Rabu, 11 Mei 2016

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 12



Pengikut dan murid Syekh Siti Jenar yang jumlahnya cukup banyak  mulai memasuki ruang padepokan. Satu persatu mulai mengambil  tempat duduknya masing-masing. Duduk bersila, berjejer memadati  ruangan, pandangannya luru ke depan, memandang Syekh Siti Jenar  dengan takjub.
“Baiklah, jika semuanya sudah berkumpul kita mulai pelajaran  ini.” Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmunya. “Saya akan  memulai dengan pertanyaan. Darimanakah asalnya manusia?” matanya  mulai memandang muridnya satu persatu.
“Tentu saja manusia berasal dari kedua orang tuanya.” jawab Loro  Gempol. “Terutama sekali ibunya yang melahirkan. Saya rasa semua  orang juga tahu, Syekh.” urainya sangat percaya diri.
“Jika jawabannya seperti itu, semua orang tahu. Maka saya tidak  perlu memberitahukannya lagi.” terang Syekh Siti Jenar.
“Lalu bagaimana menurut, Syekh?” Kebo Benowo menindaklanjuti  pertanyaan temannya. “Secara lahiryah, manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu pun  tidak akan bisa melahirkan tanpa pasangannya yang bernama suami.”  sejenak menghentikan ucapannya. Matanya mulai menyisir wajah para  muridnya yang dengan khusu memperhatikannya.
“Ya, kami tahu.” Loro Gempol yang tidak sabaran selalu menyela.  “Syekh, kedatangan kami kesini bukan untuk mempelajari ilmu  seperti itu. Tapi kami meminta kesaktian yang Syekh punyai.” Loro  Gempol seraya bangkit dari duduknya, tabiat rampoknya mulai  tumbuh kembali.
Andika terlalu tergesa-gesa, Kisanak.” Syekh Siti Jenar  mengayunkan telunjuk dari tempat duduknya.
 “Akkkhhhhh! Tolong!” tiba-tiba Loro Gempol terbanting, dan roboh  di atas lantai.
“Bukankah saya belum selesai berbicara?” Syekh Siti Jenar tidak  mengubah posisi duduknya, “Mana bisa orang mendapatkan ilmu  ma’rifatullah jika tidak bisa mengendalikan emosi.”
“Aduhhhh…” Loro Gempol memijat-mijat bokongnya yang terasa  sakit akibat benturan. “Maafkan saya, Syekh.”
“Kembalilah andika ke tempat duduk!” perintah Syekh Siti Jenar.
Sementara yang lainnya tidak ada yang berani menentang, apalagi  berujar yang tidak karuan di depan orang yang memiliki tingkat  kesaktian tinggi. Mereka termasuk para murid yang taat, karena  sudah mulai mendalami sebagian ilmu yang diajarkannya.
“Kenapa andika ceroboh, Gempol?” Kebo Benowo berbisik pada Loro  Gempol yang telah duduk kembali disampingnya. “Bukankah andika  sudah tahu, bagaimana kehebatan Syekh Siti Jenar ketika kita  rampok. Masih untung andika tidak diusir dari padepokan ini.”
“Memang saya ceroboh, Ki Benowo. Tapi saya tidak akan mengulang  kesalahan ini,” bisik Loro Gempol. “Jika andika mengulang kesalahan, kemungkinan besar kita akan  ditolak menjadi murid beliau.” Kebo Benowo merasa khawatir kalau  tidak memperoleh kesaktian yang dimiliki Syekh Siti Jenar.
 “Lupakanlah peristiwa tadi.” Syekh Siti Jenar menghela napasnya.  “Kita kembali pada pertanyaan semula. Darimana asalnya manusia?”
“Darimanakah itu Syekh? Saya kira Syekhlah yang lebih tahu.” ujar Kebo Benowo.
“Manusia berasal dari Allah. Dari dzat Allah yang menciptakannya.  Seluruh manusia yang belum lahir kedunia ini berada pada suatu  tempat yang bernama ‘bahrul hayat’.” berhenti sejenak.
“Apakah itu, Syekh?” tanya Kebo Benowo.
“Yaitu tempat hidup dan kehidupan. Disitu manusia merasakan  kenikmatan yang tidak ada taranya. Manusia tidak pernah merasakan  lapar, sakit, sedih, duka, lara, bahkan bahagia. Itu karena  sangking nikmatnya kehidupan sebelum lahir ke dunia. Kita  merasakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan sebangsanya  karena telah terlahir ke dunia ini. Bukankah sebelumnya kita  tidak pernah merasakan penderitaan dan kemiskinan…” urai Syekh  Siti Jenar.
Para murid Syekh Siti Jenar sejenak merenungkan uraian gurunya.  Mereka ada yang bisa mencerna dan memikirnnya, namun ada juga  yang belum memahami maksud uraian tadi.
“Jadi dunia ini tempatnya kita menjalani kesedihan, kemiskinan,  kemelaratan, penderitaan, tertawa, bergembira. Setelah semuanya  secara berurutan atau tidak kita alami, maka kembali berputar.  Setelah sedih kita akan bahagia, setelah bergembira kita akan  menangis….dan seterusnya.” Syekh Siti Jenar memandang ke setiap  sudut.

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 11



“Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi mereka.”
Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.
***
“Inilah padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh Siti Jenar.
“Indah dan asri pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo tercengang melihat keindahan Padepokan Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk,  keadaannya tenang, pohon hijau berselang dengan tanaman hias memagari jalan setapak yang sedikit menanjak menuju gerbang padepokan.
“Tentu saja harus indah dan asri, karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku umatnya sudah seharusnya menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah menyatukan diri dengannya. Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki segala hal dan menciptakan segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar. “Masuklah kisanak!”
“Terimakasih, Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu diikuti kedua teamnnya.
“Sebab jika kita merasa tertarik pada sesuatu, tentu saja kita akan selalu ingin memandangnya dan merasa kerasan untuk menikmatinya.” Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas tikar pandan. Dihadapannya Kebo Benowo dan kedua temannya.
“Sungguh benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar.
“Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan.
“Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!”
“Banyak sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.”
“Itulah sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang.
“Jika demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran.
“Mengapa tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar.
“O,…” Kebo Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain, tujuannya pun untuk menguasai orang lain.
 “Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi mereka.”
Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.
***
“Inilah padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh Siti Jenar.
“Indah dan asri pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo tercengang melihat keindahan Padepokan Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk,  keadaannya tenang, pohon hijau berselang dengan tanaman hias memagari jalan setapak yang sedikit menanjak menuju gerbang padepokan.
“Tentu saja harus indah dan asri, karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku umatnya sudah seharusnya menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah menyatukan diri dengannya. Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki segala hal dan menciptakan segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar. “Masuklah kisanak!”
“Terimakasih, Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu diikuti kedua teamnnya.
“Sebab jika kita merasa tertarik pada sesuatu, tentu saja kita akan selalu ingin memandangnya dan merasa kerasan untuk menikmatinya.” Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas tikar pandan. Dihadapannya Kebo Benowo dan kedua temannya.
“Sungguh benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar.
“Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan.
“Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!”
“Banyak sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.”
“Itulah sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang.
“Jika demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran.
“Mengapa tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar.
“O,…” Kebo Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain, tujuannya pun untuk menguasai orang lain.

Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 10



“Karena antara kita dengan mereka nyaris tidak ada jarak pemisah.” jawab Sunan Kalijaga. “Ternyata hanya dengan cara berpakaian saja, mereka sudah sulit didekati.”
“Benar,” Sunan Bonang memaksakan tersenyum. “Namun dibalik keberhasilan andika ternyata menuai protes dari sebagian wali, terutama Kanjeng Sunan Giri. Hingga pada hari ini andika harus menghadap mereka dipersidangan para wali.” tambah Sunan Bonang.
“Tidak mengapa Kanjeng Sunan Bonang. Itulah resiko yang harus saya tanggung. Asalkan saya tidak menyimpang dari ajaran Islam,” Sunan Kalijaga menghela napas, seraya kakinya tetap melangkah beriringan dengan Sunan Bonang. “Saya menyimpang hanya dalam soal budaya, yang semestinya tidak harus terjadi perbedaan paham seperti sekarang.”
“Mungkin salah satunya itu.” Sunan Bonang mulai menginjakan kaki di gerbang masjid Demak. “Kita sudah sampai, Kanjeng.”
“Silakan Kanjeng Sunan Bonang duluan,” Sunan Kalijaga memasuki masjid Demak beriringan dengan Sunan Bonang yang sudah terlebih dahulu masuk.
“Selamat datang, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Sunan Muria. “Silahkan duduk, Sunan Giri dan para wali sudah menunggu.”
Keadaan hening sejenak. Para wali saling tatap satu sama lainnya, tatapan Sunan Kalijaga beradu dengan Sunan Giri, lalu beralih ke Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan terakhir Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga masih beradutatap dengan Sunan Bonang, saling menembus batin, saling bercakap. Sementara percakapan batin mereka tidak bisa ditembus oleh sebagian wali.
“Pahamkah Kanjeng Sunan Kalijaga pada hari ini sidang para wali mengundang?” Sunan Giri membuka pembicaraan.
“Daripada saya menduga-duga, alangkah lebih baiknya jika Kanjeng Sunan Giri menjelaskan.” ujar Sunan Kalijaga tenang.
“Tidakah andika menyadari akan tindakan yang dilakukan?” Sunan Giri melanjutkan. “Haruskah andika mengganti pakaian dengan mengenakan pakaian rakyat kebanyakan?”
“Itukah yang ingin Kanjeng Sunan Giri persoalkan?” tatap Sunan Kalijaga.
“Benar, karena tidak selayaknya seorang wali mengenakan pakaian serba hitam seperti halnya rakyat kebanyakan. Sudah semestinya seorang ulama atau wali memiliki ciri dengan mengenakan pakaian kebesaran yang serba putih, bersorban, dan lainnya.” urai Sunan Giri.
“Apakah setiap orang yang mengaku muslim akan batal keislamannya jika seandainya tidak berpakaian serba putih dan mengenakan sorban serta jubah?” tanya Sunan Kalijaga.
“Tentu tidak. Selama dia tidak murtad atau keluar dari agama Islam.” jawab Sunan Giri.
“Lalu apakah yang salah pada diri saya?” kembali Sunan Kalijaga bertanya.
“Karena andika tidak mengenakan pakaian seperti halnya wali lain. Bukankah pakaian itu cermin dari seseorang yang mengenakannya? Juga pakaian serba putih itu ciri para wali?” ujar Sunan Giri.
 “Saya tidak bisa disebut seorang ulama atau wali karena tidak mengenakan sorban dan pakaian serba putih? Jika hal itu alasannya maka saya tidak keberatan meski tidak disebut seorang ulama atau pun wali. Karena tujuan saya bukanlah ingin mendapat julukan dan dielu-elukan banyak orang. Namun tujuan utama saya adalah berdakwah di tanah Jawa ini agar orang mau berbondong-bondong masuk Islam, tanpa harus dibatasi oleh cara berpakaian dan latar belakang budaya yang mereka anggap asing.” urai Sunan Kalijaga. “Untuk keberhasilan dakwah saya rela menanggalkan jubah putih, serta berbaur dengan rakyat jelata. Itu cara saya. Jika cara saya berbeda dengan Kanjeng Sunan Giri itu hanyalah masalah teknis, bukankah aqidah kita tetap sama?”
Sunan Giri sejenak terdiam. Dahinya tampak dikerutkan, seakan-akan merenungi ucapan Sunan Kalijaga. Belum juga dia berbicara, Sunan Kalijaga melanjutkan perkataannya.
“Bukankah rakyat kebanyakan berbondong-bondong masuk Islam, mereka tidak segan lagi bersama-sama saya untuk melakukan shalat berjamaah? Lantas sasaran Kanjeng Sunan Giri sangatlah terbatas, dengan hitungan tidak terlalu banyak dan ekslusif. Karena Kanjeng Sunan Giri menerapkan metode dakwah serta sasaran tertentu menurut Kanjeng.”  ujar Sunan Kalijaga.
“Setelah saya renungkan dan saya pikirkan, baiklah kita tidak harus saling memaksaan dalam urusan metode dakwah.” Sunan Giri mencair. “Saya kira andika telah menyimpang dari Islam seiring dengan ditanggalkannya jubah putih, ternyata hanya cara yang berbeda.”

Sambungan...Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 9



“Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah  membuat bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti  Jenar menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok  tersebut. “Hanya kisanaklah yang ingin membuat susah dan  menyusahkan diri sendiri.”
“Apa maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak  menepuk dahinya masing-masing. Kepala seakan-akan mau pecah  ketika mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar.
“Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu. Bukankah  kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya? Itukah yang membuat  kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang ucapannya.
“Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak  tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha  mencerna ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau  diri Syekh adalah manusia biasa seperti saya,”
“Ya,”
 “Bukankah Syekh memiliki ilmu yang hebat? Sedangkan kami tidak  bisa apa-apa?” ujar Kebo Benowo.
 “Saya tidak memiliki ilmu yang hebat. Kisanak mengaggap tidak  bisa apa-apa, itu merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh  Siti Jenar diam sejenak, matanya menatap satu persatu wajah orang  yang diajak bicaranya.
“Kenapa tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang  hebat.” sela Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar  setiap perkataan Syekh Siti Jenar yang bersebrangan dengan  realita yang dia pahami. “Malah pengakuan saya dianggap keliru,”
“Memang benar kisanak sangat keliru.” Syekh Siti Jenar, mendongak  ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang yang ada di atas  kepala kisanak nun jauh di langit.”
“Apakah ada yang aneh dengan bintang-gemintang di langit?” tanya  Kebo Benowo. Belum menemukan celah terang atas segala perkataan  Syekh Siti Jenar, pikirannya semakin ngejelimet.
“Bukan ada yang aneh atau tidak. Perhatikanlah bintang-bintang?  Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa kepala kita? Pernahkah  terpikir dalam benak kisanak, siapa yang menahannya di langit?”  Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok tadi.
“Benar juga. Tidak tahu. Mukinkah kekuatan yang tidak nampak?”
“Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki  kekuatan yang tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar.
“Saya tidak mengerti Syekh? Jika memang ada kekuatan siapa  pemiliknya?”
“Dialah Allah. Allah itu penguasa semesta alam. Penggenggam  setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh Siti Jenar. “Kita kembali  pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah tadi.”
“O…ya.” Kebo Benowo mengangguk-anggukan kepala, rupanya mulai  ada titik terang di benaknya.
“Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi. Namun yang masih  membingungkan, mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak  bisa apa-apa di banding kisanak.”
“Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa-apa, tentu saja mati.  Hanya orang matilah yang tidak bisa apa-apa.” terang Syekh Siti  Jenar.
“Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengagguk. “Namun  maksud tidak bisa apa-apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh  dibawah kehebatan ilmu Syekh.”
“Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu bukan berarti bahwa saya  lebih hebat dari kisanak. Hanya kisanak belum menemukan ilmu yang  saya miliki.”
“Itulah yang saya inginkan dari Syekh. Beritahu saya cara  menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo.
“Akan saya tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh  Siti Jenar membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya  dengan tenang.
“Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang  akan diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar. ***
Walisongo terus menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Sunan  Kalijaga berbeda cara dengan wali lainnya. Lebih menyukai berbaur  dengan rakyat kebanyakan, tanpa mengenakan pakaian serba putih seperti yang lainnya.
“Kanjeng Sunan Kalijaga, ternyata pendekatan budaya lebih bisa  diterima ketimbang hanya membawa pesan belaka.” ujar Sunan  Bonang.