Sabtu, 09 Februari 2013

FIRASAT HAMBA ALLAH KASYAF. (BAH 3)



Dihikayatkan dari imam asy-Syafi’i dan Muhammad bin al-Hasan bahwa keduanya melihat seorang laki-laki sedang berjalan ke arah mereka, lalu masing-masing mereka menebak (MENEKA) pekerjaan orang tersebut. Kata imam asy-Syafi’i, “Dia itu seorang tukang kayu.” Muhammad bin al-Hasan berkata, “Dia itu seorang pandai besi.” Begitu orang itu mendekat, keduanya bertanya kepadanya mengenai pekerjaannya, maka ia menjawab, “Dulu profesiku pandai besi tapi sekarang sudah berprofesi sebagai tukang kayu.”

Seorang laki-laki yang dulunya pandai baca al-Qur’an bertanya kepada sebagian ulama, lalu mereka berkata kepadanya, “Duduklah, sebab aku mencium dari ucapanmu bau ‘kekufuran’.” Tak berapa lama setelah itu, orang tersebut muncul lagi, tapi sudah masuk agama Nasrani, wal ‘iyaadzu billah. Lalu ia ditanya, “Adakah ayat al-Qur’an yang masih kamu hafal?.” Ia menjawab, “Aku tidak hafal kecuali satu ayat saja, ‘Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim.’” (al-Hijr:2)

Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Di Masjid Haram Mekkah, aku melihat seorang laki-laki miskin yang tidak memiliki apa-apa dan hanya mengenakan pakaian yang menutup auratnya saja. Karena kondisinya itu, aku menghindarinya dan diriku jijik terhadapnya. Lalu ia memfirastiku seraya melantunkan firman Allah, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya.” (al-Baqarah:235) Maka aku pun menyesali atas sikapku tersebut dan memohon ampun kepada Allah. Lalu ia melantunkan ayat lagi, “Dan Dia-lah Yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan mema’afkan kesalahan-kesalahan…” (asy-Syura:25)

YANG DILIHAT HATI



Betapa Maha Adil-Nya sang Kuasa karena hanya melihat seseorang dari hatinya.

Hati…

Segalanya bermula dari sana. Jika ini tak bermakna, maka semuanya bernilai nol.

Misalkan tentang amal

    Innamal a’maalu bin niyyat, wainnamaa likullin riin maa nawaa. Sesungguhnya amal bergantung pada niat, dan sesungguhnya seseorang mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang ia niatkan.

Sebesar apapun amalan kita, tapi jika niatnya hanya ingin dilihat oleh orang lain, dipuji, (riya atau pamer diri) maka semua itu tak ada nilainya di mata Allah.

Namun betapa banyak pula amalan kecil yang menjadi besar karena disertai niat yang lurus dan bersih, ikhlas karena mencari ridlo Allah semata.

Allah lebih menyukai orang yang sholat sunnah di rumah, daripada di masjid karena khawatir timbul rasa riya jika melakukan sholat sunnah di masjid. Allah memberikan naungan kepada orang yang meneteskan air mata di tempat yang sepi karena takut kepada Allah. Hanya merasa ada dia dengan Allah dan terhindar dari pandangan manusia lain.

Ada sebuah hadist: (ini tidak sesuai redaksi yang sebenarnya) hanya menceritakan kembali bahwa ada manusia yang sudah bersusah payah menghafalkan dan mengajarkan Al-Quran, tapi amalannya tidak diterima karena ia berniat hanya ingin disebut sebagai ahli Quran di mata manusia. Ada pula yang sudah mengorbankan nyawanya berjihad di jalan Allah, bertempur habis-habisan, tapi nasibnya sama dengan orang pertama, dijungkirkan ke dalam neraka karena ia ingin disebut sebagap pahlawan. Amalan2 tersebut jelas jika dilihat oleh manusia, merupakan amalan yang besar dan sulit dilakukan. Tapi sekali lagi Allah tidak hanya melihat penampakkan dari luar, Dia Melihat maksud terdalam dari hamba-Nya yang melakukan amal.

    “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuhmu, tapi Dia Melihat hatimu”

Mungkin banyak di antara kita yang merasa telah banyak melakukan amalan besar, merasa sholeh, alim, tapi mari introspeksi diri kita kembali, apakah hati ini sudah benar-benar lurus, melakukan semuanya hanya untuk Allah, tidak ingin dilihat oleh siapapun, tidak ingin dipuji oleh siapapun.

    Sesungguhnya tanda-tanda kemunafikan jika seseorang menyukai pujian apa yang tidak ada pada dirinya.

Membersihkan hati lebih sulit dari membersihkan hal-hal yang lain, karena mungkin kita terbebas dari satu macam penyakit hati, namun masih ada lagi penyakit hati yang lain yang mungkin kita sendiri tidak menyadari bahwa itu adalah penyakit hati.

FUTUHUL GHAIB KE 47 : MAKNA DEKAT KEPADA ALLAH (SYAIKH ABDUL QADIR AL JILANI)



AJARAN KEEMPAT PULUH LIMA

MAKNA DEKAT KEPADA ALLAH

Seorang tua bertanya kepadaku dalam mimpiku: “Apa yang membuat seorang hamba Allah dekat kepada Allah?”
Aku berkata: “Proses ini berawal dan berakhir, awalnya yaitu kesalehan dan akhirnya yaitu keridhaan kepada Allah dan kepasrahan diri sepenuhnya kepada-Nya.”

FUTUHUL GHAIB KE 46 : BILA ALLAH KEHENDAKI... (SYAIKH ABDUL QADIR AL JILANI)



AJARAN KEEMPAT PULUH ENAM

BILA ALLAH KEHENDAKI ....

Nabi Suci saw. bersabda dari Rabnya:
“Barangsiapa senantiasa mengingat-Ku dan tidak sempat minta sesuatu pun dari-Ku, maka akan Kuberikan kepadanya yang lebih baik daripada yang Kuberikan kepada mereka yang meminta.”
Hal ini dikarenakan bila Allah menghendaki seorang mukmin bagi maksud-maksud-Nya sendiri, maka Ia melalukannya melalui aneka keadaan rohani, dan mengujinya dengan aneka upaya dan musibah. Lalu Ia membuatnya sedih setelah senang, dan membuatnya hampir minta kepada orang, sedang tiada jalan terbuka baginya; lalu menyelamatkannya dari meminta dan membuatnya hampir meminjam kepada orang.
Lalu Ia menyelamatkannya dari meminjam, dan membuatnya bekerja mencari nafkah dan memudahkan baginya. Maka hiduplah ia dengan perolehannya, dan hal ini selaras dengan sunnah Nabi.
Tapi, kemudian, Ia membuatnya sulit mendapatkan rezeki dan memerintahkannya, lewat ilham, untuk meminta kepada manusia. Inilah sebuah perintah tersembunyi yang hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Dan Ia membuat permintaan ini sebagai pengabdiannya dan berdosa melecehkannya, sehingga keangkuhannya pupus, kediriannya hancur, dan inilah pembinaan rohani. Permintaannya karena dipaksa oleh Allah, bukan karena kesyirikan. Lalu Ia menyelamatkannya dari keadaan begini, dan memerintahkannya untuk meminjam kepada orang, dengan perintah yang kuat yang tidak mungkin lagi dielakkan, sebagaimana halnya dengan keadaan meminta.
Lalu Ia mengubahnya dari keadaan ini, menjauhkannya dari orang dan hanya bertumpu pada permintaannya kepada-Nya. Maka ia meminta kepada Allah segala yang diperlukannya. Ia memberinya, dan tidak memberinya jika ia tidak memintanya.
Lalu Ia mengubahnya dari meminta lewat lidah menjadi meminta lewat hati. Maka ia meminta kepadanya segala yang dibutuhkannya, sehingga bila ia memintanya dengan lidah, Ia tidak memberinya, atau bila ia meminta kepada orang, mereka juga tidak memberinya.
Lalu Ia menafikannya dari dirinya dan dari meminta baik secara terbuka maupun tersembunyi. Maka Ia mengkaruniainya segala yang membuat orang menjadi baik, – segala yang dimakan, diminum, dipakai dan keperluan hidup tanpa upaya atau tanpa diduganya. Maka menjadilah Ia walinya, dan ini sesuai dengan ayat: “Sesungguhnya waliku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dan Ia adalah wali para saleh.” (“S 7:196)
Maka firman Allah yang diterima oleh Nabi saw. menjadi kenyataan, yakni, “Barangsiapa tidak sempat meminta sesuatu dari-Ku, maka Aku akan memberinya lebih dari yang Kuberikan kepada mereka yang meminta,” dan inilah keadaan fana dalam Tuhan, suatu keadaan yang dimiliki oleh para wali dan badal. Pada peringkat ini, ia dikaruniai daya cipta, dan segala yang dibutuhkannya mewujud atas izin Allah, sebagaimana firman-Nya di dalam Kitab-Nya: “Wahai anak Adam! Aku adalah Tuhan, tiada tuhan selain-Ku; bila Kukatakan kepada sesuatu “jadilah”, maka jadilah ia. Patuhilah Aku, sehingga bila kau berkata kepada sesuatu “jadilah”, maka juga, jadilah sesuatu itu.”

Jumat, 08 Februari 2013

FUTUHUL GHAIB KE 45 : DUA MACAM MANUSIA KURNIAAN ALLAH (SYAIKH ABDUL QADIR AL JILANI)



AJARAN KEEMPAT PULUH LIMA

DUA MACAM MANUSIA KURNIAAN ALLAH 

Ketahuilah bahwa ada dua macam manusia. Yang pertama ialah manusia yang dikaruniai kebaikan-kebaikan duniawi. Yang kedua ialah manusia yang diuji dengan ketentuan-Nya. Manusia yang mendapatkan kebaikan duniawi, tidak bebas dari noda dosa dan kegelapan dalam menikmati yang mereka dapatkan itu.
Manusia semacam itu bermewah-mewah dengan karunia duniawi ini. Bila ketentuan Allah datang, yang menggelapi sekitarnya melalui aneka musibah yang berupa penyakit, penderitaan, kesulitan hidup, sehingga ia hidup sengsara, dan tampak seolah-olah ia tidak pernah menikmati sesuatu pun. Ia lupa akan kesenangan dan kelezatannya. Dan jika kecerahan menimpanya, maka seolah-olah ia tidak pernah mengalami musibah. Sedang jika ia mengalami musibah, maka seolah-olah tiada kebahagiaan. Semua ini disebabkan oleh pengabdian terhadap Tuhannya.
Nah, jika ia telah tau bahwa Tuhannya sepenuhnya bebas bertindak sekehendak-Nya, mengubah, memaniskan, memahitkan, memuliakan, menghinakan, menghidupkan, mematikan, memajukan dan memundurkan – jika ia telah tau semua ini, maka ia tidak merasa bahagia di tengah-tengah kebahagiaan duniawi  dan tidak merasa bangga karenanya, juga tidak berputus asa akan kebahagiaan di kala duka. Perilaku salahnya ini disebabkan juga oleh ketaktahuannya akan dunia ini, yang sebenarnya tempat ujian, kepahitan, kejahilan, kepedihan dan kegelapan. Jadi kehidupan duniawi itu bak pohon gaharu, yang rasa pertamanya pahit, sedang rasa akhirnya manis seperti madu, dan tiada seorang pun dapat merasakan manisnya, sebelum ia merasakan pahitnya. Tidak seorang pun dapat mengecap madunya, sebelum ia tabah atas kepahitannya. Maka, barangsiapa tabah atas cobaan-cobaan duniawi, maka ia berhak mengecap rahmat-Nya.
Tentu, seorang pekerja mesti diberi upah setelah keningnya berkeringat, tubuh dan jiwanya letih. Maka, bila orang telah merasa semua kepahitan ini, maka datang kepadanya makanan dan minuman lezat, pakaian yang bagus dan kesenangan meski sedikit. Jadi, dunia adalah sesuatu, yang bagian pertamanya ialah kepahitan, bagai pucuk madu di sebuah bejana yang berbaur dengan kepahitan, sehingga si pemakan tidak mungkin mencapai dasar bejana, dan yang dimakannya hanyalah madu murninya sampai ia mengecap pucuknya.
Nah, bila hamba Allah telah berupaya keras menunaikan perintah Allah, Yang Maha kuasa lagi Maha agung, menjauh dari larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, maka bila ia telah merasa kepahitannya, menahan bebannya, berupaya melawan kehendaknya sendiri dan mencampakkan maksud-maksud pribadinya, maka Allah mengurniainya, sebagai hasil dari ini, kehidupan yang baik, kesenangan, kasih-sayang dan kemuliaan. Maka menjadilah Ia walinya dan menyuapinya persis seperti seorang bayi yang disuapi, yang tidak berdaya, yang tidak berupaya keras di dunia dan di akhirat, yang juga seperti pemakan pucuk pahit madu yang mengecap dengan lahapnya bagian bawah isi bejana. Nah, patutlah bagi sang hamba yang telah dikaruniai oleh Allah, untuk tidak merasa aman dari cobaan-Nya, untuk tidak merasa yakin akan kekekalannya, agar tidak lupa bersyukur atasnya. Nabi Suci saw. berkata:
“Kebahagiaan duniawi merupakan sesuatu yang ganas; maka jinakkanlah ia dengan kesyukuran.”
Jadi, mensyukuri rahmat berarti mengakui sang Pemberinya, Yang Maha pemurah, yaitu Allah, senantiasa mengingatnya, tidak mengklaim atas-Nya, tidak mengabaikan perintah-Nya, dan diiringi dengan penunaian kewajiban terhadap-Nya, yakni mengeluarkan zakat, membersihkan diri, bersedekah, berkorban sebagai nazar, meringankan beban penderitaan kaum lemah dan membantu mereka yang memerlukan , yang mengalami kesulitan dan yang keadaannya berubah dari baik menjadi buruk, yaitu, yang masa-masa bahagia dan harapannya telah berubah menjadi kedukaan. Bersyukurnya anasir tubuh atas rahmat berupa digunakannya anasir tubuh itu untuk menunaikan perintah-perintah Allah dan mencegah diri dari hal-hal yang haram, dari kekejian dan dosa.
Inilah cara melestarikan rahmat, mengairi tanamannya dan memacu tumbuhnya dahan dan dedaunannya; mempercantik buahnya, memaniskan rasanya, memudahkan penelanannya, mengenakkan pemetikannya dan membuat rahmatnya mewujud di seluruh organ tubuh lewat berbagai tindak kepatuhan kepada-Nya, seperti lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan senantiasa mengingat-Nya, yang kemudian memasukkan sang hamba, di akhirat, ke dalam kasih-sayang-Nya, Yang Maha kuasa lagi Maha agung, dan menganugerahinya kehidupan abadi di taman-taman syurga bersama dengan para Nabi Suci, shiddiq, syahid dan shalih – inilah suatu kebersamaan yang indah.
Namun, jika tak berlaku begini, mencintai keindahan lahiriah kehidupan semacam itu, asyik menikmatinya dan puas dengan gemerlapnya fatamorgananya, yang kesemuanya bagai hembusan sepoi angin dingin di pagi musim panas, dan bagai lembutnya kulit naga dan kalajengking; dan menjadi lupa akan bisa mautnya dan tipuannya – kesemuanya ini akan menghancurkannya – orang seperti itu mesti diberi berita gembira tentang penolakan, kehancuran yang segera, kehinaan di dunia ini dan siksaan kelak dalam api neraka nan abadi.
Cobaan atas manusia – kadang berupa hukuman atas pelanggaran terhadap hukum dan atas dosa yang telah diperbuatnya. Kadang berupa pembersihan noda, dan kadang pula berupa pemuliaan maqam rohani manusia, yang baginya rahmat Tuhan semesta terkaruniakan sebelumnya, yang melalukannya dari bencana dengan kelembutan, sebab cobaan semacam itu tidak dimaksudkan untuk menghancurkan dan mencampakkannya ke dasar neraka, tapi, dengan begini, Allah mengujinya untuk dipilih dan mewujudkan darinya hakikat iman, mensucikannya dan bersih dari kesyirikan, kebanggaan diri, kemunafikan, dan membuat karunia, sebagai pahala baginya, dari berbagai pengetahuan, rahasia dan nur.
Nah, bila orang ini menjadi bersih rohani dan jasmani, dan hatinya menjadi suci, berarti Ia telah memilihnya di dunia ini dan di akhirat – di dunia ini yakni melalui hatinya, sedang di akhirat yakni melalui jasmaninya. Maka segala bencana menjadi pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, sarana duniawi dan dambaan-dambaan, dan menjadi pelebur kesombongan, ketamakan dan harapan akan imbalan syurga atas penunaian perintah-perintah.
Cobaan yang berupa hukuman menunjukkan adanya kekurang sabaran atas cobaan-cobaan ini, dengan mengaduh dan mengeluh kepada orang. Cobaan yang berupa penyucian dan penyirnaan kelemahan menunjukkan maujudnya kesabaran, ketak-mengeluhan kepada sahabat dan tetangga, penunaian perintah-perintah, ketak engganan dan kepatuhan. Cobaan yang berupa pemuliaan maqam menunjukkan adanya keridhaan, kedamaian dengan kehendak Allah, Tuhan bumi dan langit, dan penafian diri sepenuhnya dalam cobaan ini, hingga saat berlalunya.