Minggu, 16 November 2014

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 9) : Perkembangan Tauhid dari Masa ke Masa



1.    Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Rasulullah Saw

Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya.[1] Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat al-Anfal ayat 46,
 واطيعوا الله ورسوله ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا ان الله مع الصابرين
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.[2]
Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.

2.    Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Khulafaur Rasyidin

Setelah Rasulullah saw wafat, dalam masa khalifah pertama dan kedua, umat islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena mereka sibuk menghadapi musuh dan berusaha memprtahankan kesatuan dan kesatuan umat. Tidak pernah terjadi perbedan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan memahamkan al Qur’an tanpa mencari ta’wil dari ayat yang mereka baca. Mereka mengikuti perintah alqur’an dan mereka menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan Allah swt dengan apa yang Allah swt sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan Allah swt dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah swt. Apabila mereka menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihah mereka yang mengimaninya dengan menyerahkan penta’wilannya kepada allah swt sendiri.
Di masa khalifah ketiga akibat terjadi kekacauan politik yang diakhiri dengan terbunuhnya khalifah Utsman. Umat Islam menjadi terpecah menjadi beberapa golongan dan partai, barulah masing-masing partai dan golongan-golongan itu dengan perkataan dan usaha dan terbukalah pintu ta’wil bagi nas al Qur’an dan Hadits. Karena itu, pembahasan mengenai akidah mulai subur dan berkembang, selangkah demi selangkah dan kian hari kian membesar dan meluas.

3.      Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Umayyah.

Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mempertahankan Islam seperti masa sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.
Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan melebur dalam Mazhab mu’tazilah yang menganggap bahwa manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka menamakan dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Ia Esa (inilah mereka juga menamakan dirinya dengan “Ahlu At-Tauhid”).
Penghujung abad pertama Hijriah muncul pula kaum Khawarij yang mengkafirkan orang muslim yang mengerjakan dosa besar, walaupun pada mulanya mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib, akhirnya memisahkan diri karena alasan politik. Sedangkan kelompok yang tetap memihak kepada Ali membentuk golongan Syi’ah.

4.      Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Daulah Abbasyiah.

Masa ini merupakan zaman keemasan dan kecemerlangan Islam, ketika terjadi hubungan pergaulan dengan suku-suku di luar arab yang mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan. Usaha terkenal masa tersebut adalah penerjemahan besar-besaran segala buku Filsafat.
Para khalifah menggunakan keahlian orang Yahudi, Persia dan Kristen sebagai juru terjemah, walaupun masih ada diantara mereka kesempatan ini digunakan untuk mengembangkan pikiran mereka sendiri yang diwarnai baju Islam tetapi dengan maksud buruk. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran yang tidak dikehendaki Islam.
Dalam masa ini muncul polemik-polemik menyerang paham yang dianggap bertentangan. Misalnya dilakukan oleh ‘Amar bin Ubaid Al-Mu’tazili dengan bukunya “Ar-Raddu ‘ala Al-Qadariyah” untuk menolak paham Qadariyah. Hisyam bin Al-Hakam As-Syafi’i dengan bukunya Al-Imamah, Al-Qadar, Al-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah” untuk menolak paham Mu’tazilah. Abu Hanifah dengan bukunya “Al-Amin wa Al-Muta’allim” dan “Fiqhu Al-Akbar” untuk mempertahankan aqidah Ahlussunnah. Dengan mendasari diri pada paham pendiri Mu’tazilah Washil bin Atha’, golongan Mu’tazilah mengembangkan pemahamannya dengan kecerdasan berpikir dan memberi argumen. Sehingga pada masa khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Wasiq, paham mereka menjadi mazhab negara, setelah bertahun-tahun tertindas di bawah Daulah Umayyah. Semua golongan yang tidak menerima Mu’tazilah ditindas, sehingga masyarakat bersifat apatis kepada mereka. Saat itulah muncul Abu Hasan Al-‘Asy’ary, salah seorang murid tokoh Mu’tazilah Al-Jubba’i menentang pendapat gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dia berpandangan “jalan tengah” antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mu’tazilah. Usaha ini mendapat dukungan dari Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain al-Juaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya.
Usaha para mutakallimin khususnya Al-Asy’ary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya “Fushush Al-Maqal fii ma baina Al-Hikmah wa Asy-Syarizati min Al-Ittishal” dan “Al-Kasyfu an Manahiji Al-Adillah”. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mu’tazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu diserap oleh akal orang awam. Sudah barang tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat.
Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat karena jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.

5.      Perkembangan Ilmu Tauhid Di Masa Pasca Daulah Abbasyiah.

Sesudah masa Bani Abbasiyah datanglah pengikut Al Asy‘ari yang terlalu jauh menceburkan dirinya ke dalam falsafah, mencampurkan mantiq dan lain-lain, kemudian mencampurkan semuanya itu dengan ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan oleh Al Baidlawi dalam kitabnya Ath Thawawi dan Abuddin Al-Ijy dalam kitab Al-Mawaqif. Madzhab Al-Asy‘ari berkembang pesat kesetara pelosok hingga tidak ada lagi madzhab yang menyalahinya selain madzhab hambaliyah yang tetap bertahan dalam madzhab salaf, yaitu beriman sebagaimana yang tersebut dalam alquran dan al hadits tanpa mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits itu.
Pada permulaan abad kedelapan hijriyah lahirlah di Damaskus seorang ulama’ besar yaitu Taqiyuddin Ibnu Taimayah menentang urusan yang berlebih-lebihan dari pihak-pihak yang mencampur adukkan falsafah dengan kalam, atau menentang usaha usaha yang memasukkan prinsip-prinsip falsafah ke dalam akidah islamiyah.
Ibnu Tamiyah membela madzab salaf ( sahabat, tabi’in dan imam-imam mujahidin) dan membantah pendirian-pendirian golongan al asy’ariyah dan lain-lain, baik dari golongan rafidhah, maupun dari golongan sufiyah. Maka karenanya masyarakat islam pada masa itu menjadi dua golongan, pro dan kontra, ada yang menerima pandapat pendapat ibnu taimiyah dengan sejujur hati, karena itulah akidah ulama’ salaf dan ada pula yang mengatakan bahwa ibnu taimiyah itu orang yang sesat.
Jalan yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah ini diteruskan oleh muridnya yang terkemuka yaitu Ibnu Qayyimil Jauziyah. Maka sesudah berlalu masa ini, tumpullah kemauan, lenyaplah daya kreatif untuk mempelajari ilmu kalam seksama dan tinggallah penulis-penulis yang hanya memperkatakan makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat dari kitab-kitab peninggalan lama.
Kemudian diantara gerakan ilmiah yang mendapat keberkahan dari Allah, ialah gerakan al iman Muhammad ‘Abduh dan gurunya jmaluddin Al-Afghani yang kemudian dilanjutka oleh As-Said Rosyid Ridla. Usaha-usaha beliau inilah, yang telah membangun kembali ilmu-ilmu agama dan timbullah jiwa baru yang cenderung untuk mempelajari kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya. Anggota-anggota gerakan ini dinamakan salafiyyin.

B.     Pertumbuhan Dan Perkembangan Aliran-Aliran Dalam Ilmu Tauhid/Kalam

Awal mula munculnya masalah teologi dalam Islam memang fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah  ke  dalam  beberapa  firqah (kelompok / golongan) adalah persoalan politik. Dari masalah ini kemudian lahir berbagai kelompok dan aliran teologi dengan pandangan dan pendapat yang berbeda. Namun pertentangan yang tampak dalam ilmu tauhid adalah penggunaan dalil serta penafsirannya. Ada kelompok yang hanya memandang dalil dari sisi tekstual, ada yang mencoba menafsirkan dalil dengan pendapat mereka dengan menggunakan ilmu filsafat, dan ada pula yang mencoba mencari jalan tengah dengan penalaran dalil melalui filsafat yang masih terbentengi dengan dalil-dalil yang lain. Sehingga, dari tiap kelompok terdapat keyakinan yang berbeda dalam menentukan sikap dalam berdalil. Bagi kelompok yang hanya memandang dalil secara tekstual, akan menganggap kelompok lain yang menggunakan filsafat telah tersesat. Bagi yang menggunakan filsafat sebagai landasan hukumnya akan menganggap tidak bergunanya keilmuan tanpa adanya filsafat.
Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut berakibat munculnya golongan-golongan dalam Islam diantaranya :
1.       Khawarij
Khawarij adalah golongan yang memisahkan diri dari golongan yang mengikuti Ali bin Abi Tholib. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar dan belum sempat taubat ketika masih hidup maka dianggap kafir.
2.      Syi’ah
Adalah golongan yang setia terhadap Ali bin Abi Tholib. Mereka berpendapat bahwa yang berhak menggantikan nabi adalah Ahlul Bait. Diantara tokohnya adalah Zaid bin Ali dan Ja’far bin Shodik.
3.      Murji’ah
Selain khowarij dan syi’ah, pada masa ini juga muncul aliran lain yang memilih bersikap diam dan tidak mau memvonis siapakah yang salah antara golongan khawarij, syi’ah dan mu’awiyah. Mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tetap mu’min selama masih beriman pada Allah Swt. Dan Rasul-Nya. Adapun pertanggungjawaban dosa orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat kelak, Allah sendiri yang akan menentukannya.
Dalam masalah hakikat iman, kaum murji’ah meyakini bahwa seseorang yang dalam hatinya percaya kepada Allah Swt. Tetapi secara lahir menyembah berhala atau memeluk agama Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, ia akan tetap akan diperlakukan sebagai orang mu’min oleh Allah Swt. Dia akan mendapat ampunan atas perbuatan lahirnya dan akan dimasukkan ke dalam surga.
4.      Jabariyah
Golongan ini menyatakan bahwa, perbuatan manusia pada hakikatnya serba dipaksa (majbur). Manusia tidak mempunyai kebebasan memilih dan berbuat, karena perbuatan manusia sepenuhnya diatur oleh Allah.Orang yang pertama kali mengenal faham ini adalah Ja’ad bin Dirham.
5.      Qodariyah
Aliran ini merupakan kebalikan dari paham jabariyah. Aliran qodariyah berpendapat bahwa, manusia mempunyai kekuasaan penuh atas perbuatannya. Pendiri aliran ini adalah Ma’bahah al-Junahi.Mereka berkeyakinan bahwa segala perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri. Allah tidak mempunyai hubungan dengan apa yang dilakukan oleh manusia sebelum perbuatan itu dikerjakan. Tapi nilai yang telah dikerjakan, maka pekerjaan tersebut baru diketahui dan mendapat penilaian dari Allah.
6.      Asy’ariyah
Golongan ini disebut juga dengan sebutan ahli sunah wal jama’ah. Aliran ini mempunyai tujuh prinsip pokok :
a)      Allah swt mempunyai sifat diluar zat-Nya dan bukan dzat Tuhan itu sendiri.         
b)      Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, maka Al-Qur’an bersifat qodim.
c)      Allah swt. Dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala manusia secara langsung, bagi mereka yang diizinkan.
d)     Perbuatan manusia telah diciptakan oleh Allah, meskipun dalam diri manusia juga terdapat potensi yang bisa digunakan manusia untuk menggerakkan hati dan badan dalam berbuat dan berusaha.Namun potensi tersebut bersifat terbatas dan tidak efektif.
e)      Manusia hanya wajib meyakini adanya Allah dan tidak wajib mengetahui hakikat Allah.
f)       Dosa seseorang tidak dianggap bisa mengkufurkan seseorang, selama muslim tersebut masih iman, hanya saja dikategorikan sebagai mu’min yang durhaka,  mengenai keputusan ada di tangan Allah.
g)      Allah adalah pencipta seluruh alam raya ini, karena itu Allah mempunyai kehendak mutlak untuk melakukan apa saja terhadap ciptaannya.[3]

2.    Awal mula munculnya masalah teologi dalam Islam memang fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah  ke  dalam  beberapa  firqah (kelompok / golongan) adalah persoalan politik.

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 8) : MENJADI SEORANG SUFI…



Setiap yang dilahirkan oleh manusia sama ada fikiran dan tindakannya adalah berpunca dari hati. Kalau baik hati, maka baiklah seluruh perbuatan dan pertuturan. Begitulah sebaliknya kalau hati jahat, maka jahatlah seluruh anggota badan.

Kedatangan Rasulullah SAW untuk memperbaiki akhlak manusia mendapat kejayaan kerana baginda berjaya mendidik hati manusia.

 Sebab itu, kalau kita mahu berjaya dalam melahirkan peribadi yang baik sama ada pada diri atau dalam masyarakat kita, maka pendidikan hati hendaklah difikirkan dahulu.

Tetapi bukan semua manusia faham dan nampak bagaimana dan apa kesan hati kepada perlakuan manusia. Sebab itu manusia masih gagal membina hidup aman damai kerana gagal memahami bagaimana untuk mendidik hati supaya menjadi baik. Manusia juga gagal untuk mengubat penyakit hati yang telah merosakkan seluruh perbuatan zahir seseorang.

Oleh kerana itu manusia cukup sensitif dengan penyakit zahir tetapi tidak ambil pusing dengan penyakit batin. Penyakit bati yang dimaksudkan ini bukanlah penyakit jantung atau barah tetapi adalah penyakit mazmumah seperti riak, angkuh, dengki, ego, tamak, pemarah dan lain-lain lagi. Tidak ada alat x-ray yang dapat mengesan penyakit mazmumah kecuali ilmu tasawuf dan didikan dari seorang guru sufi.

Sebab itu kepentingan ilmu tasawuf dan pendidikan sufi  amat penting sekali demi menjamin kebahagiaan hidup manusia. Jadi, orang yang bercita-cita dan berazam untuk membersihkan hatinya dengan mengikut panduan ilmu dan didikan guru tasawuf, sebenarnya sedang menempuh jalan tasawuf.

Sekarang kita paparkan beberapa kisah ahli sufi yang jika kita ingin mengikut jejak ahli sufi maka ikutilah mereka. Kalau hendak menjadi seorang sufi jadilah seperti Nabi Musa yang memakai pakaian yang sederhana tetapi berani berhadapan dengan Firaun yang memakai pakaian maharaja. Atau jadilah seperti Nabi Sulaiman yang menjadi raja besar dengan segala kemewahan dan kekuasaan tetapi makanan hariannya cuma roti kering.

Satu ketika Nabi Sulaiman sedang melayang di atas tikar terbang diiringi oleh pengawalnya dari kaum jin. Datang peringatan dalam hatinya.  Jika dalam hatinya ada sebutir debu dari rasa takbur nescaya dia akan dibenamkan ke dasar bumi sedalam tingginya dia terbang di udara. Malah pernah Nabi Sulaiman berkata: “Satu kalimah Subhanallah lebih berharga bagiku dari segala dunia dan isinya.”

 Menjadi orang sufi ertinya sanggup memikul tugas besar seperti Nabi Yusuf yang telah menjadi menteri Perbendaharaan. Baginda menyimpan makanan yang cukup selama tujuh tahun untuk berdepan dengan musim kemarau. Bukanlah dipanggil orang sufi jika menjadi masalah kepada masyarakat dan hidup dengan meminta belas kasihan dari orang ramai.

Seorang sufi bukanlah orang yang memutuskan nafsunya seperti seorang sami Buddha tetapi dia sanggup mengawalnya seperti Nabi Yusuf ketika berhadapan dengan godaan Zulaikha. Seorang sufi juga mesti sanggup menahan rasa sakit sepertimana Nabi Ayub, menahan penderitaan walaupun hanya tinggal hati dan lidahnya sahaja yang masih tidak dijangkit penyakit.

Apabila ditanya orang mengapa baginda tidak berdoa meminta sihat sedangkan baginda seorang Nabi yang makbul doanya. Lantas baginda berkata: “Aku malu untuk berdoa  pada Allah kerana aku baru ditimpa sakit selama dua tahun sedangkan Allah memberi aku sihat selama enam puluh tahun.”

Seorang sufi bukanlah orang yang lari daripada kemungkaran masyarakatnya tetapi dia adalah orang yag berjuang menegakkan makruf di tengah banjir kemungkaran. Kalaupun mereka lari, adalah dengan niat untuk membina kekuatan sebagai persediaan untuk kembali ke tengah gelanggang perjuangan. Seorang sufi adalah orang yang sanggup menurut jejak Nabi Ibrahim.

Baginda sanggup dibakar kerana meruntuhkan berhala pujaan Namrud dan rakyatnya. Jadilah pemimpin yang mempunyai jiwa sufi seperti Nabi Zulkifli yang tahan berhadapan dengan karenah pengikutnya. Atau milikilah kehebatan seperti Nabi Isa  A.S. yang sanggup berbantalkan lengan ketika tidur di malam hari.

 Itulah hidup sufi yang dituntut oleh Allah pada kita untuk dimiliki. Syukur berhadapan dengan nikmat, sabar berhadapan dengan ujian, berani berhadapan dengan kezaliman, tawadhuk bila berhadapan dengan kebenaran dan dalam apa juga keadaan sekalipun hati tetap sama dan tenang tanpa cacat atau berubah.
Menjadi seorang sufi bukanlah mengalah pada semua  suasana dalam berhadapan dengan kekufuran, tetapi sufi sebenar sanggup berperang seperti peribadi Nabi Muhammad SAW yang ada kalanya berbicara dengan pedang apabila kata-kata gagal menahan serangan fizikal orang-orang Musyrikin.

Seorang sufi juga bukan orang yang lari daripada harta ketika diperlukan untuk mengendalikannya tetapi menjadi seperti Abdul Rahman bin Auf yang bertindak sebagai “bank” kepada masyarakat Islam. Namun jangan sampai ditawan oleh dunia seperti Tsa’labah. Seorang sufi juga adalah orang yang licin mengintip musuh seperti Abu Huzaifah ataupun mempunyai kepakaran strategi peperangan seperi Salman Al Farisi yang menjadi “master-mind” dalam Peperangan Khandak.

Nah, itulah peribadi contoh jika kita hendak mengikut jalan-jalan sufi. Bukan seperti sangkaan orang sekarang yang meletakkan hidup sufi sebagai hidup yang hina.  Pada sangkaan setengah orang, sufi menjadikan seseorang lepas bebas dari masyarakat sekelilingnya. Bila disebut sufi orang akan membayangkan seorang yang berjanggut dengan pakaian yang  buruk duduk tersepuk di mihrab-mihrab masjid menggetil tasbih.

Makanannya disedekahkan orang, sementara dia duduk sendirian mencari Tuhannya dalam ‘khalwat’ dan zikirnya. Bukan itu cara hidup sufi, kerana bukan seperti itu hidup para Rasul, Nabi dan para sahabat zaman dahulu!

Bukan itu yang dinamakan sufi. Kerana bukan itu cara hidup tokoh-tokoh sufi yang telah kita paparkan tadi. Walaupun tangan orang sufi selalu menggetil tasbih tetapi tangan itu juga sanggup memegang cangkul untuk bertani, tangan itu sanggup memegang pena untuk memerangi kebatilan dan ada masanya tangan itu juga sanggup memikul senjata memerangi kekufuran.

 Semudah memetik biji-biji tasbih di dalam zikirnya, maka semudah itu jugalah ia mentadbir dunia ayang diamanahkan padanya. Kerana apa? Kerana hati yang berpaut pada Allah boleh mengendalikan apa sahaja dengan mudah dan berjaya

Rasulullah SAW sebelum berjaya menegakkan Islam telah melalui banyak ujian dan segala ujian itu sebenarnya menyuburkan jiwa sufi baginda. Rasulullah diuji menggembala kambing sebelum berjaya memimpin manusia. Rasulullah tetap sujud ketika dilonggokkan dengan perut unta yang busuk sebelum berjaya meruntuhkan berhala-berhala di sekeliling Kaabah.

Bermula dari dua buah gua iaitu gua Hira’ dan gua Thur maka bangkitlah satu kekuatan Islam yang menguasai dua pertiga dunia. Mana pejuang-pejuang sufi seperti peribadi mereka itu kini? Mana lambang pusat latihan kerohanian (gua-gua) yang tegak di zaman moden kini? Mana sekolah-sekolah latihan sufi yang sanggup mencabar sistem pendidikan sekular (penyambung lidah penjajah)? InsyaAllah, semuanya mula kelihatan mercup tumbuh sekarang.

Sesungguhnya kita memerlukan jiwa sufi yang dapat menggunakan kemodenan zaman ini untuk Islam. Orang-orang sufi mesti bangun menggunakan jentera-jentera moden, komputer, alat-alat elektronik dan segala gajet teknologi yang “sophisticated” untuk memperjuangkan Islam.

Pertahankanlah peribadi sufi yang kukuh pendirian, hidup berdisiplin dan boleh berada dalam kemewahan sedangkan hati sedikit pun tidak terpaut dengannya. Boleh menanggung derita tetapi jiwanya tidak keluh kesah. Maka jika kita mahu jadi orang sufi jadilah seperti mereka itu.

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 7) : Kaum Sufi Di Zaman Rasulullah s.a.w



Ahli suffah merupakan satu kumpulan sahabat Rasulullah s.a.w yang daripada mereka dikatakan bermulanya aliran sufi atau tasauf. Mereka dikenali sebagai golongan miskin yang menumpang tinggal di beranda masjid Rasulullah s.a.w di kota Madinah. Perbelanjaan mereka ditanggung oleh orang ramai. Mereka terdiri daripada golongan yang tidak memiliki apa-apa, lemah dan tiada kemahiran dalam urusan kehidupan harian. Walaupun keadaan ahli suffah yang demikian kaum Muslimin tidak menganggapkan mereka sebagai beban. Kaum Muslimin yang berkemampuan dengan ikhlas hati memberi bantuan kepada golongan yang lemah itu.

Apabila perkembangan Islam telah pesat ternyata peranan ahli suffah sangat penting. Tindakan Rasulullah s.a.w menyediakan tempat di beranda masjid baginda s.a.w untuk satu puak yang menjadi ahli masjid merupakan satu tindakan yang sangat berhikmah. Ahli suffah yang juga ahli masjid Rasulullah s.a.w merupakan kumpulan yang paling hampir dengan baginda s.a.w. Mereka yang mula-mula mendengar pengajaran Rasulullah s.a.w. Mereka sentiasa hadir di dalam majlis baginda s.a.w. Mereka mempelajari al-Quran secara langsung daripada Rasulullah s.a.w. Peranan mereka adalah umpama kutubkhanah yang menyimpan segala macam pengajaran Nabi Muhammad s.a.w. Mereka hanya menceburi satu bidang sahaja dalam kehidupan ini, iaitulah bidang ilmu Rasulullah s.a.w. Dari kalangan mereka terdapat orang-orang yang sangat mendalam pengetahuan mereka tentang agama Islam. ‘Khazanah ilmu agama' itulah yang memainkan peranan penting sebagai mubaligh yang menyampaikan ajaran Islam kepada kaum Muslimin yang tidak sempat hadir di dalam majlis Rasulullah s.a.w dan juga kepada mereka yang baharu memeluk agama Islam. Ahli suffah, ahli masjid Nabi s.a.w atau ahli sufi pada zaman Rasulullah s.a.w merupakan golongan yang bekerja di dalam bidang ilmu sepanjang masa. Mereka merupakan gedung ilmu dan juga penyebar ilmu. Al-Quran memberikan perhatian istimewa kepada ahli suffah, ahli masjid Nabi s.a.w, ahli sufi atau ahli ilmu itu. Allah s.w.t memperakui kepentingan sumbangan mereka kepada perkembangan agama-Nya.

Untuk orang-orang faqir yang telah terikat pada jalan Allah, yang tidak sanggup lagi berusaha pada bumi, disangka oleh orang-orang yang tidak tahu bahawa mereka adalah puak yang berada, dari sangat mereka menahan diri. Engkau dapat mengenal mereka daripada tanda mereka. Mereka tidak meminta-minta kepada manusia dengan memaksa-maksa. Maka apa pun harta yang kamu belanjakan sesungguhnya Allah amat Tahu. ( Ayat 273 : Surah al-Baqarah )

Dan tidaklah (patut) orang-orang yang beriman itu turut (ke medan perang) semuanya. Tetapi alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka satu kelompok; supaya mereka memberi ancaman kepada kaum mereka apabila mereka kembali kepada kaum mereka, supaya mereka berhati-hati. ( Ayat 122 : Surah at-Taubah )

Ahli suffah atau ahli sufi pada zaman Rasulullah s.a.w merupakan orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak berkehendakkan apa-apa kecuali Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Mereka dikenali sebagai faqir yang terikat pada jalan Allah s.w.t. Jalan Allah s.w.t bukan semata-mata berperang mengangkat senjata. Memelihara al-Quran dan al-Hadis juga merupakan jihad yang besar. Perkembangan Islam yang pesat memerlukan tenaga yang khusus dalam bidang tersebut. Urusan memelihara ilmu agama sangat penting. Jika tenaga khusus itu disalurkan kepada bidang pekerjaan harian maka urusan pemeliharaan ilmu agama akan terjejas, sedangkan ianya sangatlah penting bagi perkembangan agama. Al-Quran menganjurkan agar sebahagian daripada umat Islam tidak keluar berperang. Jihad bagi golongan yang dibenarkan tidak keluar ke medan perang itu adalah memperdalamkan dan mengembangkan ilmu agama. Tuhan telah memberikan garisan pembahagian tugas dalam pembangunan masyarakat dan perkembangan agama. Berperang mengangkat senjata dan berjuang mengembangkan ilmu agama sama-sama mendapat penghargaan dari Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: "Manusia yang paling hampir dengan darjat Kenabian adalah ahli ilmu. Ahli ilmu menunjukkan kepada manusia apa yang dibawa oleh Rasul. Ahli jihad pula berjuang dengan pedang mereka membawa apa yang dibawa oleh Rasul". Baginda s.a.w juga bersabda yang bermaksud: "Pada hari kiamat tinta ulama ditimbang dengan darah syuhada".

Ahli sufi pada zaman Rasulullah s.a.w merupakan orang-orang yang menyediakan diri mereka semata-mata untuk Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Mereka berfungsi sebagai penyimpan ilmu al-Quran dan Hadis dan juga segala jenis ilmu agama. Mereka memancarkan ilmu-ilmu tersebut ke seluruh pelusuk muka bumi. Inilah dasar yang perlu diperhatikan dalam memperkaitkan ahli suffah dengan ahli sufi yang datang kemudian.

Jihad yang paling besar adalah jihad mengangkat senjata dan orang yang mati kerananya memperolehi syahid. Pekerjaan yang begitu besar dan mulia dikecualikan daripada ahli ilmu sepenuh masa, apa lagi pekerjaan yang berhubung dengan urusan mengisi perut. Pada zaman Rasulullah s.a.w, puak yang bekerja khusus dalam bidang ilmu agama itu ditanggung oleh pemerintah, iaitu Rasulullah s.a.w sendiri.

Oleh kerana ahli ilmu itu tidak melibatkan diri dalam urusan mencari rezeki, maka mereka tidak dapat mengecapi kemewahan dan kesenangan. Mereka hidup di dalam kefaqiran. Mereka faqir pada pandangan dunia tetapi kaya dengan ilmu Tuhan dan Rasul-Nya. Lidah dan pena mereka adalah pedang jihad mereka. Ilmu yang mereka pelajari dan sebarkan itulah darah syahid mereka. Rasulullah s.a.w memperakui bahawa golongan demikian sebagai kumpulan yang paling hampir dengan darjat kenabian. Ilmu mereka adalah percikan ilmu nabi-nabi. Rohani mereka adalah cermin jernih yang menerima pancaran cahaya kenabian. Golongan seperti ini akan dihantarkan Tuhan dari masa ke masa pada setiap zaman. Tugas mereka adalah memperbaiki kerosakan yang berlaku pada ilmu agama, terutamanya dalam perkara akidah.

Kerajaan Islam yang diasaskan oleh Rasulullah s.a.w bermula di Madinah. Semakin besar kerajaan Islam semakin besar dan berat tugas yang dipikul oleh Rasulullah s.a.w. Baginda s.a.w dibantu oleh empat orang ‘Menteri Kanan'. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Siapa pula ‘kakitangan kerajaan' yang membantu Rasulullah s.a.w dan ‘Menteri-menteri' baginda s.a.w? Mereka adalah ahli suffah yang bekerja sepenuh masa untuk Rasulullah s.a.w. Kebanyakan daripada masa baginda s.a.w dihabiskan di dalam masjid. Pengajaran, perancangan, strategi, polisi, wawasan dan lain-lain keluar daripada Rasulullah s.a.w dan disebarkan oleh ahli suffah. Mereka menyampaikan berita yang Rasulullah s.a.w mahu sampaikan kepada kaum Muslimin. Ahli suffah yang bergerak mempastikan latihan ketenteraan berjalan dengan teratur sebagai persiapan mempertahankan agama dan negara Islam. Ahli suffah yang mengatur pembuatan senjata-senjata perang seperti baju besi dan pedang. Ahli suffah juga menggerakkan kaum Muslimin mempersiapkan unta dan kuda mereka supaya apabila diperlukan semuanya berada dalam keadaan siap sedia. kehadiran ahli suffah, ahli masjid Nabi s.a.w atau ahli sufi itulah yang memudahkan Rasulullah s.a.w mentadbir negara Islam dari dalam masjid baginda s.a.w. Ketika bilangan tentera Islam masih sedikit, ahli suffah ikut serta berperang. Jadi, ahli suffah adalah satu kumpulan yang sangat aktif bekerja untuk Allah s.w.t dan Rasul-Nya tanpa gaji. Apa yang Rasulullah s.a.w berikan itulah bahagian mereka bagi menyara kehidupan mereka. Mereka reda dengan yang demikian. Mereka lebih suka nama mereka tidak dikenali kerana mereka tidak mencari nama dan kebesaran. Apa yang mereka cari hanyalah keredaan Allah s.w.t dan Rasul-Nya.

KUNCI MENGENAL ALLAH BAB 1 (BAHAGIAN 6) Ilmu Kerohanian Sebagai Kunci Untuk Mengenal Tuhan.



Ghazali berkata dalam bukunya: “Kimyaussaadah” : “Bahwa Ilmu Kerohanian (kebatinan) dengan sifat-sifatnya itulah yang merupakan kunci kearah mengenal Tuhan”.

Jika kita memperhatikan kehidupan Nabi Muhammad dalam mencapai Hakekat Ketuhanan, baik ia sebelum dan sesudah beliau menjadi Rasul, maka dapatlah kita melihat Nabi Muhammad sebagi seorang shufi. Pada suatu hari Nabi Muhammad s.a.w. terletak keletihan diatas sepotong tikar daun korma. Tatkala Ibnu Mas’ud seorang shabat setia kepada beliau mencucurkan air matanya karena seorang yang telah memiliki hampir seluruh Jazirah Arab dan dimuliakan oleh Allah, demikian penderiaannya dalam kehidupannya. Ibnu Mas’ud mengatakan kepada beliau apakah tidak perlu mencarikan bantal untuk tempat meletakkan kepala Nabi yang mulia itu?
Maka beliau melihat kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata: “Tidak ada hajatku untuk itu, aku ini laksana seorang musyafir di tengah-tengah padang pasir yang luas dalam panas terik yang bukan kepalang aku menemui sebuah pohon yang rindang. Oleh karena aku letih, aku rebahkan diriku sesaat untuk istirahat dengan niat kemudian aku berjalan lagi kembali untuk menyampaikan tujuanku menemui Tuhanku”.

Nabi Muhammad hidup sebagai Shufi sebelum dan sesudah menjadi Nabi. Sebelum beliau menjadi Rasul.

Muhammad suka menyendiri, berkhalwat atau bersamadi di Gua Hira. Disana ia melatih diri mengasah jiwanya, ia bertekun, berjihad, tafakkur, berfikir, ia memperhatikan keadaan Alam dan susunannya, memperhatikan segala-galanya dengan mata hatinya. Dengan demikian, pandangan lahir dan bathinnya menjadi sangat bersih dan suci.
Demikianlah maka kepribadiannya menjadi sempurna. Sekalipun Muhammad adalah manusia seperti kita juga, tetapi Qalbu yang ada padanya sangat luar biasa bersihnya dan sucinya, sehingga dapat lekas menerima dan merasa apa yang bersifat suci, karena itu maka Muhammad layak menerima “wahyu” dari Tuhan Yang Maha Suci. Firman Allah dalam Qur’an (S. Asysyura 52).
yang artinya :
“Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu Muhammad wahyu dengan perintah aku. Sebelumnya, kamu Muhammad tidaklah kamu mengetahui apa itu “Qur’an” dan tidak pula kamu mengetahui apa itu “Iman”, tetapi aku jadikan Qur’an itu “Nur” cahaya yang aku beri petunjuk dengan dia siapa-siapa yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu Muhammad adalah kamu diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Asysyura 52).

Wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam “Gua Hira” sejak dari perintah membaca “IQRA” sampai perintah sujud “WASJUD” dan takarrub “WAQTARIB” mendekatkan diri kepada kepada Allah. Itu tidak lain isinya daripada ajaran-ajaran didikan rohani yang diperoleh Rasulullah s.a.w. dalam hidup kerohanian.

Setelah beliau menjadi Rasul :

Setelah Muhammad menjadi Rasul, sesudah sering mengasingkan diri (zuhud) di Gua Hira iapun meneruskan perjuangan beliau (mujahadah), mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah) beliau berzikir, bertaubat/istighfaar, bersolat tahajjud sampai jauh malam (mukasyafah) bermunajat dengan Tuhan dalam tingkat Musyahadah dan Mukasyafah yang dengan jalan ini beliau dapat mencapai hakekat Ketuhanan.