Jumat, 22 Juli 2016

IMAN TAPI KAFIR

IMAN TAPI KAFIR

Bismillahir rohmaanir rohiim
Assalamu`alaikum wr wb

Lepas dari konteks keagamaan, Iman itu sudah ada dan senantiasa bersemayam dalam diri manusia yang pada dasarnya merupakan pemberian yang sangat esensial bagi keberadaan sang pemberi  sekaligus menjadi petunjuk bagi yang diberi bahwa yang diberi tidak bisa keluar dari keadaan diberi.

Ketika ada seseorang berkata bahwa dia tidak beriman kepada tuhan, sebab dia ingin keluar dari iman padahal tidak akan pernah bisa keluar dari keimanan.

Ibarat ada orang sedang makan dan mengunyah nasi tapi sambil berkata bahwa dia tidak ingin makan.

Hanya saja kebanyakan manusia melihat iman dari sisi keagamaan saja. Terutama dari sisi peribabatan lahiriyah saja. Sehingga iman itu sendiri menjadi milik agama.
Manusia seperti apapun pasti beriman. Keluar dari agama apapun, dia tetap beriman. Dengan iman pasti akan beramal sesuai apa yang diimani. sebab amal itu buah dari iman. Tidak ada seseorang berbuat sesuatu tanpa dasar iman. Tidaklah seseorang beramal tanpa dasar keyakinan.

Ketika kita sedang melakukan sesuatu, kita didorong oleh iman kita. Ketika itu pula kita bisa melihat dari mana datangnya dorongan hingga kita melakukan sesuatu. Yang paling umum dan jelas, kita melakukan sesuatu atas dorongan keinginan dari dalam diri kita sebab kita ingin sesuatu, Ini sudah cukup membuktikan bahwa dasar kita berbuat itu atas perintah diri kita alias taat kepada diri kita sendiri. Artinya kita patuh menuruti diri kita sendiri. Kita takluk sujud kepada diri kita sendiri. Kita beriman kepada diri kita sendiri. Di sini kita bisa melihat Seperti apa dan bagaimana keimanan kita. Tentu saja bagi orang awam tauhid tidak bisa membedakan. Bahkan memikirkan asal datangnya dorongan saja tidak bisa dan tidak pernah.

Bagi orang yang mengetahui atau memiliki ilmu terutama ilmu keimanan, keadaan itu bisa dideteksi dengan menggunakan disiplin ilmu yang sesuai. Namun, Apakah dengan pengetahuan yang dia miliki kemudian dia bisa merubah keyakinannya dan dia bisa berpindah dari keadaan itu ?. Umpamanya dia bekerja supaya dapat penghasilan. Jadi dasar bekerjanya didorong oleh dirinya sendiri yang menginginkan penghasilan. Apakah kemudian bisa merubah supaya tidak ingin dapat penghasilan? Keadaan hati yang menginginkan penghasilan itu sudah terpatri dalam hatinya hingga mendarah daging hingga memenuhi sumsum jiwanya. Mengiang dalam benaknya dan menimbulkan dia ingin bekerja supaya dapat penghasilan.
Dia yang sedang berada pada keimanan kepada dirinya sendiri, lantas dia sendiri yang mrmerintahkan dirinya untuk menyanjung dan membanggakan penghasilannya. Tanpa kasat mata, sebenarnya dia sedang menuja penghasilannya dalam wujud harta atau kesenangannya.

Dalam kondisi ini, Harta benda atau keinginannya berposisi sebagai tujuan dan dirinya sendiri menjadi tuhannya.

Walaupun sebagian dalam hatinya menyadari keberadaan tuhan namun dia tidak bisa keluar dari kondisi ini. Keimanannya kepada tuhan disandingkan dengan dirinya sendiri.

Sebagaimana kami sendiri saat ini yang sedang menulis. Apakah dasar dorongan menulis ini sebab perintah keinginan kami sendiri? Jika ini kenyataannya, maka Allah tidak ikut campur tangan. Kenyataan ini tidak bisa kami pungkiri. Walaupun Ilmu yang kami pelajari tidak seperti ini.  Bahkan ilmu yang diberikan kepada kami sangat jelas. Ilmu Wahidiyah sangat tegas. Dasarnya jelas. Ayatnya " WAMAA UMIRU ILLA LIYA`BUDULLOHA MUHLISHIINA LAHUDDIINA KHUNAFA...dst. (dan tidaklah diperintahkan kecuali hanya untuk mengabdikan diri kepada Allah...dst

Walaupun ayat ini dihadapkan didepan mata kita bahwa "WAMAA KHOLAQTUL JINNA WAL INSA ILLA LIYA`BUDUUN. ( Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah. Maka apakah ketika ingin makan, ingin tidur ingin bekerja, ingin kumpul keluarga, kumpul suami istri dan seterusnya sudah diarahkan sebagai pengabdian atau hanya mengikuti kemauan diri sendiri?

Mohon maaf. Bagi pembaca yang sedang membaca tulisan ini juga perlu koreksi diri juga.  Jika dorongan ingin membaca atas dasar keinginan diri kita sebab ingin membaca dan ingin tahu, alias ingin mendapatkan ilmu,  maka Allah tidak ikut campur tangan. Kita saat ini sama sama melaksanakan perintah diri kita sendiri. Kita sama sama melaksanakan perintah nafsu kita masing masing. Sehingga semua aktifitas kita tidak pernah dikitabkan sebagai pengabdian diri kepada Allah tapi mengabdi kepada nafsu kita sendiri.  Maka jelas catatan ibadahnya kosong. Tidak pernah beribadah walaupun bentuk perbuatannya berupa sholat, puasa zakat, mengaji dan membaca alqur`an , berbuat baik dan lain sebagainya.
Hal ini berlaku untuk semua aktifitas kita. Mulai dari gerak gerik lahir hingga batin kesemuanya total menjalankan perintah diri kita.

Ketika kita bangun dari tidur, kita diperintah oleh diri kita sendiri sebab ingin bangun dan melakukan sesuatu.
Ketika Kita bekerja, Belajar, ke Sekolah dan semua aktifitas  kita diperintah oleh diri kita sendiri sebab kita ingin hasil maksimal.
Ketika kita Sholat, Puasa, Zakat dan semua bentuk amal perbuatan apapun yang kita kerjakan, asal dorongan perintah berasal dari keinginan diri kita sendiri. Jadi selamanya Kita diperintah oleh nafsu kita sendiri sebab nasfu kita ingin surga atau takut neraka atau ingin sesuatu yang harus kita penuhi.
Mau atau tidak mau, kita selamanya disebut orang yang menuruti diri kita sendiri.
Suka atau tidak suka, kita selamanya menjadi budaknya diri kita sendiri. Sehingga kalimat orang orang kafir yang sangat terkenal dan sangat akrab ditelinga kita yaitu Jadilah diri sendiri. Percaya kepada diri sendiri. PADAHAL INI BAHASA KAFIR.

Kenyataan ini berlaku bagi kebanyakan manusia di dunia ini. Termasuk diri kami sendiri

Orang bodoh menjadi budak nafsu sebab kebodohannya. ( bodoh tauhid )
Orang alim menjadi budaknya ilmu sebab nafsunya. (Jahil binnurillah)
Antara orang bodoh dengan orang alim tidak ada bedanya. Sama sama melaksanakan perintah dirinya sendiri. Sama sama menjadi budak nafsunya sendiri. Jahil sebab tertutup oleh Nur.
Apalagi bagi orang yang tidak beragama. Orang yang beriman dan beragama saja masih kufur  kecuali orang yang diberi taufiq hidayah Allah. Sehingga terbuka Nur Nur Ubudiyah.

Semoga taufiq hidayah Allah menyertai kita semua. Sambil berapapun semoga ditemani hidayah. Sehingga berbuat sesuatu, berfikir serta mengoreksi dengan sungguh sungguh kita diberi bisa mendeteksi iman kita sendiri.

 Setundanya kita senantiasa  dituntun taufiq hidayah Allah. Mari kita  tengok keadaan iman kita saat ini bearada di level mana.

1. IMAN KUFUR
2. IMAN DZAUQI
3. IMAN MUSYAHADAH

1. IMAN KUFUR ( Ingkar )
Kalau dalam kajian Ilmu tauhid, sebenarnya tidak ada Iman kufur. Apalagi dalam kajian ilmu syariat. Orang kafir, tidak masuk kategori iman. Dia difonis menjadi golongan orang orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rosulnya. Sebab prilaku kafir itu bertentangan dengan terminologi iman itu sendiri. Secara umum memang begitu adanya.

Namun dalam kajian iman itu sendiri, keadaan kufur atau ingkar itu terjadi bukan sebab tidak adanya iman. Dia tetap beriman kepada tuhan. Dia tetap ingat kepada Allah ( Dzikir ) . Dia percaya kepada kekuasaan tuhan. Dia tahu bahwa hidupnya dikuasai tuhan ( diciptakan dan dihidupkan Allah ) . Dia berbuat ingkar sebab tidak ingin mengakui kedudukan Tuhan sepenuhnya. Tidak semata menyetujui kekuasaan Allah dan Rosulnya . Orang yang mengakui kedudukan Allah dan Rosulnya, pasti disertai penghormatan. Disertai ta`dziiman ( mengagungkan ) dengan rasa cinta yang murni.
Diri kita sendiri yang sudah kita sadari bahwa  keberadaan kita ini sebab diciptakan. Otomatis tidak ada secuilpun yang bisa diandalkan di hadapan Allah dan Rosulnya. Hanya ketergantungan tanpa daya upaya. akan tetapi kita masih senantiasa mengambil porsi yang bukan hak kita. Kita masih terbiasa merampas kekuatan Allah. Kita mengaku memiliki kekuatan. Mengaku memiliki kemampuan.Kita merasa bisa berjalan. Bisa berbuat, bisa membuat sesuatu. Sikap ingkar itu  terjadi pada semua manusia walaupun sikap ingkar itu tetap tidak berpengaruh apa apa terhadap kedudukan Allah dan Rosulnya. " INNAL INSANA LADZOLUMUN KAFFARUN  ( Sesungguhnya manusia itu senantiasa berbuat Dzolim dan Ingkar.)

Sebagaimana sikap seorang rakyat kepada presiden. walaupun si rakyat itu ingkar, tidak hormat, atau bahkan tidak suka, Jabatan Presiden tetap tidak luntur atau berubah kedudukannya.
ini baru contoh jabatan keduniaan. kalau jabatan tuhan Allah tidak bisa dibayangkan kedudukannya. Rosululloh juga tidak bisa diukur kekuasaannya. Hanya saja kebanyakan manusia melihat Rosul bukan melihat jabatannya tapi melihat manusianya. Sehingga terjadi perdebatan panjang sepanjang sejarah kemanusiaan. Terjadi peperangan tanpa henti. Perang opini, Perang pemahaman, bahkan tidak jarang terjadi perang fisik.

Hal tersebut sudah dibukukan ( dikitabkan ) sebagaimana syaithan tidak menyetujui kemauan Allah terhadap Nabi Adam.
Seperti juga para ahli kitab, kaum Yahudi, nasrani yang tidak setuju dengan kenabian Junjungan kita Muhammad Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam.

Mereka mau beriman atau tidak,mereka tetap tidak merubah ke_Rasul_an Nabi Muhammad Shollallohu Alaihi Wasallam di sisi Allah. Syaithan mau menerima atau tidak, Mbah Adam AS tetap menjabat sebagai kholifah fil ardhi. Tetap menjadi Nabi Allah.

Seperti halnya Zaman ini, Tentang keberadaan dan kedudukan Ghoutsi Hadzaz Zaman Rodhiyallohu Anhu. Sangat sedikit manusia yang mengakui dan menyadari keberadaan dan kedudukan Ghoutsi Hadzaz Zaman RA.  Kebanyakan manusia mengingkari ke_kholifah_an.

Walaupun kebanyaakn manusia tidak mau mengimani, keberadaan dan kedudukan beliau Sulthonul Auliya tetap berlaku dipermukaan langit dan bumi ini. Kedudukan Amirul mukminin tetap berlangsung hingga kiamat. Walaupun secara jasmani sudah dianggap berakhir oleh sebagian besar bangsa manusia.

Masalah iman tidak bisa diatur secara keilmuan  apalagi secara logika. sebab iman itu bukan ilmu. Iman itu adalah taufiq hidayah Allah yang secara thobi,i sudah ada dalam hati manusia.

Jadi kami mohon maaf kepada seluruh ulama` yang sudah menetapkan bahwa orang kafir itu bukan orang beriman. Orang kafir juga beriman tapi ingkar. Syaithan juga Iman kepada Allah tapi dia ingkar.

Syaithan ingkar kepada perintahnya. Dia tahu Allah maha kuasa dan sebagainya tapi dia ingkar dengan kehendak Allah. Lebih celakanya lagi  banyak manusia yang menyatakan iman kepada Allah dan Rosulnya akan tetapi  dalam prakteknya masih tergolong ingkar. Sehingga kami ikut membahasakan dengan istilah IMAN KUFUR atau iman ingkar.  Ingkar kepada aturan aturan Allah. Ingkar kepada kedudukan Rosululloh beserta tuntunnya. Tak ubahnya seperti syaithan.

Jika iman itu ibarat baju, semua manusia memang memiliki baju tapi tidak sedang berbaju lantaran bajunya sedang tidak dipakai.

Jika bajunya orang islam itu Sholat, Puasa, Zakat dan Haji , namun sudah tidak ada getaran lagi dalam pelaksanaannya. Semua bentuk keingkaran itu terjadi sebagaimana syaithan yang pada dasarnya hanya ingin menuruti dirinya sendiri. Allah disuruh mengankat dirinya sebagai khalifah.

Semua manusia yang tidak mentaati perintah Allah dan Rosulnya, menjadi manusia ingkar sebagaimana keingkaran syaithan namun tidak disadari.

Alhamdulillah, Sholawat Wahidiyah dan ajarannya diberi bisa mengatasi keingkaran keingkaran kepada Allah dan Rosulnya. Dengan cara memperbanyak hibungan rohani ke pangkuan Rosululloh, tidak sedikit manusia diberi taufiq hidayah oleh Allah. Bahkan banyak saudara pengamal Sholawat Wahidiyah diberi bisa bertemu junjungan kita Rosululloh SAW. Banyak yang diberi bisa bertemu Shulthanul Auliya` baik melalui mimpi maupun yaqodhotan ( Lek lek an = jawa )

Semoga Allah memberi peningkatan iman yaitu IMAN DZAUQI ( Iman Merasakan )
Iman Dzauqi adalah iman merasakan langsung. Ibarat iman itu sebuah baju, maka baju itu sedang kita pakai.
Semoga dilain waktu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk mengkaji bersama sama  yaitu kajian Iman Dzauqi. Iman merasakan langsung namun kajian ini tanpa pelaksanaan, kita hanya mendapat ilmu yang akan menuntut kita sendiri jika tidak diterapkan.

Wabillahi taufiq wal hidayah

Wassalamu`alaikum wr wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar