Minggu, 16 November 2014

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 11) : SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DARI ZAMAN KE ZAMAN



“Sejarah para Sufi dari zaman Nabi Muhammad S.A.W sampai abad ke-9”

1. Tasawuf di masa Nabi Muhammad S.A.W.

Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam baik sebagai penyampai risalah dan juga teladan sempurna bagi kehidupan manusia. Oleh karenanya pastilah beliau juga merupakan tokoh spiritual yang paling sempurna. Hal ini bisa kita lihat dalam silsilah kepemimpinan thariqah dimana semuanya bermuara pada Nabi Muhammad S.A.W.

2. Tasawuf di abad 1 Hijriah

Di abad 1 Hijriah istilah tasawuf belum muncul sebagai satu diskursus, oleh karena itu belum muncul pula apa yang disebut dengan istilah Sufi, walaupun kita tahu bahwa para sahabat Nabi yang setia mengikuti ajaran-ajaran beliau pasti juga mengmalkan apa yang beliau lakukan termasuk juga dalam kehidupan spiritualnya. Salah satu buktinya masuknya Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu kepemimpinan dalam thariqah setelah Nabi Muhammad S.A.W. Begitu juga para sahabat yang lain seperti Salman al-Farisi.

3. Para Sufi di abad 2 Hijriah

    Dalam buku al-Luma’ ( Abu Nashr Sarraj ath-Thusi) disebutkan bahwa baru pada abad 2 H. Inilah istilah Sufi muncul. Dan para Sufi yang hidup di abad 2 H antara lain :
    Hasan al-Bashri ( 26 H – 110 H), beliau menulis sebuah kitab yang berjudul “Ri’ayat Huquq Alah” (Menjaga Hak-Hak Allah)
    Malik bin Dinar yang terkenal dengan kezuhudanan nya( w. 135 H )
    Ibrahim bin Adham ( w.161 H ), kisah hidupnya mirip dengan kisah hidup sang Budha Gautama, dan para Sufi sangat menekankan tokoh penting ini.
    Rabi’ah Al-Adawiyah, tokoh sufi wanita yang sangat terkenal.
    Ma’ruf al-Kharkhi, salah satu murid Imam Ali Al-Ridha. Beliau termasuk salah satu silsilah dalam tarekat.
    Fudhayl ibn ‘ Iyadh, salah seorang murid dari Imam Ja’far Ash-Shadiq. Konon, awalnya beliau adalah seorang perampok. Suaru malam ketika ia mau merampok, ia mendengar korban sedang membaca Al-Qur’an, akhirnya ia bertaubat.

4. Para Sufi di abad 3 H

    Abu Yazid Al-Bistami (Bayazid) (w. 261 H). Sebagai sufi pertama yang memperkenalkan secara terang-terangan tentang fana’ dan baqa’ dan terkenal dengan syathahat (ungkapan ekstatiknya) yaitu “ Aku keluar dari ke-Bayazid-an laksana seekor ular keluar dari kulitnya”. Dalam penjelasan yang lain beliau terkenal dengan syathahatnya “Subhani”.
    Bisyr Al-Hafi (w.226 H/227 H), salah seorang murid dari Imam Musa bin Ja’far. Beliau adalah seorang Sufi yang tadinya hidup kotor kemudian bertaubat.
    Sari Al-Saqati ( w.245 H / 250 H). Beliau murid Ma’ruf Al-Kharkhi. Yang menarik dari kehidupan beliau adalah beliau beristighfar selama 30 tahun gara-gara mengucapkan alhadulillah karena dalam kebakaran hebat di kota Baghdad tokonya tidak terbakar.
    Harist Al-Muhasibi ( w. 223 H) . Disebut Al-Muhasibi karena ketekunannya melakukan instropeksi diri (muhasabah).
    Junayd Al-Baghdadi ( w.297). Beliau murid dari Sari Al-Saqati dan juga Harits Al-Muhasibi. Beliaulah sufi dizamannya yang tidak mau berpakaian ala sufi, dan bahkan berpakaian ala fuqaha, karena beliau beranggapan bahwa nilai tasawuf bukanlah pada jubah tapi pada cahaya hati.
    Dzun Nun Al-Misri( w.246 H) Beliaulah yang pertama kali memakai bahasa simbolik untuk menjelaskan berbagai persoalan mistik, misalnya dengan syair , yang hanya difahami oleh beberapa orang saja.
    Sahl Al-Tustari ( w.282 H) Prinsip tasawufnya adalah memerangi hawa nafsu.
    Husayn ibn Mansur Al-Hallaj ( w.309) Beliau sangat terkenal dengan syathahatnya “Ana Al-Haq”, dan karena ucapan-ucapan ekstatiknyalah beliau dieksekusi. Seorang penyair yang bernama Hafizhmenulis dalam syairnya : Itu teman kita yang digantung di atas salib. Kesalahannya, ia suka membocorkan berbagai rahasia.

5. Para Sufi di abad 4 H

    Abu Bakar Al-Syibli (w.334 H) Beliau murid Junayd Al-Baghdadi, dan banyak menulis syair- syair sebagai bahasa simbolik dalam persoalan mistik.
    Abu Nashr Sarraj Al-Thusi Pengarang kitab terkenal Al-Luma’ yang merupakan buku pokok tasawuf klasik yang andal.
    Abu Thalib Al-Makki (w. 386 H) Beliau penulis buku Qut Al-Qulub ( Santapan Kalbu)

6. Para Sufi abad ke 5 H

    Abu Al-Hasan ‘Ali ibn ‘Utsman Al-Hujwiri (w. 470 H), pengarang buku Kasyf Al-Mahjub.
    ‘Abdullah Al-Anshari (w.481), penulis buku terkenal Manazil As-Sairin, sebuah buku tentang perjalanan ruhani, merupakan salah satu buku tasawuf yang paling baik dan banyak pensyarahnya.
    Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (w.505H), Penulis buku terkenal “Ihya ‘Ulum Al-Din” ( Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama), yang merupakan hasil tulisannya selama beliau mengasingkan diri untuk penyucian diri.

7. Para Sufi abad 6 H

    Ayn Al-Qudhat Al-Hamadani ( w. 525 H/530 H) Beliau sama dengan Al-Hallaj yang banyak menyampaikan ungkapan syathahatnya, dan karena itu beliau dihukum mati.
    Abdul Qadir Al-Jilani ( w. 560/561 H). Sebuah tarekat besar dinisbahkan kepada beliau yaitu Tarekat Qadiriyah.
    Ruz Bihan Baqli Al-Syirazi (w. 606 H), karena sering mengungkapkan ucapan ekstatiknya beliau dijuki “ Syaikh Syaththah”

8. Para Sufi abad ke 7 H

    Fariddudin Al-’Aththar (w.626 H/628H). Penuis buku terkenal Tadzkirah Al-Awliya’, yang berisi riwayat hidup dan karakter para sufi- yang dimulai dari Imam Ja’far Shadiq dan diakhiri dengan Imam Muhammad Baqir. Juga kitab Mantiq Ath-Thayr, pengembaraan 7 kota cinta, yang mana Rumi mengatakan Aththar sudah sampai ke 7 kota cinta, sementara kami baru sampai di sebuah sudut gang.
    Syihabuddin Suhrawardi (w.630H), penulis buku ‘Awarif Al-Ma’arif’.
    Ibn Faridh Al Mishri (w.632 H), penulis sajak sufistik yang terkenal, Diwan. Sajak-sajaknya ditulis dalam keadaan ekstase , karena beliau sering dikuasai ekstase ketimbang normal.
    Muhyiddin Ibn Arabi ( w.638), penulis kitab terkenal Futuhat Makkiyah dan Fusus Al-Hikam. Peletak dasar teori –teori tasawuf dengan corak filosofisnya.
    Shadruddin Muhammad Al-Qunawi (w. 672 /673 H), beliau adalah murid dan pensyarah karya2 Ibn Arabi.
    Mawlana Jalaluddin Rumi ( w.672 H), penulis buku terkenal Matsnawi dan Diwan-e Syams Tabriz , merupakan karya persembahan untuk sang guru Syams Al-Tabriz.

9. Sufi abad 8 H

    Sayyid Haydar Amuli , penulis buku terkenal Jami’ Al-Asrar dan Inner Secre.t of the Path
    Abdul Karim Al-Jilli (w.805 H ) penulis buku terkenal Al Insan al-Kamil.

10. Sufi abad 9 H

    Nurudi Abdurahman Jami’ ( w. 898 H ), seorang penyair terkemuka, salah satu buku beliau adalah cerita cinta sufistik Yusuf dan Zulaikha

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 10) : Perkembangan Tarekat dan Tasawwuf sejak Zaman RASULULLAH SAW



SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF

Pada dasarnya sejarah awal perkembangan tasawuf, adalah sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi saw. Hal ini dapat dilihat bagaimana peristiwa dan prilaku kehidupan Nabi saw. sebelum diangkat menjadi rasul. Beliau berhari-hari pernah berkhalwat di Gua Hira’, terutama pada bulan ramadlan. Disana Nabi saw lebih banyak berdzikir dan bertafakkur dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi saw. di Gua Hira’ inilah yang merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Dalam aspek lain dari sisi prikehidupan Nabi saw. adalah diyakini merupakan benih-benih timbulnya tasawuf, dimana dalam kehidupan sehari-hari Nabi saw. sangatlah sederhana, zuhud dan tak pernah terpesona oleh kemewahan duniawi. Hal itu di kuatkan oleh salah satu do’a Nabi saw. , beliau pernah bermohon yang artinya: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin”. (HR. al-Tirmizi, Ibn Majah, dan al-Hakim).

Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya (periode kedua setelah periode Nabi saw.) ialah periode tasawuf pada masa “Khulafaurrasyidin” yakni masa kehidupan empat sahabat besar setelah Nabi saw. yaitu pada masa Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan masa Ali ibn Abi Thalib. Kehidupan para khulafaurrasyidin tersebut selalu dijadikan acuan oleh para sufi, karena para sahabat diyakini sebagai murid langsung Nabi saw. dalam segala perbuatan dan ucapan mereka jelas senantiasa mengikuti tata cara kehidupan Nabi saw. terutama yang bertalian dengan keteguhan imannya, ketaqwaannya, kezuhudan, budi pekerti luhur dan yang lainnya.Salah satu contoh sahabat yang dianggap mempunyai kemiripan hidup seperti Nabi saw. adalah sahabat Umar Ibn al-Khattab, beliau terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, ia terkenal kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan pernah suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah (Amirul Mukminin), ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.

Selain mengacu pada kehidupan keempat khalifah di atas, para ahli sufi juga merujuk pada kehidupan para “Ahlus Suffah” yaitu para sahabat Nabi saw. yang tinggal di masjid nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin namun senantiasa teguh dalam memegang akidah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Diantara para Ahlus Suffah itu ialah,sahabat Abu Hurairah, Abu Zar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Muadz bin Jabal, Imran bin Husain, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman dan lain-lain.

Perkembangan tasawuf selanjutnya adalah masuk pada periode generasi setelah sahabat yakni pada masa kehidupan para “Tabi’in (sekitar abad ke-1 dan abad ke-2 Hijriyah), pada periode ini munculah kelompok(gerakan) tasawuf yang memisahkan diri terhadap konflik-konflik politik yang di lancarkan oleh dinasti bani Umayyah yang sedang berkuasa guna menumpas lawan-lawan politiknya. Gerakan tasawuf tersebut diberi nama “Tawwabun” (kaum Tawwabin), yaitu mereka yang membersihkan diri dari apa yang pernah mereka lakukan dan yang telah mereka dukung atas kasus terbunuhnya Imam Husain bin Ali di Karbala oleh pasukan Muawiyyah, dan mereka bertaubat dengan cara mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin ini dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang ahir kehidupannya terbunuh di Kuffah pada tahun 68 .H.

Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya adalah memasuki abad ke-3 dan abad ke-4 Hijriyah. Pada masa ini terdapat dua kecenderungan para tokoh tasawuf. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang biasa di sebut dengan “Tasawuf Sunni” dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti : Haris al-Muhasibi (Basrah), Imam al-Ghazali, Sirri as-Saqafi, Abu Ali ar-Ruzbani dan lain-lain.Kelompok kedua, adalah yang cenderung pada kajian tasawuf filsafat, dikatakan demikian karena tasawuf telah berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Adapun tokoh-tokoh tasawuf filsafat yang terkenal pada saat itu diantaranya: Abu Yazid al-Bustami (W.260 H.) dengan konsep tasawuf filsafatnya yang terkenal yakni tentang “Fana dan Baqa” (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi), serta “Ittihad” (Bersatunya hamba dengan Tuhan). Adapun puncak perkembangan tasawuf filsafat pada abad ke-3 dan abad ke-4, adalah pada masa Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H ), ia merupakan tokoh yang dianggap paling kontroversial dalam sejarah tasawuf, sehingga ahirnya harus menemui ajalnya di taing gantungan.

Periode sejarah perkembangan tasawuf pada abad ke-5 Hijriyah terutama tasawuf filsafat telah mengalami kemunduran luar biasa, hal itu akibat meninggalnya al-Hallaj sebagai tokoh utamanya. Dan pada periode ini perkembangan sejarah tasawuf sunni mengalami kejayaan pesat, hal itu ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh tasawuf sunni seperti, Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H.), seorang penentang tasawuf filsafat yang paling keras yang telah disebarluaskan oleh al-Bustani dan al-Hallaj. Dan puncak kecemerlangan tasawuf suni ini adalah pada masa al-Ghazali, yang karena keluasan ilmu dan kedudukannya yang tinggi, hingga ia mendapatkan suatu gelar kehormatan sebagai “Hujjatul Islam”.

Sejarah perkembangan tasawuf selanjutnya adalah memasuki periode abad ke-7, dimana tasawuf filsafat mengalami kemajuan kembali yang dimunculkan oleh tokoh terkenal yakni Ibnu Arabi. Ibnu Arabi telah berhasil menemukan teori baru dalam bidang tasawuf filsafat yakni tenyang “Wahdatul Wujud”, yang banyak diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Ibnu Sab’in, Jalaluddin ar-Rumi dan sebagainya. Kecuali itu pada abad ke-6 dan abad ke-7 ini pula muncul beberapa aliran tasawuf amali, yang ditandai lahirnya beberapa tokoh tarikat besar seperti: Tarikat Qadiriyah oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Bagdad (470-561 H.), Tarikat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’I di Irak (W.578 H.) dan sebagainya. Dan sesudah abad ke-7 inilah tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau toh ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya.

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 9) : Perkembangan Tauhid dari Masa ke Masa



1.    Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Rasulullah Saw

Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya.[1] Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat al-Anfal ayat 46,
 واطيعوا الله ورسوله ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا ان الله مع الصابرين
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.[2]
Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.

2.    Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Khulafaur Rasyidin

Setelah Rasulullah saw wafat, dalam masa khalifah pertama dan kedua, umat islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena mereka sibuk menghadapi musuh dan berusaha memprtahankan kesatuan dan kesatuan umat. Tidak pernah terjadi perbedan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan memahamkan al Qur’an tanpa mencari ta’wil dari ayat yang mereka baca. Mereka mengikuti perintah alqur’an dan mereka menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan Allah swt dengan apa yang Allah swt sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan Allah swt dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah swt. Apabila mereka menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihah mereka yang mengimaninya dengan menyerahkan penta’wilannya kepada allah swt sendiri.
Di masa khalifah ketiga akibat terjadi kekacauan politik yang diakhiri dengan terbunuhnya khalifah Utsman. Umat Islam menjadi terpecah menjadi beberapa golongan dan partai, barulah masing-masing partai dan golongan-golongan itu dengan perkataan dan usaha dan terbukalah pintu ta’wil bagi nas al Qur’an dan Hadits. Karena itu, pembahasan mengenai akidah mulai subur dan berkembang, selangkah demi selangkah dan kian hari kian membesar dan meluas.

3.      Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Umayyah.

Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa (inilah mereka juga menamakan dirinya dengan “Ahlu At-Tauhid”).
Penghujung abad pertama Hijriah muncul pula kaum Khawarij yang mengkafirkan orang muslim yang mengerjakan dosa besar, walaupun pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, akhirnya memisahkan diri karena alasan politik. Sedangkan kelompok yang tetap memihak kepada Ali membentuk golongan Syi’ah.

4.      Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Abbasyiah.

Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penerjemahan besar-besaran segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada diantara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam.
Dalam masa ini muncul polemik-polemik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid Al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala Al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin Al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya Al-Imamah, Al-Qadar, Al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “Al-Amin wa Al-Muta’allim” dan “Fiqhu Al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah. Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan Al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh Mu’tazilah Al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya Al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush Al-Maqal fii ma baina Al-Hikmah wa Asy-Syarizati min Al-Ittishal” dan “Al-Kasyfu an Manahiji Al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.

5.      Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Pasca Daulah Abbasyiah.

Sesudah masa Bani Abbasiyah datanglah pengikut Al Asy‘ari yang terlalu jauh menceburkan dirinya ke dalam falsafah, mencampurkan mantiq dan lain-lain, kemudian mencampurkan semuanya itu dengan ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan oleh Al Baidlawi dalam kitabnya Ath Thawawi dan Abuddin Al-Ijy dalam kitab Al-Mawaqif. Madzhab Al-Asy‘ari berkembang pesat kesetara pelosok hingga tidak ada lagi madzhab yang menyalahinya selain madzhab hambaliyah yang tetap bertahan dalam madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tersebut dalam alquran dan al hadits tanpa mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits itu.
Pada permulaan abad kedelapan hijriyah lahirlah di Damaskus seorang ulama’ besar yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimayah menentang urusan yang berlebih-lebihan dari pihak-pihak yang mencampur adukkan falsafah dengan kalam, atau menentang usaha usaha yang memasukkan prinsip-prinsip falsafah ke dalam akidah islamiyah.
Ibnu Tamiyah membela madzab salaf ( sahabat, tabi’in dan imam-imam mujahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan al asy’ariyah dan lain-lain, baik dari golongan rafidhah, maupun dari golongan sufiyah. Maka karenanya masyarakat islam pada masa itu menjadi dua golongan, pro dan kontra, ada yang menerima pandapat pendapat ibnu taimiyah dengan sejujur hati, karena itulah akidah ulama’ salaf dan ada pula yang mengatakan bahwa ibnu taimiyah itu orang yang sesat.
Jalan yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini diteruskan oleh muridnya yang terkemuka yaitu Ibnu Qayyimil Jauziyah. Maka sesudah berlalu masa ini, tumpullah kemauan, lenyaplah daya kreatif untuk mempelajari ilmu kalam seksama dan tinggallah penulis-penulis yang hanya memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama.
Kemudian diantara gerakan ilmiah yang mendapat keberkahan dari Allah, ialah gerakan al iman Muhammad ‘Abduh dan gurunya jmaluddin Al-Afghani yang kemudian dilanjutka oleh As-Said Rosyid Ridla. Usaha-usaha beliau inilah, yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung untuk mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya. Anggota-anggota gerakan ini dinamakan salafiyyin.

B.     Pertumbuhan Dan Perkembangan Aliran-Aliran Dalam Ilmu Tauhid/Kalam

Awal mula munculnya masalah teologi dalam Islam memang fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah  ke  dalam  beberapa  firqah (kelompok / golongan) adalah persoalan politik. Dari masalah ini kemudian lahir berbagai kelompok dan aliran teologi dengan pandangan dan pendapat yang berbeda. Namun pertentangan yang tampak dalam ilmu tauhid adalah penggunaan dalil serta penafsirannya. Ada kelompok yang hanya memandang dalil dari sisi tekstual, ada yang mencoba menafsirkan dalil dengan pendapat mereka dengan menggunakan ilmu filsafat, dan ada pula yang mencoba mencari jalan tengah dengan penalaran dalil melalui filsafat yang masih terbentengi dengan dalil-dalil yang lain. Sehingga, dari tiap kelompok terdapat keyakinan yang berbeda dalam menentukan sikap dalam berdalil. Bagi kelompok yang hanya memandang dalil secara tekstual, akan menganggap kelompok lain yang menggunakan filsafat telah tersesat. Bagi yang menggunakan filsafat sebagai landasan hukumnya akan menganggap tidak bergunanya keilmuan tanpa adanya filsafat.
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut berakibat munculnya golongan-golongan dalam Islam diantaranya :
1.       Khawarij
Khawarij adalah golongan yang memisahkan diri dari golongan yang mengikuti Ali bin Abi Tholib. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar dan belum sempat taubat ketika masih hidup maka dianggap kafir.
2.      Syi’ah
Adalah golongan yang setia terhadap Ali bin Abi Tholib. Mereka berpendapat bahwa yang berhak menggantikan nabi adalah Ahlul Bait. Diantara tokohnya adalah Zaid bin Ali dan Ja’far bin Shodik.
3.      Murji’ah
Selain khowarij dan syi’ah, pada masa ini juga muncul aliran lain yang memilih bersikap diam dan tidak mau memvonis siapakah yang salah antara golongan khawarij, syi’ah dan mu’awiyah. Mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tetap mu’min selama masih beriman pada Allah Swt. Dan Rasul-Nya. Adapun pertanggungjawaban dosa orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat kelak, Allah sendiri yang akan menentukannya.
Dalam masalah hakikat iman, kaum murji’ah meyakini bahwa seseorang yang dalam hatinya percaya kepada Allah Swt. Tetapi secara lahir menyembah berhala atau memeluk agama Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, ia akan tetap akan diperlakukan sebagai orang mu’min oleh Allah Swt. Dia akan mendapat ampunan atas perbuatan lahirnya dan akan dimasukkan ke dalam surga.
4.      Jabariyah
Golongan ini menyatakan bahwa, perbuatan manusia pada hakikatnya serba dipaksa (majbur). Manusia tidak mempunyai kebebasan memilih dan berbuat, karena perbuatan manusia sepenuhnya diatur oleh Allah.Orang yang pertama kali mengenal faham ini adalah Ja’ad bin Dirham.
5.      Qodariyah
Aliran ini merupakan kebalikan dari paham jabariyah. Aliran qodariyah berpendapat bahwa, manusia mempunyai kekuasaan penuh atas perbuatannya. Pendiri aliran ini adalah Ma’bahah al-Junahi.Mereka berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri. Allah tidak mempunyai hubungan dengan apa yang dilakukan oleh manusia sebelum perbuatan itu dikerjakan. Tapi nilai yang telah dikerjakan, maka pekerjaan tersebut baru diketahui dan mendapat penilaian dari Allah.
6.      Asy’ariyah
Golongan ini disebut juga dengan sebutan ahli sunah wal jama’ah. Aliran ini mempunyai tujuh prinsip pokok :
a)      Allah swt mempunyai sifat diluar zat-Nya dan bukan dzat Tuhan itu sendiri.         
b)      Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, maka Al-Qur’an bersifat qodim.
c)      Allah swt. Dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala manusia secara langsung, bagi mereka yang diizinkan.
d)     Perbuatan manusia telah diciptakan oleh Allah, meskipun dalam diri manusia juga terdapat potensi yang bisa digunakan manusia untuk menggerakkan hati dan badan dalam berbuat dan berusaha.Namun potensi tersebut bersifat terbatas dan tidak efektif.
e)      Manusia hanya wajib meyakini adanya Allah dan tidak wajib mengetahui hakikat Allah.
f)       Dosa seseorang tidak dianggap bisa mengkufurkan seseorang, selama muslim tersebut masih iman, hanya saja dikategorikan sebagai mu’min yang durhaka,  mengenai keputusan ada di tangan Allah.
g)      Allah adalah pencipta seluruh alam raya ini, karena itu Allah mempunyai kehendak mutlak untuk melakukan apa saja terhadap ciptaannya.[3]

2.    Awal mula munculnya masalah teologi dalam Islam memang fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah  ke  dalam  beberapa  firqah (kelompok / golongan) adalah persoalan politik.

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 8) : MENJADI SEORANG SUFI…



Setiap yang dilahirkan oleh manusia sama ada fikiran dan tindakannya adalah berpunca dari hati. Kalau baik hati, maka baiklah seluruh perbuatan dan pertuturan. Begitulah sebaliknya kalau hati jahat, maka jahatlah seluruh anggota badan.

Kedatangan Rasulullah SAW untuk memperbaiki akhlak manusia mendapat kejayaan kerana baginda berjaya mendidik hati manusia.

 Sebab itu, kalau kita mahu berjaya dalam melahirkan peribadi yang baik sama ada pada diri atau dalam masyarakat kita, maka pendidikan hati hendaklah difikirkan dahulu.

Tetapi bukan semua manusia faham dan nampak bagaimana dan apa kesan hati kepada perlakuan manusia. Sebab itu manusia masih gagal membina hidup aman damai kerana gagal memahami bagaimana untuk mendidik hati supaya menjadi baik. Manusia juga gagal untuk mengubat penyakit hati yang telah merosakkan seluruh perbuatan zahir seseorang.

Oleh kerana itu manusia cukup sensitif dengan penyakit zahir tetapi tidak ambil pusing dengan penyakit batin. Penyakit bati yang dimaksudkan ini bukanlah penyakit jantung atau barah tetapi adalah penyakit mazmumah seperti riak, angkuh, dengki, ego, tamak, pemarah dan lain-lain lagi. Tidak ada alat x-ray yang dapat mengesan penyakit mazmumah kecuali ilmu tasawuf dan didikan dari seorang guru sufi.

Sebab itu kepentingan ilmu tasawuf dan pendidikan sufi  amat penting sekali demi menjamin kebahagiaan hidup manusia. Jadi, orang yang bercita-cita dan berazam untuk membersihkan hatinya dengan mengikut panduan ilmu dan didikan guru tasawuf, sebenarnya sedang menempuh jalan tasawuf.

Sekarang kita paparkan beberapa kisah ahli sufi yang jika kita ingin mengikut jejak ahli sufi maka ikutilah mereka. Kalau hendak menjadi seorang sufi jadilah seperti Nabi Musa yang memakai pakaian yang sederhana tetapi berani berhadapan dengan Firaun yang memakai pakaian maharaja. Atau jadilah seperti Nabi Sulaiman yang menjadi raja besar dengan segala kemewahan dan kekuasaan tetapi makanan hariannya cuma roti kering.

Satu ketika Nabi Sulaiman sedang melayang di atas tikar terbang diiringi oleh pengawalnya dari kaum jin. Datang peringatan dalam hatinya.  Jika dalam hatinya ada sebutir debu dari rasa takbur nescaya dia akan dibenamkan ke dasar bumi sedalam tingginya dia terbang di udara. Malah pernah Nabi Sulaiman berkata: “Satu kalimah Subhanallah lebih berharga bagiku dari segala dunia dan isinya.”

 Menjadi orang sufi ertinya sanggup memikul tugas besar seperti Nabi Yusuf yang telah menjadi menteri Perbendaharaan. Baginda menyimpan makanan yang cukup selama tujuh tahun untuk berdepan dengan musim kemarau. Bukanlah dipanggil orang sufi jika menjadi masalah kepada masyarakat dan hidup dengan meminta belas kasihan dari orang ramai.

Seorang sufi bukanlah orang yang memutuskan nafsunya seperti seorang sami Buddha tetapi dia sanggup mengawalnya seperti Nabi Yusuf ketika berhadapan dengan godaan Zulaikha. Seorang sufi juga mesti sanggup menahan rasa sakit sepertimana Nabi Ayub, menahan penderitaan walaupun hanya tinggal hati dan lidahnya sahaja yang masih tidak dijangkit penyakit.

Apabila ditanya orang mengapa baginda tidak berdoa meminta sihat sedangkan baginda seorang Nabi yang makbul doanya. Lantas baginda berkata: “Aku malu untuk berdoa  pada Allah kerana aku baru ditimpa sakit selama dua tahun sedangkan Allah memberi aku sihat selama enam puluh tahun.”

Seorang sufi bukanlah orang yang lari daripada kemungkaran masyarakatnya tetapi dia adalah orang yag berjuang menegakkan makruf di tengah banjir kemungkaran. Kalaupun mereka lari, adalah dengan niat untuk membina kekuatan sebagai persediaan untuk kembali ke tengah gelanggang perjuangan. Seorang sufi adalah orang yang sanggup menurut jejak Nabi Ibrahim.

Baginda sanggup dibakar kerana meruntuhkan berhala pujaan Namrud dan rakyatnya. Jadilah pemimpin yang mempunyai jiwa sufi seperti Nabi Zulkifli yang tahan berhadapan dengan karenah pengikutnya. Atau milikilah kehebatan seperti Nabi Isa  A.S. yang sanggup berbantalkan lengan ketika tidur di malam hari.

 Itulah hidup sufi yang dituntut oleh Allah pada kita untuk dimiliki. Syukur berhadapan dengan nikmat, sabar berhadapan dengan ujian, berani berhadapan dengan kezaliman, tawadhuk bila berhadapan dengan kebenaran dan dalam apa juga keadaan sekalipun hati tetap sama dan tenang tanpa cacat atau berubah.
Menjadi seorang sufi bukanlah mengalah pada semua  suasana dalam berhadapan dengan kekufuran, tetapi sufi sebenar sanggup berperang seperti peribadi Nabi Muhammad SAW yang ada kalanya berbicara dengan pedang apabila kata-kata gagal menahan serangan fizikal orang-orang Musyrikin.

Seorang sufi juga bukan orang yang lari daripada harta ketika diperlukan untuk mengendalikannya tetapi menjadi seperti Abdul Rahman bin Auf yang bertindak sebagai “bank” kepada masyarakat Islam. Namun jangan sampai ditawan oleh dunia seperti Tsa’labah. Seorang sufi juga adalah orang yang licin mengintip musuh seperti Abu Huzaifah ataupun mempunyai kepakaran strategi peperangan seperi Salman Al Farisi yang menjadi “master-mind” dalam Peperangan Khandak.

Nah, itulah peribadi contoh jika kita hendak mengikut jalan-jalan sufi. Bukan seperti sangkaan orang sekarang yang meletakkan hidup sufi sebagai hidup yang hina.  Pada sangkaan setengah orang, sufi menjadikan seseorang lepas bebas dari masyarakat sekelilingnya. Bila disebut sufi orang akan membayangkan seorang yang berjanggut dengan pakaian yang  buruk duduk tersepuk di mihrab-mihrab masjid menggetil tasbih.

Makanannya disedekahkan orang, sementara dia duduk sendirian mencari Tuhannya dalam ‘khalwat’ dan zikirnya. Bukan itu cara hidup sufi, kerana bukan seperti itu hidup para Rasul, Nabi dan para sahabat zaman dahulu!

Bukan itu yang dinamakan sufi. Kerana bukan itu cara hidup tokoh-tokoh sufi yang telah kita paparkan tadi. Walaupun tangan orang sufi selalu menggetil tasbih tetapi tangan itu juga sanggup memegang cangkul untuk bertani, tangan itu sanggup memegang pena untuk memerangi kebatilan dan ada masanya tangan itu juga sanggup memikul senjata memerangi kekufuran.

 Semudah memetik biji-biji tasbih di dalam zikirnya, maka semudah itu jugalah ia mentadbir dunia ayang diamanahkan padanya. Kerana apa? Kerana hati yang berpaut pada Allah boleh mengendalikan apa sahaja dengan mudah dan berjaya

Rasulullah SAW sebelum berjaya menegakkan Islam telah melalui banyak ujian dan segala ujian itu sebenarnya menyuburkan jiwa sufi baginda. Rasulullah diuji menggembala kambing sebelum berjaya memimpin manusia. Rasulullah tetap sujud ketika dilonggokkan dengan perut unta yang busuk sebelum berjaya meruntuhkan berhala-berhala di sekeliling Kaabah.

Bermula dari dua buah gua iaitu gua Hira’ dan gua Thur maka bangkitlah satu kekuatan Islam yang menguasai dua pertiga dunia. Mana pejuang-pejuang sufi seperti peribadi mereka itu kini? Mana lambang pusat latihan kerohanian (gua-gua) yang tegak di zaman moden kini? Mana sekolah-sekolah latihan sufi yang sanggup mencabar sistem pendidikan sekular (penyambung lidah penjajah)? InsyaAllah, semuanya mula kelihatan mercup tumbuh sekarang.

Sesungguhnya kita memerlukan jiwa sufi yang dapat menggunakan kemodenan zaman ini untuk Islam. Orang-orang sufi mesti bangun menggunakan jentera-jentera moden, komputer, alat-alat elektronik dan segala gajet teknologi yang “sophisticated” untuk memperjuangkan Islam.

Pertahankanlah peribadi sufi yang kukuh pendirian, hidup berdisiplin dan boleh berada dalam kemewahan sedangkan hati sedikit pun tidak terpaut dengannya. Boleh menanggung derita tetapi jiwanya tidak keluh kesah. Maka jika kita mahu jadi orang sufi jadilah seperti mereka itu.