Kamis, 04 Februari 2016

RASULULLAH DENGAN KEKASARAN ARAB DUSUN..(9) (AKHLAK SABAR SAW)



Anas bin Malik bertutur: Suatu hari aku berjalan bersama Rasulullah saw. Saat itu beliau memakai selimut dari daerah Najran yang hujungnya sangat kasar. Tiba-tiba ia ditemui seorang Arab dusun. Tanpa basa basi, laki-laki dusun itu langsung menarik selimut kasar Rasulullah itu keras-keras sehingga aku melihat bekas merah di pundak Rasulullah.
Laki-laki dusun tersebut berkata, “Suruh orang-orangmu untuk memberikan harta Allah kepadaku yang kau miliki sekarang.” Rasulullah saw lalu berpaling kepada laki-laki tadi. Sambil tersenyum, beliau bersabda, “Berilah laki-laki ini makanan apa saja,’ (HR Bukhari).

KESABARAN RASULULAH DENGAN LELAKI KASAR.. (AKHLAK SABAR SAW)



Abu Hurairah RA bertutur: Suatu hari kami duduk bersama Rasulullah SAW di masjid. Apabila beliau berdiri, kami pun berdiri. Suatu hari, beliau berdiri, lalu kami pun bediri. Katika beliau sampai ke pertengahan masjid, tiba-tiba seorang laki-laki menarik mantel Rasulullah dengan keras, padahal mantelnya itu terbuat dari bahan yang kasar. Saking kerasnya, leher Rasulullah pun tampak memerah.
Laki-laki berkata,”Wahai Muhammad, isikan kedua untaku dengan apa saja, karena kau tidak pernah membawa harta, baik dengan hartamu sendiri maupun dari harta bapakmu.” Rasaulullah saw menjawab,”Tidak, dan aku memohon ampun kepada Allah. Aku tidak akan memenuhi kedua untamu sehingga kau terlebih dahulu melepaskan tarikanmu dari leherku.” Laki-laki dusun itu berkata kembali: “Tidak, demi Allah, aku tidak akan melepaskannya sebelum kau memenuhi permintaanku.” Rasulullah saw lalu mengulang perkataannya tadi tiga kali. Namun, laki-laki itu tetap tidak mau melepaskan tarikannya.

Begitu mendengar jawaban laki-laki dusun tadi, kami para sahabat segera bermaksud menghampiri laki-laki tersebut, namun Rasulullah segera berpaling kepada kami dan berkata: “Tolong semuanya, jangan mengubah posisi dan tempat laki-laki tersebut sampai aku memberikan izin.”

Rasulullah saw lalu berkata kepada laki-laki saat itu: “Wahai fulan, penuhi unta laki-laki tadi dengan gandum, dan untanya yang satu lagi dengan kurma.” Setelah dipenuhi, Rasulullah bersabda: “Ayo bubarlah kalian.” (HR. Abu Daud)

KESABARAN JUNJUNGAN RASULULLAH DALAM BERDAKWAH..



Anas bin Malik radhiyallahu `anhu pernah mengatakan : “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam saat beliau mengenakan jubah dari Najran yang kasar tepinya. Tiba-tiba datanglah seorang Arab gunung dan menarik jubah beliau secara keras. Akibat perbuatannya itu, aku melihat bekas tarikan tersebut pada sisi pundak beliau. Kemudian dia (orang Arab gunung itu) berucap : ‘Wahai Muhammad, perintahkanlah, bahwa harta Allah yang ada padamu untukku.’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melihat kepadanya dan tersenyum seraya memerintahkan untuk memberikan harta kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Contoh lain adalah kisah Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami, yang mengatakan : “Ketika aku shalat bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang dari satu kaum yang bersin. Maka aku mengucapkan yarhamukallah. Ketika semua orang melemparkan pandangannya kepadaku, sehingga aku berkata : ‘Duhai ibuku yang kehilangan aku, ada apa kalian melihatku?’ Mereka lalu menepuk tangan mereka ke pahanya. Ketika aku lihat, mereka menyuruh aku diam, lantas aku pun diam.

Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selesai shalat –dengan bapak dan ibuku– sungguh aku belum pernah melihat seorang pengajar pun yang lebih baik pengajarannya dari beliau shallallahu `alaihi wa sallam. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak pula mencelaku.

Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak layak sedikit pun ada ucapan manusia. Sesungguhnya shalat adalah tasbih, takbir dan bacaan Al Qur’an.’ “ (HR. Muslim dalam kitab Masajid bab Tahrimul Kalam fish Shalah)
Demikian pula sikap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap seorang pemuda yang meminta ijin untuk berzina. Seperti diungkapkan Abu Umamah : “Sesungguhnya pernah ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku berzina.’ Saat itu, orang-orang yang ada di situ membentaknya seraya mengatakan, ‘Mah, mah!’ Sementara Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyuruh pemuda itu untuk mendekat. ‘Mendekatlah,’ ajak beliau. Pemuda itu pun mendekat. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bertanya, ‘Sukakah engkau kalau hal ini terjadi pada ibumu?’ ‘Tidak, demi Allah, aku sebagai jaminanmu,’ jawabnya. ‘Demikian pula halnya setiap manusia pasti tidak menyukai hal itu terjadi pada ibu-ibu mereka,’ jelas Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada pemuda itu. Kemudian beliau ajukan pertanyaan lagi, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada anak perempuanmu?’ Ia Jawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan diriku sebagai jaminanmu’ Beliau jelaskan lagi, ‘Demikian pula manusia tidak menyukai hal itu terjadi pada anak perempuan mereka.’ Kemudian beliau tanya, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’ Lalu beliau bersabda, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada saudara-saudara perempuan mereka.’ ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (ammah / saudara perempuan bapak)?’ Tanya beliau kembali. Dijawabnya, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’ Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam nyatakan, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada bibi mereka.’ Beliau berikan lagi pertanyaan, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (khalah / saudara perempuan ibu)?’ Jawab pemuda itu, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu.’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menuturkan, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada bibi (khalah) mereka.’ ” Selanjutnya Abu Umamah menyatakan : “Maka Rasulullah meletakkan tangannya kepada pemuda itu seraya mengucapkan : “Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya dan peliharalah kemaluannya.’ “ (Kisah ini dinukil dari HR. Ahmad dan Thabrani, disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah no. 370) 
 
Kelembutan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun ditunjukkan pula terhadap seorang Arab gunung lainnya yang kencing di masjid.

Anas bin Malik mengisahkan : “Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang Arab kampung. Orang itu lantas berdiri dan kencing di masjid. Maka (bangkitlah) para shahabat Rasulullah membentaknya seraya membentak, ‘Mah, mah!’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam lantas mencegah para para sahabat sambil bersabda, ‘Jangan kalian putuskan kencingnya. Biarkan dia.’ Maka para shahabat pun membiarkannya sampai ia selesai. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memanggilnya dan menasehatinya, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak patut sedikit pun untuk tempat buang air, (begitu pula) buang untuk kotoran. Masjid ini merupakan tempat untuk berdzikir kepada Allah, shalat dan membaca Al Qur’an.’ Kemudian beliau memerintahkan untuk mengambil seember air dan menyiramkannya.” (HR. Muslim)

Tidak hanya sampai di sini, kesabaran Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap orang-orang bodoh. Bahkan, dalam riwayat Bukhari masih berlanjut kisah orang Arab gunung tersebut. Yaitu, ketika Rasulullah dan para shahabat shalat bersamanya, maka orang tadi berdoa dalam shalatnya, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah engkau rahmati seorang pun selain kami.” Maka ketika selesai shalat beliau bersabda, “Sungguh engkau telah mempersempit yang luas.” Yang dimaksud adalah rahmat Allah yang luas. Demikianlah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyikapi seorang yang memang bodoh, membutuhkan pengajaran dan pendidikan. Ketika orang Arab gunung itu setelah faqih (memahami agama) dia katakan, “Ayah dan ibuku sebagai jaminan. Sungguh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bangkit kepadaku tanpa mencela, menghardik atau pun memukulku.” Selain itu kita juga dapati sifat ta`anni beliau shallallahu `alaihi wa sallam ketika para shahabat membentak si orang gunung tersebut. Beliau malah mengatakan, “Biarkan dia”. Hal itu karena beliau berfikir dan melihat sisi hikmah, yaitu jika dibentak dan diganggu ketika dia sedang buang air, akan membawa dampak negatif yang lebih banyak. Bisa jadi najis dari kencingnya akan berceceran di tempat yang lebih luas, atau najis itu bisa saja mengenai pakaiannya. Bahkan, justru akan menjadikan penyakit bagi orang tersebut karena menahan kencing dan lainnya. Demikianlah semestinya sikap seorang mukmin, apalagi dia seorang da’i. Janganlah segera bersikap emosional, bersifatlah ta`anni.

Perlakukanlah orang-orang awam dan jahil dengan sabar serta ajarilah mereka dengan lemah lembut. Adapun orang-orang bodoh yang tidak mau mengerti perkataan orang, tinggalkanlah dan hindarilah dia dengan baik dan ucapkanlah ucapan yang baik. Allah berfirman dalam mengungkapkan sifat hamba-hamba-Nya : “Hamba-hamba Allah yang Maha Rahman adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Jika orang-orang bodoh mengajak bicara mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.” (Al-Furqan: 63) 

Saat menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Yaitu jika orang-orang bodoh mengganggu mereka dengan ucapan yang jelek, mereka tidak membalasnya dengan yang semisal. Bahkan mereka memaafkan dan memaklumi serta tidak mengucapkan selain kebaikan semata. Sebagaimana Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak membalas kerasnya kejahilan seseorang melainkan dengan kelembutan yang amat sangat.”

Dikisahkan dalam sebuah riwayat, seorang mencela orang lain kemudian orang yang dicela tersebut mengatakan alaikas salam (semoga keselamatan atasmu). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang mendengar ucapan itu langsung menegur, “Ketahuilah, sesungguhnya malaikat (yang menyaksikan) di antara kalian berdua membelamu. Setiap dia mencelamu malaikat itu berkata, ‘Bahkan engkau! Engkau lebih berhak dengannya!’ Sedang ketika engkau mengucapkan kepadanya, ‘alaikas salam,’ malaikat itu berkata, ‘bahkan atasmu! Engkau lebih berhak dengannya.’ “ (HR. Ahmad 5)

Dalam ayat lain, Allah juga memerintahkan berpaling dari orang-orang bodoh. “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A`raf: 199)
 
Berkenaan dengan ayat ini, kita tengok riwayat Umar bin Khattab. Dikatakan Ibnu Abbas : “Uyainah bin Hishn bin Huzaijah datang dan singgah di rumah saudaranya, Al-Har bin Qais. Beliau adalah salah seorang yang dekat dengan Umar bin Khattab. Pada waktu itu para pembaca Al Qur’an merupakan teman-teman duduk Umar dan tempat bermusyawarah, baik orang tua atau pun pemuda. Berkatalah Uyainah kepada anak saudaranya itu, ‘Wahai anak saudaraku, engkau memiliki kedudukan di sisi khalifah. Maka mintalah ijin agar aku diperkenankan menemuinya.’ Berkatalah Al-Har, ‘Aku akan mintakan ijin untukmu.’ ”

Ibnu Abbas mengungkapkan kisah selanjutnya : “Kemudian Al-Har bin Qais memintakan izin kepada Umar. Seketika itu Umar mengizinkannya. Ketika menghadap Umar, Uyainah ucapkan, ‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, engkau tidak memberi kami banyak. Tidak pula menghukumi kami dengan adil.’ Lantaran itu, marahlah Umar. Nyaris dilakukan sesuatu oleh Umar terhadapnya. Tetapi Al-Har malah mengucapkan, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada Nabi-Nya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al A’raf :199) Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang bodoh.” Demi Allah, Umar radliyallahu `anhu tidak melampaui apa yang dikatakan dalam ayat tersebut. Beliau memang seorang yang selalu ‘berhenti’ pada apa yang dikatakan pada kitab Allah.” (HR. Al-Bukhari, Demikianlah sikap Amirul Mukminin Umar bin Khattab ketika diberitahu bahwa ia (yang menghadap beliau) adalah orang bodoh. Sikap beliau tidak keluar dari apa yang dikatakan oleh Allah : “Jadilah pemaaf, perintahkanlah yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”

CARA JUNJUNGAN RASULULLAH MENGAWAL SIFAT MARAH...



Menurut riwayat, ada seorang Badwi datang menghadap Nabi s.a.w. dengan maksud ingin meminta sesuatu  pada Baginda. Nabi s.a.w. memberinya, lalu bersabda, “Aku berbuat baik kepada mu.” Badwi itu berkata, “pemberianmu tidak baik padamu.” Para sahabat rasa tersingguing, lalu mengugutnya dengan marah, namun Nabi memberi isyarat agar mereka bersabar.

Kemudian Nabi s.a.w. pulang ke rumah. Nabi kembali dengan membawa barang tambahan untuk diberikan kepada Badwi itu. Nabi bersabda pada Badwi itu, “Aku berbuat baik pada mu?” Badwi itu berkata, “Ya, semoga Allah membalas kebaikan uan, keluarga dan kerabat.”

Keesokan harinmya, Rasulullah s.a.w. bersabda kepada para sahabatnya, “Nah, kalau pada waktu Badwi itu berkata yang sekasar itu engkaui dengar, kemudian engkau tidak bersabar dan engkau membunuhnya, maka ia pasti masuk neraka. Namun, kerana saya bimbing dengan baik, maka ia selamat.” Beberapa hari selepas itu, si Badwi bersedia untuk di beri perintah bagi melaksanakan tugas penting yang berat mana sekali pun. Dia juga turut dalam medan jihad dan melaksanakan tugasnya dengan taat dan redho.

Rasulullah s.a.w. memberikan contoh kepada kita tentang berlapang dada. Ia tidak marah menghadapi kekasaran seorang Badwi yang memang demikianlah karekternya. Kalaupun saat itu dilakukan hukuman terhadap si Badwi itu , tentu hal itu bukan satu kezaliman, namun Rasulullah s.a.w. tidak berbuat demikian.

Baginda tetep sabar menghadapinya dan memberikan sikap yang ramah dan lemah lembut. Pada saat itulah, Nabi Muhammad s.a.w. ingin menunjukkan pada kita bahawa kesabaran dan lapang dada lebih tinggi nilainya dari pada harta benda yang bertimbun. Harta, saat itu, ibarat sampah yang berlonggok yang di pakai untuk makanan unta yang ganas. Tentu saja, unta yang telah mendapatkan keperluannya akan dengan mudah dapat dijinakkan dan boleh di gunakan untuk menempuh perjalanan jauh.

Adakala, Rasulullah s.a.w. juga marah, Namun, marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Itu pun Baginda lakukan bukan kerana masaalah peribadi melainkan kerana kehormatan agama Allah.

Rasulullah bersabda:”Memaki hamun orang Mukmin adalah fasik(dosa) dan memeranginya adalah kufur (keluar dari Islam).”(riwayat Bukhari).

Sabdanya lagi: “Bukanlah seorang Mukmin yang suka mencela, pengutuk, kata-katanya keji dan kotor.” (riwayat At Tarmizi)

KESABARAN RASULULLAH MENGHADAPI ANCAMAN PUAK QURAISY



Sesudah putus asa karena menghalangi Nabi Muhammad dengan cara kekerasan ternyata tidak menggentarkan Rasulullah saw dan para pengikutnya, Abu Jahal lalu mendatangi Abu Thalib, paman dan pelindung Rasulullah. Abu Jahal meminta agar disampaikan kepada Muhammad bahwa ia akan memberikan apa saja yang dikehendaki Muhammad; gadis-gadis yang paling cantik, harta kekayaan yang melimpah, atau kedudukan terhormat dalam jajaran kepemimpinan bangsa Arab. Abu Thalib segera menyampaikan tawaran Abu Jahal dan suku Quraisy itu kepada Nabi saw.

Dengan tegar Nabi mengatakan, “Demi Allah, wahai pamanku. Andaikata diletakan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku, supaya saya menggagalkan perjuangan menegakan kebenaran, saya takkan surut, sampai tercapai kemenangan atau saya hancur binasa dalam perjuangan.” Itulah benih kegigihan dan ketangguhan Rasulullah semenjak awal perjuangan. Ternyata sifat beliau tidak berubah walaupun sudah berhasil menjadi pemimpin umat yang agung dan disegani.
Pada suatu malam terdengar ribut-ribut diluar kota Madinah. Para sahabat mengira musuh sedang bergerak hendak menyerang kota. Waktu itu Nabi saw sedang tidur. Jadi para sahabat sepakat untuk tidak memebritahukan Rasulullah sebab mereka tahu Nabi amat lelah. Mereka segera memberangkatkan sepasukan tentara menuju ke arah terjadinya ribut-ribut itu. Di tengah perjalanan, sebelum tiba ke tempat itu mereka berpapasan denga Rasulullah yang sedang mengendarai kuda hendak kembali ke Madinah. Di pinggangnya terselempang sebilah pedang.

Nabi berkata, “Wahai para sahabatku yang setia. Pulang sajalah kita ke Madinah. Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada musuh. Aman belaka. Yang ribut-ribut tadi hanya suara kuda yang kedinginan.” Alangkah malunya para sahabat. Ternyata mereka kalah tanggap dan kalah cekatan dibandingkan Rasulullah saw yang disangka masih tertidur lelap di pembaringan.

Dalam suatu peperangan, Nabi terlau capai sampai lengah, beliau terduduk di bawah sebatang pohon tanpa sebilah senjata pun. Seorang pendekar kaum musyirikin yang ditakuti, tiba-tiba muncul di hadapannya, berdiri berkacak pinggang pada saat Nabi terkantuk-kantuk.

Dengan suara lantang, dedengkot musuh yang bernama Da’tsur itu menghardik Rasulullah sambil mengacungkan pedangnya, “Hai Muhammad. Siapa sekarang yang dapat menyelamatkanmu dari keganasan pedangku?”
Nabi tersentak sekejab, lalu menatap mata Da’tsur lurus matanya. Da’tsur tergetar melihat pandangan yang yang sejuk tetapi tidak kenal takut itu. Nabi menjawab tenang, “Karena sebagai manusia, aku sudah tidak punya daya, tiada lagi yang akan melindungi diriku kecuali Allah?”

Da’tsur menggigil mendengar jawaban itu. Macam apa pula kekuatan Allah yang disebut-sebut Muhammad itu, sampai ia yakin Allah pasti melindunginya? Kebimbangannya kian bertambah menyaksikan Nabi tetap tabah, sampai akhirnya pedang Da’tsur terlepas dari genggamannya dan jatuh.
Nabi segera mengambil pedang itu lantas mengacungkannya kepada Da’tsur, “Nah, kini siapakah yang akan menyelamatkanmu dari pedangku?” Dengan bibir bergetar Da’tsur menjawab, “Hanya engkau Muhammad yang dapat menyelamatkanku. Sungguh, hanya engkau belaka.”

Namun Nabi bukanlah tipe pemimpin yang suka menyimpan dendam. Beliau tidak ingin membelas kekerasan dengan kekerasan. Maka beliau segera menyerahkan pedang itu kembali pada Da’tsur selaku pemiliknya. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, kelak Da’tsur masuk Islam, dan menjadi pahlawan membela agama.