Selasa, 12 Februari 2013

TOKOH SUFI AGUNG DAUD ATH THA’I KE 3 :TANGISAN DAUD ATH THAI’



Abdullah bin Abdirrahman as-Sulami mengabarkan, Abul Qasim al-Husaini menuturkan, Rasya bin Nadzif al-Muqri menuturkan, al-Hasan bin Isma’il menuturkan, Ahmad bin Marwan menuturkan, Muhammad bin Hatim al-Baghdadi menuturkan, “Aku mendengar al-Hamani berkata, ‘Permulaan taubat Daud ath-Tha’i adalah ketika memasuki suatu pekuburan. Ia mendengar seorang wanita di sisi kubur berucap, 

Tinggal seterusnya hingga Allah membangkitkan makhlukNya
Perjumpaan denganMu tidak diharapkan padahal Engkau sangat dekat
Kehancuran terus bertambah pada setiap siang dan malam
Dilalaikan sebagaimana dihancurkan, padahal Engkau sangat mencintai’
.”
 
Abu Nu’aim berkata, “Daud datang dari Sawad dalam keadaan tidak memahami masalah agama. Kemudian ia terus belajar dan beribadah hingga menjadi tokoh penduduk Kufah.”
Yusuf bin al-Asbath berkata, “Daud menerima warisan sebanyak 20 dinar dan ia memakannya selama 20 tahun.” Abu Nu’aim berkata, “Daud biasa minum remukan roti yang dicampur air dan tidak makan roti. Lama antara mengunyah roti dan minum roti yang dicampur air seperti membaca 50 ayat. Suatu hari sese-orang datang kepadanya seraya berkata, ‘Di atap rumahmu ada genteng yang sudah pecah.’ Ia menjawab, ‘Wahai keponakanku, aku di rumah ini sudah 20 tahun dan aku tidak pernah melihat atap rumah’.” 

CATATAN:
Daud bin Nashir ath-Tha’i adalah seorang ahli fiqih panutan, seorang zahid dari Kufah, salah seorang wali, meninggal pada tahun 162 H.

Senin, 11 Februari 2013

WEJANGAN SYEIKH SUFI AHMAD AR-RIFA’I KE 1 : MUSIBAH BATIN ITU HIJAB



Musibah Batin itu Hijab 

Syeikh Ahmad ar-Rifa'y (PENGASAS TAREKAT RIFAIYYAH)

Sesungguhnya Nabi saw, bersabda:

“Perbuatan-perbuatan baik bisa menjaga serangan keburukan, dan sesungguhnya sedekah rahasia itu bisa meniup api amarah Tuhan, dan sebgenarnya sillaturrahim itu menambah usia dan menghapus kemiskinan.” (Hr Thabrani)

Dalam hadits yang mulia ini ada pelajaran aklaq mulia, dimana kaum arifin membubung menuju Rabbnya. Sebab asas dari ma’rifat adalah Makarimul Akhlaq (semulia-mulianya akhlaq), sedangkan akhlaq buruk, adalah – na’udzubillah – adalah wujud terhijabnya rahasia batin dari Allah Ta’ala.

Anak-anakku sekalian. Diantara musibah rahasia batin terbesar adalah terhijabnya kita dari Allah swt. Maka siapa pun yang mendapatkan musibah seperti, pada dasaranya ia telah menggabungkan musibah-musibah lainnya. Sang pecinta itu senantiasa mabuk Ilahi, sang pemabuk tak akan merasakan derita musibah ketiba mabuk , baru disaat sadar merasakan deritanya.

Musibah terhijab dari Allah swt tak bisa diganti atas kehilangannya selamanya, kecuali dengan menepiskan segala hal selain Allah swt, dari rahasia batin kita. Tak ada ancaman lebih serius di dalam Al-Qur’an dibanding ayat ini:
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.”

Betapa banyak orang yang taat tetapi terhijab dari Yang Ditaati (Allah swt.). Betapa banyak orang yang dapat nikmat tapi terhijab dari Sang Pemberi nikmat. Betapa banyak orang yang tidur, diberi rizki kesadaran bangun ketika ia sedang tertidur. Betapa banyak orang yang sadar tertidur justru setelah ia bangun. Betapa banyak orang yang pendosa, justru diberi rizki kewalian dan meraih derajat Abrar. Betapa banyak orang zuhud yang gugur dari wilayahnya, dan menempuh jalan pendosa.


Hijab Itu Siksa Jauh Dari Allah SWT

Betapa banyak ahli amal yang terhijab gara-gara melihat amalnya, jauh dari memandang anugerah Allah swt, hingga matahatinya buta, lalu ia terlempar jauh, sementara ia menduga dirinya telah sampai (wushul) kepada Allah swt. Dan tidak ada yang lebih mengerikan dimata orang arif disbanding hijab itu sendiri, walau sekejab mata. Padahal siksa Allah swt, terbesar pada hamba adalah Hijab dan Terjauhkan dariNya.

Salah seorang hamba Allah swt, dikisahkan sedang bermunajat:

“Oh, Tuhanku, sampaikan kapan aku maksiat kepadaMu, sedangkan Engkau tak pernah menyiksaku?”. Kemudian Allah swt, menurunkan wahyu kepada sorang Nabi di kala itu, “Katakan kepadanya: “Sampai kapankah Aku menyiksamu, sedangkan kamu tidak mengerti? Bukankah engkau telah Aku tutup dari kelembutan-kelembutan kebahagiaanKu? Bukankah Aku telah mengeluarklan kemanisan munajat kepadaKu dari hatimu?!”

Abu Musa ra, pelayan Abu Yazid ra, mengatakan, “Suatu hari Syeikh abu Yazid memasuki suatu kota, kemudian massa banyak datang berjubal mengikutinya. Ketika abu yazid melihat mereka dan berjubalnya mereka, beliau mengatakan. “Ya Allah aku mohon perlindungan kepadaMu dari terhijab padaMu karena mereka. Dan aku mohon perlindungan kepadaMu dari hijabMu atas mereka, karena gara-gara aku.”
Semoga Allah merahmatinya, betapa banyak kesadaran itu, dan betapa benarnya Abu Yazid dengan Tuhannya, betapa besarnya kasih saying Abu Yazid pada sahabat-sahabatnya kaum muslimin.Ia menginginkan kebajikan dan pandangan yang benar bagi mereka, sebagaimana pada dirinya.
Ingatlah! Hai orang yang bergaul dengan massa, dan massa yang fanatik kepada anda. Hati-hati! Betapa banyak ketukan-ketukan sandal di sekitar tokoh sirna dari kepalanya? Betapa banyak hilang agamanya? Ya Allah selamatkan, Ya Allah selamatkan!

Manusia terbagi menjadi empat golongan:

1. Ada orang yang yang hatinya memandang tajam, dengan pandangan cahaya yaqin atas rahasia ciptaanNya dan keparipurnaan KuasaNya.
2. Ada orang yang yang akalnya tajam, memandang dengan cahaya kecerdasannya pada janji dan ancamanNya.
3. Ada orang yang rahasia batinnya (sirr) tajam, memandang setiap saat dengan cahaya ma’rifat kepada Allah swt.
4. Ada orang yang dijadikan oleh Allah swt, tertutup, tidak sama sekali bisa memandang, dan inilah yang disebut dalam ayat: “Dan siapa yang buta mata hatinya di dunia ini, maka di akhirat lebih buta dan lebih sesat jalannya.”

Ingatlah:

• Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
• Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa.
• Ahli ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya.

Bila Allah swt, menghailangkan hijab-hijab ini, mereka akan memandang dengan mata cahaya menuju cahaya, maka pada saat itulah mereka terhijab dari segala hal selain Allah swt.
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhijab dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.

Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhijab dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.

Terkadang seseorang terhijab dari manisnya ibadah, melalui memandang ibadahnya. Terkadang seseorang terhijab dari kebenaran kehendak, karena memandang manisnya ekstase.

Terkadang seseorang terhijab dari memandang Allah swt, Sang Pemberi anugerah, karena memandang anugerah itu sendiri.

An-Nasaj ra, mengatakan:
- Siapa yang memandang dirinya dalam ibadahnya, berarti tidak bisa bersih dari ujub!
- Siapa yang mermandang makhluk, ia tak akan bersih dari riya’!
- Siapa yang memandang taatnya, tak akan bersih dari tipudaya!
- Siapa yang memandang pahala tak akan pernah bersih dari hijab!
- Siapa yang memandang Rabb Ta’ala, maka itulah berada dalam posisi yang benar di sisi Tuhan Diraja Yang Kuasa.”

Abu Bakr bin Abdullah ra mengatakan, “Siapa yang sibuk dengan nuansa hikmah dan rahasia-rahasianya, maka ia akan terhijab dari hakikatnya. Dan aku tak pernah diperlihatkan maksiat yang lebih bahaya ketimbang melupakan Allah swt. dan penggantungan hati pada selain Allah swt.”
“Setiap hasrat dan dzikir pada selain Allah Ta’ala adalah hijab antara dirimu dengan Allah swt.”

Dalam hadits disebutkan:
“Betapa banyak kebajikan yang dilakukan seseorang yang tak ada keburukan baginya, justru lebih berbahaya padanya disbanding keburukan itu sendiri. Dan betapa banyak keburukan yang dilakukan seseorang yang tak ada kebajikan padanya, justru lebih bermanfaat padanya dibanding kebajikan itu sendiri.”

Maksudnya: “Kebajikan itu sebenarnya terpuji, dan keburukan itu tercela. Namun sepanjang seorang hamba dalam berbuat kebajikan masih melihat kebajikannya, maka ia berada di medan pamer dan kebanggaan. Dan sepanjang hamba dalam keburukan, namun ia masih melihat keburukan itu, berarti ia berada di medan remuk redam dirinya dan merasa sangat butuh padaNya. Padahal kondisi hamba dalam situasi sangat butuh pada Allah itu lebih baik.”

Abu Bakr as-Shiddiq ra mengatakan, “ Ya Allah aku mohon berlindungan padaMu dari syirik tersembunyi.” Sedangkan Rabi’ah ra, menegaskan, “Dunia telah menutupi penghuninya dari Allah swt. Seandainya mereka meninggalkannya pastilah tampak di alam malakutnya, lalu ia kembali dengan sariguna yang berfaedah.”

Sayyid Manshur ar-Rabbany ra, menegaskan, “Dengan apa sang hamba dikenal bahwa ia tidak terhijab dari Tuhannya?”. Ia menjawab, “Jika ia mencariNya dan ia tidak menuntut apa pun dariNya. Hamba menghendakiNya dan ia tidak berkehendak sesuatu dariNya. Dan Dia tidak memilih, karena menyerahkan pilihan padaNya, walau pun dipilihkan neraka oleh Allah swt. padanya.”

“Setiap orang yang di dalam hatinya tidak ada penetrasi Kharisma Ilahi, tidak ada cahaya cinta padaNya, tidak ada kemesraan kebersamaan denganNya, maka ia terhijab.” Tandasnya.

Katanya pula:

* Cukuplah buatmu ma’rifat itu, manakala engkau tahu bahwa Allah swt memandangmu. Dan cukuplah ibadah itu, bila Allah swt itu tidak butuh padamu.
* Cukuplah cinta itu bagimu, jika engkau tahu bahwa CintaNya mendahului cintamu padaNya.
* Cukuplah dzikir bagimu, bahwa DzikirNya mendahului dzikirmu.
* Hati ketika dilanda Kharisma Ilahi, segala hal berbau syahwat sirna.
* Ketika hati di hamparan ma’rifat, segala hal kealpaan sirna.
* Hati ketika didudukkan pada tempat Ketunggalan dengan Tunggal bagi Yang Tunggal, itulah tempat duduk yang benar.

PAPARAN TASAWWUF DALAM AL QUR’AN : RENUNGAN TENTANG KEDUDUKAN MANUSIA


Belajar dari Kisah Penciptaan Adam a.s.

Adam a.s. semasa dalam penciptaan: 1 . Q.S. Al-Baqarah [2 ] : 30-37

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada al-malaikat: “Aku hendak menjadikan khalifah di Bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan di Bumi yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan meng-kuduskan-Mu?” (Tuhan) bersabda: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dan Dia mengajarkan kepada Adam al-asma akullaha, lalu mengemukakan kepada al-malaikat, maka (kemudian) berfirman: “Sebutkan kepada-Ku asma-asma tersebut jika kamu adalah shidiqiin.”

Mereka menjawab: "Subhanaka, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan 
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah al-‘Alim al-Hakim.”
Allah berfirman: "Hai Adam, beritakanlah kepada mereka asma-asma tersebut." Maka setelah diberitakan kepada mereka asma-asma tersebut, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui yang ghayb dari lelangit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada al-malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk al-kafirin.
Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu al-jannah ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk adh-dhalimiin.

Lalu keduanya digelincirkan oleh asy-syaitan dari tempat semula dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".
Kemudian Adam menerima beberapa kalimah (sabda) dari Rabb-nya, maka Dia menerima taubatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat dan al-Rahim.

Manusia diciptakan dengan kedua belah tangan Tuhan:2

Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu takabur ataukah kamu (merasa) termasuk yang (lebih) tinggi?".
Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".

Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari sini; sesungguhnya kamu terkutuk,
sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai yaum ad-diin".
Iblis berkata: "Ya Rabb-ku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan".
Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi tangguh,
sampai kepada hari yang waktunya ditentukan".
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menjerumuskan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang al-mukhlasiin.

Kedudukan Malaikat:

Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu, dan sesungguhnya Kami benar-benar bershaf-shaf. Dan sesungguhnya kami benar-benar al-musabbihun.3
Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang al mala'ul a`la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan.4

Jasad dari Aspek Tangan Kiri Ilahi ; Nafs (Jiwa) dari Aspek Tangan Kanan Ilahi

…padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan lelangit digulung dengan tangan kanan-Nya 5...
Allah menggenggam lelangit di tangan kanan-Nya, sementara bumi di tangan kiri-Nya. Kemudian Dia akan mengguncangkan keduanya6
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di bumi dan Kami jadikan bagimu darinya (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.7

Hembusan (Nafakh) dari ruh-Ku

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah menghembuskan ke dalamnya dari ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.8
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kuhembuskan kedalamnya dari ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".9
  
Letak Keutamaan Insan Menurut Imam Al-Ghazali: 10

Ilmu (al-‘ilm) yang paling utama ialah mengetahui akan Allah, sifat-sifat-Nya dan tindakan-tindakan-Nya. Disinilah terletak kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaan inilah bergantung bagian dan kebaikan manusia di hadapan Tuhan Yang Agung dan Sempurna.
Jasad itu kendaraan dari an-Nafs. An-Nafs itu tempat ilmu dan ilmu itulah tujuan manusia dan hakikat dirinya, yang untuk itulah manusia diciptakan. …

Manusia dipandang dari segi bahwa ia makan dan berketurunan—maka ia sama dengan tumbuh-tumbuhan.
Dipandang dari segi bahwa ia merasa dan bergerak dengan ikhtiarnya sendiri, sama dengan binatang. Dipandang dari rupa dan bentuknya, ia sama dengan gambar yang dilukis pada dinding.
Letak keistimewaan manusia ialah karena ia dapat mengetahui hakikat segala sesuatu.

Barangsiapa mempergunakan semua anggota dan kekuatannya ke arah membantu mendapatkan ilmu dan mengamalkannya, maka ia serupa dengan malaikat; atau dengan kata lain ia menyusul martabat malaikat dan patutlah ia disebut malak. Sebagaimana firman-Nya: “Ini bukanlah seorang basyar, melainkan ia seorang malak yang mulia” (QS Yusuf [12]: 31).

 Di Al-Jannah, kemudian Turun ke Bumi, kemudian …

 QS. Thaahaa [20]: 115-126

115. Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.

116. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada al-malaikat: "Sujudlah kalian kepada Adam", maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang.

117. Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari jannah, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.

118. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.

119. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".

120. Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?"

121. Maka keduanya memakan dari pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya keburukan-keburukan keduanya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun jannah, dan durhakalah Adam kepada Rabb-nya dan sesatlah ia.

122. Kemudian Rabb-nya memilihnya maka Dia mentaubatkannya dan memberinya petunjuk.

123. Allah berfirman: "Turunlah kalian berdua dari jannah bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk (hudan) daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

124. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".

125. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah sungguh seorang yang melihat?"

126. Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".

 QS. Al A’Raaf [7]: 11-25

11. Dan sungguh Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam"; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud (al-saajidiin).

12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku perintahkan padamu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".

13. Allah berfirman: "Turunlah kamu dari situ; karena kamu tidak sepatutnya bertakabbur di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".

14. Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan".

15. Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh."

16. Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan halangi mereka dari shirath Engkau yang lurus,

17. kemudian saya akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka (sebagai) orang-orang yang bersyukur.

18. Allah berfirman: "Keluarlah kamu dari situ sebagai orang terhina lagi terusir. Barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dari (jenis) kalian semuanya".

19. (Dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di Jannah serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim (al-zaalimiin)".
20. Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka berdua, yaitu keburukan-keburukan mereka berdua, dan syaitan berkata: "Rabb kalian tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal".

21. Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya bagi kalian berdua adalah termasuk orang yang memberi nasehat (al-naashihiin)",

22. maka syaitan membujuk keduanya dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai pohon itu, nampaklah bagi keduanya keburukan-keburukan mereka berdua, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun jannah. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian berdua adalah musuh yang nyata?"

23. Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah zalim pada kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (al-khosiruun)".

24. Allah berfirman: "Turunlah kalian, sebahagian kalian menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kalian mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di bumi sampai waktu yang telah ditentukan".

25. Allah berfirman: "Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dikeluarkan.”

PAPARAN TASAWWUF DALAM AL QUR’AN : UMMUL KITAB DAN KITABUL MUBIN



Untuk mengenali struktur pesan dan format distribusi informasi dalam Al-Qur’an perlu dipaparkan konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin. Al-Fatihah sering diistilahkan sebagai ummul-kitab (induk kitab) dan surah-surah lainnya disebut sebagai kitabul-mubin (kitab penjelas/ perinci). Konsep ini paralel dengan konsep keturunan (genealogi).

Anak-anak yang berbeda-beda karakternya diturunkan dari Ibu dan Ayah yang sama. Perempuan dan laki-laki yang sama melahirkan anak yang bervariasi. Ada yang sangat cerdas, ada yang kurang cerdas, ada yang pemalu, ada yang pemberang. Tidak ada campur tangan orang lain di sana. Kendatipun demikian, keberbedaan dari anak yang kita lahirkan selalu kita pandang sebagai bagian dari diri kita sendiri. Demikianlah yang disebut sebagai “anak-anak menjelaskan orang tuanya”. Anak-anak dikatakan oleh seorang sufi sebagai kitabul mubin dari orang tuanya. Boleh jadi orang tua secara lahiriah baik-baik saja, sabar, sopan santun, dan intelektual; tapi tiba-tiba anaknya amat berkebalikan. Sebenarnya sang anak membuka sesuatu yang terpendam dalam batin si orang tua. Sebuah kebaikan atau kejahatan yang tersembunyi dalam orang tuanya akan dibuka, dirinci, dan diurai. 

Watak yang dibawa anak adalah watak orang tuanya, lahir dan batin, nampak atau tersembunyi. Seorang anak lahir dengan membuka khazanah batin orang tuanya. Sang orang tua mungkin dapat habis-habisan menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya, apakah itu kelicikannya, ataukah rasa iri-dengkinya sehingga nampak sebagai orang hebat; bahkan mungkin diembel-embeli gelar kiai atau ulama. Namun sang anak akan berbicara seperti apa adanya. Bagi orang tua si anak adalah seorang utusan, sebuah pemberitaan, “Wahai orang tuaku, seperti inilah engkau adanya”. Karena itu di dalam dunia perjalanan olah-jiwa, aspek batinlah yang ditata, dibersihkan, ditransformasi: agar kelak anak kita tidak menguji kita (dengan keburukan terpendam yang diturunkan).


Jika Al-Fatihah dikatakan sebagai ummul-kitab, maka dalam hemat kami hal yang paling penting dalam Al-Fatihah adalah Shirath al-Mustaqiim: puncak dan tujuan doa. Tentu saja tujuh ayat Al-Fatihah semuanya penuh dengan rahasia. Namun puncaknya di kalimat Shirath al-Mustaqiim yang bukan kebetulan ada di dalam sang ummul-kitab. Berkaitan dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin, maka ihwal Shirath al-Mustaqiim akan diterangkan dengan sangat elaboratif oleh seluruh surat dalam Al-Qur’an (dari Al-Baqarah sampai An-Naas) sebagai kitabul-mubin Al-Fatihah.

Dalam Al-Fatihah sendiri mulai Alhamdulillah (1: 2) sampai wala-adh-dhallin (1: 7), menjelaskan bismillahirrahmanirrahim. Sebuah kitab yang diulang-ulang. Apakah arti bismillahirrahmanirrahim pun telah kita pahami ? Apakah betul artinya “dengan nama Allah”, apa arti nama (asma), siapakah “Allah,” kenapa ada Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kenapa “Allah” tidak memilih nama lainnya semisal bismillahil ‘azizil hakim (dengan nama Allah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana) ? Mengapa Allah memilih Ar-Rahman dan Ar-Rahim untuk muncul dalam ummul kitab, padahal masih banyak asma Allah Ta’ala yang lainnya ? Jika kita masih tidak paham dengan hal ini boleh kita lihat sisa Al-Fatihah (sebagai kitabul-mubin ayat pertama), maka akan nampak sejak alhamdulillah hingga wala-dh-dhallin menjelaskan apa itu “Ar-Rahman Ar-Rahim.” Jika masih tidak paham juga maka kita dapat meneruskan membaca dari Al-Baqarah sampai An-Naas.

Al-Qur’an merupakan satu kitab yang diulang-ulang, diperinci terus ke bawah. Dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin maka ayat-ayat dalam Al-Qur’an akan saling mengunci dan menjelaskan. Seluruh ayat komplementer bagi yang lainnya. Andai hilang satu ayat, bahkan satu huruf, maka hancurlah tata susunan Al-Qur’an.

Bila kita menengok kepada istilah Shirath al-Mustaqiim yang tertera dalam (QS Al-Fatihah [1] : 6) dan ingin mencoba mencari bagaimana ia dijelaskan oleh ayat-ayat lainnya maka cobalah periksa ayat-ayat yang berkenaan dengan “shirath” dan “ni’mat” (sehubungan dengan Shirath al-Mustaqiim adalah jalan orang-orang yang diberi ni’mat). Dari QS Huud [11] : 56 sebelumnya kita telah mendapatkan bahwa Rabb ada di atas Shirath al-Mustaqiim. Selain itu juga ada ayat yang menjelaskan:

“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada Shirathim Mustaqiim, (yaitu) agama (Diin) yang benar, millah Ibrahim yang hanif ...” (QS Al-An’am [6] : 161).

Dari ke dua ayat di atas mulai terlihat adanya relasi antara “Shirath al-Mustaqiim” dengan agama (ad-Diin) dan di mana Rabb berada. Berkaitan dengan ni’mat dan Shirath al-Mustaqiim maka perlu ditilik runtutan ayat berikut:

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu (diyar)”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),

dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar (ajran ‘azhiman) dari sisi Kami,dan pasti kami tunjuki mereka kepada Shirath al-Mustaqiim,

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: para Nabi-Nabi, Shiddiqiin, Syuhada, dan Shalihiin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya

Yang demikian itu karunia (fadl) dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”
(QS An-Nisaa’ [4]: 66-70)

Ayat di atas menjelaskan tahapan-tahapan agar ditunjuki Allah Ta’ala kepada Shirath al-Mustaqiim. Bilamana seseorang hamba ingin bertaubat maka ia harus “membunuh dirinya” (mengalahkan hawa nafsunya) dan “keluar dari kampungnya” (mengalahkan syahwatnya). Jika sang hamba bergerak lebih jauh dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tak pelak lagi tuhan akan memberikan karunia-Nya: disertakan/ didampingkan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang-orang yang berada di Shirath al-Mustaqiim).

Mulai saat ini rasanya penting bagi kita untuk mendefinisikan ulang beberapa istilah umum yang selama ini kita pegang erat-erat, seperti, misalnya, istilah “nikmat” (ni’mat) ini. Jika kita ingin membicarakannya dalam konteks Al-Qur’an dan perjalanan menuju-Nya, sudah barang tentu tidak bisa dipersandingkan dengan istilah umum “nikmat” dan “kenikmatan” yang sekadar duniawiyah. Entah itu kenikmatan minum teh, rumah yang indah, jabatan yang baik, kenikmatan bekerja, pasangan yang cantik dan anak-anak yang cerdas, dan sebagainya. Al-Qur’an mengguratkan dengan tegas apa itu ni’mat yang sejati.

Rasulullah SAW, di depan para sahabat, di dalam satu riwayat, pernah menggaris di atas pasir. Dari garis tersebut ada cabang-cabang simpangan ke luar dari alur garis. Nabi SAW mengatakan bahwa garis tersebut adalah Shirath al-Mustaqiim; dan di luarnya ada syaithan yang menjaganya dan senantiasa menyimpangkan manusia agar terlempar darinya.


Dalam kisah penciptaan manusia ketika Allah Ta’ala memerintahkan segenap makhluk bersujud kepada Adam a.s. kemudian Iblis yang membangkang, terusir, dan terhukum berjanji:

“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari shirathaka-al-mustaqim (jalan Engkau yang lurus),kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”(QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17)

Kisah di atas menceritakan bagaimana gigihnya iblis menyimpangkan manusia dari Shirath al-Mustaqiim. Sang iblis akan melakukan manuver dari muka, belakang, kiri, dan kanan. Apakah maksudnya? Iblis akan menyimpangkan manusia dari muka dengan mempertakutinya akan masa depan, kekhawatiran apakah di masa yang akan datang akan tetap sejahtera dan terhormat atau tidak. Dari belakang, iblis akan membuat manusia menyesal akan kejadian dan pilihan-pilihan di masa lalu, bahkan merasa bahwa Tuhan yang Penyayang tak adil terhadap dirinya. Serangan dari sisi kanan dan kiri menggambarkan kesalahan manusia dalam menghadapi masa kini yang memprasangkai sesuatu pilihan sebagai kebaikan atau keburukan. Ketika ada seseorang yang tiba-tiba muak dan letih dengan kehidupan lantas terbetik ide bagaimana jika bertapa untuk menuju Tuhan; jalan-keluar yang seolah-olah tampak baik ini boleh-jadi merupakan bentuk serangan iblis dari sisi kanan.

Manusia harus bersih qalb-nya dari penyakit khawatir akan masa depan, menyesal dengan masa lalu, dan kesalahan menghadapi masa kini. Sudah menjadi tugas iblis untuk memberikan rasa waswas atau khawatir dalam dada anak manusia (QS An-Naas [114]: 5).

Kendatipun demikian, manusia harus menjadi putra sang waktu: mensyukuri apa yang ada di tangan kita hari ini, detik ini. Hal ini berkenaan dengan sikap ‘syukur’ yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17) berhubungan dengan Shirath al-Mustaqiim.