Selasa, 05 Februari 2013

KITAB AL-KALIMAT KE 5 : TUGAS HAKIKI MANUSIA IALAH BERIBADAH KEPADA ALLAH DAN MENJAUHI DOSA BESAR

KARYA BADIUZZAMAN SAID NURSI DALAM KITABNYA “RISALAH NUR”

Tugas Hakiki Manusia: Beribadah kepada Allah dan Menjauhi
Dosa Besar

Allah bersama Orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik

Jika engkau ingin mengetahui bahwa mendirikan shalat dan menjauhi
dosa-dosa besar merupakan tugas hakiki yang sesuai dengan
manusia dan hasil fitri yang cocok dengan penciptaannya, perhatikan
cerita imajiner yang singkat berikut ini:
Pada saat terjadi perang di salah satu batalion terdapat dua orang
prajurit: yang pertama terlatih dan menjalankan tugasnya dengan bersungguh-
sungguh; sementara yang lain tidak mengetahui tugasnya dan
mengikuti hawa nafsunya. Orang yang melaksanakan tugasnya dengan
baik sangat perhatian dengan latihan dan urusan jihad. Ia tidak pernah
memikirkan urusan kebutuhan hidup dan persoalan rezekinya. Sebab,
ia sadar dan sangat yakin bahwa penghidupannya, perhatian terhadap
urusannya, pemberian bekal untuknya, bahkan pengobatan untuknya
ketika sakit, serta satu suap yang masuk ke dalam mulutnya adalah
kewajiban negara. Kewajiban utamanya hanya berlatih dan berjuang.
Meskipun demikian, ia sadar kalau kewajiban tersebut tidak menghalanginya
untuk menyiapkan bekal dan mengerjakan sejumlah hal seperti
memasak dan mencuci perabotan. Bahkan di saat mengerjakannya
kalau ditanya, “Apa yang sedang kau kerjakan?” Ia tentu menjawab,
“Aku sedang melaksanakan sebagian kewajiban negara secara sukarela.”
Ia tidak menjawab, “Aku bekerja untuk mencari nafkah saya.”
Adapun prajurit yang lain, yang tidak mengetahui kewajibannya,
malas berlatih dan tidak memiliki perhatian dengan urusan perang. Ia
berkata, “Itu urusan negara. Apa urusannya denganku?” Karena itu ia
sibuk dengan urusan nafkahnya dan terus menumpuk harta sehingga
ia meninggalkan batalion untuk segera melakukan transaksi jual beli
di pasar.
Pada suatu hari temannya yang terlatih berkata, “Wahai saudaraku,
tugas utamamu adalah berlatih dan berperang. Engkau didatangkan ke
sini untuk melaksanakan tugas tersebut. Adapun urusan hidup serahkan
kepada penguasa negara. Ia tidak akan membiarkanmu lapar sebab
itu adalah tugas dan kewajibannya. Di samping itu, engkau tidak berdaya
dan fakir. Engkau tidak bisa memenuhi kebutuhanmu di setiap
tempat. Lebih dari itu, kita sedang berada dalam kondisi jihad dan di
pentas perang dunia yang besar. Aku khawatir mereka menganggapmu
sebagai pembangkang sehingga mendapatkan hukuman.
Ya, ada dua tugas yang tampak di hadapan kita. Pertama tugas penguasa,
yaitu memenuhi kebutuhan kita. Kita kadang dipekerjakan secara
cuma-cuma untuk menunaikan tugas tersebut. Yang kedua adalah
tugas kita, yaitu berlatih dan berperang. Dalam hal ini, penguasa memberikan
kepada kita sejumlah bantuan dan fasilitas yang diperlukan.
Wahai saudaraku, andaikan si prajurit tersebut tidak memerhatikan
ucapan pejuang yang terlatih tadi betapa ia sangat merugi dan menghadapi
bahaya.
Wahai jiwa yang malas, medan yang bergejolak dengan perang
adalah kehidupan dunia ini. Pasukan yang terbagi kepada sejumlah
batalion adalah umat manusia. Batalion itu sendiri adalah komunitas
muslim saat ini. Lalu kedua prajurit tersebut yang pertama adalah orang
yang mengetahui kewajiban agama dan melaksanakan berbagai kewajibannya.
Ia adalah muslim bertakwa yang berjuang melawan nafsu dan
setan agar tidak terjatuh ke dalam dosa dan menjauhi berbagai dosa
besar. Sementara yang kedua adalah orang fasik yang merugi yang sibuk
mencari dunia karena tidak percaya kepada Pemberi Rezeki hakiki.
Dalam menggapai sesuap nasi, ia berani meninggalkan kewajibannya
dan mengerjakan maksiat. Selanjutnya, berbagai latihan yang ada berupa
ibadah, khususnya shalat. Perang adalah perjuangan manusia dalam
melawan diri dan hawa nafsunya, menghindarkan diri dari dosa dan
akhlak tercela, serta melawan setan dari kalangan jin dan manusia guna
menyelamatkan kalbu dan ruhnya dari kebinasaan abadi. Kemudian
kedua tugas di atas, yang pertama memberikan kehidupan dan pemeliharaanya;
yang kedua adalah beribadah dan memohon kepada Sang
Pemberi dan Pemelihara kehidupan, serta bertawakkal, dan percaya
kepada-Nya.
Ya, Dzat yang memberikan kehidupan, yang menciptakannya sebagai
kreasi menakjubkan yang paling bersinar serta menjadikannya sebagai
hikmah rabani yang cemerlang adalah Dzat yang memeliharanya.
Hanya Dia yang menjaga dan terus menyuplai rezeki untuknya. Engkau
ingin mengetahui buktinya? Hewan yang paling lemah dan paling
bodoh mendapatkan rezeki yang paling baik dan paling bagus. Misalnya
ikan dan ulat. Makhluk yang paling lemah dan paling halus bisa
mendapatkan makanan yang paling nikmat dan paling baik. Misalnya
anak-anak kecil.
Agar engkau dapat memahami bahwa sarana untuk mendapatkan
rezeki yang halal bukan berupa kekuatan dan ikhtiar manusia, namun
kelemahan dan ketidakberdayaannya, cukuplah engkau membandingkan
antara ikan yang bodoh dan serigala, antara anak-anak yang tidak
memiliki kekuatan dan binatang buas pemangsa, dan antara pohon
yang tegak berdiri dan hewan yang terengah-engah.
Orang yang memutuskan shalatnya lantaran sibuk mencari dunia
sama seperti prajurit yang meninggalkan latihan dan paritnya kemudian
meminta-minta di pasar. Mencari rezeki di dapur rahmat Tuhan
Pemberi Rezeki Yang Maha Pemurah setelah menegakkan shalat sehingga
tidak menjadi beban bagi yang lain adalah baik dan memiliki
wibawa. Hal itu pun bagian dari ibadah.
Selanjutnya fitrah manusia berikut sejumlah perangkat maknawi
yang Allah tanamkan padanya menjadi bukti bahwa ia tercipta untuk
beribadah. Sebab, mengenai kekuatan dan aktivitas yang diperlukan
untuk kehidupan dunia manusia tidak akan mencapai tingkatan burung
pipit yang paling rendah sekalipun. Namun, manusia merupakan
pemimpin seluruh makhluk dilihat dari sisi ilmu, memohon melalui kepapahannya,
serta ibadah yang diperlukan untuk kehidupan maknawi
dan ukhrawinya.
Wahai jiwa, jika engkau menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan
lalu mengerahkan seluruh potensimu padanya, maka engkau tak
ubahnya seperti burung yang paling hina.
Adapun jika engkau menjadikan kehidupan akhirat sebagai akhir
impian serta menggunakan kehidupan dunia sebagai sarana dan ladang
untuk meraih akhirat, lalu engkau berusaha untuknya, maka engkau
seperti pemimpin seluruh makhluk hidup dan hamba yang memohon
dan tersayang di sisi Pencipta Yang Maha Pemurah. Engkau juga akan
menjadi tamu yang mulia dan terhormat di dunia ini.
Di hadapanmu terdapat dua jalan, pilihlah mana yang kau suka!
Mintalah petunjuk dan taufik kepada Tuhan Yang Maha Penyayang.


KITAB AL-KALIMAT KE 4: SHALAT ADALAH SARANA ISTIREHAT PALING BESAR BAGI ROH, KALBU DAN AKAL

KARYA BADIUZZAMAN SAID NURSI DALAM KITABNYA “RISALAH NUR”

Shalat adalah Sarana Istirahat Paling Besar bagi Roh, Kalbu,
dan Akal

“Shalat adalah tiang agama”

Jika engkau ingin mengetahui nilai dan pentingnya shalat serta betapa
ia sangat mudah diraih, sementara orang yang tidak menunaikan
shalat akan merugi, jika engkau ingin mengetahui semua itu dengan
yakin sebagaimana hasil perkalian dua kali dua sama dengan empat,
maka perhatikan cerita imajiner yang singkat berikut ini:
Pada suatu hari, seorang penguasa agung mengirim dua orang
pelayannya ke ladangnya yang indah setelah masing-masing diberi
dua puluh empat koin emas agar bisa sampai ke ladang yang sejauh
dua bulan perjalanan. Penguasa ini berkata, “Keluarkan darinya untuk
biaya tiket dan keperluan perjalanan lainnya. Lalu ambillah apa yang
kau butuhkan untuk keperluan hidup di sana. Ada sebuah terminal untuk
para musafir yang jaraknya sejauh satu hari perjalanan. Di dalamnya
terdapat semua bentuk dan sarana transportasi seperti mobil, pesawat,
kapal laut, dan kereta. Pilihlah sarana transportasi sesuai dengan
modalmu.
Setelah menerima perintah, kedua pelayan itu pun keluar. Yang satu
bahagia, karena sampai ke terminal ia hanya mengeluarkan sedikit
wang untuk bisnis yang menguntungkan yang disenangi oleh tuannya.
Modalnya langsung meningkat, dari satu menjadi seribu. Adapun pelayan
yang lain, malang dan bodoh. Ia mengeluarkan dua puluh tiga
koin emas yang dimiliki untuk bermain-main dan berjudi. Ketika
sampai di terminal yang tersisa hanya satu koin emas.
Mengetahui kondisi tersebut, sahabatnya berkata, “Wahai pulan,
satu koin emas yang tersisa itu harus kau belikan tiket perjalanan agar
engkau tidak berjalan kaki dan menderita kelaparan. Tuan kita sangat
pemurah dan penyayang. Semoga ia melimpahkan rahmatnya padamu
dan mengampuni kesalahanmu, sehingga mereka membolehkanmu
naik pesawat agar kita bisa sampai ke tempat pada hari yang sama. Jika
tidak, engkau harus terus berjalan kaki melintasi padang pasir ini selama
dua bulan disertai rasa lapar ditambah dengan rasa kesepian yang
kau alami sepanjang perjalanan panjang tersebut.
Lihatlah, andaikan orang tersebut keras kepala, tidak membeli
tiket perjalanan yang laksana kunci perbendaharaan baginya dengan
satu lira yang tersisa itu dan menggunakannya untuk memperturutkan
syahwatnya yang bersifat sementara dan untuk memenuhi kenikmatan
yang segera lenyap. Bukankah ini berarti ia malang dan merugi serta
betul-betul bodoh. Bukankah ia merupakan orang yang paling tolol?
Wahai orang yang tidak menunaikan shalat, wahai jiwa yang merasa
berat untuk mengerjakannya!
Sang penguasa yang dimaksud adalah Tuhan dan Pencipta kita.
Adapun kedua pelayan yang melakukan perjalanan itu, salah satunya
adalah orang taat yang menjalankan agama dan menunaikan shalat dengan
penuh kerinduan. Sementara yang satunya lagi adalah orang yang
lalai dan meninggalkan shalat. Lalu uang koin emas yang sebanyak
dua puluh empat tersebut adalah dua puluh empat jam dari setiap hari usia
manusia. Kebun dan ladangnya berupa surga dan terminalnya berupa
kubur. Perjalanan panjangnya adalah perjalanan manusia menuju kubur,
mahsyar, dan negeri keabadian. Mereka yang meniti jalan panjang
ini menempuhnya dalam tingkatan yang berbeda-beda. Masing-masing
sesuai dengan amal dan tingkat ketakwaan. Kaum bertakwa menempuh
perjalanan sejauh seribu tahun hanya dalam satu hari laksana kilat. Sebagian
lagi menempuh jarak lima ribu tahun perjalanan hanya dalam
sehari secepat khayalan. Al-Qur’an menjelaskan hakikat ini dalam dua
ayat. Kemudian yang dimaksud dengan tiketnya adalah shalat. Satu jam
cukup untuk melaksanakan shalat lima waktu berikut wudhunya. KaAl-
rena itu, sungguh rugi orang yang menghabiskan dua puluh tiga jamnya
untuk kehidupan dunia yang singkat ini dan tidak menghabiskan satu
jam sisanya untuk kehidupan abadi. Sungguh ia sangat zalim terhadap
dirinya dan sungguh sangat bodoh.
Jika tindakan menghabiskan setengah harta untuk judi yang diikuti
lebih dari seribu orang dianggap sebagai sesuatu yang rasional
padahal kemungkinan menangnya satu banding seribu, bagaimana dengan
orang yang tidak mau mengeluarkan satu saja dari kedua puluh empat
asetnya untuk mendapatkan keuntungan yang terjamin serta untuk
meraih kekayaan abadi di mana kemungkinan untungnya sembilan puluh
sembilan persen. Bukankah ini tidak rasional dan sama sekali tidak
bijak? Bukankah setiap orang berakal dapat memahami hal tersebut?
Shalat merupakan kelapangan terbesar bagi roh, kalbu, dan akal. Ia
juga sama sekali tidak memenatkan badan. Lebih dari itu, seluruh perbuatan
duniawi yang bersifat mubah yang dikerjakan oleh orang yang
mengerjakan shalat bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang
baik. Jadi, orang yang shalat dapat mengubah semua modal umurnya
untuk akhirat sehingga ia meraih usia yang kekal lewat usianya yang
fana.

KITAB AL-KALIMAT KE-3 : IBADAH DAN KEFASIKAN

KARYA BADIUZZAMAN SAID NURSI DALAM KITABNYA “RISALAH NUR”

Ibadah Merupakan Kebahagiaan yang Paling Utama Sementara
Kefasikan Merupakan Kerugian Nyata.

Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa.

Jika engkau ingin memahami bagaimana ibadah merupakan sebuah
perniagaan agung dan kebahagiaan terbesar, serta sikap fasik dan
bodoh merupakan kerugian dan kebinasaan yang nyata, perhatikan
cerita berikut ini:
Pada suatu hari dua orang prajurit menerima perintah untuk pergi
ke sebuah kota yang jauh. Keduanya berjalan bersama-sama sampai
akhirnya berpisah jalan. Di sana keduanya bertemu dengan seorang lelaki
yang berkata pada mereka:
“Jalan sebelah kanan ini, di samping tidak mengandung bahaya,
sembilan dari sepuluh para musafir yang melaluinya akan menemukan
kelapangan, ketenangan, dan keberuntungan. Adapun jalan sebelah kiri
di samping tidak bermanfaat, sembilan dari sepuluh para pelintasnya
mengalami kerugian besar.” Perlu diketahui bahwa kedua jalan tersebut
memiliki jarak yang sama. Yang membedakan hanya satu, yaitu pejalan
yang melalui sisi kiri—yang tidak mau terikat dengan peraturan dan
pemerintah—berjalan tanpa membawa tas barang dan senjata sehingga
secara lahiriah ia merasa ringan dan nyaman. Sebaliknya, pejalan yang
melalui sisi kanan yang terikat dengan posisi dirinya sebagai prajurit
harus membawa tas lengkap berisi perbendaharaan makanan seberat
4 kilo dan senjata negara seberat 2 kilo di mana dengan itu dapat
mengalahkan semua musuh.
Setelah kedua prajurit itu mendengar ucapan lelaki pemberi petunjuk
tadi, orang yang bahagia melewati jalan sebelah kanan. Ia berjalan
seraya memikul sejumlah beban, namun hatinya tenang dan jiwanya
bebas dari segala ketakutan. Adapun orang yang malang enggan menjadi
prajurit dan tidak mau terikat peraturan. Dia meniti jalan sebelah
kiri. Meski fisiknya bebas dari beban, namun kalbunya dibayang-bayangi
oleh rasa berutang budi dan jiwanya tersiksa oleh berbagai kecemasan
yang tak terhingga. Ia melintasi jalannya dengan terus mengemis
kepada setiap orang serta cemas terhadap segala hal, dan takut terhadap
semua kejadian. Ketika sampai di tempat tujuan ia pun mendapatkan
hukuman sebagai balasan atas sikapnya yang lari dan membangkang.
Adapun pejalan yang melintasi jalan sebelah kanan, yang patuh terhadap
aturan keprajuritan serta menjaga tas dan senjatanya, berjalan
dalam kondisi lapang dan jiwanya tenang tanpa harus mengharap budi
baik orang atau takut kepada siapa pun. Ketika sampai di kota tujuan, di
sana ia mendapatkan upah yang sesuai dengannya sebagai prajurit yang
telah menyelesaikan tugas dengan baik.
Wahai orang yang ceroboh dan liar, ketahuilah bahwa salah satu
dari kedua musafir di atas adalah mereka yang taat terhadap hukum Ilahi,
sementara yang lain ialah para pembangkang yang mengikuti hawa
nafsu. Sementara, jalan tersebut adalah jalan kehidupan yang berasal
dari alam arwah, kemudian melintasi kubur guna menuju kepada alam
akhirat.
Tas dan senjatanya berupa ibadah dan takwa. Betapa pun ibadah
tampak berat, namun sebenarnya ia berisi kelapangan yang tak terlukiskan.
Hal itu karena seorang abid dalam shalatnya mengucap lâ ilâha illallâh.
Artinya, tiada pencipta dan Pemberi Rezeki selain Allah. Manfaat
dan bahaya berada di tangan-Nya. Dia Mahabijak yang tidak berbuat
sia-sia. Di samping itu, Dia juga Maha Penyayang yang kasih sayang dan
kebaikan-Nya demikian berlimpah. Orang mukmin yakin dengan apa
yang ia ucapkan. Karena itu, dalam segala hal ia menemukan pintu yang
terbuka menuju perbendaharaan rahmat Ilahi sehingga ia ketuk pintu
tersebut dengan doa. Ia pun melihat segala sesuatu tunduk atas perintah-
Nya, sehingga ia bersimpuh di hadapan-Nya dengan sikap merendah.
Ia membentengi diri di hadapan semua musibah dengan sikap
tawakal sehingga imannya membuat dirinya merasa aman dan tenang.
Ya, sumber keberanian serta seluruh kebaikan hakiki adalah iman
dan pengabdian. Sebaliknya, sumber segala ketakutan serta seluruh
keburukan adalah kesesatan. Andaikan bola bumi menjadi bom yang dapat
meledak, barangkali ia tidak akan membuat takut sang abid yang
memiliki kalbu bersinar. Bahkan, bisa jadi ia melihatnya sebagai salah
satu kodrat Tuhan yang luar biasa sehingga ia merasa kagum dan senang.
Sebaliknya, seorang fasik yang memiliki kalbu mati, meski ia seorang
filsuf yang dianggap cerdas, apabila melihat meteor di angkasa
ia akan merasa takut dan cemas seraya bertanya-tanya, “Mungkinkah
bintang
ini tabrak ke bumi kita?” Ia terhempas dalam lembah ilusi.
(Amerika pernah
ketakutan dengan keberadaan meteor yang terlihat
di langit sehingga banyak penduduk yang meninggalkan tempat tinggal
mereka
di saat malam).
Ya, meski kebutuhan manusia terhadap segala sesuatu tak terhingga,
namun modalnya nyaris tidak ada. Meski ia dihadapkan pada ujian
yang tak bertepi kemampuannya juga tidak berarti. Pasalnya, kadar
modal dan kemampuannya sejauh apa yang dapat ia gapai sementara
wilayah harapan, keinginan, penderitaan dan cobaannya sangat luas sejauh
mata memandang.
Karena itu, jiwa manusia yang lemah dan tak berdaya benar-benar
membutuhkan berbagai hakikat ibadah dan tawakal, serta tauhid dan
sikap pasrah. Keuntungan, kebahagiaan, dan nikmat yang didapat darinya
juga sangat besar. Siapa yang penglihatannya masih sehat pasti
bisa melihat dan menjangkaunya. Pasalnya, seperti diketahui bahwa
jalan yang tidak berbahaya tentu lebih dipilih daripada jalan yang berbahaya
meski kemungkinan manfaat yang ada padanya satu banding
sepuluh. Terlebih persoalan kita ini, yakni jalan ibadah, di samping tidak
berbahaya dan kemungkinan manfaatnya sembilan puluh persen,
ia juga memberikan kepada kita perbendaharaan kebahagiaan abadi.
Sebaliknya, jalan kefasikan dan kebodohan—seperti pengakuan si fasik
itu sendiri—di samping tidak memberi manfaat ia juga menjadi sebab
datangnya derita dan kebinasaan abadi disertai kerugian dan tidak adanya
kebaikan. Hal ini adalah sesuatu yang pasti berdasarkan kesaksian
kaum yang ahli di bidangnya di mana sampai pada tingkat mutawatir
dan ijma. Ia adalah sebuah keyakinan yang kuat sesuai dengan informasi
dari kalangan yang memiliki cita rasa dan mencapai tingkatan
kasyaf.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagaimana akhirat, kebahagiaan
dunia juga terletak pada ibadah dan menjadi prajurit Allah.
Karena itu, kita harus senantiasa mengucap alhamdulillah atas ketaatan
dan taufik yang Allah berikan. Kita wajib bersyukur kepada-Nya
karena kita menjadi muslim.

PERMATA SUFI (7) : MAQAM WALI ALLAH



Maqom atau derajat Wali Allah

Telah kami uraikan bahwa setelah Khataman Nabiyyin, manusia atau kaum yang ditugaskan untuk “menjaga” agama Islam atau ahli menghidupkan sunnah Nabi itu adalah kaum sufi atau kaum Wali Allah , para kekasih Allah, kaum yang dicintai Allah.
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda: Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420)
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Dari apa yang disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dapat kita ketahui bahwa para Wali Allah hanya Allah yang mengetahui tentang mereka dan dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya
Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Mereka mengomentari tulisan kami sebagai pengakuan kelompok atau kaum yang merasa wali-wali Allah, atau menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang paling dekat dengan Allah.
Kami tidak pernah menyampaikan bahwa kami seorang sufi ataupun seorang sholeh. Kami adalah muslim yang berupaya meraih ridho Allah Azza wa Jalla agar  dapat termasuk kaum sufi atau muslim yang sholeh atau muslim yang Ihsan
Imam As Syafi’i rahimahullah ketika beliau ditanya apakah beliau seorang sufi atau seorang sholeh, beliau menjawabnya“Uhibbu asShalihiina wa lastu minhum La’alli an anaala bihim syafa’ah”.   Suatu jawaban yang harus dipahami dengan balaghoh.
Uhibbu as Shalihiina = Aku mencintai orang shalih
walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka
La’ali an anaala bihim syafa’ah = Beliau berharap / semoga memperoleh Syafa’at  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (agar termasuk orang yang Sholeh)
Ini tauladan yang disampaikan Imam As Syafi’i rahimahullah bahwa kita tidak boleh mengatakan / mengakui sebagai saya serupa dengan mereka termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi atau saya seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia atau hasil penilaian Allah pada manusia. Bagi kita manusia hanya boleh berharap pertolongan Allah dan berupaya untuk mencapainya.
Mereka juga menyanggah apa yang kami sampaikan dengan landasan firman Allah yang ertinya
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa“. (QS Yunus [10] : 62-63)
Hal ini serupa dengan pendapat Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa)  kerajaan dinasti Saudi, lembaga yang juga memfatwa bahwa Imam An Nawawi telah salah dalam bab sifat-sifat Allah
Pendapat mereka bahwa “Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Taâala dan bertaqwa kepadaNya dengan mengerjakan segala yang diperintahkan oleh Nya Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan segala yang dilarangNya. Pemimpin mereka adalah para nabi dan rasul ‘alaihimus salam”.
Firman Allah dalam (QS Yunus [10] : 62-63) hanya menjelaskan bahwa Wali-Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
Mereka juga menyanggah bahwa yang bertugas “menjaga” agama Islam atau ahli menghidupkan sunnah Nabi itu adalah yang takut kepada Allah yakni para ulama atau pewaris Nabi berlandaskan firman Allah,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
innamaa yakhsyaallaaha min ‘ibaadihil ‘ulamaau innallaaha ‘aziizun ghafuurun
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Faathir 35:28)
Firman Allah ta’ala ini menerangkan bahwa para Wali Allah adalah ulama (ahli ilmu) yang Ihsan atau dengan kata lain Ulama (ahli ilmu) yang Ihsan dapat menjadi Wali Allah atau kekasih Allah
Hal ini ada kaitannya dengan hadits Rasulullah berikut
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Muslim yang terbaik adalah muslim yang Ihsan
Muslim yang Ihsan  adalah muslim yang selalu merasa diawasi/dilihat Allah atau muslim yang melihat Allah
Muslim yang Ihsan terbaik adalah muslim yang selalu melihat Allah atau kekasih Allah atau muslim yang dekat disisi Allah
Muslim yang dekat disisi Allah hanyalah 4 golongan yakni para Nabi (Rasulullah yang utama), para Shiddiqin , para Syuhada dan Orang-orang Sholeh
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin

Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd (hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).

Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, iaitu:

(1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan
(2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.

Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata, lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah. Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya dengan sungguh-sungguh.

Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah.
Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami (w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H/1240M) dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah liyufrida (agar manunggal / merasakan kemanunggalan).
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan al-awliya (para wali) menurut al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya).
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (parawali); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari  kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).