Jumat, 18 Januari 2013

TOKOH SUFI KLASIK HARITS AL MUHASIBI KE 4: SABAR MENAHAH MARAH



Berikut ini adalah kisah seorang yang berkonsultasi dengan Al Harits Al Muhasibi, karena tidak bisa sabar menahan amarah karena hal – hal yang sepele.
 ”Aku tidak kuat menahan amarah ketika dicela dan disakiti.” kata si sakit. ”Engkau sulit menahan marah dan mudah membalas, sebab engkau menganggap bahwa menahan marah itu adalah perbuatan hina dan keserampangan sebagai kerhormatan.”kata Al Muhasibi.

”Lalu dengan apa aku dapat menahan amarah yang besar?” kata si sakit. ”Dengan kesabaran jiwa dan menahan anggota badan.” jawab Al Muhasibi. ”Dengan apa aku bisa mendapatkan kesabaran jiwa dan mengekang anggota badan?” tanya si sakit. ” Dengan mengetahui dan menyadari bahwa menahan marah itu adalah kemuliaan dan keindahan sedangkan keserampangan adalah kehinaan dan corengan.” jawab Al Muhasibi.
”Bagaimana aku dapat menyadari itu sementara dalam hatiku telah bercokol lawannya ? Dan bagaimana pula aku dapat menyadarinya sementara dalam diriku telah timbul suatu perasaan bahwa jika aku tidak membalas, aku merasa terhina di hadapan orang yang memarahiku ? selain itu, dalam hatiku timbul perasaan bahwa orang yang memarahiku adalah telah menginjak-injak harga diriku, dan jika aku tidak membalasnya, aku merasa dianggap sangat lemah dan tidak berdaya ?” tanya si sakit.
”Hatimu terus menerus memiliki perasaaan seperti itu, karena engkau tidak mengetahui bentuk lahir keburukan sikap seseorang yang suka marah.
Selain itu engkau tidak mengetahui rahasia menahan marah dan keagungan pahala dari Allah swt. Untukmu di akhirat kelak.” jawab Al Muhasibi.
 ”Bagaimana caranya supaya aku mengetahui kedua hal tersebut (rahasia menahan marah dan pahala agung) ?” tanya si sakit.
 ”Adapun keburukan dari suka marah dan tidak bisa menahan marah dapat engkau lihat dari keadaan orang yang memarahi dan mencela dirimu ketika marah dan emosi. Perhatikan roman mukanya, kelopak kedua matanya, warna merah mukanya, pelototan kedua matanya, ketidakelokan penampilannya, kerendahan dirinya dan hilangnya ketenangan dan ketentraman dari dirinya.”
 ”Engkau melihat dengan jelas keadaan itu dari orang permarah dan tampak nyata oleh setiap orang yang berakal. Jika engkau mendapat ujian dari Allah swt dengan sikap suka marah, ingatlah pahala yang dijanjikan oleh Allah swt. kepada orang - orang yang menahan marah, yaitu mendapatkan cinta dan pahalanya yang agung.
 Sesungguhnya sikap suka membalas menimbulkan kegelisahan dan akibat buruk yang akan terus abadi sampai di akhiratmu. Sedangkan menahan marah menimbulkan ketenangan dan dapat menabung pahala Allah swt. di akhirat kelak.”
 ”Tidaklah pantas seseorang yang berakal rela atas kehinaan dari akibat dirinya suka dengan kepuasan sekejap, seperti ia marah - marah hanya karena satu perkataan saja, bertindak melampaui batas, sedang anggota badannya tak terkendali, padahal perkataan tersebut tidak mengharuskan si pengucapnya untuk dimarahi. Dan orang yang mendengarnyapun tidak akan rugi, baik secara keagamaan ataupun keduniaan, bahkan sebenarnya si pengucap itu mesti disayangi, karena ia telah menjatuhkan harga diri dan martabatnya serta masuk ke dalam kehinaan. Sementara bagi yang dimarahi dan dihina, haruslah bersyukur sebab ia sesungguhnya tidak dijatuhkan martabatnya, tidak seperti yang menghinanya.” jawab Al Muhasibi.

TOKOH SUFI KLASIK HARITS AL MUHASIBI KE 3:PAKAR MAKANANAN HALAL DAN HARAM



Abu Abdullah Al-Harits Ibn Asad Al-Basri Al-Muhasibi (dipanggil Muhasibi) dilahirkan di Basrah pada tahun 165 Hijrah ( 781 M). Sejak kecil sudah merantau ke Baghdad mencari ilmu. Ilmu yang diminatinya adalah ilmu Hadis dan Tasawuf.

Muhasibi terkenal dengan kisah tentang pemeliharaan Allah keatasnya dari menjamah makanan yang haram. Ketika dia menghulurkan tangan untuk mengambil makanan yang diragukan status halalnya, secara mendadak urat saraf dibelakang jarinya menegang hingga jarinya tak dapat digerakkan. Maka ketika itu, sedarlah Muhasibi bahwa makanan itu tidak halal.

Al-Junaid bercerita, "Suatu hari aku berjumpa dengan Muhasibi disuatu majlis perkahwinan. Dia nampaknya sedang lapar. Lalu aku mengatakan kepadanya, "Pakcik..aku akan memberikan makanan untukmu."

"Terima kasih," jawab Muhasibi.

Lalu Junaid pun pergi ke tempat menyimpan makanan. Dia mengambil baki kuih majlis perkahwinan tersebut dan menghidangkannya kepada Muhasibi. Tiba-tiba, jari tangan Muhasibi tidak mahu bergerak sesuai dengan keinginannya. Dia berusaha untuk memakan kuih tersebut dan membawanya hingga ke mulut. Namun kuih itu tetap tak mahu masuk. Maka dengan segera dia membuang kuih itu.

Lalu Junaid bertanya apa yang terjadi.

Muhasibi menjawab, "Aku memang lapar ketika itu dan ingin makan untuk menyenangkanmu. Tetapi Allah SWT memberi tanda khusus bahawa makanan yang meragukan tidak akan masuk ke mulutku. Bahkan, tanganku pun tidak mahu menyentuhnya."

Maka Junaid berkata, "Mahukah engkau datang ke rumahku?"

"Boleh saja," jawab Muhasibi.

Mereka pun berjalan ke rumah Junaid. Apabila tiba, tuan rumah segera menghidangkan roti buat tetamunya. Tangan Muhasibi lancar bergerak dan lancar pula menelannya.

"Inilah makanan yang paling sesuai untuk seorang seperti saya," ujar Muhasibi.

KISAH GANJARAN TAAT



Dari Humaid bin Hilal, dari seorang pria, dia mengatakan: “Saya datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian beliau memperlihatkan kepada saya sebuah rumah, seraya berkata, ‘Ada seorang wanita yang dulu tinggal di sini, kemudian ikut berperang bersama kaum muslimin. Dia meninggalkan 12 ekor kambing dan sebuah alat tenun. Sepulangnya dari perang, dia kehilangan seekor kambing berikut alat tenunnya. Lalu dia berdoa, ‘Ya Rabb, sesungguhnya Engkau telah menjamin bagi orang yang keluar di jalan-Mu, bahwa Engkau akan menjaga barang kepunyaannya. Sekarang aku telah kehilangan seekor kambing dan alat tenun. Aku mohon Engkau mengembalikan barang kepunyaanku itu.’
Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menceritakan bagaimana kuatnya permohonannya kepada Allah, dan ternyata di pagi harinya dia mendapatkan kembali kambingnya bersama seekor lain, juga alat tenunnya, tidak hanya satu tetapi menjadi dua.”(H.R. Ahmad dalam Al-Musnad.)

FUTUHUL GHAIB KE 47 TANDA DEKAT KEPADA ALLAH: (SYAIKH ABDUL QADIR AL JILANI)



AJARAN KEEMPAT PULUH TUJUH

TANDA DEKAT KEPADA ALLAH

Seorang tua bertanya kepadaku dalam mimpiku: "Apa yang membuat seorang hamba Allah dekat kepada Allah?"
Aku berkata: "Proses ini berawal dan berakhir, awalnya iaitu kesalehan dan akhirnya iaitu keredhaan kepada Allah dan kepasrahan diri sepenuhnya kepada-Nya."

FUTUHUL GHAIB KE 46 : KELEBIHAN MENGINGATI ALLAH: (SYAIKH ABDUL QADIR AL JILANI)



AJARAN KEEMPAT PULUH ENAM

KELEBIHAN MENGINGATI ALLAH

Nabi Suci saw. bersabda dari Rabnya:

"Barangsiapa senantiasa mengingat-Ku dan tak sempat minta sesuatu pun dari-Ku, maka akan Kuberikan kepadanya yang lebih baik daripada yang Kuberikan kepada mereka yang meminta."

Hal ini dikeranakan bila Allah menghendaki seorang mukmin bagi maksud-maksud-Nya sendiri, maka Ia melalukannya melalui aneka keadaan ruhani, dan mengujinya dengan aneka upaya dan musibah. Lalu Ia membuatnya sedih setelah senang, dan membuatnya hampir minta kepada orang, sedang tiada jalan terbuka baginya; lalu menyelamatkannya dari meminta dan membuatnya hampir meminjam kepada orang.

Lalu Ia menyelamatkannya dari meminjam, dan membuatnya bekerja mencari nafkah dan memudahkan baginya. Maka hiduplah ia dengan perolehannya, dan hal ini selaras dengan sunnah Nabi.

Tapi, kemudian, Ia membuatnya sulit mendapatkan rezeki dan memerintahkannya, lewat ilham, untuk meminta kepada manusia. Inilah sebuah perintah tersembunyi yang hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Dan Ia membuat permintaan ini sebagai pengabdiannya dan berdosa melecehkannya, sehingga keangkuhannya pupus, kediriannya hancur, dan inilah pembinaan ruhani. Permintaannya kerana dipaksa oleh Allah, bukan kerana kesyirikan. Lalu Ia menyelamatkannya dari keadaan begini, dan memerintahkannya untuk meminjam kepada orang, dengan perintah yang kuat yang tak mungkin lagi dielakkan, sebagaimana halnya dengan keadaan meminta.

Lalu Ia mengubahnya dari keadaan ini, menjauhkannya dari orang dan hanya bertumpu pada permintaannya kepada-Nya. Maka ia meminta kepada Allah segala yang diperlukannya. Ia memberinya, dan tak memberinya jika ia tak memintanya.

Lalu Ia mengubahnya dari meminta lewat lidah menjadi meminta lewat hati. Maka ia meminta kepadanya segala yang dibutuhkannya, sehingga bila ia memintanya dengan lidah, Ia tak memberinya, atau bila ia meminta kepada orang, mereka juga tak memberinya.

Lalu Ia menafikannya dari dirinya dan dari meminta baik secara terbuka mahupun tersembunyi. Maka Ia mengurniainya segala yang membuat orang menjadi baik, - segala yang dimakan, diminum, dipakai dan keperluan hidup tanpa upaya atau tanpa diduganya. Maka menjadilah Ia walinya, dan ini sesuai dengan ayat: "Sesungguhnya waliku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab dan Ia adalah wali para saleh." ("S 7:196)

Maka firman Allah yang diterima oleh Nabi saw. menjadi kenyataan, yakni, "Barangsiapa tak sempat meminta sesuatu dari-Ku, maka Aku akan memberinya lebih dari yang Kuberikan kepada mereka yang meminta," dan inilah keadaan fana dalam Tuhan, suatu keadaan yang dimiliki oleh para wali dan badal. Pada peringkat ini, ia dikurniai daya cipta, dn segala yang dibutuhkannya mewujud atas izin Allah, sebagaimana firman-Nya di dalam Kitab-Nya: "Wahai anak Adam! Aku adalah Tuhan, tiada tuhan selain-Ku; bila Kukatakan kepada sesuatu "jadilah", maka jadilah ia. Patuhilah Aku, sehingga bila kau berkata kepada sesuatu "jadilah", maka juga, jadilah sesuatu itu."