membersih dan membebaskan diri daripada gangguan-gangguan duniawi yang boleh menyekat perkembangan rohaniah seseorang itu. Matlamat mereka ialah mencapai keredaan Allah, matlamat tertinggi bagi setiap orang.
Dalam peringkat ini, golongan nussak, dan zuhhud itu secara umumnya terbahagi kepada dua aliran iaitu:
1.Aliran Kufah
2.Aliran Basrah
Kedua-dua aliran ini sangat-sangat mengambil berat tentang ilmu-ilmu Islam dengan mempelajari ilmu fekah, hadis, ilmu al-kalam dan ilmu-ilmu bahasa. Di samping kegiatan ilmiah itu, mereka juga giat menjalani latihan rohaniah, menjalani riadah hati, mujahadah al-nafs dan mengawal hawa nafsu.16
Selain daripada dua aliran yang berpusat di dua buah kota itu golongan al-zuhhad, ubbad dan nussak juga telah muncul di kawasan-kawasan lain umpamanya Khurasan di mana munculnya Ibrahim bin Adham (m. 161H) dan muridnya Syaqiq al-Balkhi (m. 194H). Kedua-duanya merupakan tokoh terkenal dalam sejarah kehidupan rohaniah Islamiah.

Tasawwuf dan Tareqat
Daripada kegiatan rohaniah sebagaimana yang telah dijelaskan itulah kemudiannya terbentuk institusi tasawwuf. Pada permulaan abad ketiga ia telah tersebar luas dan mendapat sambutan yang baik daripada masyarakat. Baghdad, pusat pemerintahan kerajaan Abbasiyyah pada masa itu merupakan pusat kegiatan ilmiah yang begitu pesat. Kegiatan tasawwuf amat subur di kota ini. Sesuai dengan kemajuan dan pertumbuhan ilmiah itu, orang ramai kian terpaut kepada kesenangan dan kemewahan duniawi. Justeru keruntuhan akhlak mulai melanda masyarakat Islam.
Untuk menghadapi gejala-gejala negatif itu, alim ulama’ meningkatkan kegiatan mereka, menyedarkan masyarakat, berusaha menarik mereka ke arah memperbaiki akhlak dan ketinggian budi pekerti. Kegiatan tasawwuf bertambah luas dan memegang peranan penting dalam usaha pembentukan rohaniah dan akhlak masyarakat. Baghdad sebagai pusat kegiatan tasawwuf mengatasi tempat-tempat lain. Dari Baghdad, tasawwuf terus berkembang sampai ke Parsi. Sebagaimana Baghdad, tanah Parsi juga merupakan kawasan yang subur bagi institusi tasawwuf. Pada peringkat ini tasawwuf telah berkembang sampai ke Mesir, Syam dan Jazirah Arab.
Semenjak abad ketiga, tasawwuf mulai teratur, terbentuk peraturan-peraturan, kaedah-kaedah yang tersusun sebagai satu ilmu dan istilah-istilahnya juga sudah tercipta. Masa abad ke-4 ia telah merupakan satu cabang ilmu yang telah mantap, mempunyai bidang dan pendekatannya yang tersendiri. Istilah-istilah seperti al-‘Isya, al-Mahabbah, al-qurb, al-haqiqah, maqamat, ahwal dan lain-lain sudah meluas digunakan.
Institusi tasawwuf tumbuh dengan meluas di bawah bimbingan syaikh-syaikh tasawwuf yang berwibawa yang mempunyai murid yang ramai. Dari institusi inilah kemudiannya terbentuk tareqat-tareqat dengan cara dan pendekatan masing-masing. Keseimbangan antara kegiatan ilmiah dan amalan inilah yang meletakkan tasawwuf pada tahap kecemerlangan, dan inilah yang perlu kita contohi pada hari ini.
Bermula dari kurun ke 7 dan seterusnya, tareqat telah berkembang luas dan tumbuh di seluruh alam Islami. Tareqat-tareqat itu walaupun mempunyai sistem, cara dan kaedah yang berlainan antara satu sama lain, tetapi semuanya mempunyai matlamat yang sama iaitu mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan jiwa, meningkatkan rohaniah untuk mencapai keredhaan dan ma’rifatullah. Hasil daripada pertumbuhan dan kegiatan sebagaimana yang tersebut itu akhirnya terbentuklah institusi tareqat yang diberi nama menurut nama shaikh masing-masing. Tareqat-tareqat mu’tabar sebagaimana yang disenaraikan Abu Bakar Aceh antaranya ialah:
1. Qadiriyyah
2. Jalutiyyah
3. Usyaqiyyah
4. Syattariyyah
5. Naqsybandiyyah
6. Bakdasiyyah
7. Bakriyyah
8. ‘Aidrusiyah
9. Syadhiliyyah
10.Ghazaliyyah
11.Bayumiyyah
12.Sunbuliyyah
13.Rifa’iyyah
14.Rumiyyah
15.Uthmaniyyah
16.Anfasiyyah
17.Dusuqiyyah
18.Jastiyyah
19.Aliyyah
20.Sammaniyyah
21.Akbariyyah
22.Sya’baniyyah
23.Abbasiyyah
24.Sanusiyyah
25.Maulawiyyah
26.Kaisaniyyah
27.Haddadiyyah
28.Idrisiyyah
29.Kubrawiyyah
30.Hamzawiyyah
31.Maghribiyyah
32.Badawiyyah
33.Suhrawardiyyah
34.Tijaniyyah
35.Ghaibiyyah
36.Ahmadiyyah
37.Khalwatiyyah
38.Alawiyyah
39.Hadriyyah
Antara tareqat yang tersebar luas dan mempunyai pengikut atau ikhwan yang ramai di Malaysia ialah Tareqat Naqsybandiyyah dan Tareqat Ahmadiyyah. Justeru itu, ada yang tidak bertanggungjawab mengambil kesempatan bergerak sebagai kumpulan tareqat dan mendakwa kumpulannya sebagai Tareqat Naqsybandiyyah atau Tareqat Ahmadiyah pada hal sebenarnya bukanlah tareqat tersebut. Oleh itu diingatkan kepada sesiapa yang ingin mengikut mana-mana tareqat pastikan ianya tareqat yang sebenar, bukanlah tareqat tiruan yang membawa ajaran sesat.

Mengenali Syeikh Mursyid
Dalam menyelusuri khazanah sufistik ini, perlu juga kita mengetahui ciri-ciri seorang shaikh yang merupakan tonggak utama dalam institusi tareqat sufiyyah. Ini kerana di tangannya terletak teraju bagi sesebuah tareqat sama ada berada di atas landasan yang lurus ataupun sebaliknya. Masalah mursyid inilah yang perlu diberi perhatian oleh setiap orang yang ingin melibatkan dirinya dalam kegiatan rohaniah. Wujudnya ajaran-ajaran sesat yang bergerak cergas adalah berpunca daripada mursyid tiruan yang mendakwa dirinya sebagai pemimpin rohaniah, pada hal dia bukanlah mursyid menurut kriteria tareqat sufiyyah yang sebenarnya. Gerakan yang dipimpinnya itu dilabelkan dengan mana-mana sama tareqat yang mu’tabar bertujuan untuk mengabui mata orang ramai, untuk meraih sokongan dan kepentingan diri sendiri. Dengan sikapnya yang tidak bertangggungjawab itu, dia telah mencemarkan ajaran-ajaran tareqat yang asli yang telah lama beroperasi dan diterima pakai dalam masyarakat alam Islami.
Untuk kebaikan peminat-peninat rohaniah, kita menyeru agar mereka berhati-hati dan berwaspada dalam memilih institusi rohaniah yang hendak disertainya itu. Seseoraang itu hendaklah lebih dahulu meneliti latar belakang institusi yang hendak diceburinya itu dan sekaligus pula cuba mengenali latar belakang pemimpinnya, apakah dia seorang yang berwibawa dalam bidang Akidah Islamiyah, bidang Syariah dan benar-benar menguasai ilmu rohaniah. Ini boleh dicapai dengan merujuk kepada alim ulama’ dan institusi–institusi agama yang diakui menpunyai authoriti dalam bidang keagamaan.
Dalam peringkat ini rasanya perlu kita mengetahui apakah ciri-ciri mursyid yang layak untuk menjadi pemimpin rohaniah itu? Dalam hubungan ini al-Imam al-Ghazali menegaskan,
katanya: “Seseorang salik atau pengembara rohaniah itu memerlukan seseorang syaikh mursyid murabbi untuk mengeluarkan sifat-sifat negatif daripada salik tersebut dengan bimbingan dan didikannya, dan digantikannya dengan sifat–sifat positif.” Seterusnya kata Imam Ghazali lagi, didikan atau tarbiah itu serupalah dengan kerja peladang yang mencabut duri-duri dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan asing dari celah–celah tanaman supaya ia tumbuh dengan baik dan sempurna kesuburannya. Bagi seseorang salik, kata al-Imam al-Ghazali, dia mesti syaikh yang melatih dirinya dan menunjuknya ke arah jalan Allah Taala. Ini kerana Allah Taala telah mengutus untuk hamba–hambanya seorang rasul yang bertugas memandu hamba-hambanya itu kejalan Allah; dan apabila Rasulullah SAW sudah tidak ada lagi, para Khulafa’ ar-Rasyidun pula mengambil tempatnya itu, sehingga mereka pula bertugas menunjuk orang ramai kepada jalan Allah Taala.
Syarat seorang syeikh yang layak menjadi pengganti Rasullullah SAW itu, kata Al Imam Al-Ghazali, pertamanya dia mesti seorang yang alim. Tetapi tidak semua orang alim layak menerajui kepimpinan ini. Di sini, kata Al-Imam Al-Ghazali, diterangkan secara ringkas cirinya agar tidak semua orang boleh mendakwa dirinya sebagai mursyid. Antara ciri-ciri itu ialah:
Dia tidak mencintai dunia dan kemegahannya.
•Dia sendiri telah mengikuti bimbingan seorang mursyid yang berwibawa yang berkesinambungan sampai kepada junjungan kita penghulu rasul-rasul SAW.
•Beliau amat baik dalam riyadhah dirinya, tidak banyak makan, tidak banyak bercakap dan tidak banyak tidur, sebaliknya banyak mengerjakan solat, bersedekah dan puasa
.
Dengan mengikut syaikh yang berwibawa seperti itu, jadilah akhlak yang baik itu sirah perjalanan hidupnya seperti bersifat sabar, mengerjakan solat, bersyukur, bertawakal, yakin, qana’ah, tenang, lemah-lembut, tawadhu’, bersopan-santun, berhati-hati, berhemat-cermat dan sebagainya. Jadilah dia sebagai cahaya daripada cahaya-cahaya nabi SAW, dan dia layak diikuti. Tetapi wujudnya tokoh yang seperti ini jarang sekali dan lebih sukar daripada mendapati belerang merah. Walaupun bagaimanapun, kata Al-Imam Al-Ghazali, mana-mana orang yang terdorong untuk beroleh kebahagiaan, dia akan bertemu denagn shaikh yang mempunyai ciri-ciri dan kriteria sebagaimana yang tersebut itu.
Sifat-sifat mursyid yang dibentangkan al-Imam al-Ghazali itu dapat kita jadikan sebagai kayu pengukur atau neraca untuk memilih syaikh atau mursyid, atau guru rohaniah yang benar-benar boleh dipercayai dan boleh diikuti. Dengan demikian, seseorang itu akan terhindar daripada terperangkap dalam kegiatan ajaran-ajaran sesat.

Selasa, 22 Mei 2012

SIFAT ORANG ARIF …. MENUJU ALLAH

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”

Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya.

Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan: Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka.
Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?

Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman: “Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”

Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”

“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?” Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam.
Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya.

Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya.
Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna. Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?” Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.” Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”

Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”

Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.” Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”

Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri.

Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”

Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah).

Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.
Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan).

Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak.

Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”

Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci.
Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:

Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.
Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).

Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”

Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”